Friday, March 30, 2012



Democracy means government by uneducated while aristocracy means government by badly educated (Chesterton, 1931)

Sejarah preman di nusantara bukan sebuah kisah seluas Sungai Musi. Bisalah kita sebut seluas Samudera Hindia. Akar sejarah premanisme telah ada sejak kerajaan-kerajaan tua nusantara dan terus bersenyawa dalam tiap episode sejarah negeri. Ketika demokrasi menemukan momentumnya di republik kita, penggiat (baca aktivis) kelompok-kelompok preman itupun mendapat ruang ‘bermain’ yang makin meluas.
Kepentingan pragmatis kelompok-kelompok preman nusantara, terutama yang berbasis di ibukota tiba-tiba bersinergi dengan kepentingan pragmatis politis para elit politik nasional. Di lokus lokalpun kelompok yang berbasis di daerah mendapat peruntungan dari liberalisasi politik. Tali temali kepentingan antara elit politik dan elit preman inilah yang mengekalkan simbiosis mutualisme antara keduanya. Tak hanya itu, korporasi juga ikut berperan menyuburkan kelompok-kelompok preman di nusantara. Kepentingan penjagaan aset dan pengamanan investasi telah pula melibatkan kelompok-kelompok preman. Bahkan hipotesa yang sangat ‘berani’ juga menyebutkan bahwa aparat keamanan ikut bermain dengan kelompok-kelompok tersebut.
Kompleksitas hubungan berbagai kelompok kepentingan di atas menjadikan peran kelompok preman dalam berbagai macam ‘cover’nya (misal : kelompok kedaerahan) menjadi sangat strategis. Tak heran jika beberapa nama pentolan preman tiba-tiba menjadi aktor politik dan atau aktor bisnis di era reformasi. Tulisan ini tak mencoba mengulas nama dari aktor-aktor tersebut, namun mencoba melihat bagaimana posisi kelompok-kelompok preman tersebut memainkan peran sosial dan politik mereka saat ini.
Premanisme di Era Demokrasi yang “Terbeli
Hipotesa Gilbert Keith Chesterton di awal tulisan ini, hadir lebih dari delapan puluh tahun yang lalu. Namun, dalam konteks Indonesia hari ini, demokrasi yang menjadi pondasi kehidupan politik nasional telah tersandera oleh pragmatisme yang cenderung mereduksi demokrasi sebatas kursi kekuasaan semata. Di sisi lain, marjinalisasi kepentingan publik juga terjadi.
Rekruitmen politik sebagai salah satu proses penting dalam demokrasi kini terdistorsi menjadi sarana aktualisasi kepentingan-kepentingan elit semata. Di sisi lain, komersialisasi suara dalam Pemilu telah ikut menjadi faktor perusak substansi demokrasi. Kondisi ini bisalah kita sebut government by uneducated, seperti hipotesa Chesterton di atas.
Pada titik inilah, kelompok-kelompok preman dengan segala tamengnya menjadi sangat dibutuhkan. Semakin semrawut sebuah tatanan sosial dan politik dan semakin tak berfungsinya institusi hukum formal, maka semakin besarlah peluang kelompok preman dibutuhkan.
Sebelum lebih jauh membincang prihal preman dan premanisme, mari kita lihat definisi preman secara etimologis. Dalam kamus online Bahasa Indonesia (www.kamusbahasaindonesia.org) kata preman memiliki tiga definisi (1) partikelir; swasta; (2) bukan tentara; sipil (tentang orang, pakaian, dsb); (3) Sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras, dsb). Meski awalnya kata preman berakar pada kata vrijman (Bahasa Belanda) yang berarti orang bebas dan cenderung bermakna “netral”. Namun, seiring perkembangan kondisi sosio-kultural yang mengitari entitas preman di Indonesia, maka kata preman mengalami peyorasi. Jadilah identik preman dan kejahatan.
            Permasalahan sosial makin meluas manakala kelompok preman tersebut mendapat ruang sosial dan politik yang luas dan di sisi lain penegakan hukum oleh negara makin melemah. Memang terasa berlebihan jika kita sebut negeri ini, negeri para preman. Tapi indikasi bahwa kelompok-kelompok “gelap” yang beroperasi mengintervensi berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara mengarah para premis, negeri ini negeri preman. APBN dan APBD seolah menjadi bancakan bagi kelompok-kelompok gelap tersebut.
            Belakangan ini perbincangan tentang kelompok-kelompok preman kembali mengemuka. Publik seolah disadarkan bahwa kisah mafia a la Holywood itu ada dan nyata di negeri kita. Pertanyaannya kemudian sejauhmana kehadiran kelompok preman tersebut berimplikasi pada tereduksinya nilai substansi dari demokrasi, yang terus mencari bentuk idealnya di negeri kita.
Pseudo Democracy
            Judul tulisan ini memang terasa terlalu dramatis, dan seolah menisbikan pencapaian-pencapaian proses demokratisasi yang bermula sejak 1998. Namun, jika kita mau secara kritis melihat kondisi demokrasi terkini. Maka, kita bisa menemukan beberapa fakta yang sangat merisaukan, terutama menyangkut keberadaan kelompok-kelompok preman di tanah air.
            Pertama, dibajaknya proses demokrasi oleh sekelompok elit. Determinasi elit yang berafiliasi dengan kelompok preman telah dengan terang benerang menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk mengumpulkan sumber daya ekonomi.
            Kedua, dalam upayanya meraih kursi-kursi kekuasaan, elit politik telah dengan sistematis menjadikan kelompok preman sebagai salah satu ‘mesin’ mobilisasi politik. Pola persuasi sekaligus intimidatif juga digunakan untuk mobilisasi massa.
            Ketiga, kolaborasi kepentingan antara kelompok preman, elit politik dan pengusaha telah ikut menjadi kekuatan besar dalam libaralisasi politik di negeri kita.
            Kalaulah kondisi ini kita lihat sebagai sesuatu yang alamiah dalam liberalisasi politik, maka sadar atau tidak kita tengah mengantarkan demokrasi di negeri ini ksebagai pseudo democary (demokrasi semu). Jika ini terjadi maka demokrasi pada akhirnya akan sangat bermuara pada kapital. Demokrasipun akan berbias menjadi arena pertarungan modal. Lalu dimana posisi kepentingan publik ?
            Kepentingan publik tentunya akan terkubur, dibalik politik balas budi dan politik bancakan (berbagi kue pembangunan). Pada titik inilah dengan terang benerang kita bisa melihat bagaimana kelompok-kelompok preman bisa menjadi aktor kunci dalam proses politik di negeri ini. Maka, tak heran jika kelompok-kelompok ini berkembang dan terus tumbuh bak cendawan di musim hujan. Kemana mereka berpihak ? pastilah kepada siapapun yang membayar mereka. Mereka akan tampil sebagai anjing penjaga yang setia pada siapapun yang memberi mereka makan. Demokrasipun terancam, salah-salah negri kita karam.

           
             

Wednesday, March 21, 2012


Temaram senja di awal bulan ketiga
Saat wangi buah-buah bergetah menggelayuti udara
Senyum-senyum lebar terbentang dari wajah polos kehidupan

Alangkah senang hati menghayati tiap bulir senyum mengalir
Sembari melafalkan abjad-abjad cinta yang bergulir

Hatipun berayun kala mendengar lantunan kata terbata-bata
Dari bibir-bibir lugu kehidupan

Kalaulah hidup adalah kumpulan harapan
Kami disini adalah onggokan yang dilupakan
Harapan seperti sebuah ilusi yang lalu lalang
Dan pada akhirnya hilang

Abjad yang bergulir
Kata yang terbata
Senyum yang mengalir
Dan semangat yang terkata
Sesungguhnya penawar
Ilusi yang lalu lalang

(Doc : Huzer Apriansyah)


Sako Tulang, 9 Maret 2012
Sejenak usai belajar bersama dengan bebudak Rimba di Rombong Depati Bepak Ngarap, Sako Tulang. Barat Taman Nasional Bukit Dua Belas

Friday, February 3, 2012


Hentakan halus roda B 737-200 di landas pacu menjadi penanda kehadiranku di negeri baru. Layaknya kehadiran di sebuah negeri baru, misteri dan rasa ingin tahu taut-bertaut dalam hati. Sejumput asa di ruang belajar barupun menyeruak. Gelisah, tentu saja ada. Namun kali ini, aku tak lah hendak berkisah detail-detail gelisah nan personal itu. It’s more about something that make me confuse, is Indonesia as an entity truly exist ?

Ah, ayak-ayak wae ! Indonesia, itu jelas dan pasti, jangan dipertanyakan lagi. Final sudah ! Iya juga ya, tiap hari kita dengar, kita baca, bahkan kita ucapkan kata itu, “In-do-ne-sia”. Indonesia sudah menjadi semacam sesuatu yang tak terbantahkan, mutlak ! Sedari kecil kita sudah sepakat Indonesia itu final, bukan begitu ? Kalau anda tak sepakat. Pernahkah anda mempertanyakan apa itu Indonesia ? Entah mengapa, di negeri baru ini tiba-tiba “Indonesia” menjadi sesuatu yang sumir dan begitu absurd di mata ku. *Ah,janganlah didramatisir sungguh, bray ! Sungguh, saya tak sedang mendramatisasi. Coba dengar kisah ini, kawan..!

***

Entah harus mulai darimana, selalu sulit memulai kisah tentang negeri kita ini. Karena tak mudah menuliskan kisah tentang negeri yang sejarah dan perjalanannya dipenuhi distorsi dan fakta yang ‘bengkok’. Bahkan, seorang kawan yang hidupnya berkutat dengan keresahan-keresahan tentang negeri ini, menyebut Indonesia itu sepenuhnya sebuah ilusi. Bisalah kita bilang pendapat itu sebaris dengan analisa Ben Anderson; Indonesia itu sebuah imagine community. Sahabat satu lagi lebih ekstrim lagi, Indonesia itu Jakarta, selebihnya anak pungut. Ehm, makar itu ! hehehe.

Baiklah, tak lah hendak aku menyeret teori dan konsepsi yang rumit dan ruwet seputar negeri ini. Mari membincang Indonesia dari tiga fragmen berikut ini saja ;

Fragmen #1

Sinar matahari menerabas segaris ubun-ubun, angin bertiup lembut saja saat kumasuki mobil ‘taksi’, taksi ini jangan dibayangkan sebuah mobil sedan dengan logo ‘taxi’ di atasnya dan dilengkapi argo. Ini mobil pribadi biasa saja dengan plat hitam, tapi tetap disebut taksi, karena mereka mengangkut penumpang dengan bayaran tertentu. Usman, nama pengemudi itu. Logat Melayu kental terasa. ”Bang, bolehkah tak pakai AC saja” Kalimat pembukaku dengan Bang Usman dalam perjalanan.

Perbincangan pun berlanjut, mulai dari keyakinan Bang Usman bahwa Anas Urbaningrum akan lengser dari demokrat 1, sampai ke isu selingkuh salah satu bupati yang juga mantan artis di daerahnya. Ya, standar saja pendapatnya. Tak lebih replikasi dari opini-opini media yang memang berseliweran. Sampai pada sebuah kalimat dari Bang Usman “Mano pedulilah orang macam kami nih, mau apo tejadi di Jakarta tuh…” Tet tot, ucapan itu membuatku tersentak sejenak. Kalau saja ucapan itu kudengar dari masyarakat dimana konflik yang bernuansa separatis terjadi, mungkin bisa dimengerti dan beralasan. Tapi ini, di sebuah tempat yang jaraknya hanya satu jam saja dari ibukota via jalur udara, dan dikenal tentram dan tenang. Luar biasa sungguh rasanya.

Ada dua hal menarik yang bisa kita tangkap. Pertama, Bang Usman mengidentifikasi dirinya dengan ”kami” dan orang-orang yang di Jakarta seolah sebagai ”mereka”. Ada semacam jarak psikologis disana. Layaklah jadi pertanyaan lanjutan. Mengapa dan bagaimana jarak itu hadir, sehingga seakan-akan antara ‘kami’ yang ada di daerah ini dan ‘mereka’ yang di Jakarta sana berbeda ? Padahal, bukankah semua adalah Indonesia. Ah, mungkin saja Indonesia itu sungguh ilusi saja.

Sepanjang perjalanan sekitar 40 menit itu, banyak kisah yang ia selorohkan. Jelas sungguh bahwa ia begitu bangga dan bahagia menjadi orang daerah itu. Kkupancing Bang Usman dengan membandingkan daerahnya dengan keberhasilan sang kota tetangga, Palembang. Terekam olehku rasa jengkelnya dia. Nadanya yang meninggi dan kata… ‘tapi…’ dan ‘tapi…’ berulang kali meluncur. Entahlah, apa mungkin karena sentiment konflik lama antara Palembang dan kota ini karena memperebutkan lokasi pusat kerajaan Sriwijaya, atau apa, aku tak tahu pasti.

Kedua, kalimat-kalimat yang mengalir dari Bang Usman seolah merepresentasikan inferioritas daerah mereka atas ibukota “iyolah..itukan Jakarta”, “Ah, dak heran Jakarta tuh…” Awalan-awalan macam itu kerap kudengar dalam selorohnya. Kesan yang tertangkap meski sepintas, ada kebencian disitu, ada antipati dan juga ada semacam dendam. Terlalu gegabah sih, menarik kesimpulan atas peristiwa sekilah itu.

Satu yang pasti, pertemuan singkat itu memberi bekas tentang jarak “kami” dan “mereka”. Kalau dipikir-pikir benar juga seloroh Bang Usman sang pengendara taksi bandara itu. Jakarta itu Indonesia dan Indonesia itu Jakarta. Daerah seolah menjadi ornamen belaka. Ah, mungkin ini berlebihan saja. Bukankah otonomi daerah itu sebuah solusi konkrit dan nyata-nyata berhasil !Well, bukannya tak menghargai inisiatif Otda, tapi jauh panggang dari api rasanya kalau mau bilang otda berhasil.

Dominasi, keangkuhan dan bahkan arogansi “Jakarta” dalam banyak dimensi kehidupan kita berbangsa dan bernegara seolah membuat Indonesia itu bagai keping-keping puzzle. Jakarta, itu bisa berarti pemerintah pusat, kultur masyarakatnya atau bisa berarti apa saja. Sulit memahaminya sepintas saja. Tapi cukuplah untuk membuat bertanya ”Indonesia itu apa sih ?”

Fragmen #2

Semilir angin senja menepak-nepak daun jendela rumah khas Melayu. Posisi rumah panggung dengan tiang-tiang tinggi itu membuat angina semakin asyik menepak daun jendela. Tapi telinga dan mataku tak terusik banyak. Konsentrasi dan fokus tetap tertuju pada sosok berkacamata yang tak pernah lepas senyum itu. Kiprah sosok satu ini, kisahnya telah bergulir hingga ke negeri-negeri jauh. Keteguhan dan dedikasinya telah mengantarkan beliau menjadi antropolog dengan spesialisasi orang rimba (Suku Anak Dalam). 15 tahun lebih ia dan lembaga tempatnya berkarya berjuang dan belajar bersama dengan orang rimba sembari mencari celah bagaimana eksistensi orang rimba bisa tetap ada di tengah ancaman kehancuran ‘rumah’ hidup mereka, rimbo (hutan).

Tulisan ini tak hendak membincang sosok bernama Robert Aritonang ini, mungkin lain kali saja. Tapi, sebuah penjelasan dalam presentasi beliau tentang program di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNDB) yang saya dengarkan dua hari lalu sungguh mengusik hati ini.

“Hampir semua orang rimba yang tua-tua saya tanyakan tentang masa depan mereka, semua menjawab gelap. Tak ada masa depan, hanya menunggu mati saja…”

Entah mengapa rasanya terhenyak saja. Sulit rasanya membayangkan manusia bisa hidup dalam ketiadaan harapan. Ancaman kehilangan ruang bermukin yang mengintai tiap saat, sumber pangan yang sangat terbatas dan keterdesakan ruang akibat kehadiran perkebunan, permukiman penduduk umum dan juga pertambangan.

Mendengar uraian Bang Robert mulai dari bangsa colonial yang mempersepsi orang rimba sebagai manusia yang berjalan tegak namun tak bisa berbicara sehingga dianggap sebagai rantai yang hilang dalam konsepsi Darwin tentang evolusi, hingga kisah Orang Rimba yang mulai menghadapi kehilangan ‘rumah’ manakala Orde baru membuka habis hutan dimana orang rimba bermukim untuk transmigrasi. Identitas kerimbaan orang rimba pun mengalami krisis, hidup Orang Rimba pun di ujung tanduk. Apa usai orde baru, keterancaman Orang Rimba menjadi usai ? tentu tidak. Korporasi perkebunan kini menjadi momok baru mereka…

Apakah orang rimba peduli dengan apa itu Indonesia ? entahlah saya tak bisa menduga-duga. Butuh waktu untuk menjawab hal itu. Atau jangan-jangan atas nama Indonesia itu pula mereka kehilangan ‘rumah’ mereka ? Tiba-tiba Indonesia itu menjadi sesuatu yang gelap rasanya usai mendengar Bang Robert bertutur. Timbul pertanyaanku ”Perlukah Indonesia itu ?”


Fragmen #3

Sinar matahari pagi yang menerabas lorong jendela kamarku membentuk siluet di tembok putih. Sementara matahari diam-diam meninggi, segerombolan semut seperti biasa berbaris rapih mengangkut sisa-sisa cemilanku semalam. Rapatnya barisan semut itu membuat mereka Nampak jalan di tempat, tak bergerak. Menatapi mereka berbaris dalam waktu lama membuat pikiranku jadi gila. Iya…gila..benar-benar gila.

Bayangkan saja, tiba a/ku bertanya pada mereka “Woi semut, kalian butuh Indonesia tidak ?” *saran saya jangan pandangi parade semut terlalu lama, kalau anda tak mau gila seperti saya _Don’t try at home, okay !
Beruntung kegilaan itu tak berlangsung lama, andai saja kegilaan itu kekal. Tamatlah saya..! Tunggu-tunggu..Apa itu gila ? *Kayaknya dugaan saya salah, kegilaan saya belum benar-benar hilang rupanya. Arti gila kok ditanya-tanya. Gila itu edan, sedeng, ora waras. Itukan persamaan kata saja, gila itu sendiri apa ? Saya tak mau sulit-sulit membawa definisi teoritis tentang gila itu. Sederhana saja, kalau anda sadar anda gila, maka anda tidak gila. Kalau anda mengira anda tidak gila, mungkin anda sedang gila. Mengapa bisa demikian ? Kenapa juga harus ada pertanyaan mengapa demikian, pernyataan saya tentang definisi gila itu, ngawur 17 keliling, jadi tak usah ditanya ini itu, pokoknya titik aja. Sykur-syukur ngawur 17 keliling itu ada benarnya.

Soal gila dan ngawur 17 keliling itu apa pula sangkut pautnya dengan Indonesia. Begini-begini, konsepsi gila itu kan absurd, sumir. Contoh, apa menurut anda Orang Rimba atau juga Orang Baduy dengan pola dan cara hidup mereka yang berbeda jauh dengan ‘hidup normal’ manusia modern itu gila ? Saya yakin tak sedikit yang berpikir demikian. Orang Rimba disebut pula Kubu, nah konotasi Kubu itu kerap identik dengan kegilaan atau orang Jawa bilang ora umum. Di Sumatera Selatan dan sekitarnya misalnya, jika ingin memaki seseorang sebagai orang aneh atau gila biasa mereka berujar begini “Dasar kubu nian kau nih…”. Tapi, tunggu dulu, bisa jadi orang rimba justru menganggap manusia macam kita inilah yang gila.
Nah, absurd dan sumirnya pemaknaan gila itu sama absurd dan sumirnya dengan makna Indonesia kita hari ini ?

Kadang-kadang jadi agak berdebar-debar kalau pikiran kotorku melintas, jangan-jangan Founding fathers bangsa kita ini saat merumuskan Indonesia sebagai Negara Unitarian(persatuan) itu sedang dalam kondisi mabok. Saya khawatir mereka baru saja disuap petinggi-petinggi Jepang yang kalah perang dengan berbotol-botol sake (minuman tradisional Jepang) sehingga Nusantara yang tak punya alasan untuk bersatu dipaksa menjadi satu dalam entitas bernama “Indonesia” itu.

Kalau soal semut berbaris tadi adalah ngawur 17 keliling, maka soal founding fathers bangsa ini mabok saat merumuskan Republik Indonesia ‘unitarian’ adalah ngawur 77 keliling. Jadi tak perlu disusul dengan pertanyaan-pertanyaan tambahan. Titik aja deh. Toh, ini ngawur 77 keliling, syukur kalau-kalau ngawur 77 keliling ini bisa membuat kita jadi bertanya ”Haruskah Indonesia Unitarian ini dipertahankan ?”

Monday, January 23, 2012

Kasar sekali lelaki tua itu memaksakan empat lembar bergambar Diponegoro masuk ke dalam tubuhku. Jari-jari keras lelaki setengah abad itu seolah tak peduli mau seperti apa bentuk kertas berharga itu jadinya. Dia memang bukan lelaki biasa, godfather begitu orang-orang menyebutnya. Bukan sehari dua aku bersamanya, lima tahun sudah.

Lima tahun aku berada di tumpukan bagian bawah. Kawan-kawanku sudah lama pergi, semakin tinggi berada di tumpukan makin cepat pergi. Entah untung, entah buntung, aku berada ditumpukan bawah. Jadilah aku pergi belakangan. Dulu kami bertumpuk-tumpuk hingga bermeter-meter. Mungkin tahun ini kami semua akan meninggalkan ruang kerja lelaki tua berbini lima itu. Entah untung, entah buntung, aku termasuk yang terlama berada di rumah megah ini. Kalau tak salah hitung pelayannya saja ada dua puluh tiga. Jaringan telponnyaada lima, perempuan cantik molek juga datang dan pergi entah berapa kali dalam sehari. Taklah aku tahu status mereka.

Jelang perayaan sakral seperti hari-hari ini, lelaki tua bertato naga itu akan lebih banyak di ruang kerja ini. Bertas-tas berisi rupiah dibawa oleh lelaki-lelaki kekar yang kukira-kira adalah pengawal. Berhari-hari The Godfather itu memasukkan sendiri lembar demi lembar rupiah itu. Konon, ia tak mau dewa-dewa tertukar menilai kebaikannya, maka ia lakukan sendiri ritual kebajikan itu.

Entah untung, entah buntung. Lima tahun aku berkesempatan melihat dan mendengar banyak hal di ruang kerja pengap dan agak berdebu ini. Tentu tak masuk akal, lelaki super kaya dengan banyak anak buah itu membiarkan ruang kerjanya pengap dan berdebu. Semua tumpuk menumpuk di ruang berukuran tak lebih dari lima meter persegi itu. Semua kertas-kertas disana nampaknya penting sekali. Kutahu itu dari ucap-ucap lelaki tua itu, “Jangan ada yang berani masuk ruangan ini tanpa izin saya” Kalimat itu selalu keluar tiap kali pengawalnya menemuinya di ruangan ini.

Entah apa yang membuatnya sangat melindungi ruangan ini. Pernah suatu kali kusaksikan sendiri seorang gadis molek dengan kulit halus dan mata sempit mencoba masuk ke ruang ini. Alang kepalang marahnya, dua tamparan mendarat di wajah belia nan jelita itu. Tak tahulah siapa perempuan muda itu, bisik-bisik yang kutahu ia didatangkan dari negeri leluhur sang tuan. Istilahnya barang cungko’. Bukan lokal pokoknya.

Adakalanya lelaki mandul tak beranak itu, membawa kawan-kawannya ke ruang pengap ini. Bukan kawan-kawan biasa tentunya. Hanya orang-orang luar biasa yang bisa masuk ke ruang ini. Sebagian mereka berpangkat, sebagian lagi saudagar yang menyebar di sepanjang benua. Tak jarang para jawara juga berkumpul di ruang sempit itu. Aneh memang sang tuan ini, semua keputusann penting katanya harus lahir dari ruangan ini. Ia hanya akan membuat keputusan penting baik itu menyangkut uang, nyawa bahkan politik, ya di ruang kecil ini.

Suatu hari, tahulah aku mengapa sebegitu penting dan sakralnya ruangan ini. Hari itu seorang pria berbadan tegap dengan baju serba coklat dan tiga bintang melekat dibahunya bertanya pada lelaki setengah abad itu mengenai mengapa ruang kerjanya seperti ini. Lelaki tua setengah abad itu dengan mata berkaca menjelaskan, bahwa ruang ini adalah kamar pertamanya ketika tiga puluh delapan tahun lalu menjejak kaki di ibukota. Dari Singkawang ia datang, tanpa keluarga tanpa tujuan. Berbekal uang dua belas ribu di kantong ia menyewa kamar. Di kamar itulah ia memulai hidup di ibukota.

Semua tak mudah pada masa awal itu. Begitu lelaki setengah abad itu melanjutkan kisahnya di kesempatan lain. Kala itu yang datang seorang jawara yang menguasai dunia gelap di ibukota. Ia memulai langkah di ibukota dengan mengumpulkan kardus bekas di Mangga Besar sana. Tiga tahun melakukan itu, uang hasilnya hanya cukup untuk menyewa kamar kecil ini dan makan sekali dua sehari. Sampai suatu hari ia ditawari bekerja di sebuah toko elektronik terkemuka. Tak butuh waktu lama, ia menjadi orang kepercayaan pemilik toko. 

Tujuh tahun usai itu, mulailah ia menapaki sendiri bisnisnya. Alang kepalang besar bisnisnya, tumbuh seiring pergaulan baiknya dengan banyak orang penting. Mulai dari penyedia perempuan telanjang sampai penyelamatan harimau ia lakukan. Tak kurang dari seribu kaki tangannya memasarkan serbuk putih nikmat di tiga puluh dua negara di dunia. Tak terelakkan kaya rayanya tuan besar kami ini. Cukup empat belas tahun saja ia melarat, sisanya ia mendekati takdir sebagai dewa. Bisa menentukan hidup matinya seseorang, bisa menentukan siapa yang memimpin dan siapa yang kalah.

Ah, entah untung, entang buntung. Lima tahun tergeletak di ruang pengap ini. Aku mulai lupa darimana berasal, untunglah ditubuhku tercantum tempat dimana aku dihadirkan. Tak jauh dari sini asalku. Di sebuah pabrik kertas di Semarang aku diciptakan, yang kutahu bahan bakuku saja didatangkan dari anak benua Asia, wewangian yang menyelimuti tubuhku dibawa dari negeri Gujarat sana. Lima tahun aku disini wangiku tak hilang. Bersama puluhan ribu lembar kawan-kawan, kami terdampar di rumah the godfather. Entah untung, entah buntung.

Pernahlah tiga tahun lalu, kami ketakutan tiada ampun. Tuan besar tiba-tiba masuk ruang ini tengah malam, ia hendak membakar kami semua, tak terkecuali apapun disini. Untung saja seorang lelaki tegap dengan empat bintang di bahunya datang. Ia berjanji akan menghabisi seseorang yang membuat tuan besar kami sangat marah. Tuan besar kami dituduh macam-macam oleh orang itu. Marah betul dia. Akhirnya, sebuah foto ia serahkan ke lelaki tegap berbintang empat itu. Seorang lelaki berkacamata dengan kamera di tangan menggandeng seorang anak lelaki kecil. Dua hari dari kejadian itu, tuan kamipun tersenyum lebar sembari membaca sebuah koran. Ah, tenanglah kami, tak jadi dibakar. Gambar lelaki dengan darah di kepala tercetak di Koran itu..

Entah untung, entah buntung. Lima tahun di ruang pengap ini membuatku merasa dekat dan mengenal tuan besar kami ini. Meski aku tertumpuk di bagian paling bawah, tapi aku dengan mudah bisa mengamati tiap peristiwa disini. Diam-diam aku lebih mengenal lelaki setengah abad itu tinimbang teman-teman setumpukanku.

Malam ini, malam terakhirku. Warna merah menyalaku belum pudar sedikitpun meski aku ditumpukan paling bawah, wangi tubuhku pun belum terkuras. Hanya sedikit debu yang menyelimuti. Entah kemana besok aku akan berlabuh. Tapi lima tahun di ruang pengap ini membuatku tahu banyak hal. Tak seperti kawan-kawanku yang memlih tak peduli. Aku begitu tertarik dengan kisah-kisah yang ada menyangkut tuan besar. Mungkin karena aku tertindih di tumpukan paling bawah, jadilah aku mencoba menghindari sakitku dengan memperhatikan kisah dan cerita tuan besar itu.

Tuan besar sama sekali tak peduli dengan kami, hanya saat-saat perayaan seperti ini saja ia tiba-tiba mengelus-elus kami. Memasukkan lembar-lembar bernilai itu dengan tangan kasarnya sendiri. Antara penasaran dan rasa sedih, malam terakhir ini aku tak bisa terlelap. Esok hari aku akan dibawa ke tempat sembayang, usai itu aku tak thau lagi kemana nasibku. Setahuku tiap dari kami pergi tak ada satupun yang kembali.
Aroma di ruang ini sangat kuhafal, bahkan aku mulai hafal tiap sudutnya. Dimana tuan besar meletakkan peluru pistolnya, dimana ia menyimpan pena pemberian presiden dan dimana ia menyimpan foto-foto perempuan pujaan hatinya, aku tahu semua. Tak terkecuali kertas-kertas berharga bernama saham atau apalah itu. Aku hafal dimana ia meletakkannya. Meski aku tak pernah bercakap-cakap dengan penghuni ruangan ini. Tapi aku tahu pasti bahwa mereka semua istimewa di mata tuan besar kami. Paling tidak seminggu sekali mereka disapa tuan kami. Berbeda dengan kami, setahun sekali saja.

Entah untung, entah buntung. Lima tahun aku bersama lelaki setengah abad itu. Esok aku akan pergi. Ah, apa yang akan terjadi, terjadilah.
***

Pagi-pagi sekali tuan besar kami telah terbangun. Lebih pagi dari hari-hari biasa. Baju indah dipenuhi hiasan naga ia gunakan. Warnanya pun terang menyala. Wewangian khas negeri leluhur sang tuan besar juga tecium semerbak. Kamipun ia letakkan di tas kecil yang ia bawa.

Kali pertama ini aku melihat dunia lain. Dalam sebuah mobil cantik dengan jendela-jendela lebar dan pint-pintu yang banyak kami digeletakkan saja di jok. Tuan besar ditemani istri tuanya, yang tentu saja tak semolek gadis-gadis bermata sempit yang biasa ia pandangi di foto-foto yang tersimpan di ruangan itu. Tak lama kemudian sampailah kami di tempat sembayang

Wooow, ramai sungguh tempat sembayang ini. Orang-orang berkerumun, warna warni busana mereka, tua muda, laki-laki perempuan, semua bergerombol. Di depan pintu tempat sembayang itu, anak-anak kecil berbaju kumal berbaris panjang. Entah apa yang mereka lakukan. Tuan besar kami masuk ke ruang tengah tempat sembayang itu. Ia bakar sesuatu yang berbentuk lidi, lalu khidmat berdoa. Tak lama hanya beberapa menit saja. Entah apa yang ia doakan.

Semua orang di tempat sembayang itu seperti mengenali lelaki setengah abad itu. Tak sedikit di antara mereka mencium tangan tuan besar kami ini. Usai memasang kertas doa di pohon doa, tuan besar kami bergegas keluar. Di antara anak-anak berbaju kumal itu kini ia berdiri. Satu persatu di antara kami diserahkan ke anak-anak itu. Sekarang giliranku.. Sebuah tangan halus tapi legam menggenggamku sekarang. Anak itu berwajah bulat dan bermata besar dengan rambut lurus tak terurus. Sementara itu, tuan besar yang kukenal selama lima tahun itu kian menjauh. Pelan tapi pasti mobil tuan besar kami tak nampak lagi.

Di tangan anak kecil inilah sekarang takdirku. Ternyata aku bukan yang pertama ada, tiga kawanku telah lebih dulu tiba di kantong anak kecil ini. Usai satu lagi kawan kami datang, kantong anak kecil berbaju kumal itu penuh. Berlari riang, pulang dia. Di depan sebuah rumuah kecil berhimpit, dengan halaman yang tergenang air anak itu memanggil seseorang. “Emak…mak, aku banyak dapat angpao ini..” Dari tangan anak kecil itu, kini aku berpindah ke tangan seorang ibu yang tak bisa dibilang muda tapi belumlah terlalu tua. Dari tangan perempuan itu kami digeletakkan di atas sebuah meja kayu yang lapuk. Tepat di samping sebuah dipan tua yang kayu-kayu penopangnya mulai tak kokoh. Dinding kamar itu bukan dari dinding semen seperti tempat tuan besarku dulu. hanya triplek tipis saja, angin kurasakan menerobos masuk dari sela-sela triplek yang tak rapat.

Ah, disini rupanya takdirku akan berakhir. Selintas kulihat sebuah foto terpajang di dinding kamar ini. Ya, foto yang sama dengan yang pernah kulihat tiga tahun lalu, di ruang gelap milik tuan besarku.

Gong Xi Fat Chai
*Teruntuk Pak Boss TiWi

Sunday, January 1, 2012



1325378739745273436
                                                      Sumber Foto Disini

Terik siang ibukota, tiga hari jelang hari raya Idul Fitri 2010 lalu. Saya duduk di depan blok A pasar Tenabang, menanti ibu berbelanja. Selintas perhatian saya tertuju pada seorang pedagang kantong plastik yang menggunakan tas kecil yang ia tempeli foto dirinya yang sedang berdiri bersama Gus Dur. Karena tertarik sayapun berusaha berbincang dengan remaja yang nampaknya belum genap 20 tahun itu. Ternyata, foto bersama Gus Dur itu ia dapat ketika mampir ke pondok pesantren yang dipimpin Gus Dur di Ciganjur. Di mata remaja itu, Gus Dur itu legenda. Pemimpin yang paling dekat dengan orang kecil, begitu katanya.

Note : Tulisan ini cukup panjang, bisa jadi membosankan dan butuh “pencernaan” yang dewasa untuk membacanya..Dipersilahkan kalau mau berhenti sampai titik ini saja. :)

“Kehadiran” Gusdur di Tenabang tidak hanya lewat foto di tas kecil pedagang kantong plastik itu saja. Gus Dur juga menjadikan Tenabang sebagai salah satu obyek humornya. Coba simak humor presiden jenius kita tersebut ;

Pernahlah suatu hari Gus Dur mengundang Presiden Amerika Serikat dan Perancis terbang bersama Gus Dur keliling dunia dengan pesawat kepresidenan RI 1. Boleh dong, memangnya hanya AS dan Prancis saja yang punya pesawat kepresidenan.

Seperti biasa, setiap presiden selalu ingin memamerkan apa yang menjadi kebanggaan negerinya.
Betul dugaan Gus Dur, tidak lama Presiden Amerika, saat itu, Bill Clinton, mengeluarkan tangannya ke luar pesawat. Sesaat kemudian dia berkata, “Wah kita sedang berada di atas New York.”
“Lho kok bisa tau?” tanya Gus Dur.
“Ini patung Liberty saya pegang.”

Presiden Prancis Jacques Chirac tak mau kalah. Dia ikut mengulurkan tangannya ke luar pesawat. “Kita sedang berada di atas Paris,” katanya.
“Wah… kok bisa tau juga?” kata Gus Dur.
“Itu… menara Eiffelnya, saya bisa sentuh.”

Gus Dur panas mendengar kesombongan Clinton dan Chirac. Kali ini giliran Gus Dur yang menjulurkan tangannya.
“Wah… kita sedang berada di atas Tanah Abang,” teriak Gus Dur.
“Lho kok bisa tau?” tanya Clinton dan Chirac heran karena tahu Gus Dur tidak bisa melihat.
“Ini jam tangan saya hilang,” jawab Gus Dur kalem.

(Sumber : Kumpulan humor Gus Dur www.gusdur.net)

Kedekatan orang-orang kecil di Pasar Tenabang, juga Nampak ketika Masjid Pasar Tanah Abang di blok A menggelar pengajian mengenang kepergian Gus Dur, ketika beliau wafat. Bagi banyak orang kecil, Gus Dur memang sosok yang sulit dilupakan. Bagaimana beliau melakukan desakralisasi atas istana. Semua orang bisa masuk istana ketika masa pemerintahan Gus Dur. Istana rakyat, begitu istilah Gus Dur ketika itu.

Ini Tentang Gus Dur dan TW
Lah, lalu apa hubungan judul tulisan ini “Ada Gus Dur di Tenabang” yang seolah menyamai judul reportase Tempo “Ada Tommy di Tenabang ?” pada 3 Maret 2003 (03-03-2003) tanggal penting bagi perjalanan sejarah media di Indonesia itu. Benar, memang ada hubungannya. Gus Dur layaklah kita sebut sebagai presiden pertama republik ini yang secara terbuka dan sangat jelas menyebut Tommy Winata (TW) sebagai pemilik usaha judi dan usaha illegal lainnya.

24 April tahun 2000, di sebuah dialog terbuka di SCTV bersama Karni Ilyas. Terang benerang Gus Dur menunjuk hidung TW sebagai pemilik bisnis judi di Pulau Ayer, Kepulauan Seribu. Kapolripun diperintahkan segera menutup dan menangkap TW, ketika itu.

Berikut petikan komentar Gus Dur ketika itu
“Itulah yang terjadi hari ini. Saya mendapat laporan bahwa ada pulau di Teluk Jakarta, Pulau Ayer, dipakai untuk perjudian. Karena itu, saya minta kepada Kapolri untuk menutup dan mengenakan tindakan hukum kepada para pelakunya. Ini bukan karena saya setuju atau tidak setuju, tetapi karena itu melanggar undang-undang,”

Disusul dengan pernyataan berikut ;

“Begitu juga saya dengar, di dekat situ ada kapal laut yang dipakai untuk berjudi. Lagi-lagi ini melanggar hukum, karena ada cukongnya, yaitu Saudara Tommy Winata. Saya minta kepada Jaksa Agung untuk menyita kapal itu dan menangkap Tommy Winata, karena ia melanggar hukum. Kalau kita tidak berani demikian, artinya kita semua bisa dibeli. Karena itu, saya mengharapkan, kita semua tunduk kepada hukum. Idealisme hokum atau institusi akan tegak hanya karena kita laksanakan secara konsekuen secara bersama-sama,”
(Sumber : Baca disini)

Meski kemudian Gus Dur tak mampu menyeret sang taipan ke pengadilan, tapi pernyataan Gus Dur itu telah membuka mata publik. Apa yang terbuka ? ya, kita tahu sama tahu sajalah..Githu saja koq repoot…(pinjam istilah Gus Dur). Di samping itu, ada pula media yang menyatakan Gus Dur mencabut pernyataan tentang TW ini. Ah, saya tak peduli. Karena apa yang sudah terlempar ke publik akan terekam lama, apalagi yang melempar orang sekaliber Gus Dur.

Tulisan ini tentu tak bermaksud membangun opini tentang TW, sama sekali tidak. Sejauh ini, beliau baik dan bersih. Anda tak setuju ? ya terserah anda. Mungkin kalau sebelum melempar pernyataan itu Gus Dur nonton dulu film Year of Dragon yang disutradarai Michael Cimino, mungkin kisahanya bisa lain. Film itu berkisah tentang seorang polisi idealis yang bersih, berjuang melawan triad China di New York yang banyak melakukan kegiatan illegal, mulai dari perjudian, pelacuran, penyelundupan imigran gelap hingga ekspor impor narkoba. Apa daya hingga akhir kisah polisi idealis itu tak berkutik, justru ia kehilangan istri tercintanya. Kekasihnyapun diperkosa. Beruntung Gus Dur hanya kehilangan posisi presiden (ini jelas-jelas cuma becanda saya saja.)

Ilustrasi di atas tak lantas menyimpulkan bahwa TW sama dengan kisah di atas lho..sama sekali saya tak berniat dan tak berani. TW, setahu saya dari media yang menulis kisah sukses dan baik tentangnya. Bahwa Ia adalah sosok yang berjuang keras, jujur dan berkemauan kuat. Itu kunci suksesnya. Jauh dari apa yang dulu dituduhkan Gus Dur. Itu yang saya baca. Kalau anda punya kesimpulan lain, ya itu urusan anda…
1325378859512787729
TW, Menhut dan tim/Antara Foto

Bagaimana mungkin kita menyebut TW itu jahat, ketika ia dengan sungguh-sungguh menyelamatkan hutan dan satwa di Sumatera melalui Artha Graha Peduli. Sudah banyak harimau Sumatera yang dilepas liarkan. Wajar TW sangat akrab dengan menteri Kehutanan, visi mereka sama. Menyelamatkan lingkungan lho…Jangan dikira macam-macam. Kalau anda berpikiran macam-macam, resiko anda tanggung sendiri. Berprasangka buruk pada orang baik itu tak baik dan tak aman.

Banyak sudah kontribusi sang Taipan pada negeri ini. Ia peduli dan perhatian pada nasib negeri ini. Kok bisa-bisanya Gus Dur kelepasan omong ya ? (tar..tar..percaya enggak..percaya enggak..*ngitung kancing baju dulu..) Bahkan kalau saja Gus Dur tahu, sekarang Artha Graha juga punya keinginan menjadi tulang punggung pembangunan jembatan selat Sunda. Luar biasa kan ? Terhubung nantinya Sumatera dan Jawa. Tepatkan visi Sang Taipan, Beberapa pulau di Kepulauan Seribu sudah behasil diberdayakan, hutan di Lampung telah diproteksi ratusan hektare untuk konservasi dan nanti ada jembatan penghubung.

Apa bukan sebuah visi yang luar biasa. Lancarlah lalu lalang apa saja dari dan menuju Jawa ke Sumatera. Masukin apa saja jadi mudah kan ? Tak salah kalau TW kerap disebut pengusaha yang cerdas dan visioner. Jadi, anda salah betul kalau mengira kelancaran transportasi ini berkaitan dengan narkoba atau sejenisnya. Bisalah saya sebut anda keterlaluan.

Ah Gus Dur memang ada-ada saja..Anda tetap setuju dengan Gus Dur, walau saya sudah jelaskan hal ini ? Terserah sajalah, susah memang kalau anda tak mau dibilangin. TW itu bersih. Gak bisa ditawar itu. Lho, koq jadi ngomongin TW..maaf-maaf terbawa judul nih..

Rindu Kami Pada Gus Dur

Kembali ke kisah Gus Dur yang menunjuk hidung TW itu memang tak (belum) terbukti. Saya justru melihat apa yang dilakukan Gus Dur melampaui keberanian dan logika pemimpin pada saat itu. Gus Dur melampaui zaman, begitu kurang lebih. Substansi yang dilakukan Gus Dur adalah sebuah upaya membongkar praktik culas korporasi. Masalah bahwa Gus Dur tak mampu membuktikan itu perkara lain. Tapi bahwa Gus Dur telah mengajarkan kita cara untuk bersikap kritis dan waspada pada siapa saja yang punya banyak uang di atas rata-rata. Kita harus tahu darimana itu uangnya ? Bukan usil tapi waspada.

Di sisi lain, hari ini negeri kita tengah menghadapi potensi kecurangan korporasi yang bermain di pengelolaan sumber daya alam, kehutanan dan juga perikanan. Mengapa saya baru berani menyebut potensi. Karena tak ada bukti. Hanya ada indikasi.

Tulisan ini sejatinya, saya publish dua hari lalu ketika kita mengenang dua tahun wafatnya Gus Dur, tapi karena butuh menimbang-bimbang banyak hal, ya jadilah baru sekarang keberanian itu terkumpul untuk mempublikasikan tulisan ini. Banyak orang menulis Gus Dur dengan berbagai perspektif hidupnya. Tapi mungkin kita lupa menuliskan kembali bahwa Gus Dur pernah begitu garang pada Tommy Winata. Ada apa dengan kegarangan itu ? ya hanya Gus Dur dan Tuhanlah yang tahu.

Tapi, Gus Dur mengajarkan kita untuk tak pernah tunduk dan takut pada kekuatan sebesar apapun. Selama itu bukan kekuatan Tuhan. Mungkin spirit itu pula yang membuat Tempo berani menerbitkan “Ada Tommy di Tenabang?”. Sebuah reportase legendaris yang akan dikenang sepanjang masa oleh dunia pers Indonesia. Masa pedih bagi perjalanan pers. Karena laporan jurnalistik dibalas dengan aksi kekerasan. 

Kini, dua tahun usai perpisahan abadi kita dengan ulama pemimpin bernama lengkap KH. Abdurrahman Wahid itu, rasanya negeri ini merindukan sosok yang sederhana, apa adanya, cerdas dan pemberani. Gus Dur memiliki sikap itu. Kitapun rindu sosok macam beliau. Akhirnya, semoga kita tak pernah menyerah meski sosok guru bangsa itu kini telah jauh. Semoga negeri ini tak lantas menjadi negeri yang takut dan rapuh dihadapan pemodal yang kadang pongah dan tak mau tahu.
Kami merindukanmu Gus Dur.

Popular Posts