Monday, March 16, 2009


Perhelatan PEMILU sejengkal waktu lagi, pemimpin-pemimpin barupun akan segera bermunculan, baik eksekutif maupun legislatif. Masa kampanye beruntai janji mulai jadi santapan kita sehari-hari. Koran, radio, televisi bahkan baliho pinggir jalan menyiratkan ini. Adakah calon-calon pemimpin baru itu memiliki visi ekologis dalam menghambat laju penurunan kualitas lingkungan hidup ?

Isu lingkungan bukanlah isu yang seksi, belumlah menjadi fokus perhatian kita. Padahal kesejahteraan yang diperjuangkan sekuat tenaga dan sepenuh hati di negeri ini akankah berarti jika daya topang ekologis hancur ? Pembangunan ekonomi, politik, infrastruktur dan juga pembangunan sosial tak boleh menyisihkan konsentrasi kita pada permasalahan lingkungan.
Fenomena terdegradasinya kualitas lingkungan secara global dan semakin rapuhnya daya topang ekologi dapat dengan mudah kita rasakan saat ini. Bumi yang kian hari kian panas, bencana yang disebabkan kerusakan lingkungan terjadi dari waktu ke waktu. Inilah fenomena bunuh diri ekologis.

Para ahli mencatat paling tidak ada dua belas kategori bunuh diri ekologis yang ada saat ini; Pembalakan hutan dan perusakan habitat, kerusakan lahan (erosi, salinisasi, kehilangan kesuburan), manajemen air, perburuan yang berlebihan, pengambilan ikan yang berlebihan, dampak introduksi spesies baru, pertumbuhan penduduk, peningkatan dampak per kapita penduduk, perubahan iklim, pencemaran kimia, kekurangan energi, dan pemborosan kapasitas fotosintesis bumi.

Kondisi ini tentu saja menuntut kita semua peduli dan mau melakukan langkah-langkah konkret dalam melimitasi peluang bunuh diri ekologis tersebut. Ada dua sisi setidaknya yang harus mengalami penguatan peran. Masyarakat luas harus didorong untuk mengambil peran dalam upaya pencegahan bunuh diri ekologis, ini segaris lurus dengan konsepsi civil society. Dimana masyarakat memiliki keberdayaan dalam memperjuangkan hal-hal yang mereka yakini kebenarannya.

Di sisi lain yang harus didorong adalah hadirnya kepemimpinan politik yang bervisi, bermisi dan berperilaku pro lingkungan. Tulisan ini mencoba fokus pada sisi kedua, kepemimpinan politik pro lingkungan. Untuk sisi masyarakat akan dibahas pada tulisan selanjutnya.

Dibutuhkan Pemimpin Ramah Lingkungan, Mengapa ?

Sebagai calon pemilih dalam pemilu nanti rasanya kita perlu mendorong hadirnya pemimpin yang peka, paham, dan mau mengupayakan proteksi terhadap keanekaragaman hayati, serta memastikan sumber daya alam digunakan secara bijaksana untuk hajat hidup masyarakat. Masalah lingkungan sejatinya telah menjadi permasalahan global yang sangat mencemaskan, hanya saja selama ini kita tak terlalu menganggap ini hal utama. Maka ke depan pemimpin di negeri ini dalam berbagai tingkatan harus mau dan mampu menjadikan permasalahan lingkungan sebagai prioritas.

Paling tidak ada tiga alasan mengapa pemimpin ke depan perlu memprioritaskan permasalahan utama. Pertama, kebijakan dan implementasi dalam berbagai hal yang menyangkut lingkungan hidup akan menentukan posisi diplomasi sebuah negara dalam percaturan internasional. Mengapa demikian ? Dunia dihadapkan pada kondisi perubahan iklim, krisis energi dan krisis air bersis. Maka, setiap negara yang mengupayakan langkah adaptasi dan antisipasi permasalahan di atas akan mendapat posisi tawar yang tinggi.

Sebagai contoh Monako, negara kecil dengan luas wilayah tak lebih dari 2 juta meter persegi ini, mampu mencuri perhatian dunia. Prince Albert II, Raja Monako di depan sidang umum PBB menjadi pusat perhatian dunia dengan kebijakan dan implementasi proteksi lingkungan yang kuat. Monako juga berhasil mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan secara solid. Jadilah Monako negara kecil yang mempengaruhi konstalasi politik Global.

Kedua, permasalahan lingkungan sedemikian jelas di depan mata kita saat ini. Tak bisa dianggap sebelah mata, masa depan anak cucu kita dipertaruhkan. Maka mutlak dibutuhkan political will yang kuat, sehingga muncul kebijakan-kebijakan mutakhir dalam pengelolaan alam dan sumber dayanya. Diperkuat juga dengan penegakan supremasi hukum.

Jika demikian adanya, eksplorasi sumber daya alam yang tak bijak pasti akan sirna dengan sendirinya. Namun, jika pemimpin mendatang menempatkan isu lingkungan di nomor buncit, maka niscaya kerusakan demi kerusakan akan susul menyusul. Sampai pada titik dimana daya topang ekologi semakin mengecil dan kehancuranpun datang.

Ketiga, ke depan negara akan berhadap-hadapan dengan kepentingan korporasi global yang akan mencoba mengeksplorasi sumber daya alam secara besar-besaran dengan tujuan profit. Pada kondisi ini maka pemimpin yang kuat dan memiliki visi yang ramah lingkungan dibutuhkan untuk memproteksi kepentingan rakyat. Sehingga akses terhadap sumber daya alam seperti air bisa tetap dimiliki rakyat.

Korporasi dengan pendanaan yang kuat akan berupaya menekan negara agar mau menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada sektor swasta. Tentu ini perlu dianalisis secara cermat, semua tidak semata uang. Maka pemimpin yang paham apa dan bagaimana memproteksi kepentingan rakyat dan kepentingan ekologis mutlak dibutuhkan. Jika tidak, alamat negeri kita tergadai.

Kekalahan negara-negara secara global ketika berhadapan dengan kepentingan korporasi nyata-nyata ketika dalam World Water Forum di The Hague, Maret 2000 menyebutkan sebuah kesepakatan bahwa air adalah kebutuhan manusia bukan hak azasi manusia. Sepertinya sepele, tetapi implikasinya sangat luas. Jika air hanya dianggap kebutuhan maka korporasi bisa leluasa memperdagangkan air bersih. Sedangkan jika air dianggap sebagai hak azasi manusia maka negara harus menjamin setiap rakyatnya memiliki akses terhadap air bersih. (Barlow and Clarke ; 2005)

Seperti apa sebenarnya green leadership. Kepemimpinan yang bervisi pada keseimbangan antara daya topang ekologi dan pembangunan, baik fisik maupun non fisik. Pada sisi lain kepemimpinan model ini juga mengedepankan kemaslahatan rakyat dalam mengakses tiap sumber daya yang ada. Pada level selanjutnya kepemimpinan model ini akan memformulasi kebijakan ramah lingkungan sekaligus pro kepenitngan rakyat.

Pada level implementasi green leadership pada tahap perencanaan akan mendorong sebuah perencanaan partisipatif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Selanjutnya pelaksanaan akan diupayakan agar segaris dengan perencanaan. Akhirnya green leadership akan memprioritaskan pada proses tidak hanya hasil akhir. Evaluasipun diorientasikan pada upaya menemukan jalan keluar dan pengembangan bukan sekedar upaya memunculkan kesan keberhasilan yang dicapai.

Green leadership nampak begitu ideal, apa benar-benar ada yang bervisi seperti ini ? Jawabannya bisa iya dan bisa tidak, semua terkembali pada kita. Mampukan dengan cerdas kita menemukan pemimpin model itu dalam pemilu nanti. Di sisi lain lembaga-lembaga yang fokus pada isu konservasi harus ikut aktif membangun pemilih yang cerdas sekaligus bergerak aktif mempengaruhi calon pemimpin baru agar mau peduli pada isu lingkungan. Proses edukasi tidak hanya menjadi hak calon pemilih tapi juga hak calon pemimpin.

Akhirnya, sebuah komitmen bersama antar pemangku kepentingan untuk mendorong lahirnya green leadership harus segera dibangun. Tanpa komitmen bersama tentu upaya ini terasa sangat berat, namun berbekal kebersamaan kita bisa mewujudkan bumi yang hijau, laut yang biru, air yang bersih dan udara yang layak. Bukankah bumi ini amanah dari generasi mendatang ?

Tuesday, March 10, 2009



Pernahkah terbayang, apa yang terjadi jika panjang jalan di Indonesia tak bertambah sedangkan jumlah kendaraan bermotor terus meningkat ? banyak kemungkinan jawaban. Jika itu terjadi, mungkin kemacetan tidak hanya jadi monopoli ibukota tapi, kota-kota kecil seperti Kota Sabang di Aceh atau Merauke di Papua akan ikut merasakan. Namun, bisa jadi orang-orang berhenti menggunakan kendaraan bermotor, mencari alternatif lain, berjalan kaki misalnya atau naik sepeda yang lebih anti macet.


Data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2005 saja terdapat 38.156.178 kendaraan bermotor (total semua jenis). Pada tahun 2000 hanya tercatat 18.975.344, artinya dari tahun 2000 ke 2005 meningkat 19.180.934, lebih dari seratus persen dalam 6 tahun. Tentu saja peningkatan jumlah kendaraan bermotor ini menuntut peningkatan infrastruktur transportasi berupa jalan. Tahun 2005 BPS mencatat panjang jalan di Indonesia 391.009 KM, baik yang diaspal maupun tidak.


Inilah salah satu rasionalisasi pemerintah terus membangun jalan. Tujuan pembangunan jalan juga memiliki fungsi ekonomi dan sosial. Jalanlah yang kemudian menjadi sarana pergerakan barang-barang konsumsi, mobilitas penduduk, pembuka keterisoliran, memperkuat kesatuan bangsa dan beragam tujuan lainnya. Namun, di sisi lain pembangunan jalan memiliki dampak lingkungan.


Pembangunan jalan baik di perkotaan maupun kawasan non-perkotaan (termasuk hutan) memiliki dampak lingkungan. Berkurangnya daerah resapan air, degradasi kualitas lingkungan, ancaman bagi keanekaragaman hayati, produksi emisi gas buang yang tinggi selama pembuatan jalan. Tidak berhenti disana saja dampak paska selesainya jalan ; peningkatan emisi gas buang yang dihasilkan kendaraan bermotor, potensi bencana yang diakibatkan degradasi kualitas lingkungan dan juga jika jalan dibuka di kawasan hutan akan membuka potensi pemanfaatan potensi hutan secara tidak bertanggung jawab.


Pada titik inilah terjadi tarik menarik antara kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial. Ini tentu saja bukan hal baru. Debat panjang telah berlangsung lama di negeri ini. Mulai dari pembuatan jalan trans Jawa oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Deandels dari Anyer sampai Panarukan (1000 KM) yang disebut De Grote Postweg (Jalan Pos), pembangunan jalan di Pantai Utara Jawa hingga rencana pembangunan jalan Ladia Galaska yang melintasi Kawasan Ekosistem Lauser yang memiliki fungsi ekologis sangat penting.


Tidak mudah memang menemukan win-win solutions antar berbagai kepentingan di seputar pembangunan jalan. Namun, tidah mudah bukan berarti tidak ada sama sekali. Permasalahannya, maukah kita berdiskusi lintas sektor dengan niatan mencari jalan keluar bukan saling meneguhkan pembenaran masing-masing.


Pembangunan Jalan dan Aspek Ekologi : Dari face to face menuju peace to peace

World Commision for Environmental and Development (WECD) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang”. Esensi pembangunan berkelanjutan adalah perbaikan mutu kehidupan manusia dengan tetap berusaha tidak melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya. Sedangkan ekonomi berkelanjutan merupakan buah dari pembangunan berkelanjutan, yaitu sistem ekonomi yang tetap memelihara basis sumberdaya alam yang digunakan dengan terus mengadakan penyesuaian-penyesuaian dan penyempurnaan-penyempurnaan pengetahuan, organisasi, efisiensi teknis dan kebijaksanaan (IUCN, UNEP, WWF, 1993)


Maka, rasanya perspektif yang melihat jalan sebagai musuh ekologi semata harus diubah justru menjadi jalan sebagai potensi bagi upaya proteksi ekosistem. Pertanyaannya, mungkinkah? Jawabannya mungkin, sangat mungkin. Tiap fase pembangunan jalan harus memenuhi hal-hal berikut jika ingin mencapai peace to peace itu.


Tahap Perencanaan


Pertama, tiap rencana pembangunan jalan harus dimulai dengan sebuah pertanyan “Haruskah membangun jalan?”. Harus dijawab secara multi perspektif, tidak semata aspek ekonomi dan sosial tapi juga ekologi. Jangan coba-coba merencanakan pembangunan jalan yang dampak lingkungannya sangat besar, sebesar apapun manfaat ekonomi dan sosialnya.


Kedua, pembangunan jalan darat sering kali dijadikan satu-satunya opsi. Padahal transportasi air dan udara bisa dijadikan alternatif. Maka dalam perencanaan jalan, alternatif moda transportasi non-darat harus dipertimbangkan. Namun bukan berarti infrastruktur transportasi non-darat bebas dampak lingkungan.


Semua alternatif moda transportasi perlu dipertimbangkan dan dilihat mana yang secara ekonomi paling efektif, secara sosial paling ramah dan secara ekologis paling kecil dampak lingkungannya. Studi dampak lingkungan harus jadi kekuatan utama dalam fase perencanaan jalan disamping tentunya studi dampak ekonomi dan dampak sosial kehadiran jalan.


Ketiga, perspektif membangun jalan baru harus diimbangi dengan perspektif ekstensifikasi jalan yang telah ada (jalan lama). Untuk menjawab kebutuhan ruas jalan biasanya solusi bangun jalan baru jadi pilihan padahal jalan lama bisa dioptimalkan.


Tahap Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan pembangunan jalan adalah penyumbang dampak lingkungan yang cukup besar. Emisi yang dikeluarkan alat berat, penggunaan aspal, dan lainnya. Maka pada tahap pelaksanaan ini proses pelaksanaan pembangunan jalan harus mengedepankan adaptasi perubahan iklim.


Banyak hal yang bisa diupayakan; penanaman vetifer sebagai penyangga konstruksi jalan, pelaksanaan geometrik jalan yang hemat energi dan ramah lingkungan, penggunaan aspal daur ulang atau bahan alternatif lainnya, pembangunan drainase dengan teknik tinggi dan sebagainya.


Pernahkah kita berpikir secara sederhana, andai saja setiap pekerja yang terlibat dalam pembangunan jalan wajib menanam minimal lima pohon, ada berapa pohon baru yang akan lahir. Hal ini tentu saja di luar kewajiban kontraktor untuk menyediakan ruang hijau.


Hal terpenting adalah jika pelaksanaan pembangunan jalan ini menemui permasalahan yang menyangkut stabilitas ekosistem dan ada kecenderungan merusak keanekaragaman hayati maka proses pelaksanaan harus dihentikan, harus ! Tentu tidak selamanya. Dilanjutkan kembali setelah dampak terhadap ekosistem dan kecenderungan kerusakan keanekaragaman hayati ditemukan jalan keluar yang komprehensif, jika belum ada solusi maka pembangunan tak bisa dilanjutkan. Itu mutlak!


Proses menuju peace to peace pembangunan jalan dan aspek ekologi ini memang terasa sangat berat, apalagi kalau dilihat dari kepentingan kontraktor dan pemilik proyek. Hanya saja, pihak yang berkonsentrasi dalam bidang konservasi juga tidak bisa semata menimbang aspek ekologi. Kesediaan berdikusi multi pihak dengan pikiran yang terbuka dan hati yang lapang menerima pandangan lain akan menjadi kunci menuju perspektif peace to peace. Ekonomi tumbuh, jalinan sosial utuh dan kondisi lingkungan tetap bermutu. Bukankah itu itu yang kita mau ??.


Penulis saat ini bekerja di salah satu lembaga konservasi nasional dan mantan Duta Muda Lingkungan mewakili Indonesia dalam Event Bayer Young Environmental Envoy 2004 di Leverkusen, Jerman. (Tulisan merupakan pendapat pribadi)

Popular Posts