Saturday, December 31, 2011

Government is a trust, and the officers of the government are trustees. And both the trust and the trustees are created for the benefit of the people. (Sir Henry Clay)



Henry Clay,  mantan anggota senat Amerika Serikat menyebut pemerintahan sebagai sebuah kepercayaan dan para perjabat atau pegawai didalamnya adalah ‘wali rakyat’. Seharusnya mereka adalah orang-orang yang bisa dipercaya, pemerintahan dan para wakil rakyat itu selayaknya membawa kemaslahatan kepada rakyat.

Hari ini Indonesia, sebuah negeri dengan penduduk yang hampir mencapai 250 juta jiwa, wilayah yang memanjang dari Aceh hingga Papua dan kekayaan alam yang luar biasa tetapi sayangnya potensi-potensi itu belum menjadi sebuah berkah bagi rakyatnya. Bahkan ada kecenderrungan menjadi musibah. Lihat saja bagaimana tragedy terbaru di Bima, Mesuji, Riau, Jambi dan juga Papua. Konflik berlatar kekayaan alam justru terjadi.

Andai saja saya seorang senator (anggota DPD RI) maka tak ada pilihan lain, penguatan peran civil society dalam pengelolaan sumber daya alam harus diprioritaskan. Serta harus didorong sampai ke level kebijakan nasional. Tak boleh lagi ada pertambangan dibangun tanpa persetujuan yang sungguh-sungguh dari komunitas lokal setempat. Terutama masyarakat adat yang biasanya paling mengalami implikasi dari kehadiran pertambangan maupun perkebunan.

Negeri Bermartabat di Hadapan Pemodal

Merujuk Clay, dalam prihal pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam layaklah kita bertanya. Sudahkah pemerintahan kita termasuk para anggota DPD menghadirkan kemanfaatan bagi rakyat ? atau justru kemanfaatan hanya diterima segelintir orang yang bermodal saja ?

Pertanyaan itu menjadi relevan, karena proses negosiasi antara pemodal yang akan berinvestasi dan rakyat yang diwakili oleh pemerintah justru kadang melupakan kepentingan rakyat. Bukankah ini ironi ? Rakyat justru ditinggalkan dalam keputusan-keputusan penting menyangkut masa depan tanah dan sumber daya alam. Jika saya jadi anggota DPD RI, tak ada kompromi. Rakyat harus didorong semaksimal mungkin untuk bertahta. Pemodal harus ikut kemauan komunitas di sekitar tempat operasionalnya.

Negeri kita ini telah puas menerima ketidakadilan, eksploitasi tak berperih bahkan kejahatan kemanusiaan yang melibatkan investor besar. Maka, jika saya anggota DPD RI saya akan mendorong pemerintah daerah terutama daerah yang saya wakili untuk mendirikan badan usaha pengelolaan sumber daya alam daerah. Kita bisa mempekerjakan atau mengontrak perusahaan luar negeri pada level teknisnya. Untuk pembiayaan bisa melibatkan investasi rakyat melalui penyertaan modal. Maka bisalah kita sebut sebagai sebuah usaha dari, oleh dan untuk rakyat daerah.

Ada efek yang secara ekonomis, politis dan juga kultural akan kita rasakan jika badan usaha daerah pengelolaan sumber daya alam daerah ini dihadirkan menggantikan korporasi global. Apa efek terssebut ? Optimalisasi keuntungan finansial bagi negara dan juga rakyat, melimitasi peluang konflik vertikal maupun horizontal, di sisi lain, sinergi daerah akan terbangun antara rakyat dan pemerintah.

Akhirnya, perjuangan mengembalikan tahta untuk rakyat adalah perjuangan panjang. Tak mudah dan penuh liku. Carut marut negeri kita memang kadang menghadirkan rasa frustrasi, namun apapun keadaannya sebagai bangsa kita harus mengupayakan perubahan. Seiring waktu yang bergulir, 2011 berlalu 2012 hadir saatnya kita bangun optimisme sebagai bangsa. Sembari berharap para wakil rakyat baik di DPR maupun DPD RI mampu menghayati dan memerankan perannya secara lebih menggigit dan berimplikasi langsung pada rakyat bukan citra dan jargon.






Thursday, December 29, 2011



Adiemus, pernah dengar lagu itu ? Mungkin, tak banyak yang mengenal lagu ini. Mereka yang penggemar film Final Fantasy saya yakin kenal lagu ini. Pertama kali mendengar , terasa ada keping-keping dalam pikiran dan hati yang berputar dalam imaji. Pesona nada yang sungguh tak biasa. Bagi saya yang tak terlalu mengerti musik, merasakan nada-nada yang diakronis tapi harmonis, serasa diombang ambing oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu yang membuai sekaligus mengusik, sesuaut yang jauh tapi terasa dekat, serba silang sengkarut.

Aku pernah mendengar Mozart, Chopin, Kitaro sampai Lady Gaga, tapi entah mengapa Adiemus ini seolah mengulik rasa terdalam kesadaran. Sekali lagi, sesuatu yang tak terkatakan. Apakah aku terlarut dalam liriknya ? Itulah bedanya, lagu ini hadir dengan lirik yang tak jelas bahasa apa, ada yang menyebut Latin. Tapi ternyata bukan. Ada yang berspekulasi liriknya dibawa dari lagu-lagu etnis di Afrika. Bisa jadi, tapi tetap saja bukan. Teringat komentar seseorang di Youtube, This song is the anthem of the world. Benar juga, lagu ini seperti mewakili sedemikian banyak entitas dunia didalamnya.

Adiemus, master piece dari komposer asal Wales, Karl Jenkins ini sungguh-sungguh melintasi batas-batas teritori. Sebuah dimensi yang begitu berwarna. Mendengar lagu ini, kadang pikiranku melayang menyusuri Danau Victoria di Afrika sana. Membawaku pada perjalanan Hening Speke mencari muasal sumber air Sungai Nil. Perjalanan ambisius, penuh misteri dan dipenuhi kesengsaraan dalam penjelajahan. Kesengsaraan yang berujung pada pencapaian, meski ekspedisi itu sendiri tak menemukan sumber sesungguhnya dari Nil, tapi ekspedisi telah membuka mata dunia akan sebuah danau luas alang kepalang yang menghidupi gersangnya Afrika. Perse menasbihkan nama ratunya untuk danau yang ia temukan itu.

Di lain waktu mendengar lagu ini pikiranku seolah diundang ke kecamuk pertarungan China klasik dengan konfusianisme berhadapan dengan China modern dengan wajah yang mulai menghadap kapitalisme Barat. Sebuah asimetri yang justru membawa China pada keseimbangan dan pencapaian yang mengesankan sejauh ini. Begitupun lagu ini asimetri yang seimbang, something different.

Ah, Adiemus dinyanyikan Miriam Stokley, Vijo, Nina Tapio dan kawan-kawan mungkin tak ada sangkut paut dengan peristiwa yang kubayangkan itu. Tapi, gairah dan jiwa lagu ini mampu menggerakkan kita pada pengalaman-pengalaman yang mencengangkan. Di saat bersamaan, lagu ini juga kerap mengurungku dalam rindu-rindu yang tak terperihkan pada seseorang di seberang benua sana. Kadang pula lagu “tak jelas” ini mengantarku tentang bayang-bayang keberakhiran. Muara dari kehidupan,betapa ringkihnya hidup dan ruang tempat kita menjalani hidup ini.
Adiemus hadir dalam album Songs of Sanctuary (1995). Satu lagu seribu rasa, begitulah kusebut lagu ini. Bersama komposisi nada-nada “gelap” Adiemus, membuatku menyelam. Sebuah laut yang dalam, tanpa pengetahuan sebelumnya, banyak hal tak terduga dijumpai. Itulah sisi lagu ini yang kurasa.

Adiemus, oleh para pakar musik disebut-sebut sebagai bagian dari genre New Age. Genre musik yang mengedepankan artistifikasi musik, bermuatan optmistik dan mengundang relaksasi pikiran. Ah, tak tahulah. Kurang mengerti. Satu yang kutahu, Adiemus menghanyutkanku pada lembah-lembah terjauh dari imaji. Memerangkapku pada penjangkauan terdalam dari harapan. Ehm, coba simak saja deh dengan seksama. Karena pengalamanku mendengarkan pastinya berbeda dengan anda…

Berikut lirik lagu Adiemus


Ariadiamus late ariadiamus da
ari a natus late adua
A-ra-va-re tu-e va-te
a-ra-va-re tu-e va-te
a-ra-va-re tu-e va-te la-te-a
Ariadiamus late ariadiamus da
ari a natus late adua
A-ra-va-re tu-e va-te
a-ra-va-re tu-e va-te
a-ra-va-re tu-e va-te la-te-a
A-na-ma-na coo-le ra-we
a-na-ma-na coo-le ra
a-na-ma-na coo-le ra-we a-ka-la...
a-na-ma-na coo-le ra-we a-ka-la........
ah-ya-doo-ah-eh
a-na-ma-na coo-le ra-we a-ka-la.....
a-ya-doo-ah-eh...
a-ya doo a-ye
a-ya doo a-ye
****
A-na-ma-na coo-le ra-we
a-na-ma-na coo-le ra
a-na-ma-na coo-le ra-we a-ka-la...
a-na-ma-na coo-le ra-we a-ka-la........
ah-ya-doo-ah-eh
a-na-ma-na coo-le ra-we a-ka-la.....
a-ya-doo-ah-eh...
a-ya doo a-ye
a-ya doo a-ye
---
a-ri-a-di-a-mus la-te
a-ri-a-di-a-mus da
a-i-a na-tus la-te a-du-a.
A-ra-va-re tu-e va-te
a-ra-va-re tu-e va-te
a-ra-va-re tu-e va-te la-te-a.
A-na-ma-na coo-le ra-we
a-na-ma-na coo-le ra
a-na-ma-na coo-le ra-we a-ka-la...
a-na-ma-na coo-le ra-we a-ka-la........
ah-ya-doo-ah-eh
a-na-ma-na coo-le ra-we a-ka-la.....
a-ya-doo-ah-eh...
a-ya doo a-ye
a-ya doo a-ye
ya-ka-ma ya-ma-ya-ka-ya me-ma
a-ya-coo-ah-eh mena
ya-ka-ma ya-ma-ya-ka-ya me-ma
a-ya-coo-ah-eh mena
ya----ka--ma me--ah
a-ya-coo-ah-eh mena
ya----ka--ma me--ah
(Adiemus/Karl Jenikins)


Monday, December 26, 2011


1321906785420325653
Ilustrasi /doc@huzera
17 Juli 1994, sebuah sepakan penalti yang meninggi di atas kanan mistar gawang Taffarel menjadi ujung kisah Piala Dunia di Amerika Serikat. Skuad Brazilpun berhamburan ke lapangan, meneriakkan kemenangan. Di sudut lain, sang legenda Italia yang bermain luar biasa sepanjang kompetisi, menundukkan kepala, sorotan zoom in wajahnya membuat kita bisa melihat ia menangis tersedu-sedu. Roberto Baggio, legenda gli azzuri itupun tak berkutik melawan suratan nasib.

Menang dan kalah dalam sebuah laga puncak, kadang tak ditentukan oleh kemampuan dan kapasitas permainan sebuah tim. Hanya selaput tipis pembeda menang dan kalah itu; keberuntungan. Kota Roma dan segenap penjuru negara semenanjung itupun mendadak senyap. Tak terhitung berapa banyak airmata tumpah kala itu. Baggio tak menangis sendiri, seganap sisilia menangisi nasib mereka.
Keesokan harinya media-media Italia, tak satupun yang mengungkit kegagalan eksekusi penalti Baggio, Massaro dan Baresi. Tiga bintang yang akhirnya gagal menjalankan tugas terakhir mereka.

Kisah Baggio itu sudah lama berlalu, bahkan telah dipendam oleh rakyat Italia dan digantikan kisah sukses gli azzuri di piala dunia selanjutnya, 2006. Juga lewat adu penalti, Perancispun takluk. Bahkan Zidane harus meninggalkan lapangan sebelum laga usai. Kartu merah mengusirnya.

***
1321907075263401825
Malam ini di sebuah negara yang dua dasawarsa terakhir “tak masuk” peta sepakbola dunia, sebuah negara semenjana dalam sepakbola dunia, Indonesia. Kita bisa merasakan pedihnya Seantero Itali, kala Baggio gagal melesakkan penalti. Malam ini, saat Ferdinan Sinaga dengan kaki kirinya gagal mengecoh kiper Malaysia, nusantara senyap sesaat. Airmatapun tak tertahan. Hanya serabut tipis bernama nasiblah yang membedakan airmata kita di nusantara dengan pesta pora di negara tetangga.

Benarlah apa yang diungkap Jean de La Fontaine, Penulis Perancis abad 17, “A person often meets his destiny on the road he took to avoid it”. Kadang kita justru menjumpai takdir kita di jalan yang kita hindari. Malam ini kita menjumpai nasib kita di jalan pedih bernama kekalahan. Rasanya tak ada di antara kita yang menghendaki jalan duka ini.

Jujur saja, tadi kuitikkan airmata. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana rasa dalam hati anak-anak muda itu. Aku menangis bukan karena kita kalah, tapi tak kuasa melihat perjuangan anak-anak muda yang telah mengajari kami banyak hal itu harus berujung sepedih ini.

Tak kuasa rasanya menatap Patrich Wanggai berkaca-kaca padahal hati dan raganya telah ia berikan seluruhnya sepanjang kompetisi. Tak pula mampu ku menyaksikan bagaimana Andik tersedu dalam pelukan Aji Santoso. Tarian-tarian lincahnya berakhir di ujung selaput tipis bernama keberuntungan. Tak pula sanggup rasanya menyaksikan Abdul Rahman tertunduk dan berkaca-kaca di sudut lapangan. Padahal ia berjibaku tiada ampun sepanjang 120 menit. Aku makin terisak menatap Egi Melgiansyah menutup wajahnya menyembunyikan airmata. Padahal kita semua melihat, berapa puluh kali Egi harus terkapar menahan laju lawan selama kompetisi ini berlangsung.

Tangisku, tangis ribuan anak negeri lainnya tak akan mengubah apapun. Malaysia telah menjadi pemenang, walau kita tentu tak senang. Tapi inilah kenyataan yang menghadang. Nasib, takdir !

Pantas saja mantan Sekjen PBB Dag Hammarsjold mengungkapkan “Destiny is something not be to desired and not to be avoided. a mystery not contrary to reason, for it implies that the world, and the course of human history, have meaning.” Takdirlah yang membuat dunia dan sejarah manusia menjadi memiliki makna. Ini pula yang tengah kita hadapi, sebuah misteri bernama sepakbola.

Entah apalagi yang dapat kutuliskan, pada akhirnya inilah momen Robohnya tiang gawang kami..

***
Sepanjang sejarah hidup menyaksikan tim sepakbola kita berlaga, dua kali saja aku terisak melihat kekalahan tim nasional. Tangis pertama tumpah manakala Korea Selatan mengalahkan garuda di laga penyisihan Piala Asia di Jakarta pada 2007. Andai saja kita bisa menang, sejarah akan ditorehkan. Pertama kali lolos ke babak knock out Piala Asia.

Kala itu, dari bangku kelas IV GBK kutermangu dan berkaca-kaca, bukan karena kekalahan tapi menyaksikan seisi stadion menyanyikan “Indonesia Raya” di penghujung laga. Lagu yang diharapkan bisa menemani kepedihan laskar garuda ketika itu. Malam ini aku menangisi kembali, betapa nusantara yang kaya luar biasa ini harus selalu tertunduk di lapangan hijau.

Esok..

Entah bagaimana membayangkan hari-hari esok sepakbola kita pasca kekalahan malam ini. Tak mudah rasanya membangun “kebersamaan” yang luar biasa hebat sejak mereka berlaga. Kurasa satu dua minggu ini kita masih akan berduka, enggan membuka suratkabar, kalaupun membuka berusaha menghindari halaman olahraga.

Tak perlu berlama-lama mengulas kekalahan malam ini. Biarlah ia teratat dalam sejarah sepakbola kita. Tak bisa membayangkan andai kata 100ribuan pendukung garuda muda di GBK tadi mengakhiri kekalahan dengan sebuah lagu bersama “Padamu negeri” mungkin atau “Indonesia Raya” . Kuyakin lagu itulah yang akan dikenang oleh Ferdinan Sinaga dan Gunawan Dwi Cahyo, bukan tendangan mereka yang gagal memperdaya Fahmi, kiper Malaysia itu.

Sudahlah, pesta telah usai, bola-bola kenduri harus berhenti. Kembalilah negeri ini berhadapan lagi di keseharian. Tak lama lagi kita akan “dihibur” dengan the royal wedding. Tak lama lagi kita akan kembali berkonsetrasi dengan drama di KPK, kitapun kembali dalam keseharian negeri kita.
Kalaulah Tuhan “hadir” di lapangan tadi, aku hanya ingin berdoa.

Tuhan, kalaulah negeri kami terlalu kotor untuk sekedar sebuah doa sederhana, doa bagi kemenangan tim nasional kami, kenapa tidak kepedihan ini Kau tumpahkan saja pada mereka yang telah merusak negeri ini dengan laku culasnya. Mengapa tak kau beri peringatan saja langsung pada mereka yang meluluhlantakkan alam yang Kau titipkan pada kami, mereka telah membantai bumi kami dengan keserakahan tak terperih. Hutan luluh lantak, perut bumi mereka kunyah tanpa henti. Mengapa harus Kau timpahkan kesedihan pada kami dan anak-anak muda yang telah mengorbakan diri mereka setengah mati demi sebuah kemenangan, ini sederhana saja Tuhan. Tapi kutahu, pasti Engkau punya rencana lain untuk kami”

Salam Robohnya Tiang Gawang Kami…
Note : Judul posting terinspirasi oleh judul buku kumpulan cerpen AA NAvis “Robohnya Surau Kami”

Tulisan ini adalah pemenang dalam kontes Ngeblog SEA Games yang digelar Indosat dan Kompasiana

Friday, December 9, 2011

Ada banyak film yang telah kutonton, 100 ? mungkin lebih. tapi entah mengapa empat film berikut sangat terkenang dan memberi banyak warna dalam hidupku. Bisa jadi banyak di antara kita telah menyaksikan film-film berikut, apa kesan anda ?
Berikut keempat film tersebut ;

Beyond Borders (2003) : Kala Cinta Tumbuh di Garis Depan Kemanusiaan
1323384686566916764
pic by : en.wikipedia.org/wiki/Beyond_Borders

Ketika perjuangan cinta berujung tragedi, itu kalimat yang bisa mewakili film drama berdurasi 127 menit ini. Dr. Nick Callahan (Vlive Owen), seorang pekerja humanitarian yang bekerja mandiri bersama tim yang ia bentuk sendiri (bukan di lembaga kemanusiaan besar yang melimpah fasilitas), saat membuka camp pengungsi di Ethiopia ia kedatangan tamu. Tamu itu adalah seorang gadis cantik yang memiliki kepedulian, Sarah Jourdan (Angelina Jolie) namanya.

Bermula dari perjumpaan sederhana yang penuh “kesalingbencian” antara kedua insan di camp pengungsian yang dihantui kelaparan, wabah penyakit dan ketakutan akan perang itulah lahir rasa saling menganggumi. Waktu memisahkan mereka, masing-masing berotasi di sumbu kehidupannya masing-masing.

Dr. Callahan terus bergerak dalam perjuangan sunyinya. Kesederhanaan dan keberanian perjuangan melampaui kerja-kerja lembaga kemanusiaan besar yang berkeja di bawah lindungan tentara keamanan PBB serta dukungan fasilitas super mewah. Callahan dan tim bekerja pada level paling sederhana, tak ada perlindungan keamanan, nyawa merekapun jadi taruhan atas perjuangan. Mereka menembus garis depan konflik, daerah yang tak dijangkau perhatian dunia maka merekalah yang menjangkaunya. 

Meski film besutan sutradara Martin Cambell ini adalah fiksi namun pesan dan realitas yang dibawa serasa begitu nyata. Kejahatan perang, pengungsi yang terlantar tanpa masa depan, kebusukan pemerintah yang korup dan ketakpedulian dunia menjadi latar kisah ini.

Kembali ke kisah, akhirnya Sarah dan Nick berjumpa kembali di camp pengungsi Kamboja. Sarah yang telah bekerja di UNHCR membantu memasukkan bantuan untuk Nick dan kawan-kawan. Disinilah, Nick harus kehilangan sahabat seperjuangannya Elliot (Noah Emmerich) yang ditembak tentara khmer. Kehilangan Elliot membuat Nick sangat terpukul. Setelah berhasil membawa para pengungsi dengan selamat ke perbatasan Nickpun kembali berpisah dengan sarah.

Ending kisah ini sungguhlah tragis. Sarah yang mendengar kabar Nick ditawan tentara Checnhya. Iapun berangkat ke Chechnya dengan bantuan kakaknya. Sarahpun pergi sendiri mencari Nick, merekapun bisa lolos dari hadangan tentara Chechnya namun sayang Sarah menemui ajalnya karena terkena ranjau darat.

Sungguh sebuah kisah cinta di garis depan perjuangan yang berujung tragis. Bagi saya ini adalah salah satu film yang sangat layak ditonton bagi anda yang belum menonton. 


Burning Season (1994) : Kisah Nyata Penyelamatan Hutan Brazil Berujung Nyawa

Film ini diangkat dari kisah nyata berdasarkan laporan jurnalistik “ The Burning Season: The Murder of Chico
13233847812071482642
pic by: nativeamericanfilms.org/brazil.html

Mendes and the Fight for the Amazon Rain Forest, dari seorang junalis lingkungan Andrew Revkin. Kisah perjungan Chico Mendes, petani karet yang melawan keangkuhan para tuan tanah yang berniat membabat habis hutan yang tersisa.

Chico dan kawan-kawanya berjuang mempertahankan tiap batang pohon yang tersisa. Mereka membuat lingkaran manusia di sekitar pohon. Jika orang-orang kaya itu ingin menebang sebuah pohon, maka mereka harus menggergaji dulu puluhan ornag yang menjadi rantai bagi pohon-pohon itu.

Chico Mendes dalam film ini diperankan oleh Raul Julia, sepanjang perjuangannya teror terhadap dirinya dan keluarga menjadi santapan harian. Kisah perjuangan Chico akhirnya berujung pada kematian Chico Mendes oleh penembak misterius. Chico yang merupakan president of the Xapuri Rural Workers sampai akhir hayatnya berjuang mempertahankan hutan Amazon.

Film besutan John Frankneheimen ini telah membuka mata dunia ketika itu, betapa keji dan kejamnya pemilik modal (industri) menguras hutan dan menghancurkan komunitas lokal setempat. Film ini disebut sebagai salah satu momentum kebangkita perjuangan gerakan lingkungan di dunia. It’s highly recommended…

With Honors (1994) : Hidup Bukan Sekedar Gelar Cum Laude

1323384821738684864
pic by : en.wikipedia.org/wiki/With_Honors_%28film%29

Berawal dari perjumpaan Montgomery Kessler (Brendan Fraser), seorang mahasiswa Ilmu Pemerintahan Harvard University dengan seorang gelandangan Simon (Joe Pesci), lantas membawa dua insan ini bersahabat kental. Monty justru belajar banyak tentang betapa “sesatnya” pemahaman ilmu politik di AS. Melalui hubungan persahabatan yang alot, dari kesaling tidak percayaan menjadi sangat dekat akhirnya Monty mencoba melakukan autokritik atas caranya memahami ilmu politik sendiri.

Berbekal bimbingan yang luar biasa dari Simon akhirnya Monty bisa melhat politik dna pemerintahan dengan perspektif yang berbeda. Mencoba menempatkan kembali politik sebagai sebuah alat mencapai kesejahteraan bukn sekedar kekuasaan. Kedekatan Monty dengan Simon juga berdampak pada sahabat serumah Monty, tiga orang rekannyapun menjadi dekat dengan Simon meski rasa benci, jijik dan tak suka terhadap status gelandangan Simon mewarnai saling silang hubungan mereka.

Tibalah pada momen terpenting pada Monty dan tiga orang temannya. Mereka bersiap untuk ujian akhir dan tesis mereka. Apa daya di hari yang sama dengan batas akhir ujian, Simon justru sampai pada puncak sakitnya. Paru-paru Simon hancur karena asbes yang hisap selama menjadi tuna wisma. Keempat sahabat itu berada pada kegamangan, antara tetap menghadiri ujian demi gelar cum laude atau pergi menghantar Simon keluar kota menjumpai anak semata wayangnya yang puluhan tahun tak ia jumpai.

Melalui drama emosional yang menyertai pilihan akhir mereka, Monty dan kawan-kawan akhirnya memutuskan mengantarkan Simon berjumpa anaknya. Sesaat setelah berjumpa sang anak, Simonpun meninggal dunia. Monty, gagal meraih impian summa cum laude. Tapi Monty menurut Simon telah mencapai life with honors.

Salah satu quote yang menarik dari ucapan Simon dalam film ini
“Simon : Do you know what the great nation in the world is ?
Monty : I hope it’s the USA.
Simon : Wrong, it’s do-nation…”

Dead Poets Society (1989) : Revolusi itu Bermula dari Ruang Kelas

John Keating (Robin Williams), seorang guru di sebuah sekolah konservatif memulai ‘revolusi’ pengajarannya
13233848781410127348
pic by : en.wikipedia.org/wiki/Dead_Poets_Society

dari sebuah ruang kelas. Ia mengajak muridnya untuk membebaskan diri dari belenggu ortodoksi pendidikan. Pendidikan bagi Keating adalah upaya yang membebaskan.

Inilah salah satu fragmen dalam film ini..
Satu persatu para murid menaiki meja di ruang kelas…Guru muda itupun berkata “Lihatlah dunia dari sudut berbeda, raihlah kesempatanmu..Carpediem !” Di lain waktu guru sastra itu meminta muridnya merobek halaman pengantar puisi di buku teks mereka. Satu persatu muridpun merobeknya, guru itu berseru “Di kelas saya, saya ingin kalian mendefinisikan puisi dengan pemahaman kalian sendiri, bukan belenggu teoritis”.. 

John Keatingpun terdepak dari sekolah, kematian seorang siswa karena bunuh diri dianggap sebagai kesalahan John Keating. Fragmen terkahir sebelum John Keating meninggalkan sekolah adalah saat ia memberesi barang-barang di kelas. Tiba-tiba seorang anak menaiki mejanya sembari berseru “Oh captain my captain..”, aksi ini menuai amarah guru yang menggantikan Keating. Segera saja satu persatu anak-anak itu menghentakkan kaki di atas meja dan berseru “Oh captain my captain”. 

Keating membebaskan pikiran pelajarnya untuk menemukan bentuk terbaik dari eksplorasi pemikiran bukan dengan bertaqlid pada pemahaman lama yang selalu dibenarkan. 

Jika anda penikmat film yang menyuarakan revolusi pendidikan, mutlak bagi anda menonton film ini..

***
Ada banyak film yang inspiratif dan menggerakkan, tentu saja tiap kita memiliki selera yang berbeda. Namun, cobalah tonton empat film ini, saya punya keyakinan empat film ini bisa membuat kita menjadi radikal. Tak percaya ? coba saja…

Tentu saja radikal yang saya maksud bukan dalam konotasi negatif, melainkan radikal dalam memperjuangkan impian, radikal dalam mengupayakan perubahan serta radikal dalam berpikir akan alternatif perbaikan bagi orang-orang di sekitar kita, orang yang kita cintai, bangsa dan tentu saja bagi diri kita sendiri..
Salam..

Thursday, December 8, 2011

Beberapa waktu yang lalu saya mencoba menghitung kebutuhan listrik pertandingan sepakbola di ISL maupun IPL. Jika ada dua liga profesional di Indonesia maka jumlah pertandingan untuk ISL sekitar 258 pertandingan sedangkan untuk IPL jika ada 14 tim yang berlaga ada sekita 170 an laga. Asumsinya 1/3 laga dilaksanakan petang atau malam hari. Sehingga dibutuhkan pencahayaan penuh.

Maka 1/3 dari 428 pertandingan ada sekitar 142 pertandingan. Jika tiap pertandingan itu minimal menggunakan pencahayaan sebanyak 300.000 watt maka total energi listrik yang dibutuhkan adalah 42.600.000 watt atau 42,6 Megawatt dalam setahun. Angka 300ribu watt itu diambil sangat minimum. Gelora Bung Karno (GBK) itu memiliki penerangan untuk lapangan sebesar 400.000 watt, begitu juga dengan stadion milik SFC tak berbeda jauh. Namun, okelah untuk mengambil rerata kita hitung 300 ribu watt.

Kalkulasi di atas masih sangat kasar, jika mau di detailkan lagi angkanya bisa jadi dua kali lipat. Mengapa saya tertarik menghitung kebutuhan energi tersebut ? Saya cuma sedang melihat bagaimana stadion-stadion di luar negeri mulai mengusung konsep eco stadium. Aspek lingkungan menjadi salah satu pertimbangan dalam pengelolaan sebuah stadium. Apalagi hari ini dunia dihadapkan pada permasalahan perubahan iklim serta semakin terbatasnya sumber daya energi yang tak terbaharui.

Sebagaimana kita ketahui pula bahwa 100 persen stadion sepakbola di tanah air masih menggunakan energi tak terbaharui untuk kebutuhan listrik mereka. Bagaimana dengan stadion di dunia ?

6 Eco Stadium di Dunia
Di dunia baik Eropa, Amerika Utara, Amareika Selatan dan bahkan Asia telah mulai bersungguh-sungguh merespon isu krisis energi dan perubahan iklim dalam aktivitas stadion mereka. Berikut ini tujuh dari sekian banyak stadion yang menerapkan solar energy based.

1. Kaohsiung Main Stadium, Taiwan
1323217526935502065
source : www.archtracker.com

Stadion yang berkapasitas 40 ribu tempat duduk ini mulai digunakan dalam world games 2009 lalu. Stadion ini memiliki hampir 8500 panel energi matahari. Panel paling bisa menghasilkan 1,14 juta Kw pertahun.

Sementar ini stadion Kaoshiung bisa disebut sebagai stadion paling ramah lingkungan di Asia bahkan di dunia. Tidak hanya dalam hal energi yang ramah lingkungan. Material stadion juga diupayakan yang ramah lingkungan. Mungkin dalam waktu tak lama lagi Stadion ramah lingkungan (eco stadium) akan hadir di Qatar dan Jepang. Namun, sejauh ini Kaohsiung masih yang utama di Asia.


2. Estadi del Espanyol
1323216932512734501
Sumber : http://www.rcdespanyol.com/ingles/index.php

Markas klub La Liga RCD Espanyol yang berkapasitas 40.500 penonton ini dalam operasionalnya mengandalkan panel energi matahari yang dipasang di seputara stadion. Implementasi eco stadium ini dilakukan sejak pembangunan kembali stadion pada 2002 lalu.
0,5 MW energi listrik bisa dihasilkan dari panel solar yang dipasang di atas atap stadion.

3. Easy Credit Stadium-Nurenberg
13232170691954631704
Sumber : http://www.wldcup.com
Stadion markas FC Nurnberg ini merupakan salah satu stadion yang digunakan dalam piala dunia 2006 lalu. Stadion berkapasitas 48 ribu penonton ini juga menggunakan solar panel sebagai penghasil listrik utama untuk stadion.

Panel solar yang dipasang mencapai 1000 meter persegi dan bisa menghasilkan 140 MW dalam keadaan matahari bersinar baik. Disamping itu ssolar panel yang digunakan memiliki kemampuan menyimpan energi yang sangat baik menurut FIFA.

4. Stade de Suisse, Bern, Swiss
13232179691437654858
Sumber :www.stadedesuisse.ch
Mungkin tak banyak di antara kita yang mengenal klub BSC Young Boys yang bermain di divisi utama Swiss. Namun, stadion mereka adalah salah satu stadion paling ramah lingkungan di Eropa, terbukto pada tahun 2005 mereka mendapat penghargaan European Solar Prize.
10 ribu panel solar dipasang di stadion ini, 1,3 juta KW bisa dihasilkan oleh solar panel di stadion ini.

5. Estádio de Pituaçu, Brazil
1323217232281676331
Sumber : saofrancisconoticias.com.br/?p=868
Stadion ini akan menjadi salah satu arena pertandingan di piala dunia 2014 nanti. Brazil sebagai salah satu negara dengan curah sinar matahari yang tinggi nampaknya memanfaatkan betul kelebihan tersebut.

Stadion berkapasitas 32 ribu penonton ini menggunakan dua teknologi dalam penyediaan energi berbasis matahari. 203kW uni-Solar’s flexible thin-film untuk atap stadion dan pencahayaan lapangan sedangkan untuk kebutuhan energi lainnya digunakan 65kW Yingli’s monocrystalline modules.

6. Das badenova-Stadion, Freiburg
13232174261676733041
sumber: www.worldstadiums.com

Markas SC Freiburg yang berlaga di Bundeslia ini merupakan stadion yang hampir 100 persen kebutuhan listriknya disuplai dari solar panel.

Solar panel yang berada di atap stadion bisa menghasilkan 250.000 KW pertahun.

Saat ini, di Itali, Inggris, Spanyol, Qatar dan Jepang tengah merencanakan pembangunan stadion baru dengan konsep eco stadium tersebut.

***
Telah saatnya PSSI dan klub yang berlaga di ISL maupun IPL memikirkan konsep eco stadium bagi markas mereka.
Salam hijau..

Monday, December 5, 2011

Kau menyebut negeri itu negeri seribu danau, aku benci negeri itu tapi kau justru sangat mencintainya. Aku benci karena negeri itu telah membawamu terasa jauh. Bukan hanya fisik tapi juga hati kita berjarak.

Kebencianku akan negeri seribu danaumu setara dengan kebencianku kala kau ungkit kebusukan masa laluku. Tak sepilar tamengpun bisa kubawa saat kata-kata pedasmu menusuk ulu hatiku. Lintang pukang egoku saat kisah gelapku kau bawa kembali. Pupus lumus hatiku saat laku hitamku di masa lalu kau jadikan pagar bagi dirimu. Lalu jerujinya kau tusukkan ka jantungku.

Aku tahu, mungkin pedih dan hancurku tak akan pernah menyamai perih hatimu yang dulu kuhancurkan. Kau menyebutku ilalang yang berdusta. Iya, seribu persen tak salah. Tak akan pernah bisa aku mengubah masa lalu. Namun, kau tahu justru saat kesalahan itu kulakukanlah aku meyakini bahwa tak ada yang bisa menggantikanmu. Sesakit dan semalu apapun itu, aku mencoba merangkak menggapaimu kembali.

***
Teringat sebuah malam yang menua di Sabtu ujung Juni, kita berdua menghabiskan malam di halte depan toko buku itu. Usai keributan seminggu penuh, jadilah malam itu malam yang kaku biru. Bukan kata-kata indah yang ada, kita justru bermain tebakan nama negara. Ah..itu permainan kesukaanmu. Latar belakang sekolahmu yang Hubungan Internasional membuat aku selalu terkapar melawanmu.
Kalau tak curang biasanya aku akan kalah telak..

”J untuk Jerman” katamu memulai permainan.
“Jepang” jawabku,
“ehmm..Jamaika” balasmu.
“eehmm apa lagi ya ? bentar-bentar..” aku mencoba mengulur waktu
“Buruan..kalau gak tau bilang dunk..” Dirimu mulai menggodaku
“Oh iya..J ya….ehm Jimbabwe…” sebutku asal.
“Ngawuur mana ada Jimbabwe, Zimbabwe kalii..” Dirimu menjegal langkah taktisku..
“Adalah..temenku orang Purworejo, kalau manggil namaku Hijer bukan Hizer, Z jadi J, maka Zimbabwe boleh dunk jadi Jimbabwe” jurus ngelesku mulai bergema
“Gak ah..maleslah..ya udah 7-3 skornya..” dirimu berkeras.
“Gak bisa, bukankah menurutmu semua orang itu unik dan tidak boleh digeneralisir” Jurus ngeles tingkat dua keluar dariku.
“Halah…pokoknya 7-3”

Permainan malam itu berlangsung ketat, aku kalah dua angka. Apakah kau ingat itu sayangku ? Malam itu berakhir aku tertidur di halte. Di pangkuanmu aku terlelap. Tak sedikitpun kau mengeluh karena dirimu harus jadi sandarku..

Permainan itu mengakhiri keributan kita. Keributan yang dimulai saat kau menyebut mantanmu yang sudah membaca Tan Malaka saat SD, sedang aku baru mengenal Tan Malaka saat SLTP.
Kau tahu sayangku, kau membakarku dengan itu. Kuacuhkan dirimu seminggu penuh. Aku tak mengatakan padamu jika aku marah. Sehari sepuluh kali kautanyakan kenapa aku marah. Tak merekah diamku. Kubiarkan kau menerka. Sampai malam di depan toko buku itu barulah  kutahu bukan maksud hatimu melukaiku.

Ah, aku ingat. Kau pernah pula menghukumku tak berkata seujung katapun selama seminggu pula. Saat kau temukan SMS teman perempuanku. SMS mesra yang membuatmu terluka. Aku menyesali perbuatanku itu
Sampai akhirnya kubawa setangkai mawar merah, kuletakkan di depan pintu kamarmu. Setangkai bunga yang kulekatkan bersama sesobek kertas biru “Aku mencintaimu..maafkan aku” Redah amarahmu. Terima kasih mawar merah..

Seratus satu cerita keributan antara kita. Entah mengapa kita tak pernah benar-benar bisa berpisah. Sesakit dan seberat apapun kisah pedih kita, pada akhirnya kita tak pernah benar-benar bisa berpisah. Sampai akhirnya senja terakhir di atas jembatan merah. Senja yang tak akan pernah bisa kulupa.
Senja yang akan kusesali sesisa umurku.
***
Enam hari yang lalu kau kembali dari negeri seribu danau.
Satu jam dari rencana kedatanganmu aku sudah mematung di ujung gerbang bandara. Kakak, ibu dan adikmu serta teman-temanmu tampak bergerombol di sisi lain bandara. Aku membeku dalam lamunan masa lalu kita, kisah yang tak akan pernah habis jika dituliskan. Aku kadang bertanya bagaimana bisa aku menghafal tiap inchi kisah kita. Rasanya tak ada yang terlepas dari ingatanku. Ah…mungkin itulah cinta…

Keluargamu hampir semua berbusana gelap. Tidak denganku aku memilih baju biru yang dulu pernah kaupilihkan untukku. Ya..kau belikan baju itu di pasar malam dekat tempat kerjamu. Bukan baju yang mahal tapi ini baju yang sangat aku sukai. Kukenakan jeans biru dan sepatu putih yang dulu kita beli di proyek Senen.

Pesawat yang membawamu dari negeri seribu danau tiba. Sejam dari pengumuman pendaratan pesawatmu, seorang petugas kulihat menghampiri keluargamu, mengajak mereka ke ruang khusus di bandara. Kuikuti keluargamu dari kejauhan. Setelah kakakmu menandatangani beberapa berkas sejurus itu tangis ibu, adik, kakak dan teman-temanmu pecah. Peti putih berbungkus rapih membawamu pulang.

Ibumu menangis sesegukan, tak kuat ia menahan pedih. Roboh ibu di pelukan adik lanangmu. Airmata tak tertahankan di ruang besar dengan pintu-pintu lebar itu. Sejenak kakakmu menarik tanganku, memberi kesempatan aku menjumpaimu.

Kekasihku, kau tahu aku merasakan tubuhku seperti puzzle terpecah-pecah dalam kepingan pedih. Tak lagi bisa kurasa detak nafasku, bahkan aku merasa terangkat dari tanah. Begitu ringan rasanya tubuhku. Namun, aku ingat janjiku,  akan menyambut kepulangamu dengan senyuman dan sekecup cium di kening.

Aku melangkah pelan, bahkan tak bisa merasakan tangan kakakmu yang membimbingku. Sungguh kekasihku, aku tak menangis, tak setetespun airmata yang jatuh, itu janjiku. Meski dadaku rasanya ingin meletup diterjang airmata, tapi aku tersenyum.

Kusingkap kain putih tipis yang menutupi wajahmu. Menatap senyum yang masih terselip di wajahmu membuat jantungku seolah berhenti dan kehilangan ritmenya. Sejurus kudekatkan bibirku ke keningmu. Maaf kekasihku aku tak mampu bertahan lagi, dadaku rasanya benar-benar penuh airmata. Tiba-tiba saja aku tak mampu merasakan lagi tubuhku…
***
Di sebuah dipan kecil berseprai putih aku tersadar. Aku beranjak. Seseorang yang tak kukenal memberikan segelas air . Kuteguk air itu, wajahmu masih rapat rasanya di mataku. 

Kubasuh mukaku dan kuambil penyuluh. Aku berbaris di depan peti putih berbungkus rapi. Tempat kau berbaring dengan senyum yang sama saat kita bermain tebak-tebakan nama negara dulu. Pada Tuhan aku berbisik di ujung sholat itu “Tuhan, kalau cinta itu memang ada. Kumohon tutupkanlah jalannya di hatiku. Tutup sampai detik ini saja. Tuhan kumohon jagakan kekasihku, berikan ia tempat terindah ya Tuhan…”

Saat tubuhmu mulai dipindah dalam keranda hijau tua itu, aku berkeras untuk menjadi salah satu yang membawamu ke rumah terakhir.

Pelan dirimu makin hilang tertutup tanah merah. Wangi bunga yang ditaburkan kian membuatmu hilang. Semua bersegera pulang. Aku minta izin untuk lima menit lebih lama bersamamu. Memejamkan mata sembari melempar senyum ke arahmu. “kekasihku, aku mencintaimu”

***
Hari ini adalah hari ke-32 perpisahan abadi kita. 30 hari aku mengubur diri di kamar, menghabiskan tiap kalimat yang kau tulis di catatan-catatanmu. Aku tak ingin hanyut dalam pedih ini. Aku tahu kau akan marah lihat aku hanya bermalas-malasan dan bersedih sepanjang hari. 

Kekasihku, aku sudah tak murung lagi. Aku sudah beraktifitas seperti biasa lagi. Aku sudah mulai bisa tersenyum. Kekasihku semoga kau membaca catatan-catatanku. Karena hanya lewat catatan-catatan inilah aku menyapamu. Kalau kau tanya sampai kapan aku akan menulis catatan ini. Mungkin sampai Tuhan mempertemukan kita kelak.

 
note: penyuluh = wudhu
#Untukmu bunga rumputku…


Popular Posts