Saturday, December 19, 2009

Courtesy : Samuel Goldwyn Films docs Film Review
Elegy : The Other Side of Love
Consuela : David, mereka mengangkat semuanya (payudara..pen)
David Kepesh : tidakkah kau tahu Hyppolita, ratu cantik dari Amazon yang memotong payudara sebelah kanannya agar bisa memanah lebih cepat, tapi ia tetap cantik”
Sesaat setelah percapakapan itu, layarpun tertutup.
Dua kata yang pantas disematkan bagi karya sutradara Isabel Coixet ini “dalam dan menghujam”. Film yang bergerak datar, nyaris tanpa pergolakan emosi yang luar biasa, begitu kiranya bila sepintas kita tonton. Tak lebih dari petualangan cinta seorang profesor sastra yang terjebak dalam “kebekuan” hidup, kebekuan yang lahir dari kegagalannya berdamai dengan dunia.
Mengapa di bagian awal tulisan ini saya mengutip percakapan Dr. David Kepesh (Ben Kingsley) dan Consuela (Penelope Cruz), dua tokoh utama dalam film ? film ini memang banyak bertutur tentang tubuh, birahi dan rasa seputar kesalingtertarikan. Sebuah pengembaraan memilah antara cinta kepada tubuh dan cinta kepada pemilik tubuh. Bukan termasuk film yang renyah dan gampang dikunyah, pemilik “gigi susu” mungkin tak berdaya dihadapan film ini; datar dan membosankan, tanpa ledakan emosi yang berarti, kalaupun ada bagian yang sedikit renyah dan gampang dikunyah “gigi susu”mungkin bagian adegan ranjang yang begitu dewasa. Adegan ranjang yang tak kekanak-kanakan.
Pengembaraan yang diwakili oleh Dr. Kepesh, sesosok lelaki cerdas, tua dan bermasalah dengan kehidupan sosial. Kepesh menikah kemudian berpisah dan memiliki seorang anak. Ia diceritakan sebagai penidur perempuan ulung, sang penakluk yang handal. Film ini mencoba keluar dari mainstream maskulinitas toko utama pria yang selalu gagah,muda, tampan dan menarik. Kepesh hanya memiliki kecerdasan, tak lagi muda . Kecerdasannya yang membuat menarik hingga perempuan kandas di karang yang ciptakan dari kepiawaiannya bersastra dan mengulik cerita di seputar seni.
Kepesh memilih meninggalkan istri dan anaknya karena bagi Kepesh, pernikahan adalah penjara dan ia memilih untuk tidak menikah lagi karena ia tak mau dari penjara ke penjara. Tibalah perjumpaan dengan Consuela, mahasiswa Kepesh di kelas kritisisme sastra yang akhirnya menarik birahi sang profesor untuk menidurinya. Puja puji berkelas yang sangat alami dan intelek dari profesor meruntuhkan hati sang gadis Kuba itu. Bermula dari pertunjukkan teater berakhir di ranjang Dr. Kepesh.Tentu bukan barang baru bagi Kepesh tidur dengan mahasiswinya.
Tapi menjadi baru karena Kepesh menjadi tergantung pada Consuela, Kepesh tak pernah berani melepaskan Consuela, tidak seperti biasanya. Kepesh memilih mempertahankan hubungan, meski dalam hatinya ia sadar hanya menunggu waktu saja, manakala Consuela sadar jarak 30 tahun antara mereka bukan hal kecil. Sampai saat seorang pemuda merebut hati Consuela, itulah ketakutan Kepesh.
George O’hearn, sahabat kental Kepesh mengingatkan, jauh lebih baik meninggalkan perempuan itu lebih daripada kelak ditinggalkan. Tapi Kepesh tak bergeming. Biduk terlayar, pantang melempar dayung.
Pertempuran terjadi dalam hati sang Professor. Ia mulai meragukan ketidakyakinannya akan cinta. Pelan tapi pasti Consuela mengikis angkuh Sang Professor. Pada titik inilah tiba-tiba hubungan mereka terbang, hilang. Consuela pergi begitu saja, Kepeshpun kembali ke kehidupan “normal”nya, rutinitas.
…..
Sesi akhir film ini ditandai dengan kematian George O’hearn, di tengah kepedihan yang melanda Kepesh tiba-tiba Consuela hadir dengan kabar bahwa ia mengidap kanker payudara yang mengharuskan payudaranya diangkat…
Pada titik inilah Kepesh menemukan makna bahwa cinta tak sekedar tubuh…
Cinta selalu menjadi magnet perbincangan dari abad ke abad, atas nama cinta pula perang berkumandang di banyak sudut bumi. Karena cinta kemarahan dan kasih sayang berhimpit setipis rambut.
Kerap cinta menyempit maknanya pada sekedar ketubuhan padahal dalam tafsir film ini cinta sebenarnya lepas dari tubuh itu sendiri. Cinta adalah pergolakan dimana ketergantungan, kesalingkaguman dan ketakberdayaan bersenyawa dalam impian-impian sekaligus ketakutan. Sekali lagi dalam tafsir film ini cinta begitu runyam dan berbelit, silang sengkarut.
Cinta sejatinya sesuatu yang sederhana. Cinta menemukan bentuk sederhananya ketika ia bergerak menerobos keangkuhan dan ketakberdayaan. Cinta kehilangan kesederhanaannya ketika dimaknai sekedar tubuh dan hak milik.
Happy watching !

Popular Posts