Monday, April 15, 2013

Berbelanja lalu menggunakan sebuah produk telah menjadi prihal keseharian kita. Tak peduli berapa usia dan jenis kelamin atau bahkan suku, kita pasti berbelanja dan atau menggunakan sebuah produk. Hampir setiap aspek kehidupan kita berbuhungan dengan produk, baik yang dihasilkan secara rumahan maupun produk industri besar.

Kualitas barang, harga dan juga inovasi produk biasanya menjadi pertimbangan kita selaku konsumen. Namun tak dapat dinafikkan kadang faktor promosi (baca: iklan) menjadi picu seseorang dalam memutuskann pilihan membeli atau menggunakan sebuah produk. Aspek rasionalitas menjadi hilang. Pada titik ini konsumen menjadi sangat rapuh, karena hanya digerakkan oleh pemahaman semu akan sebuah produk.

Untuk menggali lebih jauh pemahan dan persepsi konsumen, saya mencoba melakukan survei yang sangat sederhana terhadap 20 orang teman, keluarga dan kenalan. Ada empat hal yang saya tanyakan kepada mereka, meliputi ; apa pertimbangan mereka dalam memutuskan memilih produk, apakah iklan menjadi penentu pilihan produk mereka, apakah mereka mengetahui green product dana apakah mereka mempertimbangkan faktor ekologis dalam menentukan pilihan terhadap produk. Adapun responden dalam survei sederhana ini terdiri dari anak SMA hingga seorang doktor (Ph.D), dari pekerja LSM hingga banker dan sebagainya. Memang survei ini tidka bisa digeneralisasi sebagai perilaku konsumen kita, tapi paling tidak menjadi pijakan penulis dalam memahami perilaku konsumen.

Sumber : Survei sederhana Huzer Apriansyah/2013

Selanjutnya data mengenai bagaimana pengaruh iklan dalam menentukan keputusan pembelian produk.


Sumber : Survei sederhana Huzer Apriansyah/2013

Kemudian kita akan mencoba mengetahui apakah reponden mengetahuui tentang green product atau produk yang ramah lingkungan.

Sumber : Survei sederhana Huzer Apriansyah/2013

Sebagai pertanyaan terakhir dalam survey, penulis menanyakan apakah responden selama ini telah menjadikan aspek ekologis sebagai penentu dalam perilaku konsumsi mereka.
Sumber : Survei sederhana Huzer Apriansyah/2013

Demikianlah gambaran sekilas perilaku konsumsi responden survei yang penulis lakukan. Tentu saja hasilnya tidak bisa digeneralisir sebagai perilaku konsomen di Indonesia secara keseluruhan, tapi paling tidak member gambaran pada penulis persepsi dan pola konsumsi orang-orang di sekitar penulis.

Aspek ekologi sebuah produk ternyata belumlah menjadi pertimbangan penting bagi konsumen di Indonesia dalam menentukan pilihan produknya. Memang belum ada data resminya, tapi saya meyakini dari hasil survei sederhana penulis menggambarkan itu. Pengetahuan tentang produk ramah lingkungan juga masih rendah. Tulisan ini mencoba untuk mengajak konsumen Indonesia menjadi konsumen yang cerdas secara ekologis.

Kita mulai dengan pemahaman mendasar mengenai apakah produk yang ramah lingkungan itu. Produk ramah lingkungan menurut Ray Anderson, founder of Interface and all-around sustainability smart guy (2004) adalah produk yang paling tidak memiliki tujuh aspek. Ketujuh aspek tersebut adalah :

Mari kita bahas satu persatu aspek tersebut :

Aspek Inovasi

Perusahan yang melakukan inovasi terkait dengan proses hadirnya sebuah produk dan mencoba membuat proses produksi lebih sederhana dan tidak high energy consuming. Kemudian inovasi desain produk yang lebih minim material non-organiknya. Serta inovasi teknologi lainnya yang bisa membuat sebuah produk sangat ramah lingkungan. Aspek inovasi ini bisa kita telusuri dengan memahami who behind the product artinya kita mencoba memahami perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. 

Tugas konsumen cerdas adalah mengubek-ubek sisi dalam sebuah perusahaan, sehingga bisa mengetahui bagaimana produk mereka mengalami inovasi dan menjadikan inovasi sebagai basis perkembangan produk. Berat memang memahami aspek ini pada sebuah produk. Tapi kita bisa secara sekilas membaca profil perusahaan atau profil sebuah produk sebelum memutuskan membelinya.

Bahan Baku yang Tepat

Apakah sebuah produk menggunakan bahan baku yang tepat secara ekologis juga patut menjadi perhatian konsumen. Paling tidak kita harus punya tiga pertanyaan untuk tiap produk yang kita konsumsi (terutama yang frekuensi konsumsinya tinnggi) :

1. Produk pertanian/perkebunan :

- Apakah bahan bakunya datang dari kebun atau lahan pertanian yang ramah lingkungan (bukan di kawasan hutan, tidak menjadikan bahan kimia sebagai ujung tombak produksi dll) ?
- Apakah petani/pekebun dimana bahan baku dihasilkan sudah mendapat keadilan harga ?
- Apakah produk mengandung minyak sawit ? jika iya, kita harus paham bagaimana perkebunan sawitnya dijalankan ?

2. Produk Elektronik

- Bagaiman konsumsi energy produk tersebut ?
- Bagaimana desain pengolahan limbah dilakukan perusahaan ?
- Adakah kandungan limbah B3 dalam produk ? jika ada bagaimana perusahaan melimitasi dampak ?

3. Produk Makanan

- Apa dan bagaimana kandungan bahan bakunya ? Adakah unsur minyak sawit (biasanya ditulis sebagai unsur nabati/minyak nabati), jika ada pahami dari perkebunan mana mereka mendapat pasokan ?
- Bagaimana perusahaan menyiapkan pengolahan limbah untuk kemasan produk ?
- Adakah unsur inovasi kemasan yang ramah lingkungan ?

4. Produk Pakaian

- Darimana bahan baku berasal ?
- Apakah penggunaan pewarna pakaian memperhatikan aspek lingkungan ?
- Bagaimana limbah dikelola ? (Limbah tekstil di Indonesia termasuk yang berkontribusi merusak sungai-sungai terutama di Jawa Tengah dan Jawa Barat)

Jika kita berminat menjadi konsumen yang cerdas secara ekologis maka wajib bagi kita memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Tentu saja tidak untuk setiap produk, tapi paling tidak produk yang frekuensi penggunaannya sangat tinggi bagi kita. Bagaimana caranya ? Riset. Ya sumber di internet, review produk dan berbagai hal bisa kita gunakan dalam menggali informasi sebanyak-banyaknya.

Proses Produksi yang Clean and Green 

Ini adalah aspek dimana proses produksi sebuah produk mengindahkan aspek ekologis. Mulai dari bagaimana transportasi bahan baku, bagaimana efisiensi penggunaan energi dalam produksi, bagaimana aspek distribusi produk yang low energy dan juga bagaimana kebersihan proses produksi.

Bila kita ingin menjadi jadi konsumen cerdas secara ekologis memahami aspek produksi sebuah produk adalah mutlak kita lakukan.


Efisiensi Distribusi

Aspek distribusi produk dari tempat produksi hingga sampai ke tangan konsumen juga mutlak diperhatikan. Semakin jauh sebuah produk berasal maka semakin tidaak ramah lingkungan produk tersebut. Karena energy yang dibutuhkan untuk sampainya produk itu ke tangan kita semakin besar. Semakin panjang jalur transportasi semakin besar pula kontribusi produk itu akan emisi karbon secara global. So we must to think local product first !!

Penggunaan Rendah Dampak

Sebuah produk yang ramah lingkungan adalah produk yang dampak ekologisnya saat atau setelah digunakan kecil. Maka sebagai konsumen cerdas kita perlu memperhatikan dampak ekologis dari penggunaan produk. Jangan sekedar pakai lalu masa bodoh, it’s not fair.

Daya Tahan Produk (Made to Last)

Semakin kuat daya tahan sebuah produk dan panjang usia pakainya, maka semakin baik bagi lingkungan. Maka faktor daya tahan produk harus masuk dalam mindset kita sebagai konsumen cerdas.

Menghindari Ladang Pembuangan Sampah (Landfill)

Perusahaan yang memikirkan aspek lingkungan pada produknya, biasanya juga berpikir bagaimana mereka juga bisa terlibat aktif dalam manajemen sampah yang dihasilkan oleh produk mereka. Misalnya perusahaan ait minbum dalam kemasan, mereka akan memiliki mekanisme bagaimana mengumpulkan kembali kemasan tersebut, dan kemudian diolah kembali hingga tak perlu kemasan produk mereka memadati tempat pembuangan akhir sampah. Hal ini perlu masuk dalam kerangka berpikir konsumen cerdas.

Untuk mendorong ini pemerintah melalu ditjen SPK, kementerian perdagangan menyediakan banyak informasi tentang konsumen cerdas. Maka kunjungi saja http://ditjenspk.kemendag.go.id

***
Menjadi konsumen cerdas secara ekologis memang tak mudah. Negara-negara maju saja belum bisa secara maksimal mengedukasi konsumen mereka untuk aspek ekologi ini. Tapi bukan berarti kita tidak bisa ? Paling tidak kita bisa mencoba dari hal-hal sederhana. Pakai produk lokal, hindari produk yang menggunakan energi besar, cari produk dari perusahaan yang sudah bersertifikasi dalam aspek ekologi. Kita bisa memilih peduli atau tidak peduli dengan masa depan bumi ? So, the choice on your hand ! 

Artikel ini sedang diikutkan dalam lomba menulis
"Konsumen Cerdas"


Sunday, April 14, 2013

Mengakrabi Madura kali pertama lewat “Matahari di Atas Gili”, sebuah novel yang cerdas, dalam dan mengharu biru. Lintang Sugiarto sang penulis telah membawa imajinasiku menyelami kehidupan di Madura. Sisi gelap dan sisi terang Madura membaur, menghasilkan pelangi yang indah. Aku orang Palembang tapi “Matahari di Atas Gili” membuatku jatuh hati.

Sosok Suhada dan Suamar dalam novel benar-benar memberiku pemahaman betapa berkarakternya Madura, betapa lugas dan kerasnya kehidupan di pulau-pulau kecil seputaran Madura. 
Adegan carok yang muncul dalam novel member kesan ngeri dalam batinku. Tapi itu lah harga yang harus dibayar atas nama harga diri.
Karapan sapi, dimensi yang mengidentik dengan Madura. Banyak balapan yang nyaris serupa di nusantara, tapi karapan sapi melegenda sampai jauh. 

Belum pernah aku punya kesempatan menyaksikan langsung karapan sapi. Tapi beruntung Plat-M, kumpulan blogger Madura, tahun ini menggelar festival karapan sapi. Apa aku bisa hadir ? tentu tidak, kini aku jauh di Jambi sini. Tapi live tweet dan review festival membuatku merasa ada dalam keriuh rendahan. Tentu tak akan pernah sama dengan kehadiran langsung di arena. Tidak sekarang, tapi tak akan lama lagi. Aku akan menjadi bagian yang bersorak sorai disana.

Karapan sapi bukan sekedar aduh cepat, tapi juga dimensi relasi manusia, alam dan mahluk ciptaan lainnya (sapi dalam hal ini). Arena pacuan adalah representasi alam, seharusnya arena ini adalah sawah berlumpur. Pada dimensi profan ini adalah silaturahmi sesama petani, silaturahmi sesama manusia. Pada dimensi yang lebih sacral, ini adalah ekspresi syukur akan sinergi harmonis manusia dan alam.

Kehidupan adalah ruang berbagi dimana kebahagiaan datang dan pergi, bencana pun kadang mampir tanpa peduli. Karapan sapi adalah ruang membangun sinergi dan harmoni itu. Alangkah tak pantas jika kekerasan, keributan bahkan kerusuhan terjadi di festival budaya semacam ini. Untunglah dari laporan rekan-rekan Plat-M tak ada keributan atau kekerasa dalam festival ini. Kalah dan menang adalah warna-warni kompetisi. 

Senyum bahagia dan senyum kecut tak ceria memang berseliweran selama lomba, tapi tak menjadi alasan untuk berbuat kekerasan. Meski emosi terpacu, adrenalin meninggi tapi semua tetap berjalan dalam harmoni. Membanggakan, selamat untuk warga Madura.

Kalau ada yang melabeli warga Madura sebagai orang yang kasar, keras dan tak ramah. Maka lewat festival yang digelar anak muda Madura ini semua itu terbantah. Cuaca boleh panas selama lomba, tapi hati tak lantas membara. Debu dan sampah bisa jadi berserakan tapi jiwa tak lantas berisi kekerasan. Ada yang kecewa, tentu iya. Ada yang merona bahagia, pasti juga. Itulah romantika sebuah lomba. Tapi syukurlah Karapan Sapi 2013 tanpa kekerasan.

Kalau boleh sedikit berandai, tahun depan tatkala hal serupa kembali digelar. Ada baiknya kawan-kawan panitia mengupayakan livestreaming. Karena akan lebih asyik bagi kami yang mengagumi Madura dengan segala perangkat budayanya namun belum berkesempatan menjejak langkah kesana.

Memahami Madura memang membutuhkan keintiman, baik dengan orang-orangnya maupun dengan ragam budayanya. Lintang Sugiarto, sang novelis “Matahari di Atas Gili” telah membawa Madura menjadi begitu nyata di hadapan pembaca. Kini saatnya anak-anak muda Madura juga membawa Madura dan atribut budayanya menjadi kebanggaan nusantara dengan cara mendekatkannya ke seluruh penghuni Indonesia. Tak perlu memaksa mereka menjejak langkah hingga kesana, cukup sajikan semua via dunia maya.

Di luar soal keluh kesah bahwa masih ada kekurangan disana sini dalam penyelenggaraan , tapi apa yang digagas anak-anak muda Madura lewat festival ini sungguh mengagumkan. Semoga menginspirasi kami di berbagai belahan negeri. Intensitas persahabatan di dunia maya bisa menjadi sesuatu yang bermakna di dunia nyata. Salut untuk pencapaian ini. Festival berlangsung lancer dan karapan sapi 2013 tanpa kekerasan
 


Pencapaian yang sudah ada layak saja disyukuri tapi semoga tak lantas menjadi puas diri. Festival dan event yang lebih keren dan membumi akan selalu dinantikan dair tanah Madura. Bukan hanya orang Madura yang menantikan, tapi seantero nusantara pun ikut menanti.

Tak perlu lagi berteriak adu kencang untuk menapik anggapan bahwa orang Madura keras, kasar dan suka keributan. Buktikan saja dengan karya dan buat dunia bungkam dan memahami bahwa Madura adalah negeri dengan karakter, negeri yang mencintai harmoni.

Pada akhirnya selamat untuk Plat-M, Idbuzznetwork.com, Idblognetwork.com serta seluruh masyarakat Madura yang telah mengelar Karapan Sapi 2013 Tanpa Kekerasan. Tabik !

Foto bersumber dari : www.plat-m.com

Photobucket

Photobucket




Waktu terasa gegas hanya di dermaga, selebihnya waktu hanya nisbi, begitulah di Penyalai. Pernah mendengar nama tempat itu ? Iya Penyalai. Ah, kurasa satu dalam seribu saja diantara kita yang mengenal nama itu. Tak ada yang istimewa disitu, hanya waktu yang tak pernah benar-benar eksis. Dari sepotong tanah di timur laut Sungai Kampar inilah kutemukan sisi lain Indonesia.


Mereka ber Indonesia dengan sederhana, begitu kata teman seperjalananku sepulang dari Penyalai. Penyalai berada di Pulau Mendol, Kabupaten Pelelawan, Riau. Tak ada atribut-atribut mentereng yang menandakan sepotong tanah ini adalah Indonesia. 

Tak ada bendera-bendera lebar yang berkibar di dermaga, tak pula ada slogan-slogan besar pengusung “nasionalisme baliho”. Tak ada percakapan-percakapan serius tentang masa depan Indonesia. Hanya canda-canda kecil khas Melayu saja yang mewarnai warung-warung kopi di sepanjang jalan kecil pasar- pelabuhan.

Tujuh suku dan etnis bersaling silang kepentingan di pulau ini. Terbesar adalah suku akit (mereka lebih suka menyebut diri sebagai suku asli) dan suku Melayu, di luar itu ada suku Jawa, Bugis, Minang Batak dan etnis Tionghoa. Tak pernah ada kisah keributan dan kisruh besar yang bermuara pada keragaman di Penyalai.

Pernah dulu suku akit ditakuti karena kebiasaan mereka menggunakan senjata tradisional menyerupai sumpit dan banyak juga kebiasaan mereka yang diluar kelaziman orang Melayu sebagai suku terbesar kedua disana. Lantas muncullah anggapan bahwa suku akit adalah kelompok yang jorok, buruk laku dan juga menakutkan. Stigma inilah yang mewarnai perjalanan Penyalai yang merupakan rumah bagi sekitar 700 orang suku akit. 

Namun itu dulu, kini seiring makin dewasanya penduduk Penyalai, tergerus pulalah sejarah panjang “permusuhan” suku akit yang merupakan penduduk asli dengan para pendatang, terutama Melayu dari Sumatera daratan. 

Persahabatan antar penghuni Penyalai akhirnya menemukan bentuknya sendiri. Tak ada kegiatan-kegiatan seremonial yang melambangkan persahabatan mereka. Hanya ketika anda ada di Penyalai akan terasa masing-masing suku ini saling memaklumi perbedaan dan menikmatinya sebagai sebuah keunikan. 

Kalau petang orang-orang suku asli tengah mencari rameh-rameh (sejenis kepiting kecil yang banyak ditemukan di gambut) di pinggir jalan mungil di Penyalai, maka kadang anak-anak suku Melayu membantu mereka mencari. Manakala orang-orang Tionghoa sibuk dengan warung mereka, terkadang orang-orang suku asli ikut membantu mencarikan makanan untuk ternak mereka. Saat orang-orang Melayu panen kelapa, orang-orang Jawa terkadang hadir membantu mereka memanjat kelapa. Begitupun kala pelaut-pelaut Bugis mendapat penghasilan yang besar dari laut, mereka berkumpul merayakan “kemenangan” dengan penduduk lain. Begitulah Penyalai, semua berlangsung secara sederhana. Mereka ber Indonesia dengan sederhana saja !

Penyalai, namanya samar saja kudengar. Tapi entah mengapa menginjakkan kaki di pulau kecil ini, membuatku yakin bahwa Indonesia itu memanglah ada. Penyalai tak sibuk dengan hiruk pikuk pembangunan infrastruktur seperti di kota-kota besar di nusantara. Hanya jalan semen sederhana, sebuah pasar tua dan sebuah dermaga yang yang tak bisa dikata muda. Hanya itu infrastruktur penting di Penyalai. Namun bukan berarti kebahagiaan jauh dari orang-orang Penyalai. Kala Adzan maghrib datang, semua aktivitas terhenti tak peduli muslim atau bukan. Tapi begitulah penghuni Penyalai menghargai waktu yang penting bagi umat muslim itu. Listrik memang ada tapi sangat terbatas, tak lebih dari jam 10 malam. Gelap gulitalah Penyalai. Itu juga yang di seputar pasar, selebihnya memang belum teraliri listrik. Malam selalu syahdu di Penyalai, begitu kata pedagang nasi di dekat kami menginap.

Penyalai memang bukan tempat wisata yang molek dengan pantai pasir putih atau sajian tradisi. Tapi, justru dalam keitadaan itulah aku melihat wajah Indonesia lebih jelas dan indah. Indonesia yang kusaksikan dalam keindahan dan beragam “jualan” wisata lainnya kadang hanya ada kamuflase. Semua serba panggung, tapi tidak di Penyalai, semua mengalir begitu saja. Tak ada tradisi yang “dibangkitkan dari kubur” hanya untuk menangguk wisatawan. Tak ada pula orang suku asli yang dirias agar bisa menarik perhatian wisatawan. Semua berjalan biasa saja.

Sebuah jalan semen yang lebarnya tak lebih dari satu meter adalah satu-satunya jalan di Penyalai, panjangnya sekitar 3 tiga kilometer, menghubungkan satu dusun dengan dusun lainnya, melewati kawasan gambut yang tak berujung. Tapi di jalan mungil itulah satu sama lain saling bersapa, saling tersenyum dan saling bersenda gurau. Jalan semen itu semacam nadi kehidupan di Penyalai, dimana kabar dan kisah berlompat-lompatan dari tiap percakapan.

Tentu saja bukan kabar atau kisah-kisah besar seperti di teve nasional. Hanya kabar dan berita sederhana saja. Semisal kabar harga kopra yang turun atau prihal kalung emas warga dusun yang hilang di ladang atau juga kisah anak kecil yang melihat pocong di ujung dermaga. Begitulah, kisah-kisah biasa saja. Tapi kisah-kisah biasa itulah menggerakkan kehidupan di Penyalai. 

Kala malam kian meninggi, hanya suara burung layang-layang (walet) yang berisik, selebinya adalah sunyi. Apa penghuni Penyalai menggerutu atas sunyinya hidup mereka. Ternyata tak terlalu. Mereka bersyukur karena tak terlalu banyak hiburan di Penyalai, anak-anak hingga remaja masih menjadikan masjid sebagai tempat berkumpul, sekedar mendengar kisah dari ustadz atau mengaji beberapa ayat. Karena hidup tak terlalu rumit di Penyalai, anak-anak muda Jawa atau Bugis masih setia dengan pertanian dan juga mencari ikan. Orang-orang suku akit juga masih mangandalkan berburu babi sebagai penghasilan.

Menyaksikan Penyalai dengan romantikanya, membuatku sedih sekaligus bahagia. Sedih, karena mereka seperti sekumpulan orang-orang republik yang dilupakan. Tapi bahagia karena mereka ber Indonesia dengan kaya raya. 

Perbedaan adalah ruang yang mereka apresiasi dengan sederhana, kekurangan mereka anggap sebagai kesempatan untuk terus menjadi sederhana dan tak tamak. Ah, ini semua mungkin karena aku muak ber Indonesia a la kita yang penuh basa basi. Ke-Indonesiaan kita adalah riasan, sedangkan di Penyalai Indonesia itu adalah substansi. 
Bukankah Indonesia kita ini diciptakan agar penghuninya menjadi riang dan senang, tanpa mengkhawatirkan perbedaan. Kutemukan itu di Penyalai.

Foto by : huzer apriansyah


Tidak dapat ikan mi hari ini,” tatapan anak yang kutaksir tiga belas atau empat belas tahun itu tampak lesu. Ia seret sampan ke tepi, hanya satu dua ikan-ikan kecil yang ia genggam. Sang adik yang menunggu berusaha tetap tersenyum meski kurasakan getir dari matanya.

Peristiwa itu kualami di Puntondo, Takalar. Entah mengapa peristiwa itu membekas begitu dalam. Dua bersaudara itu hidup bersama tiga saudara lainnya yang masih kecil dan seorang ibu. Sang bapak pergi beberapa tahun sebelumnya, dihantam gelombang saat melaut. “Seharusnya bulan itu tidak ada gelombang besar,” begitu sesal sang ibu jika mengingat peristiwa kelabu di awal Juli 2002 itu. Kini anak tertua mereka menjadi tumpuan penghidupan. Tak ada pilihan, ke laut dan mencoba meraih kemurahan rahmat dari lautan yang membiru.

Sayang mencari tangkapan tak semudah dulu, membaca angin dan musim bukan perkara mudah lagi. Jaring dan pancing seperti kehilangan taji, banyak yang menyerah dan mencoba cara yang tak ramah, bom ikan. Tapi si kecil berwajah teduh itu menolak. “Tidak mau mi, rusak semua nantinya.” Iya menolak menggunakan bom ikan. Banyak hal buruk yang akan terjadi menurutnya, ia banyak membaca hal itu dari buku-buku yang ia bisa pinjam di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Puntondo yang tak jauh dari dusunnya itu.

Anak kecil berwajah teduh itu sudah mengenal banyak hal tentang melaut dari almarhum ayahnya. Laut itu rumah bagi kita, disanalah kita mencari penghidupan. Hancur laut, hancur hidup kita. Begitu hal yang ia dapat dari sang ayah. Usianya memang masih ranum, tapi pahitnya hidup membuatnya berpikir di luar kebiasaan umum.

Kalau sedang tak dapat tangkapan, ia kesal dan marah. Kadang terlintas untuk mencoba menggunakan bom, tapi ia tahu langkah itu salah. Kerusakan akan jauh lebih besar dari kemanfaatan. Ikan-ikan kecil mati, bahkan karang bisa luluh lantak. Masa depan akan semakin suram tentunya.

Perjumpaan dengan anak bermata teduh itu memang sekilas, bahkan aku tak mampu mengingat namanya. Hanya selembar foto saat ia mendayung saja yang kusimpan sebagai kenangan. Menjadi semacam penanda bagiku bahwa kearifan tradisional yang mengedepankan harmoni alam dan manusia menjadi sedemikian rapuh. Karena alam semakin tak terbaca. Bukan karena alam angkuh, tapi manusialah yang terlalu bergemuruh. Berusaha menaklukkan alam bukan memahami dan membangun harmoni.

Tak hanya di Puntonto, Takalar, masyarakat-masyarakat adat yang hidup di pesisir bahkan di laut seperti orang Bajo juga menghadapi kenyataan yang memilukan. Penghidupan mereka terancam.

***

Beribu kilometer jauhnya dari Puntondo, sekian waktu dari perjumpaan dengan anak bermata teduh, aku berjumpa dengan orang akit di pulau-pulau kecil Riau. Aku bersua dengan mereka di Pulau Rupat, Pulau Mendol dan Pulau Kundur. Orang akit juga mengandalkan laut dan hutan sebagai ruang penghidupan mereka.

Adalah Pak Ahmad, sesepuh orang akit yang tinggal di Penyalai menuturkan betapa rapuhnya hidup mereka sejak hasil laut semakin sulit, ombak dan gelombang yang tak lagi bisa ditebak dengan perangkat pengetahuan khas mereka. Ditambah hadirnya nelayan besar yang kadang tak lagi memikirkan hari depan. Menyikat habis apa yang bisa mereka sikat. Pukat mereka tak akan sanggup ditandingi jaring-jaring sederhana atau mata kail milik orang akit.


Pada masa lalu, orang akit rumahnya saja mengambang di permukaan laut, perahu menjadi bagian dari identitas mereka. Tiap perahu memiliki roh dan jiwanya masing-masing. Perahu menjadi sesuatu yang penting dan sangat dihargai. Tanda-tanda alam mereka baca dengan seksama. Dimana arah bintang, arah hembusan angin hingga suara burung menjadi penanda mereka dalam memahami alam. Tapi kini alam seolah menutup diri; tak tertebak dan cenderung tak bersahabat.

Kini orang akit makin terserak dan hidup makin berat, kecuali orang akit yang ada di Pulau Rupat, selebihnya mereka hidup dalam tekanan yang begitu hebat.


Halam nioma la rubuh,” begitu tafsir orang rimba menyikapi perubahan alam. Orang rimba adalah komunitas adat marjinal lainnya yang ada di Sumatera. Setali tiga uang dengan nasib komunitas adat di Riau dan Sulawesi. Orang rimba merasakan betapa sudah berubahnya alam. Musim buah tak lagi bisa dipastikan, musim tak bisa diperkirakan sama sekali. Hujan lebat kadang turun hingga Juni, kemarau kadang menyentuh Januari. Binatang buruan pun menjadi kian susah dicari. Alam sudah hancur, begitu kata mereka. Dewa-dewa sudah tak mau datang ke mereka karena rimba mereka sudah hilang.

Tiap komunitas terutama masyarakat adat, punya caranya yang khas dalam menghadapi perubahan ini; Di Sulawesi nelayan-nelayan tradisional merafalkan doa-doa panjang agar Tuhan menganugerahkan penghidupan dari laut. Orang Akit mulai menjadikan pertanian sebagai alternatif penghidupan dan orang rimba berjibaku mempertahankan hutan mereka yang tinggal sepotong. Iklim boleh berbubah, tapi kehidupan tetap harus ada.

Tiap komunitas adat memiliki kearifannya masing-masing dalam membaca dan memahami tanda-tanda zaman. Mereka mempertahankan apa yang bisa mereka pertahankan, mereka bahkan tak tahu perjuangan mereka memiliki dampak global. Tatkala nelayan di pesisir Sulawesi memilih tak menggunakan bom ikan, agar terumbu karang tak rusak, saat orang akit mulai menanami tanah mereka yang gersang dengan kayu-kayu besar atau ketika orang rimba berjuang mempertahankan tiap jengkal hutan mereka. Sejatinya mereka sedang berkontribusi bagi bumi.

Mereka memang tak mengekspose apa yang mereka lakukan, mereka tidak memberitakannya apalagi mengiklankannya. Mereka melangkah dalam diam, sembari tetap berharap berkah dari alam.

***

Apapun yang dilakukan oleh siapapun dalam rangka memperbaiki kualitas ekologis, patutlah bercermin pada apa-apa yang sudah dilakukan komunitas adat di seluruh nusantara. Pengetahuan tradisional mereka layak dijadikan referensi, cara mereka berkomunikasi dengan alam layak menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan konservasi, kearifan mereka layak pula kita tiru, karena sejatinya masyarakat adat jauh lebih dekat dengan alam. Pada merekalah kita belajar bukan justru kita menjadi pengajar.

Indonesia sudah berkomitmen mengurangi emisi karbon, maka sesungguhnya kita sudah memiliki modal dasar untuk melakukan itu, kearifan dan pengetahuan masyarakat adat yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Mereka punya cara dan pola, kita tinggal mendata dan mengolah. Semoga masyarakat adat selalu dilibatkan dalam setiap upaya membangun tradisi adaptasi perubahan iklim atau upaya pengurangan emisi karbon. Karena mereka ada dan mengada bersama alam, sedang kita kadang hanya memahami permukaan alam. Tabik !



Foto 1 : Anak bermata teduh mengayuh sampan

Foto 2 : Seorang anak orang akit

Foto 3 : Dua anak orang rimba

Semua foto adalah karya penulis/huzer pariansyah

Tuesday, April 9, 2013


Kita kadang tak pernah menyadari memiliki cinta, sampai kita kehilangannya. Ada yang menyesali kehilangan cinta, bukan karena kehilangan cinta itu sendiri, melainkan karena tak melakukan apa-apa saat menyadari cinta telah pergi. Aku tak mau menjadi seperti yang terakhir. Sesulit dan sekecil apapun peluang itu, aku akan melakukan yang terbaik untuk mempertahankan cinta itu.

Mengakhiri hidup dalam penyesalan bukan hal terbaik, atau menjalani hidup dengan orang yang tak benar-benar dicintai bukan cara terbaik menikmati waktu yang tak panjang ini.

Suatu hari aku menyaksikan seorang kakek dan nenek tampak bahagia menjaga sawah dan kolam ikan mereka. Aku bertanya mereka benar-benar bahagia ? atau mereka sekedar menjalani sisa hidup mereka ? Menyaksikan senyum-senyum di wajah renta kakek dan nenek itu, membuat aku menjadi merasa bodoh dengan pertanyaan di dalam hatiku tadi. Cinta bukan sesuatu yang harus dipertanyakan, melainkan dijalani. Cinta bukan untuk diucapkan, tapi dirasakan.

Terhenyak mendapati kenyataan betapa kompleknya perjalanan yang harus kulalui untuk satu kata ini “cinta”. Sesuatu yang seharusnya sangat sederhana andai saja cinta kulihat sebagai proses bukan sekedar hasil akhir. Andai saja cinta bukan sekedar pada urusan saling memilki melainkan saling merelakan. Bukan saling membelenggu, melainkan membebaskan, andai cinta kumaknai sebagai keikhlasan bukan dendam.

Tapi benarkah mencintai itu tak selfish, benarkah ada cinta yang bisa mentolerir perselingkuhan ? Benarkah ada cinta yang bisa berlega hati mengetahui pasangan bermesra dengan orang lain ? Ah, mungkin tidak. Tapi aku pernah menyaksikan sebuah keajaiban untuk yang satu ini. Keajaiban itu tidak datang dari orang-orang terkenal, bukanpula dari dongeng-dongeng cinta klasik. Keajaiban cinta itu kusaksikan dari seorang difabel yang sedari kecil sudah tak bisa melihat. Istrinya berselingkuh, bahkan hingga punya anak. Aku tahu ia terluka, bahkan mungkin hancur berkeping-keping. Aku ada di sampingnya saat sahabatku itu menangis. Tapi ia tak mengutuki hidup, ia tak mengutuki pasangannya, ia tak mengutuki orang ketiga yang menghamili istrinya. Ia justru memaafkan mereka.

Bayangkan, saat istrinya ditanya memilih dirinya atau selingkuhan istrinya, dengan tegas dan jelas di hadapan puluhan orang sang istri menjawab memilih selingkuhannya. Aku sebagai sahabatnay menangis, tapi sahabatku itu justru tersenyum. Aku menangis karena aku tahu betapa sahabatku itu mencintai istrinya. Tapi suratan hidup membuatnya terluka dalam.

Ia menjalani hidup bersama anaknya yang  masih belia, sedang sang istri hidup dengan selingkuhannya. Tak lama sang istri mengemis di kaki sahabatku itu untuk kembali diterima. Sungguh sebuah keajaiban hati, sahabatku itu menerima istrinya kembali, bahkan merawat sang anak hasil perselingkuhan istrinya itu. Aku bertanya pada sahabatku itu, koq bisa ? sederhana jawabnya “Tak ada gunanya menghabiskan sisa waktu dengan mendendam, urusan perselingkuhannya adalah urusan dia dan Tuhan,” tertegun aku mendengar ucapan sahabatku. Ia boleh seorang difabel secara fisik, tapi hatinya sejernih telaga dan seluas samudera. Cinta adalah kerelaan saling memaafkan.

Aku pernah menyakiti bahkan menghancurkan hidup seorang perempuan yang kucintai bukan sekali tapi puluhan kali mungkin aku menyakitinya. Ia tak berhenti mencintaiku, ia mengorbankan diri untuk sekedar membuatku tersenyum. Tapi aku tak melihat itu, aku membiarkan hati yang luar biasa itu menjadi tak berdaya, terluka dan hancur. Aku tak tahu cara mencintai, aku sudah terlalu sibuk mengutuki dunia dan mengutuki diriku hingga lupa seseorang berjuang setengah mati menanggung beban yang kulabuhkan di pundaknya.

Kini ia sudah bahagia, ia sudah tersenyum, duka yang kugoreskan telah terhapus oleh orang-orang yang lebih bisa membuatnya bahagia. Aku bahagia mengetahui hal ini. Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaannya. Aku memang bukan apa-apa lagi baginya, tapi aku berjanji akan membuatnya tersenyum selalu, tak peduli untuk itu aku harus menangis.

Pada akhirnya tiap manusia menjalani takdir cintanya masing-masing. Semua memiliki muasal dan pula pada saatnya memiliki muara. Begitupun aku, aku ingin bermuara pada senyum, karena hidup terlalu singkat untuk selalu menangis dan marah.


Popular Posts