Tuesday, October 24, 2006



Konon dulu korupsi dilakukan segilintir orang, sekarang dilakukan gotong royong. Konon dulu korupsi didominasi eksekutif, sekarang legislatif tak mau kalah. Semua berlomba mencari celah untuk korupsi. Lalu, nasib kami –rakyat kecil- ?

Perubahan laku pengelolah negara adalah amanah reformasi, terutama menyangkut perilaku korup pejabat publik. Setelah tujuh tahun reformasi apa kabar pejabat publik sekarang ? Kebangkrutan negeri ini di bawah kuasa orde baru disebabkan perilaku korup birokrasi, tentu sebagai bangsa kita tak mau jatuh di lubang yang sama. Bukankah kita bukan keledai ? Rasanya belum banyak yang berubah dari perilaku pejabat publik. Perilaku korup masih menjadi semacam trademark. Upaya perbaikan terkesan masih sangat simbolik dan dilakukan setengah hati.

Tiga bulan terakhir saja ada paling tidak empat kasus korupsi yang mencuat dan mengguncang Jawa Tengah, keempat kasus itu melibatkan pejabat publik. Kasus dugaan anggaran ganda di DPRD Kota Semarang, Dugaan penyelewengan APBD Tahun 2003 di DPRD Kota Solo, juga dugaan penyelewengan APBD tahun 2002-2003 di DPRD Banyumas, dan yang paling menarik adalah kasus dugaan penyelewengan anggaran pemilu yang melibatkan Bupati Temanggung. Inilah fakta yang kita temukan, tak banyak yang berubah dari perilaku pejabat publik. Mereka tetap “nyaman” dengan laku korupnya.

Itulah kenyataan setelah tujuh tahun reformasi, laku korup pejabat publik makin menjadi. Korupsi hanya berubah modus, menjadi lebih massal dan berani. Kondisi ini seperti kiasan Ronggowarsito dalam zaman edan “Hidup di zaman edan gelap jiwa bingung pikiran. Turut edan hati tak tahan, jika tak turut batin merana dan penasaran, tertindas dan kelaparan...”. Ayo mau pilih yang mana, bapak terhormat ? Begitulah gurita sistem yang kemudian menjadi adat dan mengentitas menjadi spiral kejahatan (bukan sekedar lingkaran). Tak banyak pejabat publik yang bisa lolos dari spiral tersebut, yang paling parah muncul permakluman terhadap perilaku korup ini. Ada semacam anggapan pejabat korup itu yo wajar wong nduwe kesempatan. Lalu dalam keadaan yang serba memprihatinkan ini apa yang bisa kita lakukan ?
Ada sebuah rekomendasi menarik yang dirumuskan dalam International Anti Corruption Conference IX di Durban Afrika Selatan tahun 1999 yaitu seni anti korupsi. Strategi ini direkomendasikan sebagai upaya penyadaran massal kepada publik untuk bersama-sama melawan korupsi melalui medium seni. Hal ini cocok dengan modus korupsi pejabat kita, korupsi dilakukan secara massal mak kita lawan dengan massal pula.

Sebenarnya perbincangan mengenai seni anti korupsi ini bukan hal baru, tapi tetap perlu diperbincangkan untuk selalu menyegarkan ingatan kita bahwa seni sangat diharapkan perannya menghabisi korupsi.
Seni konon khabarnya memiliki bahasa universal dan tidak hanya bisa menyentuh rasa tapi juga logika. Itulah kelebihan medium seni sebagai media propaganda anti korupsi. Kemudian, seni juga bisa dikonsumsi secara massal oleh semua lapisan masyarakat. Hal ini berbeda dengan tulisan-tulisan ilmiah di media massa atau aksi-aksi mahasiswa anti korupsi. Kita semua masih ingat bagaimana Bento-nya Iwan Fals bisa menggelorakan kesadaran banyak orang tentang korupnya orde baru. Seni anti korupsi telah menggejala sejak lama di Indonesia, tapi kontribusnya masih belum optimal.

Optimalisasi peran seni bisa dilakukan dengan konsolidasi kekuatan seniman melalui kantong-kantong seni yang peduli dan terus menerus mempropagandakan anti korupsi. Sebagai publik kitapun harus mau mengapresiasi produk seni anti korupsi tersebut, hingga seni anti korupsi bisa “hidup”. Seni anti korupsipun harus muncul dalam beragam ruang publik. Bila perlu sebelum mulai belajar di sekolah atau aktivitas di kantor dinyanyikan mars anti korupsi, juga jangan lupa sebelum mulai sidang dewan terhomat dinyanyikan mars anti korupsi pula. Ok kan ?

Bayangkan saja bila seni dijadikan basis perjuangan melawan korupsi. Mulai bangun tidur orang di Republik ini disuguhi dengan mars anti korupsi. Televisi dan radio memulai siaran dengan Indonesia Raya dan Mars Anti Korupsi, di sekolah, kantor juga disuguhi lagi. Buka harian umum yang muncul halaman khusus seni anti korupsi, belum lagi para esais dan cerpenis menghantam korupsi dengan penanya dan sebagainya. Sungguh betapa tak nyaman para koruptor hidup disini dan betapa bingungnya orang yang berniat korupsi.
Langkah ini disamping “menghajar” koruptor juga mengandung nilai pendidikan bagi generasi berikut. Ide ini mungkin akan menyulut kritik dari penganut paham seni untuk seni, tapi apa iya para seniman tega melihat kekayaan bangsa yang juga milik kita digerogoti garong berdasi ?

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts