Friday, March 19, 2010


                         

Sastra dalam proses penciptaannya kerap merupakan hasil persinggungan penulis dengan realitas. Amartya Sen pernah menggambarkan bahwa perut yang lapar kerap melahirkan karya sastra yang berkualitas.

Ungkapan di atas nampaknya ingin menunjukkan bahwa karya sastra yang berbobot adalah karya yang dilahirkan dari pengayaan yang mendalam atas realitas sosial. Tatkala sastra semata lahir dari imajinasi tanpa pertautan yang erat dengan realitas. Maka sastra seolah pedang yang matanya tumpul.

Romo Mangunwijaya dengan kesederhanaan mencoba menggubah realitas kehidupan sehari-hari ke dalam karya esai dan cerpennya. Sosok orang-orang biasa menjadi sentral dalam karya-karyanya. Lebih dari itu, karya-karya beliau juga mengalir secara alamiah dan nikmat dibaca.

Sebelas tahun pasca kepergian Romo Mangun, semangat yang ia tebarkan seolah telah menjadi semangat zaman. Merasuki mereka yang haus akan nilai-nilai kemanusiaan. Beliau telah menjadi semacam ikon perjuangan bagi para sastrawan pejuang sekaligus intelektual enerjik, yang penuh dedikasi bagi sesama

Menariknya lagi, semangat pemihakan dalam karya-karya sastranya juga dienjawantahkan dalam praktek kehidupan. Pemukiman tepian Kali Code yang mendapat Aga Khan Award for Architecture telah menjadi monumennya.

Spirit pembebasan Romo secara pribadi saya jumpai pertama sekali pada kumpulan esai beliau Tumbal (1994). Kritik terhadap pola pembangunan yang dehumanis dan mengabaikan keberadaan kaum marjinal ditulisnya secara santun dan mendalam. Wajah angkuh orde baru ia telanjangi secara halus, mendetail dan dengan cita rasa sastra yang kental.

Mengungkap kebaikan-kebaikan Romo Mangun tentu bukan harapannya. Beliau tentu lebih ingin kita menangkap semangat yang ia tebar; Pemihakan pada kaum marjinal, pemihakan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan dan penghargaan atas keberagaman. Paling tidak tiga semangat itulah yang diperjuangkannnya secara kental, lewat karya-karyanya.

Hari ini tatkala dunia sastra tanah air mekar bak cendawan di musim hujan adakah semangat Romo Mangun tersebut tumbuh ? Sastrawan muda lahir dari hari kehari. Namun, apakah karya yang hadir telah tampil sebagai pembelaan atas nilai kemanusiaan ? Atau sekedar hadir dan hanyut dalam populisme media ?

Rumah Bambu (2000), kumpulan cerpen berserak beliau yang diterbitkan pasca wafatnya. Menunjukkan pemihakan yang jelas atas rakyat kecil (B. Rahmanto, 2001;102). Puyuk Gonggong, yang ditulis di Kedungombo menjadi semacam karya kritik simbolik atas ganasnya orde baru ketika itu. Lalu, Tak Ada Jalan Lain bercerita tentang peliknya hidup yang memaksa “orang-orang biasa” yang dimarjinalkan memilih jalan tak biasa. Menjadi banci demi menghidupi diri.

Begitupula dengan cerpen Hadiah Abang yang bertutur mengenai si Gondek yang mendadak terinspirasi menjadi kernet demi memberi hadiah uang seribu rupiah pada adiknya. Cerpen Pagi Itu juga bertutur soal orang biasa. Mbok Ranu, penggoreng cucur yang bersukarela membantu hidup seorang tukang becak tua

Lewat cerpen dan esainya Romo Mangun ingin mengangkat kehidupan orang-orang lemah yang dimarjinalkan ke permukaan. Pedih, pelu dan airmata kaum papah digubah menjadi sebuah karya sastra yang menyentuh dan penuh pengayaan bersinergi dengan kelucuan-kelucuan kehidupan sehari-hari. Gaya bertuturnya yang tidak menggebu-gebu membuat cerpen dan esai beliau mengalir begitu alamiah. Bagai dongeng yang dibacakan menjelang tidur.

Tapi Romo tidak ingin semangat pemihakan yang ia benihkan nasibnya menjadi sekedar dongeng. Malam hari di dengar keesokannya telah terkubur. Romo Mangunwijaya mengangkat cerita dengan latar kehidupan sehari-hari yang sederhana itu tentu bukan tanpa maksud. Inilah yang harus kita cari jawabannya.

Sepintas Ia menjadikan karya-karyanya semacam medium permenungan atas kompleksitas masalah kemanusiaan. Ia berusaha menggunakan cermin yang begitu sederhana untuk memotret hal tersebut. Kehidupan kaum marjinal, itulah cerminnya. Selanjutnya, sebagaimana kita ketahui Romo hidup melintasi fase demi fase sejarah. Masa Revolusi ia telah ada (sebelum 1945), lalu masa orde lama (1946-1966) juga orde baru (1966-1998) bahkan Romo sempat mencicipi hidup di era reformasi (1998-1999). Meski demikian hampir seluruh karyanya ditulis di era (1980-1998).

Maka, dapat kita prediksi sesungguhnya Romo lewat karya-karyanya yang kritis dan memihak tersebut sesungguhnya tengah melakukan upaya-upaya mendorongkan perubahan sosial. Bahkan bisa jadi karya-karya sastra yang mengupayakan transformasi sosial macam karya Romo Mangun, Cak Nun, Kuntowijoyo, Umar Khayam telah menjadi salah satu suluh bagi gerakan reformasi 1998.
Pendulum Perubahan

Karya-karya Romo Mangun seolah ingin menggerakkan pembacanya untuk menyadari realitas yang sesungguhnya ada. Ia ingin membuka mata fisik dan mata hati pembacanya akan kondisi ketidakadilan, kepincangan dan kesewenangan-wenangan.

Namun, disisi lain Romo Mangun juga berupaya mengajak kita semua belajar dari orang-orang biasa yang hidup secara sederhana tanpa ini itu yang rumit. Belajar dari ketulusan, kesederhanaan dan harmoni orang-orang biasa itulah kira-kira pesan yang dibawa.

Karya sastra di tangan Romo Mangunwijaya telah berubah dari sekedar ekspresi berkesenian menjadi semacam pendulum bagi proses perubahan sosial. Bagaimana bisa hal ini terjadi ?

Kondisi ini dimungkinkan karena karya Romo Mangunwijaya bercirikan tiga hal. Mengangkat cerita atau latar belakang kisah dari kehidupan sehari-hari dari orang-orang kecil. Lalu, mengandung unsur ironi (idealitas-realitas) serta mengandung unsur kritik atas realitas baik secara implisit ataupun eksplisit

Sebagai penutup, doa bagi kelapangan jalan Romo Mangun patut kita panjatkan pada Tuhan sekaligus memohon agar semangat Romo Mangunwijaya yang memuliakan sifat-sifat Tuhan dan nilai kemanusian menjadi semacam ruh bagi bangsa kita yang hari ini mulai kehilangan spirit itu.

Akhirnya idiom yang pernah dibuat oleh Seno Gumira Ajidarma “ketika pers dibungkam sastra harus bicara” dapat sedikit kita tambah menjadi “ketika hati nurani kelam sastra harus menebarkan cahaya”.

Popular Posts