Thursday, September 29, 2011


                            Sumber foto : Trijayanews.com   

Membincang Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) sebagai entitas megapolitan tak luput dari cerita kelam carut marutnya tata trasportasi. Keluh kesah dan kegalauan penghuninya silih berganti kita dengar atau saksikan.  Mulai dari opini-opini cerdas dan bernas di halaman surat kabar offline atau online sampai maki dan amarah di jalanan ibukota, saban hari menjadi sarapan.

Cobalah untuk googling “masalah transportasi Jakarta” atau “masalah jalanan Jakarta” atau yang bernada sejenis, tak sulit menemukan ratusan bahkan ribuan keluh kesah pengguna jalan mulai dari masalah jalan berlubang, tarif tol sampai keluh atas buruknya perilaku pengguna jalan. Perilaku pengemudi Angkot (Angkutan Kota), bajaj, buskota dan ketidaksiapan infrastruktur jalan serta lemahnya penegakan hukum  di jalan yang dibarengi ketidakdisiplinan pengguna telah menjadi hal-hal yang paling banyak dikritik.   

Tak mudah memang mengurai kusutnya tata transportasi di ibukota, begitu kompleks dan saling bersilang kepentingan di dalamnya. Data yang dilansir BPS pada tahun 2009 terdapat paling tidak 9.993.867 kendaraan dan saat ini di penghujung 2011 paling tidak 11 juta kendaraan bermotor ada di ibukota dan sekitarnya. Mari bandingkan dengan jumlah penduduk ibukota pada tahun 2009 (Maret) berjumlah 8.513.000 jiwa. Perkeluarga paling tidak memiliki 3 kendaraan bermotor. Sungguh angka yang memprihatinkan.

Mari kita bandingkan angka kendaraan bermotor di Beijing sebagai salah satu kota terpadat di Asia yang pada tahun 2010 ada sekitar 4,8 juta (laporan China daily) artinya Jakarta dan sekitarnya memiliki kendaraan bermotor lebih dari dua kali lipat dari Beijing. Tanya mengapa ???

Kultur Bertransportasi Massal

Sarana Transportasi masal di Jabodetabek sekian lama tak merangsang kebanyakan orang. Sebut saja Angkot, Metromini, Kopaja, dan Bus kota sama sekali tak merangsang gairah menggunakannya, kebanyakan orang sebisa mungkin menghindarinya. Angkutan missal tersebut  hadir dengan wajah gelisahnya; copet, ugal-ugalan, kelaikan kendaraan, sarana keamanan minim membuat citra angkutan massal tersebut benar-benar memprihatinkan. Akhirnya yang muncul “Apa boleh buat..daripada jalan kaki”.

                             Pinjam Fotonya Vivanews.com :) PISS

Citra angkutan massal yang  jauh dari menyenangkan dan menentramkan itulah yang membuat penduduk Jakarta berada pada posisi mau tidak mau menerima atau opsi lainnya adalah dengan berkendaraan pribadi. Jadilah penjualan kendaraan bermotor melonjak dari waktu ke waktu. Makin bergejolaklah jalanan ibukota, bahkan tikuspun tak kebagian lintasan, saksikan saja berapa banyak tikus got berkaparan di jalanan ibukota dilumat kendaraan bermotor. :)

Beruntung di tengah kepenatan warga ibukota berkendaraan massal, tepat 15 Januari 2004 bus transjakarta yang kemudian populer dengan istilah busway hadir. It’s totally different; comfort, fun and relax. Begitu citra yang ingin dihadirkan dan begitu pula suasana yang diharapkan. Seiring waktu transjakarta telah memberi warna baru transportasi massal ibukota, hadirlah busway sebagai landmark ibukota..

Realita tak selalu segaris idealita, ketersedian armada, rute yang terbatas dan kendala lainnya beragam muncul di lapangan, tak ketinggalan berbagai kasus pelecehan. Transjakarta (TJ) telah sedikit banyak mengubah warna ibukota menjadi lebih bisa dinikmati, namun TJ tak serta merta mampu mengurai ruwetnya jalanan ibukota. Bahkan ada yang berasumsi kehadiran TJ justru makin memperkeruh jalanan ibukota. Beralasan memang asumsi ini. Tanya Mengapa ? pengurangan ruas jalan untuk jalur khusus TJ. Itulah faktanya.

Di sisi lain harapan kehadiran TJ untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan asumsi bahwa pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke moda TJ ternyata tak bisa dipastikan presisinya. Belum ada penelitian spesifik yang mencoba menemukan berapa persenkah TJ mampu mensubstitusi kendaraan pribadi. Namun kecenderungannya tidak akan besar.

Maka, moda transportasi lain tetap dibutuhkan ibukota. Apakah ? Kereta yuup kereta, moda inilah yang kemudian menjadi tumpuan. Kini era Commuter, sebutan untuk KRL.

                             Contoh tiket commuter. Source : krl.co.id   

Commuter, apa sih ?

Istilah yang dipopulerkan untuk KRL (Kereta Listrik) Jabodetabek. Bagi yang berada di Jogja-Solo mungkin mengenal Pramek (Prambanan Ekspress). Maka Jabodetabek ada commuter.

Menurut laporan PT.KAI Wacana elektrifikasi jalur Kereta ada  Api (KA) di Indonesia telah dimulai saat  Staats Spoorwegen (SS-Jawatan kereta api) sejak tahun 1917 yang  menunjukkan bahwa  elektrifikasi jalur KA secara ekonomi akan menguntungkan. Elektrifikasi jalur KA pertama dilakukan pada jalur KA rute Tanjung Priuk – Meester Cornelis (Jatinegara) dimulai pada tahun 1923 dan selesai pada tanggal 24 Desember 1924. Untuk melayani jalur kereta listrik ini, pemerintah Hindia Belanda membeli beberapa jenis lokomotif listrik untuk menarik rangkaian kereta api diantaranya adalah Lokomotif Listrik seri 3000 buatan pabrik SLM (Swiss Locomotive & Machine works) –BBC (Brown Baverie Cie), Lokomotif Listrik  seri 3100 buatan pabrik AEG (Allgemaine Electricitat Geselischaft) Jerman. Lokomotif  Listrik seri 3200 buatan pabrik Werkspoor Belanda serta KRL (Kereta Rel Listrik) buatan pabrik Westinghouse dan KRL buatan pabrik General Electric. Bagian dari perusahaan Staats Spoorwegen yang menangani sarana, pasarana dan operasional kereta listrik ini adalah Electrische Staats Spoorwegen (ESS).

Peresmian elektrifikasi jalur KA bersamaan dengan hari ulang tahun ke 50 Staats  Spoorwegen, sekaligus juga peresmian stasiun Tanjung Priuk yang baru yaitu pada 6 April 1925. Elektrifikasi jalur KA yang mengelilingi kota Batavia (Jakarta) selesai pada 1 Mei 1927.  Elektrifikasi tahap selanjutnya dilakukan pada jalur KA rute Batavia (Jakarta Kota) – Buitenzorg (Bogor) dan mulai dioperasionalkan pada tahun 1930.
Jalur kereta listrik di Batavia ini menandai dibukanya sistem angkutan umum massal yang ramah lingkungan, yang merupakan salah satu sistem transportasi paling maju di Asia pada zamannya. Di masa itu, kereta listrik telah menjadi andalan para penglaju (komuter) untuk bepergian, terutama bagi para penglaju yang bertempat tinggal di Bogor dan bekerja di Jakarta.

Setelah Indonesia merdeka, lokomotif-lokomotif listrik ini masih setia melayani para pengguna angkutan kereta api di daerah JakartaBogor. Pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan tidak pernah membeli lokomotif listrik  untuk mengganti atau menambah jumlah lokomotif listrik yang beroperasi. Namun pada akhirnya, dengan usia yang telah mencapai setengah abad, lokomotif-lokomotif ini dipandang tidak lagi memadai  dan mulai digantikan dengan rangkaian Kereta Rel Listrik baru buatan Jepang sejak tahun 1976. (Sumber : laporan PT.KAI)

Hari ini, Commuter (KRL Jabotabek) yang beroperasi sudah memiliki berbagai fasilitas dan kelas, mulai dari tempat duduk yang ”empuk”hingga Air Conditioner (AC) yang menyejukkan. Saat ini ada tiga kategori atau kelas pelayanan Commuter, antara lain  Commuter  ekonomi non-AC, Commuter Ekonomi AC dan Commuter Ekspres AC.

Adapun rute yang tersedia ;


"Di tengah kelusuhan dan kepenatan kita mendiami ibukota, energi harapan untuk masa depan ibukota yang ramah dan bersahabat harus digulirkan..harapan tak boleh mati sesakit apapun realitas hari ini..Berkereta yuuk !!!"


Harapan menjadikan ibukota sebagai kota yang ramah dan bersahabat bagi penghuni dan tamu tentu saja harus terus menerus diupayakan, termasuk mengkampayekan penggunaan moda transportasi massal macam commuter. Di tengah kelusuhan dan kepenatan kita mendiami ibukota, energi harapan untuk masa depan ibukota yang ramah dan bersahabat harus digulirkan..harapan tak boleh mati sesakit apapun realitas hari ini..Berkereta yuuk !!!


Popular Posts