Kalau mengetikkan kata “Dino” di mesin pencari google Indonesia, biasanya secara otomatis google akan memberi semacam preferensi. Urutan pertama ada Dino market selanjutnya ada Dino Patti Djalal. Tak ada hubungan antara Dinomarket dan Dino Patti Djalal. Tapi entah mengapa aku tertarik mengawali tulisan tentang sosok pemimpin muda ini dengan kisah Dino market.
Dino market, salah satu website jual beli online pertama di tanah air. Sayangnya, setelah bisnis online makin berkembang Dino market justru tak terlalu berkembang, meski belumlah tumbang. Kalah moncer dengan situs jual beli online lainnya. Menjadi pioner tak selalu berujung indah, terkadang pioner justru tercecer.
Jujur saja, Dino Patti Djalal, peraih doktor dari London School of Economic and Political Science ini bisa dibilang orang pertama yang mengiyakan ajakan untuk bertarung di konvensi partai demokrat. Tapi sekali lagi menjadi yang pertama bukan berarti selalu tok cer. Jujur saja, nama Dino masih di belakang beberapa nama lain yang sama-sama bertarung di konvensi. Sebut saja Dahlan Iskan atau Pramono Edhie, atau Hayono Isman, yang di beberapa polling menempati tiga besar.
Tapi yang menarik, sedikit saja peserta konvensi bahkan kandidat presiden di republik ini yang datang dengan konsep, pemikiran yang utuh tentang masa depan bangsa. Kebanyakan mereka justru datang dengan modal citra dan atau jaringan politik keluarga. Satu dari yang sedikit itu adalah, Dino Patti Djalal.
Saya meyakini, beliau bukan tak berhitung peluang di konvensi apalagi di pilpres. Tapi target utamanya bukan menang semata, melainkan sebuah upaya menyemai harapan, menyemai semangat bersama untuk masa depan bangsa yang lebih baik.
NASIONALISME UNGGUL, sebuah konsep yang secara konsisten diusung Dino Patti Djalal. Bukan sekedar omong kosong yang dipersiapkan untuk mencari empati publik, melainkan sebuah konsep yang telah ia jalani jauh-jauh hari. Indonesia Diaspora Network (IDN) adalah bukti nyata kerja Dinno Patti Djalal dalam mencoba menyusun kekuatan bangsa melalui warganya yang tersebar di penjuru dunia.
Lahir di Beograd (Yugoslavia), sebuah negeri yang luluh lantak oleh perang saudara, paling tidak memberi semacam memori tersendiri bagi Dino Patti Djalal. Kemudian hidupnya yang berpindah dari satu negara ke negara lain, karena harus mengikuti sang ayah yang diplomat memberi pula pengalaman dirinya tentang realitas bangsa-bangsa di dunia. Pada titik itulah ia sampai pada sebuah kesadaran akan arti penting nasionalisme.
Nasionalisme yang dimaksud bukanlah nasionalisme sempit yang mengurung manusia-manusia Indonesia pada kesadaran semu nasionalisme. Nasionalisme unggul yang dimaksudnya adalah sebuah kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa yang besar dan siap berkompetisi pada level global. Nasionalisme tak hanya slogan heroik yang penuh simbol-simbol melainkan sebuah kerja nyata untuk masa depan bangsa.
Kiprah putra diplomat senior Prof. Dr. Hasyim Djalal ini memang meroket sejak berhasil “mendatangkan” presiden Amerika Serikat George W Bush ke Indonesia pada 22 Otober 2003. Saat itu ia menjabat Direktur Amerita Utara dan Amerika Tengah Departemen Luar Negeri. Tapi hal itu tak membuatnya tinggi hati. Simak saja pernyataannya ketika diwawancarai Jawa Pos mengenai keberhasilan karirnya ;
“Mungkin karena faktor luck. Saya kebetulan
beruntung, saya orangnya biasa-biasa, bukan diplomat yang cerdas. Tapi, sayang
beruntung karena berada pada the right place and the right time,” begitu
ujarnya ketika itu.
Tak hanya
itu, di sebuah negara transisi demokrasi seperti Indonesia. Kita semua tahu
biaya politik untuk sebuah proses pencalonan presiden taklah sedikit. Apakah ia
punya modal besar ? Saya yakin tidak. Tapi kalau lihat pola kampanyenya yang
sederhana, tak bermegah-megah dengan iklan di media serta mengandalkan donasi
dari pendukungnya. Saya meyakini bahwa sosok satu ini memang tak sedang memburu
posisi RI-1 semata, ia sedang menyemai benih demokrasi yang high level. Bukan politik dalam definisi
kekuasaan tetapi politik dalam definisi partisipasi.
Ia mendorong pendukungnya untuk berpartisipasi aktif dalam proses
pencalonannya. Baik partisipasi tenaga, pikiran, dan juga dana. Obama melakukan
hal yang sama. Di sisi lain, meski dengan peluang yang tak besar, ia
memberanikan diri maju di konvensi. Inilah bentuk partisipasi politiknya
sebagai warga negara.
Saya belum pernah berjumpa langsung dengan beliau, tapi jika mengamatinya
dari layar kaca, tampak bahwa ia orang yang berpikir atas apa yang ia ucapkan.
Kalimat tak hanya meluncur karena hasrat tapi karena pikiran yang kuat.
Ini Politik, Pak !
Tanpa mengurangi rasa hormat dan bangga atas apa yang dilakukan Dr. Dino
Patti Djalal, pada akhirnya harus disadari bahwa medan yang kini dimasuki adalah
medan politik praktis. Keras dan kadang culas. Pertarungan politik tak sama
dengan pertarungan diplomatik, seperti yang selama ini dilakukan Pak Dino.
Pertarungan politik di negeri yang demokrasinya mapan seperti Amerika
Serikat, tempat dimana Dino Patti Djalal berada untuk waktu yang tak sejenak
sangatlah berbeda dengan Indonesia. Pilihan politik warga cenderung belum
sepenuhnya rasional berdasarkan kesadaran akan visi, rekam jejak calon dan
agenda kandidat. Banyak hal-hal di luar itu.
Sebagai orang yang salut
dengan agenda-agenda masa depan Dino Patti Djalal hanya bisa berharap, di
detik-detik terakhir ini semoga Dino Patti Djalal dan tim bisa bekerja lebih
solid dan mengupayakan dukungan rakyat secara lebih luas.
Ketuk pintu rumah rakyat
satu persatu sebanyak mungkin yang bisa dilakukan. Kunjungi hati rakyat, bukan
sekedar kunjungi mereka secara seremonial. Dengarkan dan rasakan denyut nadi
kehidupan mereka.
Tulisan ini bukan hendak menggurui, Pak Dino dan tim
pasti lebih tahu banyak. Hanya sekedar mengingatkan, kalau-kalau Pak Dino lupa.
Jalan demokrasi di negeri ini sangatlah terjal, pak !
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.