Wednesday, February 26, 2014


Bukit-bukit bercadas tampak sekeliling, tumbuhan berduri menjalari tanah-tanah gersang . Entah sudah berapa mil jauhnya dari rumah, di Kiva, Kenya aku singgah. Sebuah perjalanan panjang, yang bahkan dalam mimpi pun tak terbersit untuk sampai di  sudut bumi ini. Ya, begitulah hidup, ada kejutan dalam tiap fasenya.

Aku duduk di sebuah gundukan tanah, tak jauh dari pasar tradisional. Buah, kerajinan tangan dan bahan pokok terjaja di kios-kios kayu, bentuknya lebih mirip pondok kayu tinimbang kios. Tiap ada mobil singgah, pedagang akan berlari menjajakkan sesuatu. Suasana begitu hiruk pikuk, untunglah banyak dia antara penduduk lokal berbahasa Inggris dengan sangat baik hingga aku bisa mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.Bahasa inggris merupakan bahasa resmi kedua setelah swahili. Tak heran anak-anak kecil pun fasih berbahasa Inggris dengan aksen british yang kental.



Dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan mengamatiku dari kejauhan. Kucoba menyapa mereka lewat senyum kecil yang kulempar pada mereka. Mereka mendakat, tak  butuh waktu lama untuk kami akrab. Kamera yang kubawa menjadi media yang mengakrabkan. Kuajarkan cara membidikkan kamera dan mengambil gambar, lantas mereka mengambil gambar. Tak hanya itu, kami belajar bersama, ah anak-anak memang selalu menyenangkan. Bahkan di sebuah negeri yang kerap dilanda konflik dan kekurangan pangan ini pun anak-anak tetap membahagiakan.

Aku menatap pancaran mata yang luar biasa dari mereka, ada energi harapan yang sulit dijelaskan. Di sebuah negeri yang masih berjibaku dalam kemiskinan dan ketakadilan serta eksploitasi korporasi macam di Kenya, anak-anak seperti inilah yang bisa jadi harapan. Masa depan Kenya ada pada mereka.



Pasar masih gaduh, tiga anak-anak itu bercerita tentang keseharian mereka. Tiba-tiba rindu meluncur di hatiku, seperti butiran embun yang menyesap, menyejukkan. Berbanding terbalik dengan sengatan matahari disini.

Tiba-tiba lamunanku terbang teringat kampung halaman, teringat sepupu-sepupu, kemenakan di tanah Sumatera sana. Sungguh beruntung mereka hidup di negeri yang tak bisa disebut miskin seperti disini. Kenya memang sudah tumbuh, kalau lihat ibukota, Nairobi. Tak akan percaya rasanya ada rumah-rumah tanah yang berukuran 3 X 4 meter saja, untuk 3-4 jiwa. Kesengsaraan hidup masih melekati desa-desa Kenya.

Pada saat-saat menyaksikan betapa ringkihnya kehidupan di Kiva; tanah gersang berbatu, sumber daya alam yang tak seberapa, pasokan air yang melimbah di dam Kiva tapi sedikit saja yang mengalir ke mereka, belum lagi HIV yang jumlahnya terus bertambah membuatku malu selalu mengeluh atas kondisi tanah air. Sebagai sebuah bangsa, kita jauh lebih beruntung. Ah rindu, ingin segera pulang.

Tiga anak itu berpamitan pulang, setelah empat buah pisang kami buat tandas. Aku pun kembali ke Thika, kota kecil tak jauh dari Nairobi. Sorot mata penuh harapan dari tiga anak Kiva menjadi semacam “kado terindah” bagiku. Semoga mereka menjumpai takdir kemenangan mereka, sebagai manusia, sebagai rakyat Kenya.

Rasa rindu, rasa ingin pulang ke anah air menjalariku. Sementara dari jendela mobil aku menyaksikan perkebunan nanas yang menjadi komoditas andalan di wilayah Thika. Negeri ini sekian lama dimiskinkan, batinku. Keinginan pulang ke tanah air adalah perasaan alamiah yang selalu hadir di kali bertandang ke negara asing, tapi kali ini berbeda, ingin pulang dan mengubah cara pandang atas realitas negeri. Tak melulu mengeluh dan memaki atas kenyataan yang menyenangkan di tanah air, tapi mencoba melakukan sesuatu untuk masa depan yang lebih menajanjikan. Berhenti marah, berhenti bersikap tak acuh.

***

Di lain waktu aku naik ojek sepeda dari tempat ku menginap ke pasar di Thika. Tukang ojek itu masih belia. Namanya Weah, ya nama yang mirip dengan bintang sepakbola Liberia. Usianya kutaksir belum genap 15 tahun, meski kebeliaannya tertutup tubuh kekar dan wajah ‘sangar’. Ia punya tujuh saudara, ayahnya entah dimana. Mereka hidup bersama sang ibu. Itu cerita sepanjang perjalanan. Ia ingin menjadi pesepakbola, pergi dari jalanan berdebu Thika dan meremput di klub Eropa itu impian Weah.

30 shiling kuberikan padanya sebagai ongkos ojek sepeda sekitar empat kilometer itu. 1 dollar amerika senilai sekitar 86 shiling. Kurang dari empat ribu rupiah uang yang ia terima. Tak sebanding dengan tenaga yang begitu besar ia gunakan untuk untuk mengayuh sepeda membela jalanan Thika yang semrawut dan penuh debu.

Anak-anak yang kehilangan masa-masa indah, masa-masa bermain mereka adalah wajah keseharian di pelosok-pelosok Kenya. Usai membeli beberapa bungkus kopi dan teh khas Kenya, aku kembali ke penginapan. Kucoba mencari sosok Weah di pangkalan ojek sepeda, tak berjumpa. Kuputuskan berjalan saja. Langit mulai gelap, ada semacam rasa khwatir juga berjalan di malam hari di sebuah negeri yang angka kriminalitasnya jauh di atas Indonesia. Tapi, aku tetap berjalan.



Sepanjang berjalan pulang, rasanya nyaman dan aman menjadi sulit didapatkan disini. Mobil dan kendaraan bermotor merapati jalan sempit berlubang yang menghamburkan debu yang alang kepalang. Tak ada trotoar, pejalan kaki benar-benar tersisih. Memasuki jalan yang lebih lebar, aku berjalan dengan lebih aman dan tenang.
Teringat sosok Weah yang tadi mengantarku, kisah Weah bisa jadi gambaran kebanyakan remaja disini. Dipaksa keadaan meninggalkan bangku sekolah dan mengubur masa-masa indah. Kalau saja dalam sehari ia bisa narik penumpang 10 kali maka ia akan dapat tak lebih dari 300 shiling yang berarti kurang dari 4 dollar. Hidup di Kenya memang tak mudah, batinku.

Rasa rindu, keinginan menjejak tanah air membuncah. Ada rasa yang tak biasa.

***
Di tengah beragam kisah yang kujumpa di di Kenya. Aku menyaksikan betapa ekspresif orang disini, mereka bernyanyi, menari dan tersenyum dengan begitu menyala. Warna-warna pakaian mereka pun begitu kaya dan menyala. Mereka slaing menyapa, mereka saling bicara, mereka seperti sebuah keluarga besar. Sulit menjumpai pemandangan semacam ini di negara-negara Eropa. Bahkan di Asia. Ada kehangatan yang menyelimuti kehidupan mereka.

Apakah kesulitan hidup telah membawa mereka pada sebuah kesadaran kolektif untuk menghadapinya secara bersama-sama. Atau ini bentuk pelarian saja. Entahlah, yan kutahu aku menikmati keramahan dan kehangatan khas Kenya.



Di tanah air keramahan dan kehangatan macam ini juga tersedia, tapi sayang mulai membias tersapu derap waktu yang melaju di kota-kota. Semua berfokus pada kehidupan masing-masing. Kota-kota di tanah air tak lagi seramah dulu. Rindu kampung halaman. Ingin rasanya bersenda gurau dengan handai taulan. Sekian lama aku merantau, kerap lupa bahwa ada keluarga yang selalu menanti kepulangan. Lebih dari lima tahun aku merantau, meninggalkan Palembang, meski lama, tapi selalu ada rindu untuk pulang.

***

Kujejak kembali tanah air setelah perjalan di Kenya yang mengesankan. Ada semacam kerinduan yang terobati saat kudengar suara ibu di ujung telpon ketika kukabarkan aku sudah tiba di Jakarta. Kembali ke tanah air berarti kembali pada realitas keseharianku, tapi entah mengapa kepulangan kali ini menyisahkan rasa yang berbeda. Aku pulang dengan rasa syukur terlahir sebagai bagian dari sebuah negeri bernama Indonesia. Aku mencintai negeri ini lebih dari yang aku kira !

Semua foto adalah karya penulis (doa. huzer apriansyah)
Keculi foto 3 (tiga anak dan penulis) adalah karya seorang kawan, Nelson Borneo dari Malaysia






“Bukan dengan bicara, tetapi dengan mendengarkan kita bisa banyak belajar.”
– Larry King –

Kalimat istimewa dari Larry King di atas menampar kesadaranku. Sudah terlalu banyak kata-kata yang tersusun dalam kalimat hadir dari mulutku. Hampir semuanya bisa jadi sampah semata. Gambaran tentang aku, bisa jadi proyeksi umum manusia-manusia Indonesia hari ini. Kita lebih suka bicara tinimbang mendengar. Menuntut didengarkan tapi alfa mendengarkan.

Saat bicara cenderung ada ekstase; perasaan penting, pintar dan bahkan superior kerap muncul, perasaan yang hadir begitu saja. Perasaan itulah yang bisa jadi picu seseorang terus bicara. Penilaian terhadap diri sendiri kerapkali meleset saat kita tengah bicara. Sehingga kita tak mampu melakukan penilaian yang akurat terhadap bobot (baca : kulitas) pembicaraan kita.

Satu hal yang tak kalah penting, ketika kita bicara maka kita membuang kesempatan untuk mendengar. Karena hampir dipastikan tak banyak manusia yang bisa mendengar manakala bicara. Kalaupun bisa, fokusnya tentu sangat lemah. Saat memilih untuk tak mendengar maka kita kehilangan kesempatan belajar.

Pada suatu ketika mungkin terbersit, “ngapain denger omongan gak mutu,”  bisa jadi pembicaraan seseorang tak bermutu, tapi bukan berarti kesempatan kita belajar berkurang. Kita bisa belajar dari yang tak bermutu itu, paling tidak untuk tak melakukan hal yang sama. Kalau mau lebih analitis kita bisa belajar mengenai karakter orang yang bicara tidak mutu tersebut. Atau mengurai mengapa pembicaraannya menjadi tak bermutu. Itulah kelebihan orang yang memilih mendengar.

Bisa jadi orang akan memosisikan orang yang lebih banyak mendengar sebagai inferior, karena dirinya jadi tak banyak terlihat. Tapi percayalah, justru orang yang memilih tak bicara dan lebih suka mendengar memiliki kekayaan informasi yang lebih kuat. Serta kesempatan menganalisa yang lebih dalam tinimbang mereka yang bicara banyak.

Tapi perlu dicatat bahwa orang yang diam belum tentu semuanya mendengar. Ada orang yang diam karena tak peduli, ada yang diam karena muak, ada yang diam karena memang tak mampu bicara. Mendengar tak selalu sama dengan diam. Tapi orang yang diam lebih punya kesempatan mendengar.
***
Menjadi pendengar tentu bukan perkara mudah. Pendengar yang baik menurutku adalah orang yang sudah paripurna dengan ego keakuaanya. Mengapa ? karena mendengar membutuhkan kerendahan hati, ketulusan dan kesabaran. Bagi yang masih berjibaku dengan ego keakuannya, tiga hal di atas seperti melebur batu karang dengan tetes air, butuh waktu yang panjang.

Hampir semua manusia ingin didengarkan, tapi sedikit sekali yang memilih menjadi pendengar. Maka sungguh sebuah kebahagiaan ketika ada orang yang mau mendengarkan, di saat yang lain memilih bicara.


Ah, betapa sudah lamanya aku tersesat. Saatnya memutar sauh, menantang angin. Mengubah arah perahu. Semula banyak bicara kini menjadi pendengar yang hanya bicara sesekali saja. Karena mendengar berarti belajar, begitu kata Larry King. 

Renungan pagi,

Srl, 260214. 04:00


Sumber foto ilustrasi : brainrider.com

Tuesday, February 25, 2014


Sebagai warga bangsa, sering kali gentar kalau harus berpikir tentang hari depan. Bahkan sesekali memilih tak peduli. Meminjam istilah Sindhunata, di depan petheng ndedet, gelap gulita. Ada resah, benarkah republik ini akan tetap ada sepuluh, dua puluh dasawarsa di muka ? Ada saja tak cukup, melainkan “mengada”.

Kalau menimbang sisi gelap republik hari ini; korupsi, sumber daya alam yang dikelola secara tak bijak, sumber daya manusia yang masih tercecer kualitasnya dan nilai-nilai budaya yang terlupa. Maka rasa gentar itu kian menjalar.

Berita media hari ini mengupas banyak sisi gelap pengelolaan negeri. Uang rakyat dijarah, sandiwara merajalela, sedang rakyat berdiri lemah menghadapi bencana dimana-mana. Lantas, haruskah anak muda seperti saya ikut menyerah atas keadaan yang ada ?

Teringat seorang sahabat, Nelson N Muiru, di Benua Afrika sana, tepatnya di Kenya. Ia bersama anak-anak muda Kiambu County berjuang menanamkan semangat kebersamaan di tengah komunitas yang sekian lama berkonflik dan didera kemiskinan. Tanpa lelah mereka mencoba mencari celah yang cerah untuk masa depan bersama.



Kondisi Indonesia jauh lebih baik dalam banyak dimensi tinimbang Kenya. Maka tak ada alasan untuk menyerah. Di Kiambu, Nelson dan kawan-kawan menebar harapan, di sebuah tanah gersang dimana konflik silih berganti datang. Perjumpaanku dengan Nelson di Kenya, telah membuka mata tak ada kondisi sosial yang benar-benar tak bisa diubah menjadi lebih baik. Semua bisa, asalkan ada ikhtiar dan kebersamaan.

Kembali ke tanah air, di ujung barat nusantara aku berjumpa dengan sesosok manusia yang memilih jalan terjal. Melawan arus utama disana, ia menjaga alam saat yang lain justru merusaknya. Ayah Rajab, itulah sosok yang tak henti mengajak komunitasnya untuk berhenti menggasak hutan di Aceh Jaya, serta mempersuasi warga untuk tak merusak daerah aliran sungai dengan merkuri yang mereka gunakan saat menambang emas.

Bukan pujian yang didapatkannya, melainkan cacian bahkan kadang teror. Tapi ia tak berhenti, layar terkembang pantang surut ke belakang. Ah, sebagai anak muda sepatutnya kita malu. Kita yang muda justru lebih banyak mengeluh dan menghujat keadaan daripada melakukan sesuatu.

Tantangan itu...

Tak ada yang mudah dalam hidup, apalagi menyangkut masa depan di negeri yang baru pulih dari masa kelam sejarah. Indonesia baru saja keluar dari sebuah masa yang tak mudah. Dimana demokrasi hanya hiasan ala kadarnya saja, ekonomi yang tumbuh karena konglomerasi, sumber daya alam yang dikuras hingga tandas, dan anak muda dilenakan dengan hura-hura semata.

Bicara masa depan, maka bicara tantangan. Kita dihadapkan pada keadaan mengejar ketertinggalan dan keluar dari resonansi kultural sebagai negara jajahan kolonial.

Ketertinggalan bangsa kita, bukan sekedar ekonomi, teknologi dan ilmu pengetahuan. Melainkan yang paling mendasar adalah mentalitas. Kita masih merasa sebagai bangsa inferior. Bisalah kita sebut ini sebagai efek bangsa jajahan, tapi lebih dari itu ini masalah yang ada dalam diri kita. Bukan melulu tentang bekas bangsa jajahan.

Mengutip Eleanor Roosevelt No one can make you feel inferior without your consent.” Jadi ini masalah bagaimana kita mempersepsikan bangsa kita dan bangsa-bangsa luar. Indra Syafri, pelatih timnas sepakbola U-19 kita, kerap berpesan pada anak didiknya. “Kita ini bangsa yang besar. Jangan inferior melihat bangsa lain !” Kalimat pelatih itu tercermin dari bagaimana U-19 kita bermain di lapangan. Tak peduli siapa lawan mereka, Korea Selatan , sang juara bertahan mereka buat tertunduk lemas.

Jadi tantangan pertama kita sebagai bangsa adalah mengubah mentalitas. Cukup sudah selalu menjadi inferior ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa asing. Dino Patti Djalal punya konsep yang lebih utuh tentang ini; nasionalisme unggul.


Tantangan kedua menyangkut pluralitas kita sebagai bangsa. Keragaman budaya kita pada suatu titik adalah anugerah. Namun, jika gagal dikelola justru menjadi bencana. Apa yang terjadi di Afrika Tengah, Uni Soviet dan Yugoslavia adalah contoh nyata keragaman suatu bangsa yang gagal dikelola. Tercerai berai dan luluh lantak dihancurkan konflik sesama.

Maka tantangan kedua adalah bagaimana mengelaborasi pluralitas menjadi kekuatan bangsa ?

Tantangan ketiga adalah bagaimana menghadirkan sebuah generasi yang mau bekerja keras, pantang menyerah untuk memperbaiki nasib bangsa. Pada akhirnya, sebuah visi masa depan tak akan berguna jika tidak diusahakan dengan kerja keras. Mimpi tetap akan menjadi mimpi jika kita tak  membuatnya menjadi kenyataan.

Tiga tantangan di atas tentu saja adalah tantangan kita sebagai bangsa. Terlebih lagi bagi anak muda di negeri ini.

Belajar Pada Anak Muda Berseragam Merah

Untuk menjawab tiga tantangan di atas, saya tak mau membawa-bawa teori sosial atau teori politik yang njelimet. Atau mencoba menganalisa dengan berbagai pendekatan konsepsional. Mari kita mencoba belajar dari hal yang lebih nyata, anak muda berseragam merah. Siapa mereka ? Tak lain tak bukan adalah tim nasional U-19. 


Mereka baru saja menjuarai piala AFF U-19 untuk kali pertamanya dalam sejarah keikutsertaan Indonesia. Lantas belum puas atas itu semua, Evan Dimas, Maldini Pali, Ilham Udin dan kawan-kawan memastikan satu tiket otomatis ke putaran final piala Asia U-19. Bukan main-main, Korea Selatan mereka bikin babak bingkas.

Lantas apa hubungannya timnas U-19 dengan masa depan kita sebagai bangsa. Mari kita tengok dengan seksama.

Pertama-tama tentang mentalitas. Timnas U-19 telah membuktikan diri bahwa mereka punya mentalitas yang kuat. Tak menganggap bangsa ini inferior meski berada dalam bayang-bayang sejarah yang kelam. Meski kita tak pernah juara, bukan berarti mereka harus kalah. Mereka menganggap semua tim sama saja. Tak peduli Thailand, Singapura atau Vietnam yang jauh lebih tangguh, atau bahkan Korea Selatan yang dua tiga kali lebih tangguh dari kita. Mereka menunjukkan bahwa mereka tak inferior.

Mentalitas mereka adalah kunci pencapaian itu. Perhatikan saja kata-kata sang kapten, Evan Dimas “Tak ada yang tak bisa dikalahkan, kecuali Tuhan.” Ini kalimat kunci yang menunjukkan betapa mentalitas anak-anak muda itu tak lagi inferior. Selama ini kalau mendengar nama negara lain, tak usahlah Korea Selatan, Thailand saja, kita sudah merasa tak akan menang lawan mereka. Tapi, anak muda berseragam merah itu menari lincah, mengumpan bola dengan seksama, seolah mewartakan sebuah tarian perubahan. KAMI BUKAN BANGSA INFERIOR.

Memang mereka masih jauh dari mimpi tampil di piala dunia. Tapi perubahan mentalitas mereka menjadi pembelajaran untuk kita semua. Tak ada yang tak bisa diusahakan dengan kerja keras.

Pelajaran kedua dari anak-anak berseragam merah itu adalah kemampuan mereka menjadikan pluralitas sebagai kekuatan. Lihat saja latar belakang para pemainnya; bisa dibilang mewakili nusantara. Aceh, Palembang, Sumatera Utara, Jawa, Nusa Tenggara, Sunda, Sulawesi, Maluku dan banyak daerah di nusantara terwakili di tim harapan ini. Keahlian mereka bermain bola juga beragam. Ada ahli dribling, juru tembak, pembagi bola, kreator serangan, penghadang lawan dan sebagainya. Tapi pada akhirnya mereka bermain dalam sebuah nyawa, dalam sebuah tarian kebersamaan.

Tak ada yang lebih superior. Bolehlah Evan Dimas adalah kapten sekaligus pengatur serangan, tapi bukan berarti ia tak tergantikan. Bisa jadi Hansamu Yama, menjadi komandan di lini belakang, tapi ia pun rela diteriaki oleh Faturrahman jika bikin kesalahan.  

Pelajaran ketiga yang diberikan oleh anak muda berseragam merah itu adalah cara mereka bekerja keras. Mereka bekerja keras bukan saja saat pertandingan tapi saat persiapan. Tim nasional kita yang dulu terkenal lembek fisiknya, kini berubah sebaliknya. Mereka bertempur tanpa lelah di 90 menit pertandingan bahkan jika waktu tambahan diberikan.

Di lapangan kerja keras mereka selalu ditunjukkan. Paling nyata ketika semua orang meyakini Korea Selatan akan menang dengan mudah atas timnas U-19. Tapi mereka membalikkan keadaan, mereka bekerja keras 90 menit lebih, menyusun serangan, mengatur pola permainan dan berjibaku mempertahankan gawang dari kebobolan. Dua gol memang berhasil dilesakkan Korea Selatan, tapi toh anak muda berseragam merah bisa melesakkan tiga gol. Ini semua tentang kerja keras dan kebersamaan.

Tentu anak-anak muda berseragam merah ini masih jauh dari mimpi merebut piala dunia. Tapi mereka telah mengangkat harkat kita sebagai bangsa. Dari bangsa yang disepelehkan dalam kanca sepakbola, menjadi sebuah negara yang mulai diperhitungkan. Lebih dari itu mereka telah mengajarkan pada negeri ini tentang pentingnya memelihara impian, seberapa pun beratnya keadaan.

***

Pada akhirnya, spirit yang dibawa anak-anak berseragam merah sepatutnya menjadi inspirasi bagi anak-anak muda nusantara. Di saat negeri ini minim panutan, Evan Dimas dan kawan-kawan menjadi semacam pandu bagi sebuah upaya mencapai impian. Ketika kita sebagai bangsa terseok-seok oleh cara mengelolah negara yang rapuh, mereka mengajarkan sebuah tontonan tentang nilai-nilai pengorbanan.

Selayaknya kita angkat topi untuk anak-anak berseragam merah itu. Semoga mereka tak lantas pongah atas apa yang sudah dicapai, dan kita bisa mereplikasi semangat dan kerja keras mereka untuk bangsa !


 Keterangan Foto 

Foto 1 : Ilustrasi kondisi gelap negeri kita/doc. huzer apriansyah
Foto 2 : Nelson/doc. huzer Apriansyah
Foto 3 : Ayah Rajab dari Krueng Sabee, Aceh Jaya/ doc.huzer apriansyah
Foto 4 : Buku Dino Patti Djalal/doc. rmol.co
Foto 5 : Timnas U-19/doc. ary9blue.blogspot.com 
Foto 6 : Kibaran Sang Merah Putih/doc. huzer apriansyah  



Monday, February 24, 2014

Kalau mengetikkan kata “Dino” di mesin pencari google Indonesia, biasanya secara otomatis google akan memberi semacam preferensi. Urutan pertama ada Dino market selanjutnya ada Dino Patti  Djalal. Tak ada hubungan antara Dinomarket dan Dino Patti Djalal. Tapi entah mengapa aku tertarik mengawali tulisan tentang sosok pemimpin muda ini dengan kisah Dino market.



Dino market, salah satu website jual beli online pertama di tanah air. Sayangnya, setelah bisnis online makin berkembang Dino market justru tak terlalu berkembang, meski belumlah tumbang. Kalah moncer dengan situs jual beli online lainnya. Menjadi pioner tak selalu berujung indah, terkadang pioner justru tercecer.
Jujur saja, Dino Patti Djalal, peraih doktor dari London School of Economic and Political Science ini bisa dibilang orang pertama yang mengiyakan ajakan untuk bertarung di konvensi partai demokrat. Tapi sekali lagi menjadi yang pertama bukan berarti selalu tok cer. Jujur saja, nama Dino masih di belakang beberapa nama lain yang sama-sama bertarung di konvensi. Sebut saja Dahlan Iskan atau Pramono Edhie, atau Hayono Isman, yang di beberapa polling menempati tiga besar.

Tapi yang menarik, sedikit saja peserta konvensi bahkan kandidat presiden di republik ini yang datang dengan konsep, pemikiran yang utuh tentang masa depan bangsa. Kebanyakan mereka justru datang dengan modal citra dan atau jaringan politik keluarga. Satu dari yang sedikit itu adalah, Dino Patti Djalal.
Saya meyakini, beliau bukan tak berhitung peluang di konvensi apalagi di pilpres. Tapi target utamanya bukan menang semata, melainkan sebuah upaya menyemai harapan, menyemai semangat bersama untuk masa depan bangsa yang lebih baik.  

Nasionalisme Unggul


sumber : rmol.co


NASIONALISME UNGGUL, sebuah konsep yang secara konsisten diusung Dino Patti Djalal. Bukan sekedar omong kosong yang dipersiapkan untuk mencari empati publik, melainkan sebuah konsep yang telah ia jalani jauh-jauh hari. Indonesia Diaspora Network (IDN) adalah bukti nyata kerja Dinno Patti Djalal dalam mencoba menyusun kekuatan bangsa melalui warganya yang tersebar di penjuru dunia.

Lahir di Beograd (Yugoslavia), sebuah negeri yang luluh lantak oleh perang saudara, paling tidak memberi semacam memori tersendiri bagi Dino Patti Djalal. Kemudian hidupnya yang berpindah dari satu negara ke negara lain, karena harus mengikuti sang ayah yang diplomat memberi pula pengalaman dirinya tentang realitas bangsa-bangsa di dunia. Pada titik itulah ia sampai pada sebuah kesadaran akan arti penting nasionalisme.

Nasionalisme yang dimaksud bukanlah nasionalisme sempit yang mengurung manusia-manusia Indonesia pada kesadaran semu nasionalisme. Nasionalisme unggul yang dimaksudnya adalah sebuah kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa yang besar dan siap berkompetisi pada level global. Nasionalisme tak hanya slogan heroik yang penuh simbol-simbol melainkan sebuah kerja nyata untuk masa depan bangsa.

Sosok Sederhana dengan Pemikiran Istimewa


sumber : embassyofindonesia.org

Kiprah putra diplomat senior Prof. Dr. Hasyim Djalal ini memang meroket sejak berhasil “mendatangkan” presiden Amerika Serikat George W Bush ke Indonesia pada 22 Otober 2003. Saat itu ia menjabat Direktur Amerita Utara dan Amerika Tengah Departemen Luar Negeri. Tapi hal itu tak membuatnya tinggi hati. Simak saja pernyataannya ketika diwawancarai Jawa Pos mengenai keberhasilan karirnya ;

“Mungkin karena faktor luck. Saya kebetulan beruntung, saya orangnya biasa-biasa, bukan diplomat yang cerdas. Tapi, sayang beruntung karena berada pada the right place and the right time,” begitu ujarnya ketika itu.

Tak hanya itu, di sebuah negara transisi demokrasi seperti Indonesia. Kita semua tahu biaya politik untuk sebuah proses pencalonan presiden taklah sedikit. Apakah ia punya modal besar ? Saya yakin tidak. Tapi kalau lihat pola kampanyenya yang sederhana, tak bermegah-megah dengan iklan di media serta mengandalkan donasi dari pendukungnya. Saya meyakini bahwa sosok satu ini memang tak sedang memburu posisi RI-1 semata, ia sedang menyemai benih demokrasi yang high level. Bukan politik dalam definisi kekuasaan tetapi politik dalam definisi partisipasi.

Ia mendorong pendukungnya untuk berpartisipasi aktif dalam proses pencalonannya. Baik partisipasi tenaga, pikiran, dan juga dana. Obama melakukan hal yang sama. Di sisi lain, meski dengan peluang yang tak besar, ia memberanikan diri maju di konvensi. Inilah bentuk partisipasi politiknya sebagai warga negara.

Saya belum pernah berjumpa langsung dengan beliau, tapi jika mengamatinya dari layar kaca, tampak bahwa ia orang yang berpikir atas apa yang ia ucapkan. Kalimat tak hanya meluncur karena hasrat tapi karena pikiran yang kuat.

Ini Politik, Pak !

Tanpa mengurangi rasa hormat dan bangga atas apa yang dilakukan Dr. Dino Patti Djalal, pada akhirnya harus disadari bahwa medan yang kini dimasuki adalah medan politik praktis. Keras dan kadang culas. Pertarungan politik tak sama dengan pertarungan diplomatik, seperti yang selama ini dilakukan Pak Dino.

Pertarungan politik di negeri yang demokrasinya mapan seperti Amerika Serikat, tempat dimana Dino Patti Djalal berada untuk waktu yang tak sejenak sangatlah berbeda dengan Indonesia. Pilihan politik warga cenderung belum sepenuhnya rasional berdasarkan kesadaran akan visi, rekam jejak calon dan agenda kandidat. Banyak hal-hal di luar itu.

Sebagai orang yang salut dengan agenda-agenda masa depan Dino Patti Djalal hanya bisa berharap, di detik-detik terakhir ini semoga Dino Patti Djalal dan tim bisa bekerja lebih solid dan mengupayakan dukungan rakyat secara lebih luas.

Ketuk pintu rumah rakyat satu persatu sebanyak mungkin yang bisa dilakukan. Kunjungi hati rakyat, bukan sekedar kunjungi mereka secara seremonial. Dengarkan dan rasakan denyut nadi kehidupan mereka.

Tulisan ini bukan hendak menggurui, Pak Dino dan tim pasti lebih tahu banyak. Hanya sekedar mengingatkan, kalau-kalau Pak Dino lupa. Jalan demokrasi di negeri ini sangatlah terjal, pak !



Sunday, February 23, 2014


What’s in a name ? (Shakespeare)

Teman kuliahku dulu memanggilku Huyer, anak-anak rimba memanggilku Ujeer, seorang ibu di Jogja memanggilku Buser, bahkan ada keluarga jauhku yang memanggilku Munsir. Well, awalnya aku berusaha memperbaiki pengucapan namaku oleh mereka, Huzer ! Tapi, pada akhirnya, I’m gave up. Biarlah mereka memanggil dengan kemampuan dan kesenangan mereka.

Mengapa kusebut kemampuan ? Banyak orang yang cukup sulit menyebut namaku yang mengandung huruf “Z”, contohnya temanku kuliah dulu yang asli Purworejo. Ia pernah minta maaf karena tak pernah benar menyebut namaku, alasannya, ia tak bisa menyebut huruf Z dengan tepat, maka ia mencoba mensubstitusi Z dengan Y. Lalu mengapa kesenangan ? ya, karena ada orang yang lebih senang menyebut Buser, karena mirip program acara di Teve.

Lalu, aku berpikir seberapa penting nama. Identitas, yup identitas. Nama adalah identitas. Dibalik setiap nama terkandung identitas pemilik nama tersebut. Identitas bukan sekedar pengenal tapi lebih dari itu, identitas adalah ego, keakuan. Mengapa aku sampai pada kesimpulan itu ?

Begini ceritanya, medio 2012, aku menulis sebuah artikel judulnya “Kekejaman Korporasi dan Posisi Suku Majinal (Catatan atas Konferensi Rio+20)” You can imagine how serious this article, guys J. Sebuah buletin internal tempatku bernaung memuatnya, tanpa menyertakan nama penulis artikel tersebut. Bete abiss ! it’s not fair, begitu batinku.

Tapi melalui sebuah permenungan, aku memutuskan untuk tak menganggap itu sebuah masalah lagi. Mengapa ? karena tulisan itu telah menemui takdirnya, tak bertuan. Toh, pesan tulisan itu telah sampai pada pembaca tanpa harus disertai nama penulisnya. Nama penulis itu hanya ego. Tapi seorang kawan bilang, mencantumkan nama pada tulisan juga merupakan pertanggungjawaban moral dan akademik atas apa yang ditulis. Iya juga sih, tapi menurutku, karena bukan benar-benar maksudku untuk tak mencantumkan nama pada tulisan itu, jadi ya pertanggungjawaban atas materi tulisan itu tetap saja berada padaku. Tapi bahwa tulisan itu tak memuat nama, karena keteledoran redaksi, itu perkara lain. Kalau aku menyoal itu, artinya aku mengagungkan ego, keakuan.

Pada titik itu aku belajar, bahwa namaku bukanlah aku. Namaku adalah ornamen memudahkan orang mengenalku sebagai manusia. Tapi lihatlah ketika anak-anak rimba memanggilku Ujeer, yang mereka maksud bukan orang lain melainkan aku. Kawan bagi sebagian kecil mereka, Ujeer yang rambutnya dikit, yang senang ikut mereka berburu dan paling lahap kalau makan babi, musang atau apa saja yang kami dapatkan. Begitupun keluarga jauhku yang memanggilku Munsir, ia tak bermaksud menggantiku dengan orang lain.

Lalu, mengapa prihal nama menjadi sesuatu yang bisa menimbulkan perang, kekacauan, perkelahian, keributan bahkan kematian. Contoh terakhir tatkala Pemerintah Indonesia menamai sebuah kapal perang dengan nama Usman Harun. Lantas Singapura berang, karena ini mengusik luka sejarah mereka. Bagiku, ini membuktikan sekali lagi nama adalah ego.

Bagi Indonesia, Usman Harun adalah pahlawan nasional, ini adalah ego kebangsaan Indonesia. Bagi Singapura Usman dan Harun adalah teroris. Menamai sebuah kapal perang yang akan lalu lalang di depan hidung bangsa Singapura tentu mengusik ego kebangsaan mereka.

Pertanyaannya, dinamai atau tidak kapal perang itu dengan Usman Harun, apakah bisa mengubah masa lalu ? Pasti tidak. Tapi sekali lagi ini tentang ego.

Saya berkesimpulan salah satu ciri manusia yang berdaulat secara moral adalah mereka yang bisa meredam egonya, keakuannya untuk sesuatu yang lebih besar ; perdamaian, cinta kasih, kebaikan bersama, dan hal-hal universal yang menjadi kebutuhan dasar tiap manusia. Manusia itu, terakhir bisa kita lihat pada sosok Nelson Mandela, Madiba.

Aku mendengar kalimat Shakespeare, “Apalah arti sebuah nama” sudah begitu lama. Aku kelas satu SMP kurasa. Atau sekitar 16 tahun silam. Tapi baru beberapa bulan ini, aku bisa mendefinisikan kalimat itu, dengan cara pandangku. Semoga bermanfaat !
  


Sunday, February 9, 2014




Satu kalimat yang bisa merangkum perasaanku usai membaca novel Love Puzzle karya Eva Sri Rahayu “Teka teki yang lincah, mengharu biru dan penuh kejutan.” Novel ini seolah menjawab keraguan bahwa kisah cinta yang dinovelkan selalu monoton dan lebay. Kisah cinta dalam novel ini begitu hidup dan mengalir dengan lembut, membuat pembaca larut dalam arus kisah.

            Ada tiga kalimat indah dalam novel ini, seolah menjadi simpul penting dalam tali temali kisahnya. Kalimat pertama “Enggak ada tukang sulap yang membuka kartunya.” (hlm. 39). Kedua, “Kenangan kadang terasa lebih nyata dari kenyataan. Seberapa pun besarnya perjuangan membuat kenangan itu jadi nyata, kenangan hanya hidup dalam ingatan.” (hlm.68). Ketiga adalah kalimat “...saya memutuskan untuk jujur dan berdamai dengan masa lalu”(hlm.259).

Tukang Sulap dan Rahasianya

            Yah, novel ini memang penuh dengan teka-teki, penuh dengan kartu rahasia. Judulnya saja sudah puzzle. Penulis dengan sangat cerdas menuntun logika pembaca, seolah-seolah sudah bisa menebak kemana arah cerita, tapi yang terjadi pembaca tak menemukan ujung kisah. Justru kisah baru yang muncul dengan teka teki yang baru pula. Rasa penasaran pembaca berhasil dikelola dengan baik oleh novelis muda ini.

            Salah satu tokoh utama novel, Iskandar, memang menyukai dunia sulap. Kegemaran Iskandar ini seolah mewakili keahlian sang novelis yang juga pandai menyulap kisah, sehingga rasa penasaran pembaca selalu tumbuh. Teka-teki kisah menjadi kekuatan utama novel ini, di samping karakter yang begitu kuat dari para tokoh utama; Rasi, Alexander, Iskandar dan Ayara.

            Puzzle sebagai judul buku, tukang sulap hobi salah satu tokoh novel, dan obsesi sang novelis untuk menjadi petualang dan penjelajah waktu (baca profil penulis di bagian belakang novel) seperti tiga titik yang menjadi pengikat dalam novel ini. Obsesi penulis sepertinya tersalurkan dalam novel ini. Lihat saja bagaimana alur novel yang kadang maju namun tiba-tiba mundur (alur campuran), seolah sang pencipta kisah tengah menjelajahi waktu.

            Namun, layaknya sebuah aksi sulap, kerap kali pesulap meninggalkan celah dalam aksinya. Begitupun dalam novel ini. Plot novel ini terasa “terlalu novel”, kalau tak mau disebut terlalu mengada-ada. Rasi berjumpa dengan Alexander di masa kecil secara tidak sengaja. Saat itu Rasi berumur lima tahun dan tersesat dalam sebuah labirin, kemudian ditolong oleh seorang anak yang lebih besar darinya. Ternyata setelah SMA, Rasi berjumpa dengan Iskandar yang merupakan kembaran Alexander, bukan dalam wujud manusia tapi ruhnya. Pertemuan pertamanya di atap sebuah mal. Secara kebetulan juga Reta teman Rasi memintanya memotret saat ia berlatih basket. Rasi berjumpa dengan Alex (Raja) yang ia kira adalah Iskandar yang ia jumpai di atap mal.

            Di lain waktu Rasi berjumpa Ayara yang tersesat, kemudian mereka bersahabat, ternyata Ayara adalah kekasih Iskandar namun ia menganggap Alex adalah Iskandar yang sudah meninggal. Tali temali kisah yang menghubungkan empat orang tokoh utama dalam novel ini bagi saya “terlalu novel”, terkesan maksa. Sisi kemanusiaan novel ini seolah hilang manakala pertalian antar plot menjadi “terlalu novel”. Ini pandangan subyektif saya yang awam. Namun, bisa jadi justru disinilah kekuatan lain dari novel ini. Kemampuan ngepas-ngepasin kisah.

Kenangan yang Lebih Nyata dari Kenyataan

            Dua dari empat tokoh utama novel adalah mereka yang terjebak dalam masa lalu, Alex dan Ayara. Mereka adalah sosok-sosok yang kediriannya didominasi oleh kenangan, gagal lepas dari masa lalu membuat mereka terjebak dalam labirin kepura-puraan. Tokoh pendukung Ibu juga mengalami hal yang sama. Mereka menolak realitas kekinian dan memilih hidup dalam kenangan.

            Pada titik inilah klimaks konflik novel terbangun. Konflik yang bermula dari kematian Iskandar, sang anak baik, cerdas dan penuh kasih sayang itu mengguncang kehidupan tokoh-tokoh lainnya; Ayara, Alex, ibu dan juga ayah. Di sisi lain, Iskandar yang meninggal juga belum benar-benar bisa pergi dari dunia karena masih terikat dengan masa lalu. Ia ingin membuat orang-orang yang ia tinggalkan bahagia. Maka ia memilih Rasi sebagai jalan menuju harapannya itu.

            Rasi dalam novel ini menjadi semacam jembatan ke semua peristiwa dan tokoh, bridging character kira-kira. Peran besar yang dimainkan oleh sosok Rasi, menjadi penentu dalam sukses tidaknya novel ini. Rasi bukan sosok yang benar-benar lepas dari kenangan (masa lalu) perjumpaannya yang janggal dengan Alex saat kecil menjadi semacam penegas bahwa Rasi juga terikat pada masa lalu dengan kuat.

            Kalau boleh menyarankan pada Mba Eva, penulis novel ini, menurut saya kepingan perjumpaan Rasi dan Alex saat Rasi berumur lima tahun itu tak harus ada. Malah ada baiknya memang tidak pernah dimunculkan. Meski saya tahu peristiwa itu dimaksudkan untuk menopang ending novel dan juga untuk memperkuat karakter Rasi, andai pun peristiwa itu tak ada rasanya tak akan berpengaruh terlalu besar pada jalannya kisah. Justru kehadiran peristiwa yang sedikit kurang rasional itu justru mengganggu kisah yang sudah sangat baik.

            Bayangkan, anak umur lima tahun bermain-main di labirin, tersesat, lalu berjumpa seorang anak laki-laki yang lebih besar kemudian merasakan getaran-getaran yang menjadi kenangan sampai puluhan tahun setelah itu. Kalau merujuk pada psikologi perkembangan anak, maka usia lima tahun belumlah sedalam itu perasaan yang muncul dengan lawan jenis. Kenangan yang membekas lama tentu saja mungkin, tapi detail perasaan yang dimunculkan terlalu mengada-ada.

            Kalau mau ditilik secara detail, penulis novel memang mewarnai kisah dengan hal-hal yang memang irasional. Masa kecil Rasi yang bermain dengan hantu kemudian perjumpaan Rasi dengan Iskandar yang sudah meninggal tentu sangat tak rasional, tapi penulis mampu mengelolah irasionalitas itu menjadi seakan rasional. Sehingga pembaca mengabaikan irasionalitas itu. Ini sebuah keberhasilan yang luar biasa dari seorang novelis.
            Andai saja adegan tersesat di labirin saat Rasi berumur lima tahun itu tidak ada, saya sebagai pembaca akan merasa lebih senang lagi. Salah satu dari tokoh utama tak larut dalam masa lalu. Sehingga ada variasi dalam karakter tokoh. *Saya jadi menebak-nebak, jangan-jangan si penulis novel juga orang yang hidup dalam kenangan.. hihihi (piss Mba Eva !)

Berdamai dengan Masa Lalu

            Albert Einstein pernah menulis “Memory is deceptive because it is colored by today's events.” Kenangan menipu karena diwarnai oleh peristiwa saat ini. Tokoh-tokoh dalam novel ini seolah membuktikan apa yang dikatakan Einstein, mereka terjebak dalam perangkap masa lalu. Persepsi mereka tentang kenangan sangat dipengaruhi kondisi terkini.

            Pada akhirnya untuk menyelamatkan saat ini (present) dan masa depan (future) maka para tokoh harus berdamai dengan masa lalu (past). Inilah tawaran yang diberikan penulis untuk mengakhiri kisahnya.

Pada akhirnya Alex berani melepas beban yang ia tanggung sebagai pengganti Iskandar, dan berani hadir sebagai dirinya sendiri. Ayara akhirnya berhenti berada dalam kepura-puraan, menganggap Iskandar yang selalu ia panggil Bim-Bim masih hidup. Sang ayah juga akhirnya memilih berhenti menganggap kedua anaknya baik-baik saja. Sang ibu juga secara berlahan memilih menerima kenyataan bahwa anak tersayangnya, Iskandar, telah tiada.

Saya suka sekali dengan cara penulis membangun ending; mistik, penuh teka teki dan romantis. Meski jujur saja saya tak terlalu suka latar lokasi ending di labirin itu J. Bagian akhir novel ini tak hanya memuaskan pembaca, tapi juga menjadi semacam pelajaran hidup bagi para pembaca. Karena pada akhirnya, tiap manusia terikat dengan banyak peristiwa di masa lalu. Baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Berdamai dengan masa lalu adalah pilihan hidup yang paling bijak dan masuk akal.

Peristiwa-Peristiwa Mengejutkan
Di bagian awal tulisan ini, telah saya sebutkan, novel ini penuh kejutan. Beberapa hal yang benar-benar menjadi kejutan dalam kisah novel ini antara lain; Keputusan Iskandar untuk bunuh diri agar Alexander selamat adalah puncak dari kejutan yang diberikan. Lalu kenyataan bahwa yang dijumpai Rasi selama ini hanya ruh dari Iskandar adalah kejutan lain. Kemudian Ayara yang tiba-tiba ingin berkunjung ke makam Iskandar, setelah sekian lama menampik kenyataan bahwa Iskandar sudah meninggal juga sebuah kejutan.

Ada juga peristiwa, ketika dalam rasa putus asanya untuk meyakinkan ibu, Alex dan Ayara agar mereka move on, tiba-tiba ayah Alex dan Iskandar muncul di sekolahnya dan memberi titik cerah bagi usahanya. Pokoknya, novel ini pantas disematkan sebagai novel yang penuh kejutan.

“Love Puzzle” dan “Wuthering Heights”




            Membaca Love Puzzle membawa ingatanku mengarah pada sebuah novel klasik  Wuthering Heights karya Emily Bronte. Wuthering Heights, kerap disebut sebagai sebuah novel cinta yang unik, mistis dengan daya tarik abadi. Tentu Love Puzzle belum sampai pada level itu, tapi kisah, kejutan, dan unsur mistik yang ditampilkan Love Puzzle membawa ingatanku pada Wuthering Heights.

            Andai saja dramatisasi dan daya cekam dalam novel Love Puzzle bisa dibuat lebih sabar dan mendalam, daya tariknya akan jauh lebih abadi bagi pembaca. Bukan sekedar bacaan selingan yang gugur dalam ingatan dalam hitungan minggu bahkan hari. Saya kira sang penulis, Eva Sri Rahayu, telah melahap banyak novel dunia yang berkualitas, termasuk Wuthering Heights, andai belum, saya merekomendasikan Mba Eva membaca Wuthering Heights.

Empat Tokoh Utama Dalam Sketsa

            Google membantuku menemukan sketsa wajah yang menurutku bisa mewakili empat karakter utama dalam novel ini.

Rasi

Alexander


Iskandar

Ayara


Epilog
            Akhirnya, review ini sepenuhnya subyektivitas saya. Banyak hal yang bisa jadi kebetulan pas tapi banyak hal yang mungkin saja tak pas atau mengada-ada. Kalau mengutip seorang filsuf, David Hume, bahwa ide bisa hadir melalui dua jalan; memori (kenangan) dan imajinasi. Maka review ini hadir dari keduanya. Memori berupa potongan-potongan novel yang membekas di ingatan dan imajinasi sebagai pembaca membayangkan apa yang ada dipikiran penulis novel ini. Semoga review ini bermakna. Salute untuk penulis Love Puzzle, sebuah novel yang layak dibaca.

Penasaran sama novel ini ??? Simak yang berikut.....





p.s.

Ada beberapa kalimat penuh inspirasi dalam novel ini...
  •          “Enggak ada tukang sulap yang membuka kartunya.” (hlm. 39).
  •          “Kenangan kadang terasa lebih nyata dari kenyataan. Seberapa pun besarnya perjuangan membuat       kenangan itu jadi nyata, kenangan hanya hidup dalam ingatan.” (hlm.68).
  •          “...saya memutuskan untuk jujur dan berdamai dengan masa lalu”(hlm.259).
  •          “Mana ada cowok baik yang marah-marah terus memukul tembok sampai retak ?” (hlm. 43)
  •          “...apa yang terlihat bisa menipu, tapi hati selalu tahu kebenarannya. Selalu dengarkan kata                   hatimu...” (hlm. 96)
  •          “Penindas Cuma sekumpulan orang bodoh yang pura-pura bersahabat.” (hlm.107)
  •          “..memberikan kepuasan yang ganjil.” (hlm. 145)
  •          “Menggambar bisa jadi media terapi, dan ternyata bener ! it works !” (hlm. 206)
  •          “Takdir sungguh lucu, seperti sebuah permainan.” (hlm. 214)
  •          “Cinta dilahirkan, bukan diciptakan.” (Hlm. 234)
  •          “Cinta bukan ‘tidak harus memiliki’, tetapi memang ‘tidak semua cinta bisa dimiliki’ (hlm.234)

Detail Buku : 

Judul : Love Puzzle
No ISBN : 9786021606049
Penulis : Eva Sri Rahayu
Penerbit : Noura Books
Terbit : November 2013
Jumlah Halaman : 284
Jenis Cover : Soft Cover
Harga : Rp. 49.000

   Review ini dibuat dalam rangka meramaikan ;





        

Sumber foto : koleksi pribadi/huzer apriansyah
Sumber sketsa : 1. ashnovember.com
                     2. colourbox.com
                     3. deviantart.com
                     4. deviantart.com

Popular Posts