Monday, May 12, 2008


Sebuah Pengantar
“Saling mencintai atau musnah dari muka bumi” begitulah ungkapan terkenal penyair Auden yang menjadi semacam azimat bagi Morrie Scwartzh di hari-hari akhir hidupnya yang berat bersama penyakit Lou Gehrig. Dunia medis mengenalnya dengan ALS (amyotropic lateral sclerosis).


Jauh waktu setelah Morrie pergi, jauh disini di negeri yang sejatinya kaya cinta justru meradang. Cahaya cinta di hati bangsa ini tengah berpendar, lalu memudar. Pemerintah kami pandai tapi taklah kami tahu mereka memiliki cinta atau tidak. Pengusaha kami tekun, tapi taklah kami tahu mengertikah mereka makna cinta. Intelektual kami cerdas, tapi adakah mereka ingat cara mencintai ? Anggota legislatif kamipun tangguh, tapi mereka kadang lupa makna cinta.

Elaborasi kepentingan antara mereka telah menggulung makna cinta. Bayangkan ! Hutan yang sedianya adalah jembatan antara manusia dan alam, pusat bernafas yang membuat kehidupan tetap berjalan justru digadai. PP No 2 tahun 2008 menjadi legitimasi bagi konversi hutan. Lalu, siapa menuai untung dari semua ini ?? tentu saja bukan rakyat biasa, apalagi perempuan yang posisinya selalu lemah.

Adakah para pembuat kebijakan sempat terlintas memikirkan serangga yang bersembunyi di akar kayu, binatang liar yang berumah di balik lebatnya hutan, adakah mereka berpikir anak desa yang hidup di sekeliling hutan, atau terbayangkankah perempuan-perempuan tangguh pengumpul kayu bakar ?? atau terbayang gemiricik rupiah yang perpindahan tangannya di sebuah hotel mewah dengan dayang-dayang perempuan gemulai lagi berbisa ?? Entahlah !! “Orang-orang penting” di negeri ini rasanya perlu ikut kuliah terakhir Morrie Schwartz di penghujung hidupnya atau paling tidak membaca hasil kuliah itu,yang ditulis oleh Mitch Albom, Tuesday With Morrie. Agar keserakahan itu terangkut dari hati mereka.

Memahami Perspektif Pembuat Kebijakan
Tunggu dulu kawan, jangan terburu nafsu menghakimi pembuat kebijakan. Rasanya mereka juga punya dalih. Jika membaca penjelasan umum atas PP No 2/2008 termuat kalimat sebagai berikut.
“Sumber daya hutan Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai penyangga kehidupan manusia melalui berbagai fungsinya.Hilangnya fungsi hutan mengakibatkan bencana seperti banjir, kekeringan, hilangnya keanekaragaman hayati, cadangan pangan, cadangan obatobatan, hasil kayu dan nonkayu, dan lain-lain. Oleh karena itu, sumber daya hutan merupakan objek sekaligus subjek pembangunan yang sangat strategis.

Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang saat ini dilakukan, belum sepenuhnya memberikan penghargaan terhadap nilai manfaat hutan yang hilang. Nilai manfaat hutan ini antara lain kompensasinya adalah dalam bentuk lahan kompensasi, tetapi lahan kompensasi sulit diperoleh. Oleh karena itu, diperlukan suatu nilai pengganti terhadap lahan kompensasi”

Nampak sekali bahwa pembuat kebijakan paham betul fungsi dan kemanfaatan hutan. Hingga sebagai kompromi antara kepentingan investasi yang berarti devisa dengan kepentingan konservasi yang berarti masa depan lahirlah PP ini. Niatnya baik sungguh.

Lalu, pertanyaannya sudahkah proses lahirnya kebijakan ini memenuhi beberapa hal penting; pelibatan komunitas adat, masyarakat seputar hutan, perempuan-perempuan pencari kayu bakar, anak-anak desa tepian hutan. Kalau jawabannya iya, bolehlah kita sepakat dengan PP No 2/2008 ini, tapi kalau jawabannya tidak, maka saatnya melawan.

Masyarakat seputar kawasan hutanlah yang akan memikul direct impact dari kebijakan ini. Sepantasnya mereka menjadi aktor utama dalam lahirnya kebijakan ini. Atau jangan-jangan mereka hanya angka statistik yang penting kala momen pemilu saja ??
Izinkan Perempuan Bergerak

Perempuan sejauh ini selalu menjadi penonton, kebijakan yang menyangkut hajat mereka justru mereka tak dilibatkan. Ketika dampak negatifnya mulai berasa, merekalah yang sangat dirugikan. Mari kita susuri kisah-kisah usang konflik ekologis. Aleta Baun di Mollo adalah bukti bahwa perempuan adalah pihak yang paling rentan resiko ketika hutan dikonversi menjadi tambang atau kepentingan lainnya. Rima Mananta di Soroaku juga mengalami hal serupa.

Mengapa perempuan menjadi sangat rentan ? Sejatinya perempuan memiliki kepekaan yang lebih kuat terhadap hutan. Hal ini saya temui saat proses belajar bersama di Grumbul Cibun, kaki Gunung Slamet yang masuk wilayah admistratif Banyumas. Perempuan disana sangat resah tatkala air mengalami degradasi kualitas. Perempuan disana juga pedih kalau melihat pohon tua yang ditumbangkan. Ketika mandi atau mencuci di sungai mereka tanpa sadar melakukan dialog dengan alam. Kalau mencari kayu bakar mereka akan lebih lama dibanding lelaki, karena mereka memilah ranting yang layak menjadi kayu bakar, mereka mencari ranting yang sudah mati atau akan segera mati. Kalau ditanya mengapa ? jawabannya sederhana, jangan “membunuh” kehidupan, tidak baik.

Maka, saya melihat kaum perempuanlah yang paling berpeluang melawan segala bentuk “penganiayaan” terhadap hutan. Meski perlawanan itu bisa berbentuk silent struggle, perlawanan yang bersifat diam atau bisa berbentuk perlawanan berwujud. Relasi yang cenderung bersifat emosional antara kaum perempuan dan hutan membuat perempuan memiliki kepekaan lebih. Hampir ½ waktu hidup perempuan di seputaran hutan dihabiskan bersama alam; mencuci dan mandi di sungai, mencari kayu bakar, memasak dengan kayu bakar, menanam, menganyam dan sebagainya.

Di sisi lain, pemilik kepentingan ekonomis di balik konversi hutan melihat perempuan sebagai sosok yang mudah dan gampang diintimidasi demi melanggengkan kepentingan mereka, jadilah perempuan korban.

Di balik itu semua, mari kita lihat potensi perempuan sebagai garda terakhir perlawanan menghadang pengrusakan hutan. Perempuan-perempuan di tepian hutan memahami makna hutan secara alamiah dari hubungan emosional mereka dengan alam. Jadi, andaikata mereka berdaya dan tahu cara berjuang menyelamatkan hutan secara baik, saya yakin mereka akan menjadi radar yang akurat bagi setiap upaya perusakan hutan. Sekaligus penjaga yang baik.

Gerakan perempuan sudah saatnya menjadikan isu lingkungan sebagai yang utama dalam upaya peningkatan kesadaran lingkungan berbasis gender.

Sebagai kaum Adam, malu menyadari betapa setia dan cintanya perempuan terhadah alam. Gadis kecil bernama Ruby Creek Fox Nelson di Maine berjibaku menjual bunga petunia yang hasilnya ia sumbangkan untuk konservasi orangutan di Borneo. Butet Manurung perempuan tangguh yang memilih belajar bersama suku anak dalam sembari merawat hutan. Aleta Baun, di Mollo harus menanggung pilu sebagai akibat perjuangannya melawan tambang marmer.

Perempuan menjadi tumpuan kelangsungan hutan kita. Merekalah yang nanti akan menasehati anak-anak “nak, hutan adalah nafas bagi kita, air yang kita minum juga datang dari sana, udara yang kau hirup juga karena pohon-pohon disana. Jadi nak, jangan kau sakiti hutan”.
Akhirnya, bergeraklah perempuan Indonesia. Dengan kelembutanmu ajarkan kepada siapapun yang tamak bahwa hutan itu karunia, jangan kau jamah secara tak berbudaya tapi jagalah. Dengan mata hatimu beritahukan pada kami yang belum tahu bahwa hutan rindu kasih sayang manusia. Sekali lagi bergeraklah perempuan !!



Popular Posts