Friday, October 14, 2011

“…Mereka tidak menjala di pinggir laut, tapi memancing. Kurang efektif memang, tapi mereka yakin menjala hanya akan merusak karang dan ikan akan makin sedikit…” (Achala,Humanitarian Worker in Srilanka)
13185885892140969610
Beginilah Mereka Memancing/@huzera

Memancing tercatat sebagai salah satu kebudayaan tertua umat manusia. National Geographicmencatat memancing telah dikenal oleh manusia sejak 40 ribu tahun yang lalu atau tepatnya ketika zaman upper Paleolithic atau dikenal juga dengan Late Stone Age. Tradisi memancing terhampar di hampir seluruh peradaban manusia. Dimanapun kita berada di muka bumi, rasa-rasanya kita bisa menemukan apa yang disebut memancing.

Srilanka, Negara yang berada dalam perang saudara sejak 1983 dan baru saja pada 2009 mencapai perdamaian juga memiliki tradisi memancing. Bahkan cara memancing di Srilanka ini sering disebut sebagai cara memancing terunik di dunia. Mengapa unik ? Nah tulisan ringan ini, mencoba menjawab mengapa itu unik.

Eksotisme
Mungkin tiap orang yang pertama kali melihat nelayan srilanka memancing di pinggir pantaiakan berdecak kagum sembari bergumam.. “Oh…my God”, “Wooow kereeen..” atau ada yang bilang “Busyet…ngeriii amaat..” Paling tidak itulah ekspresi yang saya temukan dari empat orang rekan saya yang secara bersamaan melihat memancing unik a la Srilanka untuk pertama kalinya. Gadis Thailand yang bersama kami bahkan mengucap OMG lebih dari tiga kali. Dia bilang it’s amazing.

13185888062051359348
Seorang nelayan dengan santai menikmati mancing…/@huzera
Sayapun tak luput dari kekaguman akan eksotisme itu. Sebuah tiang kayu yang diameternya tak lebih dari 5-7 sentimeter menopang seorang nelayan di pinggir laut, dengan kedalaman antara 0,5 – 2 M. Mereka bisa bertahan memancing dalam keadaan yang sangat tidak nyaman bagi orang kebanyakan itu hingga 8 jam. Mereka memancing, makan, minum dan sesekali ber-sms dari sepotong tiang kayu itu.

Memancing memang oleh banyak orang adalah bagian dari rekreasi (recreation fishing) tapi bagi nelayan-nelayan Srilanka ini adalah penopang utama kehidupan mereka. Ikan Koraburuwa dan Bolla adalah ikan yang paling banyak mereka tangkap dari memancing di pinggir pantai ini.Koraburuwa, adalah ikan baring (saya tak tahu pasti apa nama ikan ini di Indonesia) dan Bolla adalah ikan makarel. Menurut salah satu penduduk yang sempat saya jumpai di Matara district. Sehari biasanya mereka bisa menghasilkan 100 LKR (Rupees) hingga 500 Rupees. Kurang lebih Rp. 8000 hingga Rp.45.000.

Penelusuran saya juga menemukan bahwa seni memancing ini telah ada sejak perang dunia kedua, paling tidak itu
13185890382692901
Hasil Tangkapan Pemancing yang langsung dijual/@huzera
yang tercatat dalam sejarah yang ditulis Kolonial Inggris. Tapi menurut Achala, teman saya di Srilanka yang bekerja di sebuah Lembaga Humanitarian Internasional, seni memancing itu sudah ada jauh sebelum Kedatangan Inggris, paling tidak itu yang ia dengar dari orang-orang tua di Srilanka.

Kearifan
Saya sungguh terpesona dengan prihal mengail di Srilanka ini. Saya mencoba tak berhenti hanya sebatas melihat dan mengangumi cara memancing ini hanya dari melihat. Saya mencoba berbincang dengan beberapa nelayan disana, dengan bantuan translasi dari Achala. Saat menuliskan ini saya tak ingat nama nelayan itu, tapi yang saya ingat bahwa ia sangat menikmati cara memancing itu, tak ada sedikitpun rasa takut atau tak nyaman selama berada di atas tiang mungil yang menyangganya di laut.

Menurut nelayan itu yang kadnag susah kalau mau buang air, tapi biasanya kalau buang air kecil..ya dicuuur aja langsung ke laut katanya..Achala terbahak saat menterjemahkan kalimat itu ke saya. Achala bilang, susah cari padanan katanya..

Saya setelah puas “dicuuur” aja sama Bapak Nelayan dengan tatapan tajam itu, saya mencoba mengeksplorasi Achala. Achala memang bukan nelayan yang menjalani kehidupan nelayan, ia dating dari kela menengah Srilanka yang mengenyam pendidikan Eropa dan bekerja untuk lembaga internasional. Tapi pikirku paling tidak ia punya perspektif yang locally.

Achalalah yang mengatakan pada saya bahwa seni memancing ini telah menjadi semacam ikon pariwisata Srilanka, sesuatu yang tidak akan didapati di belahan dunia manapun selain disini, kata Achala. Tapi bukan itu yang membuat saya benar-benar terperanjak, karena memang begitulah seharusnya. Di Negara yang berkutat lama dengan perang sipil ini tak banyak yang bisa “dijual” dalam pariwisata, dan pemerintah Srilanka memaksimalkan yang sedikit itu.

13185894641502175498
Kearifan akan keseimbangn hidup dengan alam talah diajarkan pada anak2 Srilanka di perdesaan/@huzera
Ketika Achala berkata bahwa sebenarnya yang mendasari mereka bersusah-susah mincing itu adalah kesadaran tradisional mereka. Apa itu ? mereka sedari kecil diajarkan untuk tidak “mengusik” ikan-ikan di pinggir pantai. Usut punya usut, hal ini terkait dengan fungsi pinggiran laut sebagai tempat berkembanngnya ikan dan udang yang bersembunyi dan berkembang di balik karang-karang. Artinya masih sangat banyak ikan-ikan kecil yang belum layak konsumsi. Karena itulah mereka memancing, bukan menjala. Padahal dengan jala akan banyak yang mereka peroleh.

Menjala akan membuat ikan-ikan kecil terbawa, udang-udang kecil terbawa, dan bisa jadi juga ikut merusak terumbu karang. Sedangkan memancing, tentu hanya ikan-ikan dnegan ukuran layak konsumsi yang bisa dapat, karena ini sesuai dengan mata kail mereka. Saya mencoba mengkonfirmasi keterangan Achala dengan opini penduduk disana, ternyata benar, mereka memliki keyakinan kalau menjala akan membuat dewa marah, bahkan mereka juga memiliki hari dimana mereka tidak boleh menangkap ikan. Kalau mau ditelusuri ini tentu berkaitan dengan siklus perkembangan ikan. BUkankah ikan juga perlu sesekali tak harus was-was tiap memakan mangsa, karena takut bahwa mangsa itu adalah umpan pancing.

Bahkan menurut sebagian warga pesisir di Matara ini, mereka menganggap tsunami yang ikut memporak porandakan hidup mereka di penghujung 2004 adalah bentuk teguran dari langit atas keserakahan mereka.

Sungguh pandangan genuine masih hidup di antara nelayan-nelayan ini. Kira kira tangkaplah secukupnya saja, tinggalkan untuk esok hari.. sulit dipahami rasio pasar seperti hari ini. Rasio pasar akan bilang “..Tangkaplah sebanyaknya…karena laba menanti..esok ya biarlah esok..”
Takjub saya, ternyata penduduk yang bergelut dengan kemiskinan karena perang dan minimnya sumber daya itu tak menjadi lata dan rakus karena kesulitan-kesulitan.

***
Kunjungan pertama saya ke Srilanka adalah pada Oktober 2009, saat itulah saya pertama kali melihat seni memancing ini. Memancing di Srilanka ternyata tak melulu soal ikan tapi banyak soal didalamnya. Tak dinyana, kearifan memang bisa ditangguk dimanapun, termasuk di negeri yang bertabur konflik ini.
13185896071263591374
Bukan mancing biasa, ada kearifan dibaliknya/@huzera
Mewartakan pada dunia akan eksotisme Srilanka tanpa membawa nilai yang ada di dalamnya rasanya masih kurang. Kearifan ternyata yang menjadi nadi atas eksotisme itu. Semoga bermanfaat…

Bohemestutii
#Greeting Srilanka yang artinya kalau tidak salah terima kasih. Satu-satunya kosakata yang saya tahu dan ingat..

Thursday, October 13, 2011


Di tengah geliat isu reshuffle kabinet yang berhembus kencang dua minggu terakhir. Seorang yang tak terlalu di kenal publik tiba-tiba hadir di Cikeas. Prof. Ali Ghufron Mukti, Dekan Fakultas Kedokteran UGM ini oleh vivanews disebut sebagai “Bintang Baru dari UGM”. Meski ke Cikeas bukan dalam kapasitas sebagai calon menteri melainkan calon wakil menteri namun kalau melihat jejak rekam perjalanan sang bintang baru ini, bukan tidak mungkin sinarnya melebihi sang menteri.

Bintang baru dari UGM ini dikenal reputasinya sebagai pemrakarsa sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) di Yogyakarta, yang kemudian diadopsi pemerintah pusat menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat Nasional. Namun disamping kiprah beliau tersebut dan sebagai dekan FK UGM,. Satu hal yang saya temui dari penelusuran, beliau adalah musuh pengusaha rokok.
13185139951795706388
Source Foto : staff.fk.ugm.ac.id/blog/archives/84 dan wwww.dreamsimage.com (dengan editing)
Mengapa Sang Professor yang meraih gelar doctoral dari University of Newcastle, Australia ini “dimusuhi” para pengusaha rokok ? Memang pengusaha rokok belum terang benerang menyatakan ketidaksukaannya tapi melihat rekam jejak pemikiran dan aksinya ketidaksukaan kalangan industri tembakau nasional akan segera mewujud. Apalagi tak lama lagi beliau akan menjadi orang nomor dua di departemen Kesehatan RI.

Dilema industri tembakau tanah air sudah menjadi perdebatan panjang, antara kemanfaatan dan keburukannya. Namun dalam konteks ini, Prof.  Ali Ghufron Mukti punya rekam jejak yang tegas.
Pertama, pada tahun 1994 Sang Bintang Baru ini merilis hasil risetnya yang berjudul “Smoking and Alcohol Consumption as Risk Factors for Developing Pulmonary Tuberculosis” yang terjemahan bebasnya “Merokok dan Konsumsi Alkohol sebagai Faktor Resiko Berkembangnya Tuberkolosis Paru-Paru” di jurnal Epidemiologi Klinis dan Biostatistik Indonesia edisi perdana Pada tahun-tahun tersebut merilis penelitian yang cenderung menyerang industri tembakau tentu bukan perkara mudah, karena besarnya pengaruh pengusaha tembakau di lingkaran kekuasaan.

Setelah waktu berlalu dan seiring dengan posisinya yang semakin kuat secara akademik dan structural di kampus UGM, ide-ide beliau melawan cengkeraman industri tembakau di masyarakat mewujud dalam aksi-aksi nyata. Juni 2009 beliau menjadi inisiator utam yang kemudian mendorong UGM menjadi kampus bebas rokok, bahkan pihak rektorat UGM ketika itu memberlakukan sanksi bagi yang melanggar. Tentu ini terobosan luar biasa, mengingat larangan merokok di kampus biasanya hanya berhenti pada himbauan yang berujung stiker-stiker larangan.

Tak berhenti pada gerakan sosial itu saja, di saat bersamaan beliau menginisiasi kehadiran Klinik Berhenti Merokok di Gadjah Mada Medical Centre. Beliau menyebut ini solusi sekaligus upaya preventif dan kuratif untuk melawan candu akan rokok. Dapatlah kita bayangkankalau klinik ini menuai sukses dan diadopsi konsep dan metodenya di seluruh Indonesia, berapa banyak perusahaan rokok akan kehilangan konsumen loyalnya.

Puncak dari perlawanan atas industri “asap” ini, tatkala ia sebagai inisiator Jamkesmas mendorong pemerintah untuk tidak menerbitkan kartu Jamkesmas bagi para perokok aktif, karena menurut beliau adalah tidaak adil membiayai kesehatan bagi orang yang menggunakan uangnya untuk merusak kesehatan.

Bagaimana aksi-aksi sang Bintang Baru dari UGM ini setelah menjadi wakil menteri kesehatan nanti, layak kita nantikan.


Referensi :
8. http://www.docstoc.com/docs/21543763/TRANSMISSION-DETERMINANTS-OF-PULMONARY-TUBERCULOSIS-IN-TABALONG-REGENCY-SOUTH-KALIMANTAN-PROVINCE
9. http://nasional.vivanews.com/news/read/255321-ali-ghufron-mukti–bintang-baru-dari-ugm
Salam berbagi..

Wednesday, October 12, 2011




Rajab namanya, aku memanggilnya Ayah, bukan karena hubungan biologis tapi simbol kedekatan dan rasa hormat. Beliau pahlawan lingkungan sejati bagiku, saat lembaga-lembaga dan yang mengaku aktivis dunia membincang isu lingkungan di hotel-hotel mewah dan ruang-ruang megah, beliau menekuni langkah menjaga daerahnya tetap hijau, menghadang dengan jiwanya tiap usaha merusak hutannya dan mengorganisir kawan-kawannya untuk bekerja bersama.

Sosok ini dikenal keras kepala, emosional tapi hatinya penuh kasih. Banyak lembaga donor yang pernah merasakan “bisa” dari ucapan-ucapannya. Tak sedikit lembaga-lembaga lingkungan besar yang mengajaknya bekerjasama justru ia usir mentah-mentah. Hari ini saat dunia meributkan isu climate change dan mengkhawatirkan dampak pemansan global yang kian terasa dari hari ke hari. Media mainstream terus menerus menulis dengan ganas penyebab bumi yang makin panas. Aktivis makin keras bersuara agar kita memperbaiki sikap hidup lebih hijau dengan lekas. Tapi tidak dengan Ayah Rajab, ia tak menulis, ia tak berteriak ia hanya bicara dengan caranya sendiri; berdoa, berbuat dan merawatnya.

Menuju Gampong pahlawan kita ini..

Aku mengenalnya tiga tahun yang lalu dan secara rutin bertemu lebih dari dua puluh kali dengan beliau, aku belajar dari “the real hero ini. Ia hidup di Gampong (sebutan khusus untuk desa bagi desa-desa di Aceh sesuai dengan UU Pemrintahan Aceh) Rantau Panyang, Aceh Jaya tak jauh dari kawasan konservasi Ulee Masen. Tak mudah mencapai daerah ini, butuh niatan yang kuat untuk sampai disini. Dari Banda Aceh kita berkendara sekitar empat jam untuk sampai ke Calang, ibukota Aceh Jaya.

Perjalanan empat panjang ini bukan perjalanan biasa, karena bukan jalan tol bebas hambatan yang kita lalui layaknya di kota-kota besar Pulau Jawa. Bukan pula jalan-jalan protokol yang rapih dan lebar-lebar seperti di ibukota negara. Tapi jalan-jalan yang tak terduga kejamnya. Kendaraan anda harus benar-benar dalam kondisi fit untuk melalui 4 jam perjalanan menuju Calang.

Selama perjalanan kita akan menjumpai jalan beraspal lebar yang enak untuk melajukan kendaraan hingga 100km/jam, kita juga akan melalui jalan berbatu dan berlumpur hingga terpaksa anda menurunkan kecepatan hingga 100km/hari. Tak hanya itu kitapun akan dibuat dag-dig-dug tatkala kendaraan kita harus diangkut dengan “kapal” penyebrangan yang amat sangat mendebarkan (lihat foto). Sungguh empat jam di perjalanan ini tak akan sama dengan empat jam perjalanan di ibukota yang membosankan dan kaku. Disini, aku bisa memandangi monyet-monyet liar bersenda gurau sembari menggoda manusia yang lalu lalang, terpampang pula birunya lautan yang tak berujung rasanya. Kalau beruntung anda bisa mendapati harimau Sumatera (Panthera tigris) menyebarangi jalan.



Pernah suatu malam sepulang dari Calang kami mendapati hal istimewa ini, saying seribu sayang tak terabadikan oleh kamera sederhanaku. Kalaulah anda merasa lapar diperjalanan bisalah kita mampir di Bukit Gruete atau dikenal juga dengan nama Bukit Panglima untuk menikmati mie kepiting khas Aceh yang mahsyur kelezatannya itu. Sungguh perjalanan yang mungkin akan kurindukan sepanjang sisa hidupku.
Setibanya di Calang, kota yang luluh lantak oleh Tsunami 2004 ini, kita biasanya beristirahat sejanak sembari menyeruput kopi Aceh yang terkenal keistimewaannya itu. Konon, ngupi juga bisa fly lho…hehe. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan melalui jalanan yang tak ada aspal sama sekali hanya lautan kuning kecoklatan tanah liat yang kita jumpai. Jika musim hujan, bersiaplah berjalan kaki. Dari Calang menuju gampong ayah hanya sekitar satu jam, kalau semua berjalan lancar.

Siapa dan Bagaimana Ayah Rajab ?

Disini, di sebuah gampong yang ada di tepian Sungai Krueng Sabee beliau hidup, tak jauh dari gampong ini sekelompok orang menambang emas secara tradisional di Gunung Ujeeun. Sungai dan hutan yang terancam itulah membuat Ayah Rajab mencoba berdiri tegak dan bersuara atas nama masa depan. Karena beliau sadar betul sungai dan hutan yang ada itulah yang menopang hidup mereka selama ini dan yang dieprtaruhkan adalah masa depan generasi mendatang jika ini rusak.

Dengan berbalut kesederhanaan yang jauh dari logika-logika berat macam REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degredation) yang kerap dibincang atau wacana-wacana pemanasan global beliau mulai bergerak. Ia hanya berpikir bahwa ia berhutang pada anak cucunya nanti. Kata-katanya yang sering saya dengar “kita terlalu banyak menebang baripada menanam, kita telah menanam tapi kita tidak merawat”.

Beranjak dari sana ia dan kawan-kawannya yang sepemikiran, meski tak banyak mencoba menanami kembali sisi kiri kanan Sungai Krueng Sabee yang terancam karena penebangan hutan dan juga aktivitas penambangan. Apa yang ia mulai sejak 2005an ini tentu bukan perkara mudah, ia berhadapan dengan kepentingan pragmatis penambang dan juga penebang yang sebenarnya lebih banyak pihak luar. Sehingga mereka penduduk sekitar hanya kecil saja menerima kemanfaatan dari kerusakan yang mereka saksikan itu. (kelak saya akan menulis pula tentang penambangan emas di Gunung Ujeun).

Tak lebih dari lima orang yang mulanya mau membantu Pak Rajab menanam, darimana ia mendapat bibit pohon ? mulanya ia hanya menggunakan apa yang ada di sekitarnya ia mencoba mengambil bibit bamboo atau tanaman-tanaman lokal setempat yang di tanam kembali. Ia bukan ahli kehutanan, tapi berbekal kearifan lokal yang mengakar dan instingnya ia tahu bahwa memasukkan tanaman baru yang bukan pilihan yang baik. Dalam istilahnya introdusir alien species biasanya akan berdampak hilangnya keseimbangan ekosistem.
Oleh-oleh sepanjang jalan menuju Calang/@huzera

Tak mengenal hari ia bekerja, tak pula mengenal siang dan malam. Bahkan sang istri sering berkata “Ayahmu itu kadang menginggau soal hutan dan sunngai” hati dan pikirannya menyatu dengan laku. Sesuatu yang langka kita temui hari ini. Hati dan laku berbeda, ucapan dan perbuatan tak sama. Pujangga politik dan cerdik cendekia kadang lupa akan sinergi antar laku dan ucap itu. Begitu cinta beliau pada sungai itu, kadang beliau berjam-jam berjalan menelusuri sungai sembari melihat apa yang ia tanam tumbuh atau tidak, kalau nampak akan mati mulailah ia menyulam dengan tanaman baru.

Kini seiring waktu orang-orang mulai percaya atas apa yang ia lakukan, terbentuklah organisasi lokal yang ia ketuai, sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada kelangsunngan krueng sabee dari hulu ke hilir. Bahkan kini dukungan terus mengalir kepada organisasi sederhana ini, hanya saja beliau sangat-sangat selektif menerima dukungan. Tak semua lembaga yang ingin membantu ia terima. Awal tahun 2010 lalu, dinas kehutanan Kabupaten Aceh Jaya mempercayakan bibit-bibit tanaman untuk kelompok ini tanam di sekitaran Krueng Sabee.

Beliau juga diberi kesempatan untuk belajar ke Nusa Tenggara Timur, unutk berbagi asah dengan forum daerah aliran sungai yang telah lama berdisi di NTT. Namun, ajakan inipun bukan mudah, ia merasa tka pantas mendapatkan apresiasi itu, ia memberikan kesempatan itu pada anggotanya, namun in the last minutes akhirnya ia ikut berangkat. Alasannya, ia takut anggotanya kelaparan dan tak ada yang mengurus di NTT. Selama di NTTpun ia lebih banyak diam. Bukan karena ia tak mampu berbicara banyak, tapi karena ia malu. Malu karena sekian lama menurutnya mereka lalai akan anugerah air yang dititipkan Tuhan, sedang di NTT dengan air yang sangat sedikit mereka bekerja mati-matian mempertahankannya. Beliau takut termasuk golongan yang kufur nikmat.

Daya pikat Ayah telah melumpuhkan banyak kekeliruanku, aku merasa terlalu banyak berkutat dengan teori bukan aksi, terlalu banyak bersuara tapi terlalu sedikit berbuat, terlampau gandrung akan “gelanggang” tapi lupa memperjuangkannya. Ayah, bukanlah sosok yang mahir berkata-kata indah, hanya berbicara apa perlu saja, ayah tak mampu berteori mutakhir hanya mengatkan kita pada hal-hal yang menjadi dasar kehidupan. Ia pujangga tanpa puisi, ia ilmuwan tanpa gelar sarjana ia bintang di gelanya malam yang sunyi. Ia berjuang dalam sunyi…

Aku tak tahu apa reaksi beliau anda ia tahu kutulis ini, mungkin ia akan marah. Tapi biarlah kuambil resiko itu, terlalu berharga membiarkan kearifan dan kebersahajaan ii berlalu tanpa catatan sejarah. Terlalu banyak yang bisa kita pelajari, semoga kita bisa mengoreksi kejumawaan kita, merasa telah berjasa pada bumi.

Ayah, tulisan ini tak bermaksud mengusikmu dalam perjuanganmu di jalan sunyi itu// sekedar mewartakan pada dunia bahwa kita perlu bergandeng tangan//menundukkan hati dalam kerendahan diri //dan berkaca sembari berkata pada diri sendiri, “kami belum berbuat apa-apa, sedang bumi makin merana” Hanya itu ayah.

Salam berbagi !!

kibas_ilalang

   


Salah satu sudut Galle Port yang mulai termakan masa


Galle Port, sebuah pelabuhan tua di southern province Srilanka. Posisinya yang strategis antara Laut Arab, Laut Laccadive dan Teluk Bengal serta Laut Andaman menempatkan pelabuhan ini sebagai salah satu pelabuhan yang telah dikenal oleh dunia sejak abad 14. Bahkan salah satu penulis Muslim Ibnu Batuta telah mengenali pelabuhan ini sebagai Qali.

Pengelana asal Irlandia yang juga merupakan seorang politisi, Sir. James E Tennent menyebut Galle Port sebagai pelabuhan laut yang memegang peranan penting dalam tata perdagangan dunia di abad 16-18. Kita di Indonesia mungkin tak terlalu banyak mengenal salah satu warisan sejarah dunia yang dinobatkan sebagai salah satu World Heritage oleh Unesco. Tsunami dahsyat yang mengahantam Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga dirasakan dampaknya sampai ke Galle.

Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan mengunjungi pelabuhan tua yang berada di Galle District ini. Sungguh sebuah keberuntungan bisa mengunjungi salah satu warisan dunia, sembari melihat dari dekat sejarah awal perdagangan antar benua.

***

Sebelum tengah hari kami bergerak ke Selatan Kolombo, perjalanan sekitar 120 KM tentu saja bukan perjalanan singkat, apalagi situasi jalan raya di Srilanka yang relative baru terbebas dari perang saudara ini belumlah betul-betul mulus, ditambah perilaku berkendara yang tak pula bisa dibalik baik. Kendaraan-kendaraan umum disana yang biasanya berupa bus-bus tua yang terkadang sisi pintu sebelah sopir tak berpintu makin memperlama perjalanan, biasanya dijalan menuju southern province bus-bus tersebut berjalan palan dan menguasai hampir semua sisi jalan sehingga kita mau tidak mau harus bersabar di belakang kendaraan-kendaraan tua itu.

Di pusat kota Kolombo memang jalanan relative sangat baik, lebar dan mulus terutama di sekitar distrik 5 dan 6. Namun semakin keluar kota semakin sempit dan cenderung tak beraturan, kami bergerak melalui southern line, jalanan yang akan membawa kita ke sisi Selatan Srilanka, jalur ini akan berakhir ke Matara. Lambatnya laju kendaraan yang membawa saya memang membuat suasana bosan, ingin rasanya segera melihat Galle Port yang mahsyur pada masanya itu. Sesuatu yang tua itu biasanya unik dan selalu berbeda itu yang ada di benakku.

Bus-bus tua yang bergeral sangat pelan

Oh iya, jika suatu saat anda ingin berkunjung anda bisa menunggunakan jasa taksi yang menurut informasi yang saya terima dari seorang pengemudi lokal sekitar 3000 rupees. Jika tidak anda bisa menggunakan angkutan umum yang jelas harganya jauh lebih dari murah, hanya saja saya tidak punya informasi mengenia berapa biayanya, yang jelas nampaknya jika menggunakan angkutan umum anda perlu berganti angkutan 2 kali dari Kolombo.

Baruntung kebosanan akan lambannya perjalanan tergantikan oleh pemandangan-pemandangan menarik bagaimana kehidupan masyarakat Srilanka yang terbilang sangat bersahaja dan genuine bisa jadi pengaruh budaya Hindu dan juga Muslim yang menghadirkan kesederhanaan tersebut, disamping tentu saja factor perang saudara yang berlangsung sangat lama antara pemerintah berkuasa dan pemberontak Tamil yang melegenda itu.

Di beberapa titik southern line yang kami lalui berhimpitan langsung dengan tepi laut, sehingga kami bisa menyaksikan keindahan bernama seni memancing a la Srinlanka yang sangat unik tersebut. Mengapa unik ? karena mereka memancing di pinggir laut dengan berdiri di penyangga yang hanya sebuah kayu. Kalau anda melihat ini, mungkin anda akan bersepakat menyebut seni memancing Srilanka ini sebagai salah satu “keajaiban” dunia. Sungguh baru kali ini melihat memancing sesulit itu kelihatannya, tentu tidak bagi nelayan Srilanka yang sudah terbiasa. (Dalam waktu dekat saya akan menuliskan juga kisah tentang mincing a la Srilanka)
Memancing a la Srilanka yang melegenda

  
***
Akhirnya setelah melalui perjalanan yang hamper empat jam kami tiba di Galle Port. Sebenarnya kalau kita hitung jarang yang sekitar 120KM tersebut jika ditempuh dengan kecepatan 60KM per jam saja, tentu dua jam sudah akan tiba. Tapi buruknya perilaku berkendara ditambah infrastruktur yang tak bisa dibilang baik membuat perjalanan menjadi membutuhkan waktu yang lebih panjang dari semestinya. Nah, ini pengalaman juga. Jika anda bertanya dengan warga di Kolombo tentang berapa waktu yang dibutuhkab untuk sapai ke Galle mereka biasnaya akan menjawab satu setengah jam atau dua jam. So, jangan telan ini mentah-mentah…Saran saya siapkan baterai kamera anda, buku untuk bahan bacaan atau baterai gadget musik anda agar tak dilumuti rasa bosan.

Memasuki kawasan Galle Port saya langsung merasakan suasana yang berbeda, berasa menatapi Abad delapanbelasan, seperti yang sering kita jumpai di gambar-gambar buku sejarah. Dinding tebal bersosok keras dan kelam memagari kawasan, waktu telah menguji tangguhnya dinding itu. Sesaat setelah memasuki kawasan pelabuhan, saya melihat banyak terdapat Papan reklame yang mengkampanyekan situs ini sebagai warisan sejarah dunia.

Berbagai reklame sambutan di kawasan Galle Port

 Galle Port kini telah menjadi kawasan wisata yang cukup ramai di Srilanka, semakin ke ujung kawasan saya melihat semakin banyak keramaian. Suasana romantis juga nampak di tembok-tembok pelabuhan yang mengarah langsung ke lautan lepas, muda-mudi berdua-duaan deengan indahnya memandangi lautan yang seolah tak berujung itu.

Muda-muda menggunakan Galle Port sebagai ruang romantis


Sayapun hanyut berdiri di tepi pelabuhan sembari mengarahkan pandangan ke lautan yang membiru itu. Andai pandanganku tak berbatas mungkin aku sudah bisa melihat Pulau We (Sabang) di ujung jauh laut ini. Nelayan Srilanka memang terkenal kerap menjelajah sampai ke perbatasan Indonesia, tak jarang mereka ditangkap karena melintas batas. Seorang teman yang bekerja di Lembaga PBB disini juga menyebut bahwa tak jarnag juga nelayan Aceh ditangkap di lautan Srilanka. Pikiranku bermain-main pada masa lalu, mungkinkah Kerajaan Aceh dan Ceylon (Sebutan untuk Kolombo) sudah lama bekerjasama dan saling memberi pengaruh dalam kultur satu dan lainnya. Kalau anda pernah ke Aceh dan Srilanka, terasa betul ada “sesuatu” yang sama antara keduanya.

Di beberapa sisi kawasan, nampak anak-anak yang tengah bermain kriket di tanah lapang. Sebuah cabang olahraga yang sangat dibanggakan disini, kriket telah membuat Srilanka mendunia. Prestasi tim nasional mereka memang salah satu yang terbaik di dunia.

Saya mencoba berjalan ke sisi lain kawasan, saya tertarik dengan menara-menara jam yang ada di sekitar Galle Port, nampak jarum jam masih berjalan dengan baik yang menandakan bahwa jam di menara jam ini dirawat dengan baik pula. Menara jam yang ada disini seolah membawa kita ke Eropa dimana menara-menara jam memang menjadi identitas. Disinilah terasa sentuhan Bangsa Eropa yang membangun pelabuhan ini.

Salah satu sudut Galle Port


Tak jauh dari tempat saya berdiri memandangi menara jam, saya melihat sekolompok warga yang tengah berkumpul, nampaknya mereka bukan wisatawan terlihat dari busana yang dikenakan. Kuberanikan diri untuk mencoba berbincang. Satu yang menarik dari warga Srilanka, penguasaan bahasa Inggris mereka bisa dikatakan sangat baik, tak peduli mereka ada di desa atau di kota ataupun muda maupun tua, kebanyakan mereka bisa berbahasa Inggris. Saya bercakap-cakap singkat memperkenalkan diri dan menyatakan ketakjuban saya pada pelabuhan tersebut. Lalu mereka juga mengatakan bahwa pelabuhan tua ini telah memberi kemudahan bagi emreka untuk mencari nafkah, karena mereka bisa menjadi pemandu, berdagang cinderamata atau makanan ringan bagi para wisatawan.

Apa yang mereka sampaikan di atas sama sekali tak membuat saya terkejut, karena memang begitulah biasanya kawasan wisata dimanapun. Saya terkaget ketika salah satu dari mereka, menanyakan apa saya dari Jawa. Meski saya bukan asli Jawa namun karena saya bermukim di Pulau Jawa saya sambut saja pertanyaan itu dengan cepat “iya..” lalu warga itu berkisah bahwa dia sedikit-sedikit bisa bahasa Jawa. Wooow, nan jauh di ujung Srilanka ini ternyata terjamah juga oleh kultur Jawa. Lalu setelah mendengar beberapa kata yang dia sebutkan dalam bahasa Jawa, meksi terasa aneh tapi kosakatanya benar. Saya mulai bergairah mencari tahu bagaimana bisa ia bisa berbahasa Jawa.

Menara jam di galle Port yang sangat khas Eropa

Selidik punya selidik ternyata ia masih ada keturunan Jawa dari Bapaknya, menurut ceritanya Kakeknya dulu adalah pengembara dari Jawa yang bekerja di perkebunan teh di seputaran Srilanka. Oh, ternyata kisah kolonialisme yang “memaksa” banyak manusia hengkang dari tanah lahirnya demi dipekerjakan juga kutemui di Negara Pulau ini.  Menurut warga lain yang kebetulan tidak ada hubungan dengan Jawa, ia menyebut ketekunan pekerja dari Jawa di kebun-kebun teh dulu sangat disukai oleh mandor-mandor the yang kebanyakan adalah oang Eropa, terutama Inggris.

Setelah berbincang cukup lama saya berlalu dari kumpulan warga tersebut dengan membawa beragam Tanya dalam pikiran. Bagaimana nasib keturunan-keturunan Jawa sekarang, bagaimana pula kisah pergerakan manusia lintas Negara di masa lalu, apa mereka diangkut secara layak ? atau dikepalkan layaknya peti kemas saja ? banyak pertanyaan yang tak terjawab. Lalu saya mencoba menguhubungi rekan saya yang tinggal di Kolombo menanyakan prihal itu (saat itu juga), saya mendapat jawaban bahwa di Kolombo ada perkampungan Jawa. Ingin rasanya mengunjungi perkampungan ini pikirku…

Waktu kian senja, akupun bergerak menaiki sisi tinggi dari pelabuhan tua ini, kupandangi sekali lagi lautan luas. Lalu, kuregangkan pandang kea rah dalam kawasan Galle kuamati pelan gerak kehidupan di dalamnya, sepeda motor, mobil bergerak di jalanan kecil, Waktu telah bergerak dari era keemasan pelabuhan laut ini, ratusan tahun silam kubayangkan pelabuhan ini dalam keramaiannya kini semua telah berganti, tak ada lagi kapal-kapal besar yang bersandar, taka ada lagi tangan-tangan kekar tentara kolonial yang menghujamkan senajata ke arah pekerja paksa. Tapi waktu sama sekali tak mampu menghapus nuansa, pesona dan citra pelabuhan laut ini.


Ketekunan masyarakat dan pemerintah Srilanka dibantu lembaga-lembaga internasional dalam menjaga salah satu warisan sejarah dunia ini agar tetap bisa dinikmati kita dan generasi berikut patut diacungi jempol. Meski lama ditelan perang saudara mereka tak menyerah merawatnya. Beruntung sempat menjadi penikmat langsung warisan sejarah dunia ini. SALAM BERBAGI.



Monday, October 10, 2011


Sumber : www.ongisnade.net


Ini kali kedua kukirim surat untuk mereka, ya mereka. Mereka sepasukan anak muda berseragam merah. Mereka yang telah menjadi pelipur di tengah seribu satu duka di negeri kami ini.

Anak muda berseragam merah, meski asah tentang juara belumlah menemukan wujudnya namun kau tetap tak berubah. Tetap saja kau adalah harmoni di tengah disharmoni yang dihadirkan si empunya kuasa di kursi-kursi terhormat. Anak-anak muda itu oase di keruhnya suasana negeri yang dipacu oleh rasa saling benci. Kau, telah menerbitkan harapan di saat anak-anak muda lainnya di negeri ini kehilangan suar kehidupan; tawuran, obat terlarang dan kebencian telah menjadi warna dominan anak muda di negeri kita ini…

Esok kau akan kembali ke lapangan, menarikan impian sekaligus harapan berpuluh juta rakyat Indonesia. Meski tarianmu belakangan tak selentur dan tak seindah yang diharapkan, tapi percayalah akan ada berjuta kibaran merah putih di belakangmu. Mereka yang setia memperjuangkan harapan akan selalu ada bersamamu, hari ini, esok dan nanti. Kami tak boleh kehilangan asah, karena akan pedih bagimu menari tanpa sorak sorai kami. Aku yakin jiwamu akan menangis andai tarian perjuanganmu kami abaikan.

Sunggu aku tak sanggup untuk berkata bahwa kami tak butuh kemenangan, meski kami tahu berat sungguh bebanmu untuk itu. Tapi aku tak bisa berbohong bahwa kami butuh kemenangan, kemenangan yang akan membawa kami pada keberanian merengkuh mimpi. Kemenangan yang tidak hanya berarti bagi sebuah asah bernama piala dunia, tapi lebihd ari itu kemenangan yang akan menjadi warna baru bagi tanah kita. Tanah yang telah direnggut keelokannya oleh keserakahan. Tanah yang tak dikelola dengan amanah.

Namun harapan akan kemenangan itu semoga tak menjadi beban bagi tarianmu esok, tak menjadi duri di atas lapangan. Sejatinya kami tak memikirkan kemenangan itu, sungguh !! Karena kami tahu ada waktunya nanti. Lebih dari sebuah kemenangan kami ingin menyaksikan tarianmu dalam semangat tanpa henti selama 90 menit,  semangat yang mengingatkan kami untuk tidak berhenti berjuang dalam hidup seberat apapun dinamikanya. Kami ingin melihat kaki-kaki lincahmu berlari dengan energi dan mimpi, yang mengingatkan kami untuk untuk berani bermimpi meski realitas begitu pedih. Kami mau kalian menari dari harmoni kerjasama, yang akan mengingatkan bangsa ini, bahwa kita butuh kerjasama, bukan kebencian dan prasangka seperti yang selama ini dipertontonkan di layer teve.

Setangguh apapun lawanmu esok, kami tak berhenti berteriak dan berdoa. Sekecil apapun peluang kita esok, bermainlah layaknya kanak-kanak yang mencintai bola dengan hatinya, berlarilah seperti air yang mengalir, bekerjasamalah dengan ketulusan dan kerendahan hati layaknya pasukan lebah yang tak kenal lelah.

Menarilah anak muda berseragam merah !!!




Source : http://www.evor.com

Seri Belajar Politik : Introduction of Capital Concept and Briefly Marx Criticism on it

Lecture : Prof. Douglas W Rae
Selamat menikmati materi belajar di atas, jika anda mengalami kesulitan dalam mengunduh materi silahkan menghubungi kami melalui huzer.apri@gmail.com atau melalui facebook or twitter maka kami akan mengirimkan file materi belajar kepada anda melalui email. Semoga berkenan dan selama belajar bersama….

Salam Berbagi !!

Sebelum masuk pada materi, ada baiknya saya sajikan terlebih dahulu siapakah Prof. Douglas W Rae. Mengapa hal ini perlu ? Apa yang ada dalam materi belajar di atas disamping bersifat text book namun tak dapat dimungkiri bahwa materi belajar tersebut dipengaruhi pula oleh subyektifitas penyampai dalam hal ini Prof. Douglas Rae, yang oleh mahasiswa mereka bisa disapa Prof. Rae. Intepretasi atau pemaknaan akan atas konsep tentu tap bisa tanggal dari latar belakangnya, untuk itu sedikit gambaran tentang penyaji akan selalu hadir dapam setiap materi di seri belajar politik nantinya.

Who is Prof. Douglas W. Rae ?

Prof. Rae, seorang ilmuwan politik yang telah berkiprah di Yale University sejak 1967. Disamping aktifitas akademik beliau juga pernah tercatat dan juga masih aktif sebagai konsultan politik bagi Partai Demokratik Kristen (Christian democratic party of Italy) kemudian juga Parlemen Spanyol, penasehat bagi pemerintah Netherlands Antilles dan konsultan untuk British Broadcasting Corporation (BBC).

Prof. Rae juga tercatat sebagai board di MORE Project, sebuah proyek yang mendorong perbaikan kualitas membaca melalui riset-riset.. Proyek ini di abwah naungan Ohio State University. Tercatat pula sebagai board di Candidate School for Women, Tweed-New Haven Airport, New Haven Scholarship Fund (Trustee).

Dari karya dan dedikasinya dalam Ilmu Politik Prof. Rae telah mendapatkan beberapa penghargaan, antara lain :
  1. Chief Administrative Officer for the City of New Haven, Connecticut, 1990-1991
  2. George Hallet Prize, American Political Science Association, 1989
  3. Guggenheim Fellow, 1988
  4. Elm and Ivy Award for Town-Gown Relations, New Haven, Connecticut, 1984
  5. Fellow, American Academy of Arts and Sciences, 1983

Latar belakang pendidikan beliau adalah :
·         PhD University of Wisconsin at Madison, 1967
·         MS University of Wisconsin at Madison, 1964
·         BA Indiana University, 1962

Adapun buku-buku yang telah dia tulis adalah

·         The Geography of Liberty, forthcoming
City: Urbanism and Its End, Yale University Press, 2003
·         Equalities, Harvard University Press, 1981; Revised Edition, 1989; Italian Edition, 1992
·         Political Consequences of Electoral Law, Yale University Press, 1967; Revised Edition, 1971; Spanish Translation, 1976; Italian Edition, 1992
·         The Analysis of Political Cleavages (with M. Taylor), Yale University Press, 1970
Demikian sekilas mengenai Prof. Douglas W Rae, diharapkan paling tidak bisa memberi gambaran pada kita mengenai “posisi” beliau dalam konteks teori kapital.

Intisari Materi Belajar

Kami sangat yakin anda mampu memahami dan mengintepretasi materi belajar kali ini dengan baik, apalagi bahasa Inggris yang digunakan Prof. Rae yang American English sangat enak didengar, karena pengucapan yang sangat jelas dan diksi yang bisa dibilang tidak sulit dipahami. Namun, sebagai bagian dari proses belajar bersama, kami mencoba memberi semacam intisari dari apa yang kami tangkap atas materi belajar dengan topik Konsep Kapital ini.

***
  • Untuk memahami Capital Concept Prof. Rae menggunakan definisi dari Old English Dictionary (OED-1611), bisa dikatakan definisi ini termasuk definisi yang paling awal ada mengenai capital. Merujuk OED (1611) tersebut maka capital dapat didefiniskan sebagai Akumulasi kekayaan dari individu, perusahaan atau komunitas yang digunakan dalam proses produksi (fresh production). Kekayaan dalam berbagai bentuk tersebut digunakan untuk menghasilkan lebih banyak lagi kekayaan.

  • Dari definisi dasar tersebut, terdapat tiga kata/ atau frase kunci; Akumulasi kekayaan, proses produksi dan Menghasilkan lebih banyak kekayaan. Inilah tiga hal penting dalam capital.

  • Karakter utama dari kerja capital adalah pengkombinasian bebrapa factor dalam memproduksi suatu produk dengan cara yang sangat cerdas (efektif-efisien) yang merupakan akumulasi dari pengalaman masyarakat.

  • Dalam konteks akumulasi capital, maka terjadi agregasi capital. Sebagia contoh bank melakukan agregasi capital melalui tabungan dari nasabahnya.

  • Selanjutnya bentuk paling awal dalam masyarakat modern terkait intervensi capital tersebut terjadi pada sector pertanian. Dimana terjadi apa yang disebut Capital Intensive highly mechanize berhadapan dengan labour intensive low mechanize. Dua hal ini adalah strategi, dan kedua-duanya memiliki kelemahan, strategi labour intensive akan menyebabkan tidak maksimalnya produksi, sedang pada strategi Capital intensive akan mendorong penggunaan capital yang besar dan berkecenderungan mereduksi peran pekerja, kemudian dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh mekanisasi pertanian dan yang tak kalah penting dampak lingkungan.

  • Sejarah dunia 100 tahun terakhir adalah sejarah capital intensive dalam berbagai bentuknya.

  • Selanjutnya pada bagian kedua, Prof. Rae menocba menggambarkan apa yang disebut dengan kapitalisme. Selama ini kita kerap bicara kapitalisme-kapitalisme namun seperti apa dan bagaimana makna dari term tersebut kadang  tak terlalu tahu, bisa dikatakan bicara tanpa substansi.

  • Prof Rae menyebutkan Karl Marx mendefinisikan kapitalisme dengan konsep sederhana W – C – W (Wealth – Commodity – Wealth) kira-kira kalau kita sederhanakan bikin uang ya pake uang, yang kaya makin kaya. Kondisi inilah yang menyebabkan kapitalisme menjadi Patologi, distorsi dari nilai-nilai dasar manusia. (human values). Apa yang digambarkan oleh Marx dan Angel bahwa proses produksi missal cenderung tidak terkontrol dan menghasilkan kerakusan benar-benar terjadi sepanjang sejarah kapitalisme.

  • Istilah kapitalisme muncul pada pertengahan abad ke-19. Kapitalisme sendiri digunakan sebagai bentuk peyorasi dalam rangka menyerang situasi ekonomi saat itu sebagai system yang tidak adil, jadi kapitalisme bukan sebagai konsep highly productive system. Pada titik inilah kita memahami bahwa kapitalisme sebagai sebuah konsep dan kapitalisme sebagai istilah atas kondisi ketidakadilan system ekonomi saat itu (pertengahan abad 19) adalah dua hal yang berbeda.

  • Dalam pandangan Karl Marx pada pertangahan abad 19, kapitalisme didefinisikan sebagai

a.       Kapitalisme adalah sebuah penyakit dimana sosialisme hadir sebagai penawar/obatnya.
b.      Kapitalisme adalah metode untuk mengeksplotasi para buruh.
c.       Kapitalisme adalah sebuah system yang merusak semua tata cara tradisional dalam mencari nafkah.
d.      Kapitalisme adalah system yang merusak pondasi system itu sendiri.

·         Sebagai catatan penutup Prof. Rae menggarisbawahi bahwa kapitalisme adalah term yang diberikan oleh musuh-musuhnya.

·         Pada bagian akhir Prof. Rae merekomendasikan beberapa bahan bacaan untuk memperkuat pengayaan;

1.      Wealth of nations oleh Adam Smith
2.      Communist Manifesto by Karl Marx dan Frederich Engel
3.      The constitution of liberty by Friedrich Hayek
4.      The Mistery of Capital by Hernando de Soto
5.      A Failure of Capitalism by Richard A Posner
6.      The Bottom Billion by Paul Collier
7.      The White Tiger (a novel) by Aravind Adiga
8.      Thank You for Smoking by Christopher Buckley

·         Prof. Rae dalam presentasinya memberi catatan khusus mengenai Novel The White Tiger. Menurutnya inilah sbeuah novel yang secara cerdas menggambarkan bagaimana kapitalisme berjalan di India dan bagaimana dampaknya pada orang-orang disana. Inilah gambaran paling real dari kapitalisme, meski ini adalah karya fiksi namun bagi Prof. Rae tetaplah sebuah hal yang pantas ditelaah karena fiksi sekalipun adalah cerminan dari realitas dimana karya itu hadir.

Diskusi Lanjutan

Jika anda tertarik unutk memperkuat pemahaman mengenai capital dan capitalism dalam konteks Indonesia, bisalah kita mencoba untuk menelaah bagaimana sebenarnya sejarah kepitalisme di Indonesia dan bagaimana pula hubungannya dengan kolonialisme yang dialami Indonesia.

Dalam konteks lain, bisa pula kita coba mengkaji apa dan bagaimana dampak intesifikasi modal bagi Indonesia sebagai Negara dan bagi penduduk Indonesia. Kemudian kajian juga bisa dilakukan terhadap dampak FDI (Foreign Direct Investment) dalam menghadirkan sebuah system ekonomi yang tidak adil di Indonesia.

Kajian-kajian itu bisa dilakukan secara mandiri dan sederhana saja dengan perangkat konsep yang diberikan Prof. Rae dalam materinya.

Selamat berkarya !!!


Catatan-Catatan

  • Kami berusaha menghadirkan pula buku-buku seperti yang disebutkan oleh Prof. Rae, namun kami terkendala dengan hak cipta. Jadi demi penyebaran ilmu pengetahuan kami memliki beberapa versi e-book dari buku-buku tersebut dan jika anda berminat bisa menghubungi kami di huzer.apri@gmail.com.
  • Apa yang kami sampaikan di atas merupakan intepretasi kami atas kuliah yang disampaikan Prof. Douglas Rae, tentu saja banyak hal yang luput dari kami dan bisa jadi juga intepretasi kami tidak tepat. Maka, semua yang kami sampaikan sangat terbuka untuk dikritisi dan diberi masukan.

SALAM BERBAGI !!!


Popular Posts