Thursday, October 26, 2006



"Bangsa itu adalah hasil historis yang ditimbulkan deretan kejadian yang semua menuju ke satu arah. Setelah menguraikan masalah ras, bahasa, agama, persekutuan kepentingan bersama, keadaan alam, Renant menyimpulkan, bangsa itu merupakan keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble)." Demikianlah Prof. Sunario Sastrowardoyo mengutip Ernest Renant mengawali pidatonya dalam kongres Pemuda 1928.

Secara umum semangat persatuan yang begitu menonjol dari hasil kongres pemuda ini, mengental dalam memori kolektif bangsa ini. Banyak diantara kita mungkin belum tahu bahwa tiga tahun sebelum sumpah pemuda, para pemuda Indonesia juga telah merumuskan sebuah manifesto politik 1925 (selanjutnya saya singkat MP 1925) yang dikeluarkan di Belanda oleh pemuda Indonesia dalam perhimpunan Indonesia di negeri Belanda saat itu. Tentu saja MP 1925 juga ikut memberi landasan bagi kongres pemuda 1928 yang melahirkan sumpah pemuda.
MP 1925 menurut Prof. Sartono Kartodirdjo lebih fundamental dari Sumpah Pemuda 1928 (Kompas, 28 Oktober 2002). Hal ini dikarenakan tiga prinsip dasar dalam manifesto politik 1925 lebih komperhensif dalam melihat permasalahan bangsa saat itu. MP 1925 pada intinya berisi prinsip perjuangan yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan) sedangkan sumpah pemuda hanya menonjolkan aspek persatuan semata.

Pantas rasanya jika hari ini disaat kondisi bangsa belumlah mencapai formulasi terbaik bagi terciptanya demokrasi, persamaan hak dan kemerdekaan bagi rakyat dalam berpolitik, ekonomi dan budaya. Kita membincang ulang semangat MP 1925 yang notabene merupakan hasil gagasan pemuda-pemuda terbaik bangsa ketika itu. Antara lain Mohammad Hatta dan Sunario.

Prinsip persatuan, kesetaraan dan kemerdekaan sebenarnya secara cemerlang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini dalam lima sila (pancasila) sebagai konstruksi atas ide-ide dasar bangsa. Namun permasalahannya, telahkan ketiga nilai dasar itu menemukan bentuknya dalam kehidupan kita sebagai sebuah bangsa ?

Mencoba memahami realitas sosial yang terjadi di Indonesia hari ini, ada beberapa indikasi bahwa spirit perjuangan dalam MP 1925 masih sangat relevan dijadikan sandaran dalam mengatasi berbagai problematika yang dihadapi bangsa. Pertama, persatuan (unity) telah hadir sebagai social bond dalam masyarakat kita. Tak dapat dibayangkan jika heterogenitas yang dimiliki bangsa kita tanpa persatuan tentulah akan menghasilkan konflik berkepanjangan.

Namun, persatuan yang hadir baru sebatas solidaritas kebangsaan, padahal kita membutuhkan lebih dari itu. Mengapa ? karena diakui atau tidak secara ekonomi dan budaya bangsa kita masih menjadi bangsa terjajah. Bayangkan jumlah hutang luar negeri kita menurut laporan Bank Dunia berjumlah sekitar 130 milyar dollar AS pada 2003. Kondisi ini belum termasuk pinjaman lunak pasca Tsunami 2004 di Aceh dan juga gempa bumi di Jogjakarta. Dengan perincian hutang dapat dilihat pada tabel berikut ini.


Table Hutang Luar Negeri Indonesia
(data bulan September 2003, dalam jutaan dolar Amerika Serikat)
Jumlah Total Hutang Luar Negeri 132.762 milyar
Pemerintah 77.093 milyar
- bilateral 28.492 milyar
- multilateral 28.394 milyar
- kredit ekspor 17.539 milyar
- leasing 0.325 milyar
- Komersial 2.343 milyar
Sektor Swasta 53.597 milyar
Sumber : Diolah dari situs Bank Dunia (www.worldbank.org)

Kondisi ini secara umum telah memberikan peluang kepada banyak pihak, khususnya negara ataupun institusi pemberi hutang untuk mengintervensi kedaulatan ekonomi bahkan kedaulatan politik Indonesia sebagai negara berdaulat. Maka bercermin dari semangat MP 1925, sebagai bangsa kita harus memperjuangkan kemerdekaan dari hutang luar negeri.

Sebagai sebuah kolektifitas, persatuan kita harus lebih dari sekedar solidaritas budaya tapi harus mewujud dalam solidaritas perjuangan kebangsaan. Kita harus berani menegaskan posisi kita dalam konteks hutang luar negeri ini. Hutang yang hari ini menjadi beban bangsa kita secara historis juga disebabkan oleh “pembodohan” yang dilakukan oleh pemberi hutang (meski tidak semuanya). Mengapa demikian ? karena mengutip pendapat Richard Lombardi dalam tulisan berjudul Debt Trap : Rethingking the Logic of Development (Southern Economic Journal vol. 53 No. 3 tahun 1987) ada kecenderungan bahwa hutang yang diberikan negara atau institusi donor pada dasarnya merupakan jebakan agar bisa mengontrol pengambilan kebijakan ekonomi dan juga politik di negara yang diberi pinjaman.

Belum lagi jika mau menghitung “hutang” sejarah dan hutang lingkungan (eco debt) negara dunia pertama terhadap bangsa kita, tentu angka hutang kita saat ini tidaklah sebanding. Maka berbekal spirit persatuan dan kemerdekaan, kita sebagai bangsa berhak menolak membayar hutang tersebut bukan mengemis untuk dihapuskan hutang. Meski demikian tentu segala konsekuensi dari keputusan kolektif ini harus pula dipertimbangkan.

Kedua, persamaan (equality). Berefleksi dari MP 1925 sudahkah kita dengan sungguh-sungguh merealisasikan semangat ini dalam kehidupan politik, sosial, budaya dan ekonomi di Republik ini. Sudahkah pelayanan publik bersifat equal antara bupati dan penarik becak, telahkah akses pendidikan sama terbukanya antara masyarakat di pedalaman Sumatera dengan yang ada di kota-kota di Pulau Jawa. Telahkah pula pelayanan kesehatan sama rata, kemudian akses untuk mendapatkan pekerjaan telah merata. Jika sebagian besar atau bahkan semua jawaban atas pertanyaan di atas adalah belum. Sepatutnya kita mencoba mencari alternatif pemecahan.

Prinsip persamaan, kemerdekaan dan persatuan dalam MP 1925 tentu memperkenankan kita untuk mendiskusikan kembali bentuk negara kita. Karena berdasarkan fakta mengenai distribusi kesejahteraan, akses pelayanan publik dan sebagainya, pantas rasanya jika bentuk negara federal atau bentuk lainnya masuk dalam wacana alternatif memecah kebuntuan mengenai distribusi kesejahteraan dan akses bagi semua penduduk Indonesia. Ini sekedar tawaran, untuk menghidupkan diskusi kebangsaan dengan semangat tiga prinsip MP 1925. Semoga berguna dalam kita memaknai 78 tahun sumpah pemuda.

Tuesday, October 24, 2006

Teruntuk para sahabat : Erix, Julie, Indah, echa, Mabrur, Alliah, Warni


Memaknai malam yang berlalu, dalam gelisah dan sendiri
Mencoba merangkul makna dari peristiwa yang saling berlari
Rentak, syahdu lalu gemuruh. Itulah parodi waktu
Di dalamnya aku, kamu, kami, mereka dan kita membatu
Sembunyikan luka dengan tawa-tawa kecil
Simpan pedih dengan canda-canda mungil

Sembari menyusun jemari terangkat ke atas
mengharap waktu segeralah berlari kemuka
tinggalkan semua pedih dan luka berbatas
kuingin menghirup udara dari hidup bebas


tanpa kebohongan
tanpa penindasan
tanpa pembodohan


Memaknai malam yang berlalu, dalam gelisah dan sendiri
Mencoba merangkul makna dari peristiwa yang saling berlari
Beragam raut kita jumpa, mengerling sejenak menyapa masa
di tepi, kitapun bersapa membuat lingkaran imaji tak berasa
keryitkan dahi tanda tak mengerti
pada dunia yang begitu pongah
Cibirkan bibir tanda tak pasti
kapan manusia mengakhiri sikap aniaya


Kami Diam bukan tak melawan
diam kami adalah senjata
petani berhenti menanam bukan berarti kalah
karena ingin musuh mengerti
inilah cara kami melawan


Birmingham' 24 Okt 2006
00.12



Sumber foto : http://www.obsidiandawn.com/


Small Heath Moslem Centre, di Green Lane Road Birmingham sebuah masjid yang sangat unik berada. Mengapa ? aku menyebutnya masjid bergeraja, karena secara arsitektur sepenuhnya ini adalah bangunan gereja, dan menurut salah satu jamaah disini yang keturunan Pakistan. Dulu masjid ini adalah gereja. Tak ada yang diubah secara substansial dari bangunan ini.
Small Heath, menurut Paul seorang guru sekolah dasar yang tinggal di daerah ini hampir separuh penduduk disini adalah muslim. Mereka merupakan keturunan Somalia, Pakistan, Afganistan, India dan beberapa wilayah Timur Tengah lainnya. Tak jauh dari masjid ini terdapat Birmingham City Stadion yang merupakan markas kesebelasan Birmingham FC.


Menariknya, secara substansial tak pernah terbesit niat para muslim disini untuk mengacaukan negeri tempat dimana mereka tinggal saat ini. Darimana saya tahu ? Paul, yang seorang Krisnten mengatakan itu, sepenuh hati saya yakin bahwa muslim disini adalah orang-orang baik. Pertanyaannya mengapa mereka sampai harus dimata-matai dan dicurigai, sampai-sampai Blair CS mengharuskan universitas di seantero UK mengawasi mahasiswa asal/keturunan Asia.


Tadi pagi, aku sholat IED di masjid di Green lane ini, muslim di Birmingham tumpah ruah disini. Meski jauh dari rumah dan keluarga, tetapi ada semacam kebahagiaan berkumpul dengan sesama muslim. Dalam khotbahnya, khotib mengatakan (terjemahannya kurang lebih sebagai berikut)
"Islam menyerukan perdamaian dan bergerak dalam damai, tetapi posisi Islam selalu tersudut di negeri ini. Posisi tersudut dan disudutkan inilah yang membuat banyak muslim memilih jalan konfrontatif. Namun sebagai nilai, islam adalah rahmat"
Menggagas equalitas antar peradaban, adalah sebuah keharusan di tengah masyarakat yang saling menyimpan kecurigaan satu dengan yang lain. Kekhawatiran dan ketakutan yang berlebihan dari "Barat" khususnya US dan UK telah membuat kebencian terselubung makin mengental di dalam dada masing-masing penghuni peradaban yang saling berkontak.


Pertanyaannya kemudian. Negara-negara besar yang memiliki peradaban monolitik yang sesungguhnya bermuka dua tersebut apakah telah memandang peradaban lain sebagai mitra yang sejajar atau ruang untuk ditaklukkan ? Kalau ia, pantas saja segala cara digunakan untuk mengamputasi segala kekuatan peradaban yang dianggap sebagai rival bagi peradaban global dengan universalisme nilai yang mereka bawa.


Tulisan ini tidak sedang mencoba menyerang Barat dengan segala klaim kebenaran yang mereka miliki. Tetapi mencoba membangun persepsi yang lebih akurat atas klaim "kejahatan kemanusiaan" yang dituduhkan Barat dengan menjadikan terorisme sebagai senjata utama.


Sebuah keluarga India di daerah Kingsheath, tempat dimana teman saya dari Sumatera tinggal bertutur. Berapa ratus tahunpun kami tinggal di UK, tetaplah kami dianggap warga kelas dua, karena kulit kami dan kami bukan penduduk asli. Lalu sesungguhnya dimana ekualitas yang dikampanyekan selama ini, jikalau di hati mereka masih berlumur kebencian dan menganggap rendah yang lain...?
Sungguh, peradaban disini berwajah ganda.
Seolah malaikat tetapi setan,
seakan penolong padahal penjajah,
nampak solider tetapi perampas.
Begitulah kapitalisme mewujud dalam banyak wajah, menjalar bagai candu dan berkembang laksana virus. Cepat, tak terdeteksi dan mematikan kemanusiaan umat manusia.
Dari masjid bergereja di Green Lane, dapat kupungut serpihan realitas. Mengayun langkah sembari berharap akan lahir "DR. Azhari-DR. Azhari" lain, yang berjuang, yang berpihak, yang menantang angkuhnya zaman. Berharap pula lahir Malcom X - Malcom X lain yang menerjang pedihnya penidasan.
B'ham 23 Okt. 06. 21.00pm




Konon dulu korupsi dilakukan segilintir orang, sekarang dilakukan gotong royong. Konon dulu korupsi didominasi eksekutif, sekarang legislatif tak mau kalah. Semua berlomba mencari celah untuk korupsi. Lalu, nasib kami –rakyat kecil- ?

Perubahan laku pengelolah negara adalah amanah reformasi, terutama menyangkut perilaku korup pejabat publik. Setelah tujuh tahun reformasi apa kabar pejabat publik sekarang ? Kebangkrutan negeri ini di bawah kuasa orde baru disebabkan perilaku korup birokrasi, tentu sebagai bangsa kita tak mau jatuh di lubang yang sama. Bukankah kita bukan keledai ? Rasanya belum banyak yang berubah dari perilaku pejabat publik. Perilaku korup masih menjadi semacam trademark. Upaya perbaikan terkesan masih sangat simbolik dan dilakukan setengah hati.

Tiga bulan terakhir saja ada paling tidak empat kasus korupsi yang mencuat dan mengguncang Jawa Tengah, keempat kasus itu melibatkan pejabat publik. Kasus dugaan anggaran ganda di DPRD Kota Semarang, Dugaan penyelewengan APBD Tahun 2003 di DPRD Kota Solo, juga dugaan penyelewengan APBD tahun 2002-2003 di DPRD Banyumas, dan yang paling menarik adalah kasus dugaan penyelewengan anggaran pemilu yang melibatkan Bupati Temanggung. Inilah fakta yang kita temukan, tak banyak yang berubah dari perilaku pejabat publik. Mereka tetap “nyaman” dengan laku korupnya.

Itulah kenyataan setelah tujuh tahun reformasi, laku korup pejabat publik makin menjadi. Korupsi hanya berubah modus, menjadi lebih massal dan berani. Kondisi ini seperti kiasan Ronggowarsito dalam zaman edan “Hidup di zaman edan gelap jiwa bingung pikiran. Turut edan hati tak tahan, jika tak turut batin merana dan penasaran, tertindas dan kelaparan...”. Ayo mau pilih yang mana, bapak terhormat ? Begitulah gurita sistem yang kemudian menjadi adat dan mengentitas menjadi spiral kejahatan (bukan sekedar lingkaran). Tak banyak pejabat publik yang bisa lolos dari spiral tersebut, yang paling parah muncul permakluman terhadap perilaku korup ini. Ada semacam anggapan pejabat korup itu yo wajar wong nduwe kesempatan. Lalu dalam keadaan yang serba memprihatinkan ini apa yang bisa kita lakukan ?
Ada sebuah rekomendasi menarik yang dirumuskan dalam International Anti Corruption Conference IX di Durban Afrika Selatan tahun 1999 yaitu seni anti korupsi. Strategi ini direkomendasikan sebagai upaya penyadaran massal kepada publik untuk bersama-sama melawan korupsi melalui medium seni. Hal ini cocok dengan modus korupsi pejabat kita, korupsi dilakukan secara massal mak kita lawan dengan massal pula.

Sebenarnya perbincangan mengenai seni anti korupsi ini bukan hal baru, tapi tetap perlu diperbincangkan untuk selalu menyegarkan ingatan kita bahwa seni sangat diharapkan perannya menghabisi korupsi.
Seni konon khabarnya memiliki bahasa universal dan tidak hanya bisa menyentuh rasa tapi juga logika. Itulah kelebihan medium seni sebagai media propaganda anti korupsi. Kemudian, seni juga bisa dikonsumsi secara massal oleh semua lapisan masyarakat. Hal ini berbeda dengan tulisan-tulisan ilmiah di media massa atau aksi-aksi mahasiswa anti korupsi. Kita semua masih ingat bagaimana Bento-nya Iwan Fals bisa menggelorakan kesadaran banyak orang tentang korupnya orde baru. Seni anti korupsi telah menggejala sejak lama di Indonesia, tapi kontribusnya masih belum optimal.

Optimalisasi peran seni bisa dilakukan dengan konsolidasi kekuatan seniman melalui kantong-kantong seni yang peduli dan terus menerus mempropagandakan anti korupsi. Sebagai publik kitapun harus mau mengapresiasi produk seni anti korupsi tersebut, hingga seni anti korupsi bisa “hidup”. Seni anti korupsipun harus muncul dalam beragam ruang publik. Bila perlu sebelum mulai belajar di sekolah atau aktivitas di kantor dinyanyikan mars anti korupsi, juga jangan lupa sebelum mulai sidang dewan terhomat dinyanyikan mars anti korupsi pula. Ok kan ?

Bayangkan saja bila seni dijadikan basis perjuangan melawan korupsi. Mulai bangun tidur orang di Republik ini disuguhi dengan mars anti korupsi. Televisi dan radio memulai siaran dengan Indonesia Raya dan Mars Anti Korupsi, di sekolah, kantor juga disuguhi lagi. Buka harian umum yang muncul halaman khusus seni anti korupsi, belum lagi para esais dan cerpenis menghantam korupsi dengan penanya dan sebagainya. Sungguh betapa tak nyaman para koruptor hidup disini dan betapa bingungnya orang yang berniat korupsi.
Langkah ini disamping “menghajar” koruptor juga mengandung nilai pendidikan bagi generasi berikut. Ide ini mungkin akan menyulut kritik dari penganut paham seni untuk seni, tapi apa iya para seniman tega melihat kekayaan bangsa yang juga milik kita digerogoti garong berdasi ?

Sunday, October 22, 2006



Entah siapa yang bilang, konon kita bisa lebih memahami Tuhan
disaat kita menjadi minoritas dan terkucil...

Jauh dari kampung halaman, tak pula bisa mudik. Terdampar di negeri seribu jajahan, menyaksikan banyak "kebusukan" yang dibalut dengan "keindahan" memberikan pengalaman lain berlebaran tahun ini. Satu bulan Ramadhan, dengan satu kali gagal puasa (saat berkunjung ke Stratford -tanah lahir Shakespeare-). Tak banyak yang menghargai ibadah ini, bahkan oleh muslim dari negeri kitapun tidak terlalu menghargai. Agama ada di ruang privat, mungkin begitulah tamengnya..

Ada empat masjid yang setahuku rutin menggelar sholat taraweh di Birmingham, aku sesekali datang ke Birmingham Centre Mosque, kadnag di Muath Trust atau sesekali di dekat stadion Birmingham FC di Green Lane Street. Ada banyak pelajaran saat kita mencoba menghidupi bathin dan jiwa kita melalui aktivitas memahami diri dan keyakinan di sebuah lingkungan yang membuang jauh-jauh hal tersebut dari kehidupan mereka. Tuhan bagi banyak orang disini adalah bahan perbincangan, ibadah dilakukan bagi yang membutuhkan dan beragam persepsi sejenis lainnya.
Tentu aku tak lebih baik dari orang di negeri Blair ini, namun tak ada salahnya menangkap pelajaran dari mereka. Saat berbuka puasa bersama di komunitas muslim India, Pakistan atau bahkan Somalia ada semacam kepuasaan tersendiri, disamping karena gratis (...hehehhe) juga karena semangat kebersamaan sebagai muslim.
Akhirnya meski tangan tak mampu menjangkau handai taulan di tanah air, tapi bathinku ingin menyapa semua yang ada disana, di tanah kemerdekaan.
Kesalahan hadir sebagai pelajaran
Kebahagiaan datang sebagai ujian
tak ada perjumpaan tanpa gesekan
tak ada perbincangan tanpa prasangka
mengapa demikian ?
karena kita adalah manusia.
Mahluk yang sangat subyektif...
obyektifitas sesungguhnya adalah cermin
inter-subyektifitas...
kita ada karena kita pernah berbuat salah
kita cerdas karena kita mau berprasangka.
Bukankah berpikir adalah cara lain berprasangka
bukankah puisi hadir karena prasangka
Tetapi...!!
izinkan kuulurkan tangan atas khilaf dan alfa
di masa laluku pada semua....

B'ham 22 okt 2006
Huzer Apriansyah


....Kita semua ingat saat ketika Zidane menanduk dada Materazzi di final piala dunia...


Rasisme tidak hanya terjadi di lapangan sepakbola, liga Inggris konon khabarnya sarang rasisme. Pemain kulit berwarna sering kali mendapat perlakuan tidak baik. Awalnya saya menganggap isu rasisme sebagai sesuatu yang dibesar-besarkan tetapi setelah melihat dengan mata kepala sendiri di tanah kebebasan dimana gagasan tentang persamaan hak lahir (UK) justru sebagai sarang rasisme.
Sebuah petang, dalam sebuah bus dari arah Selly Oak menuju Harbourne beberapa perempuan senior (tua) sebertinya berkebangsaan India atau Pakistan masuk ke bus nomor 11E berbarengan dengan saya dan seorang teman saya yang keturunan Afsel-UK. Dua bus stop kemuka masuklah seorang perempuan kuli putih bersama anaknya di dalam buggy (kereta dorong). Tak lama kemudian perempuan kulit putih itu "mengamuk" dan menampar nenek-nenek yang tadi masuk bersama saya itu.

Hal sepele, hanya karena si nenek berbicara dalam bahasa India dan si perempuan kulit putih merasa ia sedang menggunjing anaknya.....tapi semua orang di bus itu tahu si perempuan itu tak suka pada kulit berwarna....tak ada orang kulit putih yang beraksi atas kejadian itu hanya beberapa orang kulit hitam dan tentu saja yang berdarah asia yang berespons..
Lalu, banyak pula driver bus-bus umum (kulit putih) terutama yang berlogo West Midlands Travel yang kadang-kadnag enggan berhenti di bus stop jika penumpangnya seorang Black.....Banyak kejadian yang menunjukkan bahwa semangat persamaan hanya indah di bibir para pemimpin Anglo Saxon tapi banyak masayrakatnya bahkan pemerintahnya yang mengabaikan ini.


Hal ini tentu tidak bisa kita jadikan alasan untuk mengeneralisir keadaan, tetapi harus diakui bahwa sedari kecil anak-anak Anglo Saxon selalu ditanamkan bahwa merekalah yang terkuat, terbaik dan terhebat. Fakta sejarah selalu dijadikan referensi bahwa GB (Great Britania) adalah bukti kejayaan mereka ribuan daerah mereka kuasai dan mereka eksploitasi. Hingga sampai detik ini mereka tetap merasa sebagai penguasa bumi.


Tapi harus diakui pula tidak semua anglo saxon demikian, Prof. Michael Toolan (dosen di birmingham University) yang rumahnya saya diami, mengakui bahwa semangat equalitas belum tumbuh dari bathin semua individu di UK. Namun, secara pribadi Michael sangat respect atas keberagaman termasuk perbedaan warna kulit.


Dari realitas tersebut kadang kala kita masih harus bertanya, benarkah dunia ketiga (seperti bangsa kita) betul-betul diakui eksistensinya oleh bangsa di dunia pertama, atau jangan2 kita hanya dilihat sebagai "ruang" yang bisa di eksploitasi ? Mengapa saya bertanya demikian, mengingat sebagai bangsa kita betul-betul tidak dihargai. Lihat saja pemerintah di dunia pertama selalu memproteksi segala kepentingan investasi milik mereka (swasta maupun pemerintah) di negara dunia ketiga. Bahkan tak segan mereka memproteksi dengan senjata, kemudian mereka juga mempersiapkan jebakan hutang luar negeri agar bisa mengontrol dunia ketiga.


Selanjutnya penting bagi kita untuk memahami pernyataan Evo Morales bahwa sesungguhnya telah tiba saatnya untuk melawan kekuatan dunia pertama yang seolah baik hati tetapi sesungguhnya menindas, yang nampaknya berperangi baik tapi sebenarnya membunuh, yang bermanis muka padahal mereka membenci...!!! Tampangs eperti malaikat padahal sesungguhnya iblis, mereka membantu tetapi untuk membunuh kita....
Dimana posisi bangsa kita saat ini ? Freeport, Caltex, Newmont dan beribu TNC/MNC telah menjadi "dewa" di negeri kita, mereka bisa melakukan apa saja yang mereka mau karena mereka punya sumber daya berupa uang. Hal ini makin parah karena pemeirntah kitapun tak pernah berani melawan....!!
Aku, semakin menyadari betapa "perih" menjadi warga bangsa dunia ketiga ketika berada disini -di salah satu jantung kapitalisme dunia- akhirnya aku ingin segera pulang dan menegaskan perlawanan atas ketidak adilan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi.


B'ham 22 Okt 2006
Huzer Apriansyah

Popular Posts