Sunday, July 6, 2014

  • July 06, 2014
Membahagiakan melihat negeri ini di hari-hari terakhir, riuh rendah suara, gempita kicauan dan hiruk pikuk hajatan demokrasi. Sebuah hajatan yang membawa keceriaan untuk semua, tiba-tiba banyak diantara kita merasa memiliki agenda politik lima tahunan ini. Semua kita merasa punya tanggung jawab untuk masa depan bangsa ini, pada titik ini kebahagiaan itu membuncah.

Tapi,
Pada titik lain secara pribadi aku prihatin, demokrasi yang cerah ceria itu tiba-tiba buram, manakala fitnah dan politik “sapu jagat” (Lakukan apa saja asal dapat mandat rakyat) mewarnai hari-hari kita. Bahkan di hari tenang ini, aku masih mendapati iklan di berbagai lini dunia maya yang memojokkan pasangan nomor urut 1, entah ini spam di jaringanku saja atau memang semua merasakannya. Gambar-gambar yang dimodifikasi sedemikian rupa dari Prabowo – Hatta dengan berbagai kalimat di belakangnya, yang jelas-jelas fitnah, menyebut Prabowo - Hatta tak pernah sholat dan puasa, mafia akan berkuasa jika pasangan ini menang. Ini memprihatinkan !

Keprihatinan itu bukan karena yang diserang pasangan nomor urut 1, begitupula manakala pasangan nomor urut 2 dizholimi obor rakyat, saya sama prihatinnya.

Kita tengah tumbuh menjadi bangsa yang besar, jangan kita kerdilkan perjuangan puluhan tahun bangsa ini, dengan laku yang culas dan kerdil.

Sahabat-sahabatku, entah itu yang ada di barisan Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK. Percayalah pertarungan politik bukanlah sesuatu yang abadi dalam perjalanan negeri ini. Lihatlah tokoh-tokoh politik kita selama ini, kemarin bermusuh, hari ini bergandeng tangan, besok kembali berperang. Pertarungan yang abadi bagi negeri ini adalah pertarungan melawan kemiskinan, kemelaratan dan desakan imprealisme berwajah baru. Jangan habiskan energi untuk pertarungan jangka pendek ini.

Mengutip kalimat Prabowo, “Siapapun pemenang Pilpres nanti, itulah putra-putra terbaik bangsa.” Pada titik ini saya sejalan dengan beliau. Semua pasangan punya kelebihan dan kekurangan, itu alamiah. Yasser Arafat yang luar biasa, Obama yang memikat bahkan Nelson Mandela Sang Legenda punya sisi terang dan gelap. Itu almiah saja, karena mereka semua masih manusia. Lantas, jangan sampai pertarungan yang sementara ini memaksa kita saling menyakiti, mencari khilaf dan alfa kelompok yang ada di sebelah.

Mungkin terasa naïf berbicara tentang nilai-nilai moral saat “perang”sudah kian membara seperti sekarang. Ramai-ramai kita saling menghujat, merasa benar sendiri, merasa paling bersih bahkan ada yang merasa tak ada “örang jahat” di kubunya. Dude ! life not so flat like you think. Tidak semua tentang hitam-putih, benar-salah, kami-mereka. Hidup ini kombinasi warna-warna, kompilasi beragam peristiwa dan kisah. Tak melulu putih atau merah.

Tertegun aku, manakala salah satu calon presiden “Saya tak menjamin di partai saya tak ada banditnya.” Ini semacam pengakuan yang mencerahkan bagi rakyat, karena ada calon pemimpin yang setidaknya berusaha apa adanya. Sungguh sedih justru ada seorang calon wakil presiden yang bilang kubunya bersih semua, tak ada bandit atau mafia. Boleh sahabat tafsirkan kalimat ini sebagai bentuk keberpihakan saya pada salah satu pasangan, tapi lebih jauh dari itu, saya hanya ingin mengingatkan, perubahan besar tak lahir dari pencitraan, tapi lahir dari kehendak yang tulus dari pemimpin dan dukungan yang ikhlas dari rakyat.

Kita masih punya asa untuk negeri ini, jangan lelah bermimpi dan mewujudkannya. Kalaulah kita berbeda pilihan, ini masalah jangka pendek saja. Karena setelah hasil diumumkan segeralah kita harus berjuang bersama kembali, membewi ornament pada negeri ini, agar negeri ini bisa segera menjadi negeri yang besar. Bukan saja karena kita bisa masuk piala dunia, atau bisa membuka jutaan hectare sawah baru, atau bisa menghadirkan tol laut, tapi besar karena rakyatnya mencintai negeri ini dengan seksama, berjuang, menderita dan berbahagia bersama.

Sebagian besar kita sudah memiliki pilihan, tinggal finalisasi di bilik suara. Tulisan ini tak berpretensi mempengaruhi pikiran para sahabat, sekedar mengingatkan bahwa kita semua bersaudara. Apapun pilihan kita, pada akhirnya perjalanan kita sebagai bangsa masihlah teramat panjang, jangan korbankan hanya karena “pertarungan”sesaat ini. Tetaplah berpegangaan tangan, apapun pilihan kita. SALAM DAMA1 !


Sumber ilustrasi : www.indonews.com

Saturday, April 19, 2014

  • April 19, 2014

Luka hati karena kematian, lebih mudah diterima dan diobati, bukan begitu ?” Aku bertanya pada diri sendiri. Pesan terakhir yang kau kirim masih membekas, seperti pisau dapur berkerat yang menggores kulit. “Berhenti hubungi aku !” Kalimat itu membunuh asa yang berlahan tumbuh dan kurawat agar tak rapuh.
***
Rinai gerimis memulai pagi, suara burung-burung mungil membangun romansa tersendiri. Di ujung telpon kau katakan kau sakit. Sedari kemarin kau memang tak enak badan, tapi hari ini keadaanmu sepertinya begitu rapuh, aku mulai gelisah tak menentu. Dulu aku kehilangan kekasih tercinta karena sakit, aku tak mau itu terulang lagi.

Kupacu motor tuaku, berharap bisa memastikan keadaanmu, sebelum tiba di gang rumahmu kubelikan sarapan yang kuharap kau suka, gado-gado. Sengaja tak hubungi dulu dirimu, berharap sedikit kejutan di pagi lembab itu.

Aku tahu kau memang malas makan, kalau ketemu aku harus memaksa-maksa dirimu untuk makan, baru kau mau. Itupun pakai kata-kata ‘ancaman’, “Kalau emang sayang aku, kamu harus makan,” biasanya kau akan makan, walau Cuma sesendok dua. Lumayan membuatku legah. Meski kau tak bercerita detil, aku tahu kau sakit, aku tahu kau tengah menanggung beban yang tak ringan. Aku tak mau hanyut dalam pikiran-pikiran burukku, aku hanya berusaha meyakinkan diri bahwa kau akan baik-baik saja. Aku berjanji akan menjagamu sampai kapanpun. Hati ini terlanjur berlabuh di hatimu. Ah lebay, pasti itu jawabmu kalau aku bicara soal ini. Yup, aku juga merasa ini lebay dan berlebihan, tapi sulit mencari kalimat lain yang mewakili isi hatiku.

Gado-gado dengan sayuran segar dan gak pedas sudah ada di tangan. Kugegas kembali motorku, terbayang kau akan memakan gado-gado ini dengan lahap. Di depan gang rumahmu, aku mencoba menghubungimu. Tak berbalas, hanya nada sambung yang tak kunjung diangkat mewarnai penantianku. Tak lah berani aki langsung ke rumahmu, ibumu akan marah atau salah-salah mengusirku. Aku tahu itu dari cerita-ceritamu. Aku kirim beberapa pesan untukmu, kusandarkan motor dan mencoba menunggu sembari membayangkan kalau kau mungkin sedang mandi atau sedang nyuci atau apa saja yang membuatmu tak bisa mengangkat telponku dan membalas pesanku.

Teringat hari-hari pertama kita berjumpa dulu. Perjumpaan yang tak romantis, bahkan cenderung anarkis. Ya, aku membencimu ketika itu. Aku berpikir kau tak lebih dari gadis kebanyakan; manja, memandang orang sebelah mata dan merasa paling cantik sedunia. Puiihhh, mengesalkan jika mengenang perjumpaan pertama di halte bus berdebu itu. Tapi cinta datangnya tak pernah bisa disangka, tiba-tiba dan terjadi begitu saja.

Kau menyebutku orang terjutek sedunia, smsku singkat, jawabannya kasar dan cenderung pemarah. Itu katamu dulu. Kulakukan itu karena memang aku tak suka perjumpaan pertama kita dulu. Kau hanya gadis angkuh, pikirku. Tapi entah kenapa, keping-keping rindu tumbuh, banyak hal yang akhirnya mendekatkan kita. Sebuah rasa yang tumbuh begitu saja, tanpa disuruh dan tanpa direncanakan, ya begitu saja.

Kalau kau tanya, mengapa mencintaimu. Aku tak tahu, aku tak bisa mendeskripsikan alasannya, aku hanya bisa menjalaninya dan menunjukkan betapa rasa itu ada dan nyata.

Rinai gerimis luruh, matahari kian meninggi, tiga puluh menit sudah aku menantimu. SMS tak berbalas, telpon tka berjawab. Ah, aku takut ada apa-apa denganmu. Hampir tiap hari kau mengeluh tentang kesehatanmu, aku mulai resah, ingin rasanya memaksakan diri ke rumahmu. Tapi aku tahu kau tak akan suka itu. Karena pasti kau akan menerima amarah ibumu. Aku memilih menunggu, berharap, kau hanya sedang tak sempat saja membalas pesanku.

Kutatap bungkusan gado-gado yang tergantung di spion motor. “Untung aku memisah bumbu gado-gado itu,” batinku. Perjumpaan kita memang belum lama, enam bulanpun rasanya belum, tapi semua mengalir begitu laju. Kau gadis pertama yang kucium bibirnya. Kau gadis pertama yang membuatku merasa ada alasan untuk bertahan lama di dunia. Lebay ? ya, pasti kau akan bilang “bohong banget”. Aku tak pernah bisa meyakinkanmu, tapi aku memang tak mau memaksamu untuk percaya semua itu. Biarkan waktu yang akan menjawab semua ragumu, selalu itu kesimpulanku.

Satu jam sudah aku menunggu, kukirim kembali pesan untukmu. Tetap tanpa balasan. Aku menyerah, mungkin kau sedang marah denganku. Kuputar haluan motor, kuputuskan untuk menghubungimu nanti siang.

***
Jelang tengah hari sebuah pesan darimu masuk ke Hapeku, tercengan dan tak percaya aku membaca pesan darimu. Sebuah psan yang membunuh semua asaku. Air mataku merambat pelan di sudut mata. Henya sedemikian rasa yang kau punya untukku. Sedemikian mudah semua kau akhiri. Sejatinya aku menolak menjadi lelaki lemah, yang terpuruk karena kepergian seorang perempuan. Tapi aku gagal melawan rasa luka yang sedemikian membekas dalam.

Kulirik bungkusan gado-gado yang sedianya untukmu. Sembari berbisik lirih dalam hati, “Semoga kau bahagia dan sehat selalu, bidadariku !”

Ilustrasi diambil dari karya : Nanda Fitri
sumber ilustrasi : https://thegirlwithbrokenwings.wordpress.com/tag/sketch/




Monday, April 7, 2014



“…meski prihatin, tetapi tidak tanpa harapan. Kita ingin merefleksi,
dimana kita selaku kolektivitas bangsa tersesat ?dan dimana
sebenarnya akar-akar keberadaan Republik Indonesia, serta
esensi motivasi dan watak perjuangan aslinya.
Demi suatu pemikiran ke arah mana rupa-rupanya perbaikan
pantas dan perlu dicari oleh masyarakat dan negara kita”
(Y.B. Mangunwijaya dalam kata pengantar buku Menuju Republik Indonesia Serikat)

***

Gerimis tipis menghentikan laju motorku, singgah sejenak di warung penyedia penganan di ujung jalan. Beberapa ibu-ibu berbincang renyah sembari menunggu pesanan gado-gado dan nasi gemuk khas melayu. Terusik telingaku untuk mendengar percakapan mereka, ibu-ibu bicara pemilu. Seru juga, batinku. Seorang ibu “Kalu kito betino nih meleh caleg betino pulok,” seorang ibu meyakinkan yang lainnya penuh semangat. Kalau kita perempuan harus milih calon legislatif perempuan juga.

Ibu yang lainnya meragukan opini itu. “Ngapo pulok nak milih betino ?” Nada ragu mengiringi pertanyaan itu. “Mano lah wong lanang nak ngerti urusan kito betino. Misalnyo hargo beras naik, kito betino nak padek-padek ngatur duit biar kebutuhan keluarga cukup, lanang manolah tahu. Jadi kalo lanang yang jadi wakil kito, dak peduli nian mereka tuh dengan kenaikan hargo.” (Bagaimanalah kaum lelaki mau mengerti urasan kita perempuan. Misalnya harga beras naik, kita perempuan yang harus pandai mengatur keuangan agar kebutuhan keluarga cukup. Kaum laki-laki mana lah mau tahu. Jadi kalau lelaki yang jadi wakil kita, tak terlalu pedulilah mereka dengan urusan naiknya harga). Ibu itu memberi argumentasi.

Kuseruput teh khas Kayu Aro (Kerinci), ada benarnya juga apa kata ibu itu pikirku. Tak selamanya kaum laki-laki memahami kesulitan perempuan menghadapi kesulitan hidup. Ketika harga-harga melambung, perempuanlah yang merasakan dampak secara langsung. Bukan ingin meletakkan perempuan pada posisi domestik yang tidak adil sebatas sumur-kasur-dapur. Tapi realitas di negeri ini perempuanlah yang banyak bertanggung jawab dalam manajemen keuangan keluarga. Sehingga ketika harga-harga naik, maka perempuan yang pusing tujuh keliling memikirkan bagaimana kebutuhan keluarga semuanya terpenuhi. Sedangkan laki-laki cenderung sedikit tak terdampak langsung dengan keadaan kenaikan harga tersebut.

Hal di atas sekedar contoh bagaimana sensitivitas perempuan terkadang lebih tinggi terkait kebijakan publik yang berimplikasi lebih luas. Kalimat-kalimat Romo Mangunwijaya di atas dan percakapan pagi ibu-ibu di warung penganan telah membuka mataku, bahwa di tengah keterpurukan Indonesia hari ini, tak lantas kita menyerah, melainkan perlu mencari lagi akar kekuatan bangsa ini. Perempuan ! yup perempuan, bisa jadi inilah akar kekuatan negeri ini.

Mengapa perempuan ? sejarah mencatat tokoh-tokoh lelaki begitu dominan dalam perjalanan bangsa ini. Tapi bukan berarti perempuan tak banyak perannya. Masalahnya perempuan cenderung  jauh dari panggung sehingga kerap dilupakan sejarah. Lihat saja pada masa perjuangan kemerdekaan siapa yang menjadi mata-mata efektif untuk pejuang republik, ya perempuan. Meski untuk itu terkadang mereka harus menanggung penderitaan dan malu. Tapi sejarah tak mencatat itu sebaga hal penting, apalagi menisbatkan perempuan-perempuan itu sebagai pahlawan nasional. Belum lagi bagaimana peran perempuan dalam memastikan logistik pejuang. Tapi sayang, mereka hanya menjadi deretan tak bernama, yang dilupakan sejarah.

Coba kita kenang lagi perjalanan kita mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Rasa-rasanya tak ada diantara kita yang tak dipengaruhi oleh guru-guru yang sebagian besar perempuan. Makanya istilah “Bu Guru” lebih akrab bagi kita semua tinimbang “Pak Guru”,  resonansinya berbeda. Ada sedikit janggak dengan Pak Guru. Sebagian kita dididik dengan gigih oleh ibu-ibu guru. Lantas, apakah sejarah mencatat itu ? tidak. Seajrah cenderung masih sangat maskulin.

Lantas saya berpikir andai senayan dikuasai tujuh puluh persen saja perempuan, mungkin gedung parlemen kita tak akan mungkin disebut “sarang koruptor” seperti sekarang. Bahwa ada perempuan di parlemen yang terlibat korupsi, iya. Tapi pertanyaannya mereka benar-benar pelaku atau sekedar korban karena ketidaktahuan mereka sedang dimanfaatkan ?

Pada titik ini saya meyakini perempuan memilki potensi mengubah negeri ini. Hingga pada akhirnya menyitir kalimat Romo Mangun “... pemikiran ke arah mana rupa-rupanya perbaikan pantas dan perlu dicari oleh masyarakat dan negara kita” Benar-benar bisa ditentukan secara akurat dan pada akhirnya diimplementasikan secara bertanggung jawab. Saatnya perempuan memimpin negeri ini, bukan sekedar simbolik tapi secara haqiqi.

***

Gerimis hilang, aku pun hengkang dari warung penganan menuju tempat kerja. Sebuah kesadaran baru muncul, kesadaran perempuan di parlemen. Sekian lama aku melupakan akar kekuatan bangsa ini. Kupastikan satu suaraku di DPR untuk caleg perempuan.

Sunday, April 6, 2014


Tersebutlah sebuah kisah, di sebuah kota dimana mendoan menjadi makanan pokok penduduknya, seorang lulusan SMA baru saja diterima di UNPAD-Purwokerto. Unpad koq nang Purwokerto ? Ngawuur..iki. Jangan salah paha (*-&^%$)  dulu, UNPAD itu UNiversitas PAk Dirman alis Univ. Jenderal Soedirman.

Dengan penuh percaya diri remaja yang baru lulus dari Jogja itu melangkah, hari pertama ia bertekad untuk segera bisa berbahasa Banyumas yang ngapak-ngapak itu, praktek kuncinya, bisik remaja itu dalam hati.
Petualangan di Purwokerto pun dimulai, naiklah si remaja itu ke mobil angkot, ada lima penumpang di dalam angkot tersebut. Tak lama dua orang penumpang turun, sebelum turun salah satu penumpang berbicara ke temannya “inyong kencot, tak lama mereka turun. Lalu beberapa saat dua penumpang tersisa juga menyebut-nyebut kata kencot. Lantas mereka turun…

Berbekal tekad ingin segera bisa berbahasa Banyumas, si remaja yakin dia sudah mendapat pelajaran di dalam angkot. Tak lama gedung kampusnya pun nampak, dengan percaya diri ia berteriak ke sopirnya..

Pak kencooot pak,” teriak remaja itu kalem dan penuh yakin.

Kencoot pak,”suara remaja itu meninggi.

Si sopir tetap cuek dan mobil terus melaju.

Pak…kencot ko pak.”Pemuda itu berteriak lebih keras

Mobil pun berhenti, si sopir menoleh sembari tersenyum. Si pemuda pun turun dengan perasaan kesal. Tapi, dibalik itu semua, si remaja merasa senang karena sudah mengerti cara menghentikan angkot di kota Purwokerto. Kencot berarti berhenti. Dalam hati remaja itu tersenyum penuh kebanggaan.



________________

*Kencot dalam bahasa Banyuams bermakna lapar…
*Kisah diangkat dari pengalaman pribadi saat pertama kali pindah ke Banyumas..

Foto : huzer apriansyah






“Aku membenci masa lalu !”

            Kuteriakkan kalimat itu sejadi-jadinya. Suasana sepi. Angin yang berhembus pelan dan daun-daun yang tersapu membuat teriakkanku seperti gemuruh.

            Bayang-bayang wajahmu saat mengakhiri hubungan kita membekas dalam, aku benci mengenang itu. Tujuh tahun sudah berlalu, tapi nyeri itu masih berdenyut hingga kini.

            Gelap mulai merapati langit. Mentari mulai rebah. Kilaunya memberi kesan keemasan di dinding candi Cetho. Dua jam sudah aku termangu di pelataran candi yang gagah tapi indah ini. Daun-daun yang tanggal dari pohon-pohon besar di sekitar Candi menjadi semacam teorema senja. Aku mengenangmu, Gita. Walau luka aku tak bisa menanggalkan kenangan tentang kita.

            Andai perpisahan kita tak pernah ada. Petang ini mungkin kita berdua sedang 
menikmati senja disini. Ah, kau sebagai Dyah Gitarja dan aku Cakradhara. Dua sejoli yang mahsyur di masa lalu nusantara. Dyah Gitarja itu ratu bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi, sedang Cakradhara, adalah pejuang cinta. Lelaki tangguh yang merebut cinta Dyah Gitarja melalui kompetisi sengit dengan banyak pemuda.

            Aku memang tak setangguh Cakradhara, tapi aku punya cinta yang tangguh untukmu. Gita, kalau saja dirimu tahu betapa cinta ini tak terperihkan. Ah, sudahlah, tiap cinta punya takdirnya. Semoga kau bahagia, dimanapun dirimu ada dan mengada.

Ilustrasi by : urbansketchers-indonesia.blogspot.com





Saturday, April 5, 2014

Tawa-tawa renyah diiringi kelakar[i] khas Melayu menjadi pembuka petang. Pembeli berdatangan, senyum-senyum pedagang pun merekah. Tawar menawar menghiasi suasana Pasar Empat Enam. Ya, empat enam. Aneh memang namanya, tapi itu merujuk pada jam bukanya, empat petang hingga jam enam.

Lokasinya di salah satu sudut Kota Jambi, tepatnya di jalan menuju jembatan Aur Duri yang melintasi Sungai Batanghari. Kalau Adzan Ashar usai, keriuhan pun dimulai. Pedagangnya kebanyakan adalah penduduk dari desa-desa sekitar, ada yang datang dari Jambi Seberang ada yang dari Selincah dan lainnya. Dagangannya khas sekali, mulai dari buah yang ditanam di kebun sendiri sampai hasil sungai yang memang menjadi andalan.

Kebanyakan masih dalam keadaan segar-segar dan menarik hati untuk menawar. Beberapa produk pangan yang sangat sulit ditemui di tempat lain justru dengan mudah didapati di pasar ini. Kebanyakan adalah produk khas nusantara dan jadi favorit sebagian kita. Mau tahu apa saja itu ? yuuk kita simak !

Kabau, begitu orang Melayu menyebutnya. Nama ilmiah untuk spesies satu ini adalah Archidenron microcarpum. Bentuknya unik bulat kecil dengan sisi yang melingkar persis ban mobil tapi dalam ukuran yang super mini. Warnanya hitam kecoklatan. Di beberapa tempat di Sumatera kabau juga dikenal dengan sebutan jering. Bahkan di Jambi, tepatnya di Kabupaten Sarolangun ada desa namanya Lubuk Jering, yang artinya di desa itu dulu ada lubuk yang banyak sekali pohon jering. Kalau soal rasa, jangan tanya. Mantap sungguh. Sebagai lalapan teman makan nasi. Rasanya ‘sebelas dua belas’ saja dengan jengkol, hanya saja bentuknya yang mungil membuatnya enak dikunyah sebagai lalapan


Berikut kandungan dalam 100 gram kabau[ii] ;

Jumlah Kandungan Energi Kabau                  = 199 kkal
Jumlah Kandungan Protein Kabau                 = 6,4 gr
Jumlah Kandungan Lemak Kabau                  = 1,1 gr
Jumlah Kandungan Karbohidrat Kabau         = 41 gr
Jumlah Kandungan Kalsium Kabau               = 40 mg
Jumlah Kandungan Fosfor Kabau                  = 108 mg
Jumlah Kandungan Zat Besi Kabau               = 1,8 mg
Jumlah Kandungan Vitamin A Kabau            = 0 IU

Jumlah Kandungan Vitamin B1 Kabau          = 0,03 mg

Wah-wah ternyata si mungil hitam ini punya kandungan energi dan kalsium yang lumayan tinggi ya. Di pasar empat enam ini, kabau biasanya dijual per canting, tapi ada yang menjual perkilo.

Nah, lain kabau lain pula petai atau yang sehari-hari disebut pete. Kalau yang ini sebagian kita pasti sudah kenal, warna hijau dan bentuknya yang khas pasti mudah kita kenali. Ketenaran petai rasanya sudah menusantara, petai hampir dikenal dimana saja. Di Pasar Empat Enam biasanya petai dijual dengan cara yang unik, yaitu digantung berjejer di pinggir jalan sehingga tiap mata yang memandang langsung jatuh hati. Petai ini biasanya dijual per ikat, isinya antara sepuluh sampai dua puluh papan petai.



Terasa asing ya dengan sebutan papan ? begitulah Orang Melayu menyebut petai dalam satuannya. Jadi satu petai utuh itu disebut papan, dalam satu papan itu biasanya ada belasan biji petai. Ayo yang suka petai coba acung tangan ? J Banyak yang malu ya ngaku suka pete ? Yup, benar adanya, konsumsi petai membuat bau mulut kurang sedap. Tapi biasanya akan hilang dengan sendirinya setelah gosok gigi. Kalau kami di tanah Melayu, ada anekdot tentang bau petai ini. “Kalau mau menghilangkan bau petai, makan saja jengkol, pasti bau petainya akan hilang.” J

Ngomong-ngomong soal jengkol, di Pasar Empat Enam tersedia juga. Kalau jengkol, saya yakin kita semua paham kan. Ada semur jengkol, kerupuk jengkol, lalapan jengkol dan berbagai variasi masakan berbahan jengkol kita kenal di tanah air. Oh iya sambal jengkol juga ada. Begitu pun pete, sambal pete juga terkenal. Kalau di Palembang atau Jambi biasanya sambal petai disampur dengan ati ayam atau juga ikan teri. Ehm, maknyuss pastinya. Apalagi di santap dengan nasi yang masih hangat.



Sekarang kita bicara soal ikan, yang jadi andalan Pasar Empat Enam. Ikan-ikan lokal yang begitu khas seperti gabus, tebakang, toman dan juga udang-udangan tersedia disini. Harganya memang lumayan, tapi biasanya konsumen puas karena ikan dna udangnya masih dalma keadaan segar, bahkan sebagian besar masih hidup.

Kita mulai dengan udang, disini tersedia apa yang dikenal dengan udang satang, biasanya kebanyakan kita mengenalnya dengan udang galah. Bukan hanya daging udangnya mantap, tapi galah atau bagian tubuh udah yang menyerupai satang, dagingnya juga lezat. Tapi memakannya harus hati-hati karena ada duri-duri kecil membungkus dagingnya. Ehm, kalau udang ini dijadikan pindang, atau dijadikan menu udang bakar mentega, atau udang saus tiram. Ugh, pastilah yang tadinya tak berselera makan langsung berselera.



Ikan gabus dan ikan toman bentuknya nyaris sama, bersisik dan kepalanya yang lonjong memanjang juga mirip. Perbedaannya biasanya pada warna. Ikan gabus cenderung lebih gelap warnanya, sedang toman agak putih. Dagingnya kerap dijadikan bahan dasar pembuat empek-empek. Ada yang suka empek-empek ? Atau jangan-jangan ada yang belum pernah makan empek-empek ? Wah, kalau belum pernah mencoba, kamu harus coba deh. Dijamin ketagihan.

Nah, kalau ikan tebakang, ini lebih khas lagi. Sudah jarnag ditemui, bentuknya mirip ikan sepat, tapi warnanya biasanya lebih cerah dan duri di dekat kepalanya sangat tajam. Si Sungai Batanghari atau di Musi, ikan jenis ini masih banyak ditemui. Hanya saja, ikan ini biasanya tak terlalu diminati, karena agak sedikit menyimpan bau lumpur di tubuhnya. Memang ikan jenis sepat, betok, atau tebakang kerap menjadi lumpur tempat mereka berlindung.



Pokoknya, kalau kawan-kawan mampir ke Jambi, wajib singgah di Pasar Empat Enam. Memang bukan destinasi andalan wisata di Jambi, tapi kalau ingin merasakan kejayaan pangan lokal kita, ya disini tempatnya. Tempat dimana pangan lokal masih menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Nyaris tak akan kawan-kawan temui produk pangan impor di pasar ini.

***

Jika merujuk pada Undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan, maka kita akan mengenal tiga konsepsi penting ;

Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk  menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Tiga konsepsi ini memiliki derajat fungsi yang berbeda. Ketahanan pangan lebih berfungsi sebagai sarana memastikan tidak terjadinya kekurangan pangan, darimana sumber pangan tersebut tidak terlalu masalah. Impor atau produk sendiri tak masalah. Sedangkan kemandirian pangan lebih memiliki derajat fungsi yang penting, dalam bahasa lain inilah swasembada pangan. Sebagai negara dna bangsa kita bisa memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri. Sedangkan kedaulatan pangan lebih berfungsi politis, semua upaya menjaminkan martabat kita sebagai bangsa prihal pangan.

Tulisan ini lebih mengacu pada kemandirian pangan. Potret Pasar Empat Enam adalah potret sebuah komunitas yang berupaya membangun kemandirian pangan mereka. Mereka menanam atau mencari sendiri produk pangannya dan mendistribusikannya sendiri.

Realitas di Pasar Empat Enam memang nampak sangat mikro, tapi realitas mikro macam inilah yang pada akhirnya membangun realitas makro pangan kita. Di tengah gempuran produk impor, Pasar Empat Enam mencoba melawan. Coba kita pasati jumlah impor produk pangan kita ;

Tabel Impor Produk Pangan Tahun 2012[iii]
Produk Pangan
Jumlah (Dalam Ton)
Nilai (USD)
Beras
1,8 juta
945,6 juta
Jagung
1,7 juta
501,9 juta
Ikan dan Udang
15,8 juta
412,3 juta
Kedelai
1,9 juta
1,2 miliar
Kentang
54,1 ribu
36,4 juta
Garam
2,2 juta
108 juta
Tepung Terigu
479,7 ribu
188,8 juta
Biji Gandum
6,3 juta
2,3 miliar
Singkong
13,3 ribu
3,4 juta
Daging Sapi
40,3 ribu
156 juta

Data di atas belum semua data impor pangan kita. Kita masih jauh dari kemandirian pangan. Ada beberapa hal yang menjadi picu kondisi ini;

Pertama, angka produksi pangan dalam negeri kita belum mampu mengimbangi jumlah kebutuhan dalam negeri.

Kedua, proteksi harga yang tidak dapat lagi dilakukan pemerintah di era pasar bebas. Membuat produk pangan impor kadnag lebih murah dari produk pangan lokal. Intervensi asing dalam kebijakan sektor pangan makin terasa, apalagi pasar bebas mensyaratkan ketiadaan proteksi.

Ketiga, gaya hidup penduduk kita yang lebih senang dan bangga mengonsumsi produk pangan impor.

Tentu masih ada faktor-faktor lain, tapi tiga faktor di atas menjadi picu utama belum berhasilnya negeri kita menjadi negeri yang berkemandirian dan berdaulat dalam bidang pangan. Sebagai konsumen pangan, yang bisa kita lakukan adalah tetap mencintai dan mengonsumsi produk pangan lokal. Sehingga faktor ketiga di atas bisa dikurangi.
***

Kembali ke Pasar Empat Enam. Menelusuri satu persatu bilik-bilik rapuh pedagang di Pasar Empat Enam membuat sebuah kesadaran baru. Kesadaran yang meyakinkanku pangan lokal kita masih berjaya. Kami yang pernah singgah di Pasar Empat Enam merasakan itu dengan nyata.

Pasar Empat Enam seolah menjadi benteng kemandirian pangan kita, semoga benteng-benteng macam ini masih pula berjaya di semua sudut nusantara. Pasar-pasar modern sudah dijejali dengan produk pangan impor, semoga saja entitas macam Empat Enam akan selalu menjadi benteng pertahanan terakhir pangan lokal kita. Masalahnya, konsumen kita hari ini terutama di perkotaan mulai enggan berjibaku di pasar-pasar tradisional macam empat enam. Mereka lebih memilih kenyamanan khas pasar modern yang biasanya dikuasai produk impor.

Pertanyaannya kini, relakah kita menyaksikan produk pangan lokal kita menjadi tamu di negeri sendiri ? kalau tidak ! Mari kita mencintai dan mengunsumsi pangan lokal.




[i] Kelakar adalah sebutan untuk keadaan saling bercanda yang biasanya mengundang tawa dari yang mendengar. Istilah ini banyak digunakan di Sumatera Selatan dan sebagian Jambi.
[ii] Sumber : Publikasi Kementerian kesehatan RI yang ditulis ulang di www.organisasi.org, diakses pada 4 April 2014, pukul 18.55 WIB
[iii] Diolah dari laporan BPS tahun 2013, http://www.koran-sindo.com/node/338484 dan http://beranda.miti.or.id/10-bahan-pangan-indonesia-masih-impor/

Keterangan Photo :

Foto 1 : Kabau/huzer apriansyah
Foto 2 : Petai/huzer apriansyah
Foto 3 : Jengkol/huzer apriansyah
Foto 4 : Udang satang/huzer apriansyah
Foto 5 : Ikan tebakang/huzer apriansyah

Tuesday, April 1, 2014


Buku bersampul oranye itu sudah lumayan lama bersandar di almari ruang kerjaku. Belum terbaca utuh, tak pula masuk prioritas buku yang harus dibaca. Hanya sesekali kubuka secara acak saja halaman-halamannya. Setengah atau satu halaman lalu aku berhenti.

Kepalaku dipenuhi muatan persepsi, “Ah sudah terlalu banyak puja puji untuk sosok satu ini !” Paling-paling sebelum mengembalikan buku oranye itu ke rak buku atau membiarkannya terserak di atas meja, tatapanku terhenti sejenak pada sosok berbaju kotak-kotak merah, hitam dan putih yang tertawa lepas dengan wajah yang menghadap ke atas (mendongak), ya semua tahu siapa dia, Jokowi. Sosok pemimpin yang konon begitu langkah didapati di era ini.

Pernah pula kupasati penulis-penulis yang berkontribusi untuk buku ini, sebagian nama mereka akrab di mata dan telinga. Mereka sahabat, guru sekaligus kawan dunia maya yang sama-sama berjibaku di rumah sehat bernama Kompasiana. Meski aku bukan penggiat tangguh seperti mereka, tapi paling tidak mengikuti sepak terjang mereka. Sebut saja, Mba Niken, Mba Septin, Ibu Maria, Mba Annisa, Pak Daniel, Pak Piere Barutu, Bang Herry N Sancoko, Bang Ken Hirai, Mba Aulia Gurdi, Pak Kate, Bang Palti, Mba Yayat, Pak Muh Syukri, Pak Thamrin Dahlan, dan masih banyak lagi. Nama-nama itu membuat buku ini terasa dekat. Meski mereka mungkin tak mengenalku, tapi paling tidak aku mengenal mereka lewat karya-karya yang aduhai di kompasiana.
***
Sampai pada suatu senja, sambil menanti pertandingan Timnas U19 Indonesia berujicoba melawan Tim Pra PON Jawa Timur. Kutarik buku bersampul oranye dengan judul “Jokowi (Bukan) Untuk Presiden” yang catchy itu. Seperti biasa untuk buku non sastra yang bukan prioritas bacaan, kugunakan metode buka acak. Petang itu jariku melenting ke halaman 19, judulnya nampak biasa, “Jokowi dan Sopir Taksi Solo” tanpa butuh pikir panjang aku sudah bisa menebak kemana tulisan itu akan berujung. Puja puji dari seorang sopir yang mengagumi Jokowi, dan itu benar. Berkurang nafsuku melanjutkan.

Tapi entah mengapa petang itu mataku merapati kalimat-kalimat yang ditulis Septin Puji Astuti, sejenak saja aku telah tersihir dengan gaya bertutur yang renyah dari Mba Septin. Saya merenung lama ketika sampai pada kalimat “Tapi, kalau anak buahnya Jokowi itu harus jujur Mbak. Kalau ada kembalian, ya dikembalikan. Nggak boleh itu diambil.”  Kalimat yang dikutip Mbak Septin dari sopir taksi itu sungguh-sungguh membuat aku berdesir. Luar biasa, Jokowi ini, pikirku.

Meski demikian, sayangnya Mba Septin tak memberi petunjuk lebih, siapa sebenarnya sopir taksi tersebut, paling tidak namanya. Tulisan yang sebenarnya begitu indah tapi tak terlalu ada intimitas dengan subyek yang ditulis. Di sisi lain, bagi orang-orang yang tak terlalu percaya kisah ini, bisa saja memverifikasi tulisan Mba Septin kalau ada nama dari sopir taksi itu, apalagi ada nama armadanya pula.

Ah, kekurangan kecil itu tak membuat kisah yang ditulis Mba Septin kekurangan auranya. Tulisan ini telah menjadi semacam gerbang penuh magnet yang akhirnya menyeretku masuk ke pusaran buku. Segera kubalik halamannya ke arah depan. Berjumpa dengan tulisan pertama milik Mba Niken, sosok yang cukup lama kukenal lewat karyanya, terutama ketika aku masih sangat kerap menulis di Kompasiana medio 2010 dan 2011.
Judulnya sudah begitu menarik perhatian “Jokowi : The Untold Story”, semua orang merasa sangat perlu melihat Jokowi dari kedalaman, dan tulisan Mba Niken memberikan itu. Kisah Jokowi ditilang polisi dan sisi-sisi lain dari sosok satu ini sungguh membuatku makin penasaran dengan artikel-artikel lain dalam buku yang merupakan kompilasi tulisan para kompasianer ini.
Meski demikian aku adalah orang yang berusaha sekecil mungkin menggunakan bahasa asing (Inggris) dalam tulisan bahasa Indonesiaku, judul yang sebenarnya indah itu, tetap saja terasa janggal bagiku. Selipan kata asing memang menjadi semacam ciri dari buku ini.
Setelah tamat membaca buku ini, aku mencatat paling tidak ada sepuluh tulisan yang judulnya mengandung bahasa Inggris.
1.      Jokowi “The Untold Story
2.      Jokowi, Man of The Year 2012
3.      Menakar Peluang Jokowi di “Partai Away”-nya
4.      “It’s the Change, Stupid”
5.      Jokowi “Effect”
6.      Jokowi Sombong dan Overconfidence ?
7.      Jokowi, Think Globally, Act Locally
8.      Jokowi : Private Inside, PNSOutside !
9.      Jokowi, Pencitraan, End !
10.  Pak Jokowi : Dari “Esemka” ke Made in China

Kalau kita telisik isi dari semua tulisan lebih dari 20 tulisan menyelipkan bahasa asing di bagian isi. Tentu saja tak apa-apa menggunakan bahasa asing untuk sebuah tulisan populer. Tapi entah mengapa, aku sangat suka orang yang berusaha keras mencari padanan kata asing dengan bahasa Indonesia. Beruntung ada Katedrarajawen yang menampilkan sosok itu dalam buku ini. Tak satupun bahasa asing dalam artikelnya, biasanya di Kompasiana pun itu ciri khasnya; lugas, singkat dan tak pakai kata asing.

Tapi sekali lagi ini subyektifitas saya semata. Toh itu tak mengurangi keindahan tulisan-tulisan dalam buku yang diterbitkan Elex Media Komputindo ini.

Oh ya, soal penerbit yang satu ini keren juga, dulu saya mengenal penerbit mayor satu ini karena komik-komik dan buku-buku bidang teknologinya, ternyata Elex Media telah jauh bergerak meninggalkan ‘label’ lamanya. Buku ini salah satu pembuktian itu.

Lebih dan Kurang Dalam Enam Bab

Kekuatan utama buku ini adalah pada keragaman sudut pandang tulisan. Mulai dari hal-hal yang belum terceritakan tentang Jokowi, penantang gagasan, pendukung gagasan, pencinta hingga yang tak suka tali temali dalam rangkaian kisah. Beragamnya penulis ini berimplikasi pada gaya tutur yang beragam pula. Ada yang asyik seperti sebuah cerpen ada yang serius layaknya opini Kompas, ada yang menulis seperti acuh tak acuh saja. Pokoknya kaya warna.

Selama ini buku tentang Jokowi yang kutahu berisi satu sudut pandang saja. Baru kali ini kutemukan buku tentang Jokowi yang ditulis dengan begitu kaya warna. Belum pernah ada juga sebuah buku tentang Jokowi yang ditulis “orang-orang biasa”. Bisalah tulisan dalam buku ini disebut sebagai suara “orang-orang biasa” tentang sosok luar biasa.

Frasa “orang-orang biasa” itu kulekatkkan dengan maksud bahwa para penulis bukanlah orang-orang di lingkaran politik, bukan pula penulis ternama yang sengaja diupah untuk menulis tentang seseorang. Tulisan-tulisan terasa begitu spontan dan apa adanya.

Namun spontanitas itu juga membawa sisi lemahnya, banyak tulisan yang terasa ditulis begitu tergesa-gesa, dan kejar tayang. Hingga terasa kurang benyawa dan kaku-kaku saja. Satu hal yang patut pula dipuji dari buku satu ini adalah desain sampulnya; sederhana, menarik dan mengundang mata untuk melirik. Hal ini kubuktikan saat berada di sebuah toko buku, dari belasan buku tentang Jokowi, buku satu ini langsung menarik mataku untuk merabanya. Lalu mengutak-atiknya halamnnya, dan terakhir melihat label harganya. Ya lumayan juga harganya... J
***
Tulisan dalam buku ini dihadirkan jauh hari sebelum Jokowi resmi menjadi calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Tentu ada diantara penulis yang kecewa ada pula yang suka cita menyambutnya. Tapi paling tidak buku ini sudah menjadi semacam “mandat” rakyat kepada Jokowi.

Meminjam istilah Kang Pepih Nugraha dalam pengantar buku “Inilah buku pertama mengenai Jokowi yang dipandang dari sudur warga biasa, bukan dari penulis buku, analis, atau jurnalis profesional. Karenanya warga biasa memandang Jokowi lebih jujur dari sudut yang beragam bahkan tidak terduga...” Dan benar saja, buku ini telah menampilkan hal tersebut. Aku yang semula tak terlalu peduli dengan apa dan bagaiman Jokowi, akhirnya menjadi menggemari tulisan-tulisan yang begitu luar biasa di buku ini.

Buku ini telah membuka dialog, perdebatan dan juga pemahaman baru atas sosok bernama Jokowi, yang bisa jadi akan memimpin negeri ini lima tahun ke depan nanti.

Judul Buku      : Jokowi (Bukan) Untuk Presiden
Penulis             : Kompasiana (Lead Editor Nurullah)
Tahun Terbit    : 2013
Penerbit           : Elex Media Computindo
Halaman          : 320 + xvi

Sumber ilustrasi : www.kompasiana.com

Note : Resensi ini terpilih sebagai pemenang favorit lomba resensi Kompasiana dan Elex Media




Popular Posts