Salah satu sudut Galle Port yang mulai termakan masa |
Pengelana asal Irlandia yang juga
merupakan seorang politisi, Sir. James E Tennent menyebut Galle Port
sebagai pelabuhan laut yang memegang peranan penting dalam tata perdagangan
dunia di abad 16-18. Kita di Indonesia mungkin tak terlalu banyak mengenal
salah satu warisan sejarah dunia yang dinobatkan sebagai salah satu World Heritage oleh Unesco. Tsunami
dahsyat yang mengahantam Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga dirasakan
dampaknya sampai ke Galle .
Beberapa waktu yang lalu saya
berkesempatan mengunjungi pelabuhan tua yang berada di Galle District ini.
Sungguh sebuah keberuntungan bisa mengunjungi salah satu warisan dunia, sembari
melihat dari dekat sejarah awal perdagangan antar benua.
***
Sebelum tengah hari kami bergerak ke
Selatan Kolombo, perjalanan sekitar 120 KM tentu saja bukan perjalanan singkat,
apalagi situasi jalan raya di Srilanka yang relative baru terbebas dari perang
saudara ini belumlah betul-betul mulus, ditambah perilaku berkendara yang tak
pula bisa dibalik baik. Kendaraan-kendaraan umum disana yang biasanya berupa
bus-bus tua yang terkadang sisi pintu sebelah sopir tak berpintu makin
memperlama perjalanan, biasanya dijalan menuju southern province bus-bus
tersebut berjalan palan dan menguasai hampir semua sisi jalan sehingga kita mau
tidak mau harus bersabar di belakang kendaraan-kendaraan tua itu.
Di pusat kota Kolombo memang jalanan relative sangat
baik, lebar dan mulus terutama di sekitar distrik 5 dan 6. Namun semakin keluar
kota semakin
sempit dan cenderung tak beraturan, kami bergerak melalui southern line, jalanan yang akan membawa kita ke sisi Selatan
Srilanka, jalur ini akan berakhir ke Matara. Lambatnya laju kendaraan yang membawa
saya memang membuat suasana bosan, ingin rasanya segera melihat Galle Port
yang mahsyur pada masanya itu. Sesuatu yang tua itu biasanya unik dan selalu
berbeda itu yang ada di benakku.
Bus-bus tua yang bergeral sangat pelan |
Oh iya, jika suatu saat anda ingin
berkunjung anda bisa menunggunakan jasa taksi yang menurut informasi yang saya
terima dari seorang pengemudi lokal sekitar 3000 rupees. Jika tidak anda bisa
menggunakan angkutan umum yang jelas harganya jauh lebih dari murah, hanya saja
saya tidak punya informasi mengenia berapa biayanya, yang jelas nampaknya jika
menggunakan angkutan umum anda perlu berganti angkutan 2 kali dari Kolombo.
Baruntung kebosanan akan lambannya
perjalanan tergantikan oleh pemandangan-pemandangan menarik bagaimana kehidupan
masyarakat Srilanka yang terbilang sangat bersahaja dan genuine bisa jadi pengaruh budaya Hindu dan juga Muslim yang
menghadirkan kesederhanaan tersebut, disamping tentu saja factor perang saudara
yang berlangsung sangat lama antara pemerintah berkuasa dan pemberontak Tamil
yang melegenda itu.
Di beberapa titik southern line yang
kami lalui berhimpitan langsung dengan tepi laut, sehingga kami bisa
menyaksikan keindahan bernama seni memancing a la Srinlanka yang sangat unik tersebut. Mengapa unik ? karena
mereka memancing di pinggir laut dengan berdiri di penyangga yang hanya sebuah
kayu. Kalau anda melihat ini, mungkin anda akan bersepakat menyebut seni
memancing Srilanka ini sebagai salah satu “keajaiban” dunia. Sungguh baru kali
ini melihat memancing sesulit itu kelihatannya, tentu tidak bagi nelayan
Srilanka yang sudah terbiasa. (Dalam waktu dekat saya akan menuliskan juga
kisah tentang mincing a la Srilanka)
Memancing a la Srilanka yang melegenda |
***
Akhirnya setelah melalui perjalanan
yang hamper empat jam kami tiba di Galle Port. Sebenarnya kalau kita hitung
jarang yang sekitar 120KM tersebut jika ditempuh dengan kecepatan 60KM per jam
saja, tentu dua jam sudah akan tiba. Tapi buruknya perilaku berkendara ditambah
infrastruktur yang tak bisa dibilang baik membuat perjalanan menjadi
membutuhkan waktu yang lebih panjang dari semestinya. Nah, ini pengalaman juga.
Jika anda bertanya dengan warga di Kolombo tentang berapa waktu yang dibutuhkab
untuk sapai ke Galle mereka biasnaya akan menjawab satu
setengah jam atau dua jam. So, jangan
telan ini mentah-mentah…Saran saya siapkan baterai kamera anda, buku untuk
bahan bacaan atau baterai gadget
musik anda agar tak dilumuti rasa bosan.
Memasuki kawasan Galle Port
saya langsung merasakan suasana yang berbeda, berasa menatapi Abad
delapanbelasan, seperti yang sering kita jumpai di gambar-gambar buku sejarah.
Dinding tebal bersosok keras dan kelam memagari kawasan, waktu telah menguji
tangguhnya dinding itu. Sesaat setelah memasuki kawasan pelabuhan, saya melihat
banyak terdapat Papan reklame yang mengkampanyekan situs ini sebagai warisan
sejarah dunia.
Berbagai reklame sambutan di kawasan Galle Port |
Muda-muda menggunakan Galle Port sebagai ruang romantis |
Sayapun hanyut berdiri di tepi
pelabuhan sembari mengarahkan pandangan ke lautan yang membiru itu. Andai
pandanganku tak berbatas mungkin aku sudah bisa melihat Pulau We (Sabang) di
ujung jauh laut ini. Nelayan Srilanka memang terkenal kerap menjelajah sampai
ke perbatasan Indonesia ,
tak jarang mereka ditangkap karena melintas batas. Seorang teman yang bekerja
di Lembaga PBB disini juga menyebut bahwa tak jarnag juga nelayan Aceh
ditangkap di lautan Srilanka. Pikiranku bermain-main pada masa lalu, mungkinkah
Kerajaan Aceh dan Ceylon
(Sebutan untuk Kolombo) sudah lama bekerjasama dan saling memberi pengaruh
dalam kultur satu dan lainnya. Kalau anda pernah ke Aceh dan Srilanka, terasa
betul ada “sesuatu” yang sama antara keduanya.
Di beberapa sisi kawasan, nampak
anak-anak yang tengah bermain kriket di tanah lapang. Sebuah cabang olahraga
yang sangat dibanggakan disini, kriket telah membuat Srilanka mendunia.
Prestasi tim nasional mereka memang salah satu yang terbaik di dunia.
Saya mencoba berjalan ke sisi lain
kawasan, saya tertarik dengan menara-menara jam yang ada di sekitar Galle Port,
nampak jarum jam masih berjalan dengan baik yang menandakan bahwa jam di menara
jam ini dirawat dengan baik pula. Menara jam yang ada disini seolah membawa
kita ke Eropa dimana menara-menara jam memang menjadi identitas. Disinilah
terasa sentuhan Bangsa Eropa yang membangun pelabuhan ini.
Salah satu sudut Galle Port |
Tak jauh dari tempat saya berdiri
memandangi menara jam, saya melihat sekolompok warga yang tengah berkumpul,
nampaknya mereka bukan wisatawan terlihat dari busana yang dikenakan.
Kuberanikan diri untuk mencoba berbincang. Satu yang menarik dari warga
Srilanka, penguasaan bahasa Inggris mereka bisa dikatakan sangat baik, tak
peduli mereka ada di desa atau di kota
ataupun muda maupun tua, kebanyakan mereka bisa berbahasa Inggris. Saya
bercakap-cakap singkat memperkenalkan diri dan menyatakan ketakjuban saya pada
pelabuhan tersebut. Lalu mereka juga mengatakan bahwa pelabuhan tua ini telah
memberi kemudahan bagi emreka untuk mencari nafkah, karena mereka bisa menjadi
pemandu, berdagang cinderamata atau makanan ringan bagi para wisatawan.
Apa yang mereka sampaikan di atas
sama sekali tak membuat saya terkejut, karena memang begitulah biasanya kawasan
wisata dimanapun. Saya terkaget ketika salah satu dari mereka, menanyakan apa
saya dari Jawa. Meski saya bukan asli Jawa namun karena saya bermukim di Pulau
Jawa saya sambut saja pertanyaan itu dengan cepat “iya..” lalu warga itu
berkisah bahwa dia sedikit-sedikit bisa bahasa Jawa. Wooow, nan jauh di ujung
Srilanka ini ternyata terjamah juga oleh kultur Jawa. Lalu setelah mendengar
beberapa kata yang dia sebutkan dalam bahasa Jawa, meksi terasa aneh tapi kosakatanya
benar. Saya mulai bergairah mencari tahu bagaimana bisa ia bisa berbahasa Jawa.
Menara jam di galle Port yang sangat khas Eropa |
Selidik punya selidik ternyata ia
masih ada keturunan Jawa dari Bapaknya, menurut ceritanya Kakeknya dulu adalah
pengembara dari Jawa yang bekerja di perkebunan teh di seputaran Srilanka. Oh,
ternyata kisah kolonialisme yang “memaksa” banyak manusia hengkang dari tanah
lahirnya demi dipekerjakan juga kutemui di Negara Pulau ini. Menurut warga lain yang kebetulan tidak ada
hubungan dengan Jawa, ia menyebut ketekunan pekerja dari Jawa di kebun-kebun
teh dulu sangat disukai oleh mandor-mandor the yang kebanyakan adalah oang
Eropa, terutama Inggris.
Setelah berbincang cukup lama saya
berlalu dari kumpulan warga tersebut dengan membawa beragam Tanya dalam
pikiran. Bagaimana nasib keturunan-keturunan Jawa sekarang, bagaimana pula
kisah pergerakan manusia lintas Negara di masa lalu, apa mereka diangkut secara
layak ? atau dikepalkan layaknya peti kemas saja ? banyak pertanyaan yang tak
terjawab. Lalu saya mencoba menguhubungi rekan saya yang tinggal di Kolombo
menanyakan prihal itu (saat itu juga), saya mendapat jawaban bahwa di Kolombo
ada perkampungan Jawa. Ingin rasanya mengunjungi perkampungan ini pikirku…
Waktu kian senja, akupun bergerak
menaiki sisi tinggi dari pelabuhan tua ini, kupandangi sekali lagi lautan luas.
Lalu, kuregangkan pandang kea rah dalam kawasan Galle kuamati pelan gerak kehidupan di dalamnya, sepeda motor, mobil
bergerak di jalanan kecil, Waktu telah bergerak dari era keemasan pelabuhan
laut ini, ratusan tahun silam kubayangkan pelabuhan ini dalam keramaiannya kini
semua telah berganti, tak ada lagi kapal-kapal besar yang bersandar, taka ada
lagi tangan-tangan kekar tentara kolonial yang menghujamkan senajata ke arah pekerja
paksa. Tapi waktu sama sekali tak mampu menghapus nuansa, pesona dan citra
pelabuhan laut ini.
Ketekunan masyarakat dan pemerintah
Srilanka dibantu lembaga-lembaga internasional dalam menjaga salah satu warisan
sejarah dunia ini agar tetap bisa dinikmati kita dan generasi berikut patut
diacungi jempol. Meski lama ditelan perang saudara mereka tak menyerah
merawatnya. Beruntung sempat menjadi penikmat langsung warisan sejarah dunia
ini. SALAM BERBAGI.
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.