Sunday, June 16, 2013

Anggaplah ini caraku berpamitan padamu. Datang tampak muka, pulang tampak punggung, begitu orang Melayu berseru. Apa yang terjadi di masa lalu dan masa kini antara kita adalah nuansa yang akan menjadi teorema hidup. Senyum, airmata, kebahagiaan dan kepedihan telah menjadi elemen utama yang menyusun kisah kita. 

Apakah hanya dirimu yang merasakan pedih dan luka ? seperti yang kau tulis di sajak-sajakmu. Ah, kamu tak pernah benar-benar tahu aku, kalau jawabanmu begitu. Kau mungkin tak pernah tahu, aku mengamit tiap tetes airmataku, dengan suara terseduh dan hati yang bergemuruh. Aku memlih diam, aku memilih bungkam. Menyiksa diriku dengan penyesalan yang alang kepalang menyesakkan. Sebagai ilalang yang berdusta, aku layak mendapat ini semua.

Seperti katamu, aku ini ilalang yang berdusta, menusuk tajam keanggunanmu sebagai bunga malang yang tercerabut ratusan kali dan selalu bisa tumbuh. Ah, itulah jumawanya dirimu. Asal kau tahu, aku memang pendusta, aku memang telah mengoyak hatimu, aku telah membuatmu terluka dalam. Kalaupun aku bisa membela diriku, aku akan abaikan itu. Aku memang ilalang yang berdusta, tak layak dipercaya seujung rambutpun. Pendusta tetaplah pendusta, itu katamu. Aku memlih tak membela diri. 

Pembelaan diri dari seorang pendusta, hanya akan membuatmu tertawa geli dan mencibir bengis. Aku lelah membela diri untuk mempertahankan hubungan yang rapuh ini, pasrah dan menyerah. Kalaupun aku bisa menjelaskan dustaku terjadi karena alasan, itu tak akan membuka hatimu. Biarlah kau genggam aku sebagai kesalahan masa lalumu, itu akan memudahkanmu melupakanku, tinimbang mengenang hal-hal indah dulu.

Hal-hal indah ? ah, tentu kau telah melupakannya sedemikian rupa. Aku bisa memaklumi itu. Kenangan di tiap senja bersama, permainan-permainan logika yang sering kita lakukan, perdebatan sengit hingga sekedar menikmati makanan khas kotaku. Tentu itu hal-hal kecil yang telah dirimu sapu dari ingatanmu. Luluh lantak diterjang impian yang satu persatu kau rengkuh. Aku tahu kau akan bahagia dengan segala impian itu.

Kau menulis, bahwa dirimu menggenggam rindu hingga pelataran-pelataran bumi nan jauh; bahkan kau tak butuh semua itu kecuali ada aku disampingmu. Kau kira hanya dirimu yang begitu ? Memang aku tak melangkah sejauh perjalananmu. Tapi kau perlu tahu aku menemukanmu, dimana saja aku melangkah. Di pulau-pulau kecil Sumatera aku tengadah sembari berharap kau rebah di pundakku dan bertukar kisah seperti dulu, atau berdebat panjang sampai kadang kita lupa sembayang. 

Aku menapaki sejarah kemanusiaan di ujung barat nusantara, aku mengurut sejarah panjang kolonialisme di Srilanka, aku berziarah di Cina kepulauan, dan ratusan tempat lainnya yang sebagian mungkin tak dikenal dunia. Kau tahu ? tak sejengkalpun bayanganmu tanggal. Aku memang tak menuliskannya secara terbuka, aku tak mengekspresikan apa adanya. Tapi aku menyesap tiap peristiwa itu, aku mengukirnya dalam hatiku dan membiarkannya hidup dalam jiwaku.

Apa hanya dirimu yang menangis meratapi dustaku ? aku sendiri terkubur dalam jalan panjang penuh kegelapan manakala aku memilih lintasan hidup yang berbeda denganmu. Aku meratapi kedunguanku. Tapi aku tahu, salahku tak termaafkan, kubiarkan dirimu merengkuh kebahagiaan yang sepantasnya kau rasakan. Terbanglah bidadariku, rengkuh tiap jengkal impianmu, raih asamu, berbahagialah !

Aku tak akan meminta maaf atas semua alfa dan abaiku padamu. Karena aku tak layak mendapatkan itu. Aku akan menuliskan kembali 101 sajak yang telah kutulis selama kita terpisah. Jangan kukira aku hanya diam saja. Bisa kau baca di sajak-sajak itu di www.kibasilalang.blogspot.com.

Popular Posts