Wednesday, August 13, 2008



Road is a field of war, begitulah rasanya jika kita menyaksikan warna warni jalanan. Keselamatan bukanlah prioritas, begitupun solidaritas, etikapun kandas. Jalan raya telah menjelma menjadi medan perang; yang kuat yang menang, ganas, kejam dan kadang tak berperadaban.

Harus berapa nyawa lagi yang melayang karena ego dan mentalitas pengguna jalan, mengapa menjadi tertib dan beretika menjadi amat sangat sulit di negeri ini ? sekedar menunggu maksimal 180 detik atau tiga menit saja di traffic light sangat sulit bagi kita ? Mengapa untuk sekedar memberi kesempatan pada pengguna jalan lain menjadi sesuatu yang sungguh langkah ? Pejalan kaki kehilangan haknya, trotoar disambar motor dan bajaj, zebra cross disapu kendaraan yang malas menunggu di belakang garis batas. Angkutan umum menjadi preman jalanan; bajaj, taksi, bus semua tunggang langgang seenaknya, tak peduli etika apalagi aturan. Aturanpun telah menjadi komoditas di jalanan. Traffic goes on by instinct not by rules.
Tulisan ini mencoba melihat kompleksitas permasalahan di jalan dari sisi regulasi mengenai izin mengemudi (SIM). Karena bisa jadi pangkal dari buruknya mentalitas pengguna jalan diakibatkan buruknya pola dan mekanisme penerbitan SIM.

Sudah jadi rahasia umum jika urusan buat membuat SIM itu bukan perkara yang terlalu sulit. Banyak jalan menuju kursi kemudi, begitu kira-kira mottonya. Jalan pintas mendapatkan SIM tersedia dengan beragam variannya. Datang saja ke satuan lalu lintas di tingkat polisi daerah rasanya mata dan insting anda tidak akan terlalu sulit menemukan jalan pintas itu.

Urusan SIM ini diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 44 tahun 1993 tentang kendaraan dan pengemudi. Secara umum ada dua ujian yang harus diikuti yaitu ujian teori dan praktek. Tapi mari tanyakan pada orang-orang di sekitarmu, berapa orang yang betul-betul mengikuti ujian teori dan praktek ini ? Dari survei kecil yang saya lakukan terhadap lima belas orang teman yang memiliki SIM, hanya satu orang yang benar-benar mengikuti tes tersebut, sisanya tak mengenal tes tersebut.

Delapan butir syarat memiliki SIM pada PP No 44 tahun 1993 pasal 217 (1) sejauh ini tak mampu menjamin bahwa pemegang SIM bisa memiliki etika, disiplin dan kemampuan berlalulintas yang memadai. Jika menilik mentalitas dan perilaku pengguna jalan dan data statistik jumlah pelanggaran dan kecelakaan di jalan raya rasanya pantas kita mencoba melihat kembali prosedur dan tata kelola perizinan mengemudi.

Tahun 2004 menurut menteri perhubungan ketika itu, Hatta Radjasa ada kurang lebih 30.000 angka kematian tiap tahunnya akibat kecelakaan lalu lintas. Artinya kecelakaan lalu lintas menjadi “pembunuh” terbesar ketiga setelah jantung dan stroke di Indonesia. Sisi mana yang perlu kita lihat dalam proses penerbitan izin mengemudi ?

Secara umum ada empat jenis pengemudi di jalan raya kita. Pengemudi kendaraan bermotor roda dua, pengemudi kendaraan (mobil) pribadi, pengemudi kendaraan angkutan umum, dan pengemudi angkutan barang. Jika menggunakan pembagian berdasarkan kepemilikan SIM, ada pemegang SIM C dan D, SIM A, A Umum SIM B I dan B II. Masing-masing jenis pemegang izin mengemudi berdasar jenis dan kegunaan kendaraan sebenarnya memiliki tingkat kesulitan masing-masing. Sayangnya hal ini tidak mendapat perhatian dengan jelas di PP nomor 44 tahun 1993 tersebut. Perbedaannya hanya pada prasyarat kepemilikan SIM. Harus memiliki SIM A untuk mendapat SIM A umum, memiliki SIM A umum atau B I untuk memiliki SIM BI umum dan seterusnya. Aspek psikologis dan sosiologis luput dari perhatian. Memang pada pasal 240 diatur mengenai waktu bekerja bagi pengemudi angkutan umum. Namun, itu saja belum cukup.


Aspek Psikologis
Tiap individu secara alamiah memiliki keunikan atau kekhasan dalam dirinya. Termasuk menyangkut karakter emosi dan kecenderungan perilaku. Mengingat kecendrungan karakter inilah yang akan menjadi modal bagi pengemudi kendaraan dalam melakukan interaksi di jalan raya dengan sesame pengguna jalan. Maka kecendrungan emosi ini harus diketahui dan dipahami oleh tiap-tiap pengemudi.

Pengukuran kecenderungan karakter emosional ini harus menjadi salah satu item penting dalam driving license test. Di beberapa Negara maju seperti Swedia, Swiss dan beberapa Negara Eropa lainnya menjadikan aspek psikologis sebagai aspek penting dalam proses kepemilikan izin mengemudi.

Berbekal pengetahuan akan karakter pribadi dan karakter-karakter pengemudi lainnya tentu akan menjadi pondasi untuk saling memahami antar pengguna jalan. Agresivitas yang berlebihan di jalan raya telah menjadi salah satu sumbu permasalahan keruwetan transportasi kita. Hal ini tentu saja menyangkut aspek psikologis pengemudi. To combat aggressive behavior on the road attitude and behavior modification is required (American Institute for Public Safety), maka yang dibutuhkan adalah pendekatan psikologis dengan memodifikasi perilaku dan kebiasaan pengguna jalan.

Proses modifikasi ini bisa dilakukan mulai dari awal, yaitu mulai dari fase tes kepemilikan SIM. Data kecendrungan emosi inilah yang harus diketahui oleh calon pemegang SIM sendiri. Calon pemegang SIM juga harus mengetahui kecendrungan karakter emosi lainnya di jalan. Dari data psikologis tersebut, pihak berkompeten seperti direktorat lalu lintas kepolisian atau departemen perhubungan dapat mejadikannya acuan dalam melakukan treatment terhadap masing-masing golongan berkecendrungan emosi tertentu.

Dalam konteks klasifikasi kelompok kecendrungan psikologis pengemudi dapat menggunakan basis teori Karl Gustav Jung (1875-1961), analisis untuk memahami tipe kepribadian ini menggunakan perangkat yang disebut MBTI Myers-Briggs Type Indicator. 16 kemungkinan tipe kepribadian yang mungkin dimiliki seorang pengemudi berdasarkan persepsi, penilaian (judgement) dan sikap bisa dijadikan dasar dalam memahami kompleksitas perilaku pengguna jalan.

Harapannya dengan menggunakan pendekatan psikologis dalam tes kepemilikan SIM, dapat membuat pemegang SIM tahu apa dan bagaimana kondisinya secara psikis, hingga bisa mengambil keputusan dan berperilaku secara tepat dalam berkendaraan. Disisi lain ia bisa mengetahui dan mencoba memahami karakter dan perilaku pengguna jalan lainnya. Pada akhirnya proses interaksi sosial di jalan diharapkan bisa dibangun atas kesalingsepahaman bukan di atas jungle law, siapa yang kuat dia yang menang.

Penekanan aspek psikologis dalam tes kepemilikan SIM, bisa saja terasa berlebihan. Namun, paling tidak ada tiga hal yang bisa dijadikan alasan; Mentalitas pengguna jalan di Indonesia sudah sampai pada kondisi yang memprihatinkan. Hal kedua, angka kecelakaan yang sangat tinggi sebagian besar disebabkan oleh perilaku mengemudi yang buruk. Hal ketiga, premanisme berkenderaan telah menjadi patogen di jalan.
Aspek Sosiologis
Secara sosiologis pengemudi dibagi menjadi dua kelompok besar, pengemudi kendaraan pribadi dan pengemudi kendaraan umum. Masing-masing memiliki karakter sosial yang berbeda. Pengemudi kendaraan pribadi cenderung tidak dipengaruhi kondisi sosial masyarakat, tidak dipengaruhi secara langsung oleh target setoran dan digunakan untuk kepentingan yang sifatnya individual serta tidak memiliki rute atau trayek tertentu. Sedangkan pengemudi kendaraan umum memiliki ciri-ciri yang berkebalikan dari ciri sosial pengemudi kendaraan pribadi.

Biasanya pengemudi kendaraan umumlah yang kerap menjadi sumbu masalah dari berbagai keresahan di jalan. Perilaku ugal-ugalan, berhenti di sembarang tempat dan berbagai perilaku agresif lainnya telah menjadi semacam brandmark pengemudi kendaraan umum, preman jalan raya sebutannya. Kondisi ini sebenarnya tidak bisa digeneralisir karena masih ada juga pengemudi angkutan umum yang beretika dan tertib dan banyak juga pengemudi kendaraan pribadi yang lebih “preman” dari pengemudi kendaraan umum.

Proses berlalu lintas sejatinya adalah proses interaksi sosial dimana masing-masing komponen memiliki posisi dan fungsinya masing-masing yang kemudian melakukan kontak sosial satu sama lain. Paling tidak ada empat pelaku dalam proses interaksi sosial tersebut. Pengemudi kendaraan pribadi, pengemudi kendaraan umum, pejalan kaki dan polisi atau aparat sejenis. Keempat pelaku itu semua berada di bawah rules tertentu, yaitu peraturan lalu lintas dalam segala bentuknya.

Masing-masing unsur memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Maka dalam konteks tes kepemilikan SIM. Rasanya perlu memasukkan unsur interaksi sosial ini sebagai item dalam proses tes. Pola interaksi sosial ini perlu dipahami oleh tiap calon pemegang SIM. Harapannya agar proses interaksi sosial di jalan dapat dibangun beradasarkan pembagian fungsi dan kerja. Sehingga masing-masing unsur dapat menghormati dan menghargai hak satu sama lain.
Proses Kepemilikan SIM
Sejauh ini proses kepemilikan SIM di Indonesia hanya bersifat formal prosedural. Idealnya ada tiga tahapan dalam rangka kepemilikan SIM. Meliputi ; pra tes, tes dan pasca tes, dimana ketiga fase saling terkait. Pra tes, inilah fase edukasi bagi calon pemegang SIM, maka pihak berwenang perlu dan harus melakukan proses edukasi yang bersifat komperhensif. Sehingga seorang calon pemilik SIM tidak hanya datang saat (katanya) ujian teori dan praktek tetapi sebelumnya sudah melakukan proses belajar. Tak ada tes tanpa fase belajar, begitu kira-kira semboyannya.
Fase kedua adalah fase tes, dimana tes kepemilikan SIM harus berlangsung secara praktis, transparan, komperhensif dan jujur. Tak ada lagi jalan pintas menuju kursi mengemudi. Fase ketiga adalah fase pasca tes. Inilah fase pemantauan, dimana aspek penegakan hukum menjadi sangat penting. Bila perlu ada aturan yang mengatur jumlah maksimal pelanggaran. Jika melebihi jumlah tertentu maka SIM akan dicabut dan pemilik SIM dilarang untuk memiliki SIM seumur hidupnya.

Tentu saja gagasan di atas terasa amat menggantung di awan. Apalagi kerumitan yang ditimbulkan oleh perubahan ini. Undang-undang baru, peraturan baru, mekanisme baru, anggaran besar yang baru, sumber daya manusia baru dan sebagainya-sebagainya. Namun, ikhtiar memperbaiki kondisi bangsa ini rasanya tetap perlu digulirkan. Bukankah budaya berlalu lintas adalah cerminan budaya suatu bangsa..?

Popular Posts