Saturday, January 26, 2013


Petang itu 4 Desember 1991, usiaku belum genap 10 tahun. Sedari pagi pikiranku sudah melayang ke nan jauh disana, Filipina. Petang itu akan jadi petang yang paling kurindu sebagai pedukung tim nasional sepakbola kita.

Belumlah banyak pengetahuanku tentang sepakbola ketika itu. Mungkin yang kutahu AC Milan dengan dream teamnya, aku juga mengenal Krama Yudha Tiga Berlian, tim galatama yang sempat bermarkas di Palembang. Namun, petang itu, mata kecilku tertuju pada pasukan garuda yang akan berlaga di final Sea games Manila.

Aku mengingat bagaimana Edi Harto, sang kiper Indonesia menjadi pahlawan. Thailand tersingkir karena kecepatan refleknya.Sungguh  beruntung karena sempat menjadi saksi dari sebuah malam yang puluhan tahun kemudian ternyata menjadi malam yang selalu dirindukan negeri kita. Malam kejayaan yang magisnya tak pernah lagi kita rasakan.

Hingga tahun ini, sudah sepuluh kali Sea Games di gelar tak sekalipun tim nasional kita mampu mengulangi malam indah di Jose Rizal Memorial Stadium, Manila. Dua kali pula kita menjadi tuan rumah setelah malam berbunga di Manila itu, tapi dua kali pula kita kandas di hadapan sorai-sorai suporter yang menggema di Senayan yang kemudian berubah nama menjadi Gelora Bung Karno (GBK).

Thailand membungkam Senayan di 1997, lalu 2011 Malaysia membuat GBK lengang di malam duka sepakbola kita.Bukan hanya karena kita gagal merengkuh impian 20 tahun tapi juga karena ada dua suporter yang meregang nyawa karena berdesakan di GBK.Sungguh malam yang kelabu.

***
Habis sudah analisa, puluhan program diusung, ratusan pemain telah mencoba tapi entah mengapa emas Sea Games seperti enggan lagi singgah di nusantara. Layaknya sebuah drama, tim sepakbola negeri kita seperti tengah menjalani drama tragedi yang selalu sedih di ujung kisah. Drama tragedi tak hanya hadir di Sea Games, juga di ajang lain sebut saja AFF Cup atau yang dulu dikenal dengan piala tiger. Apalagi kalau mau bicara level di atasnya. Nyaris tanpa suara.Tentu bukan bermaksud menisbikan perjuangan anak-anak garuda, tapi begitulah adanya.

Sejauh ini.Drama sepakbola kita adalah tragedi, belum beranjak dari itu.

The Real Team

Kalau saja kutahu malam itu adalah awal dari sebuah musim kemarau panjang sepakbola kita. Pastilah akan kunikmati tiap detiknya. Sayang banyak momen yang terlewati.Usai babak tos-tosan, langsung saja aku meyembur ke luar rumah.Padalah TVRI ketika itu menyiarkan juga pengalungan medali. Ah, sungguh menyesal tak ikut menyaksikannya.

Setelah malam emas itu ternyata tak pernah ada lagi malam emas buat timnas kita di Sea Games.20 tahun dari malam itu kita masih puasa gelar juara.Entah mengapa kemaraunya begitu lama.

Padahal sudah banyak anak-anak muda yang dikirim berlatih ke negeri yang merajai sepakbola dunia. Sebut saja program Primavera dan Barreta di Italia, kini adapula tim yang dikirim ke Uruguay. Namun sayang, sejauh ini medali emas Sea Games, masih tersangkut di atap GBK, dua kali menembus final di GBK, dua kali pula kesempatan itu luput.

Teringat kembali 4 Desember 1991 itu, Anatoli Polosin, pelatih kepala asal Rusia itu bukanlah pelatih yang benar-benar hebat. Tapi ia mampu menghadirkan the real team. Satu hal yang masih kuingat dari laga final di Manila itu bagaimana timnas kita bermain sebagai tim, tak peduli betapa hebatnya Ricky Yakob, dan betapa cemerlangnya Ferry Raymond Hattu mereka bermain betul-betul sebagai tim. Bukan sekedar individu yang beraksi dengan kebolehan masing-masing.

Satu hal pula, tim itu bermain dengan fisik yang luar biasa. Tak ada maksud menghakimi bahwa tim-tim setelah era 91 adalah tim yang gagal. Namun, kecenderungan “panggung bintang” tak terhindari. Sebut saja era Kurniawan Dwi Julianto, betapa ia mendominasi headline surat kabar tiap kali timnas berlaga. Lihat pula era Gendut Doni atau yang terakhir Bambang Pamungkas, kita perlakukan mereka layaknya “raja”.Hingga kalau mau jujur, kita memang tak pernah lagi melihatthe real team. Kita hanya melihat satu dua bintang yang didukung pemain-pemain lain.

Tanpa bermaksud menafikkan jasa Kurniawan atau Bepe, tapi kita telah salah ‘melahirkan’ sebuah tim nasional. Kebintangan justru membunuh tim. Mungkin saja kalau bintang tersebut telah teruji luar dalam kedahsyatan tak mengapa, nah yang kita miliki baru bintang tanggung.Namun, karena media dan kita mendewakan mereka, jadilah bintang tanggung itu layaknya raja.Tim akhirnya porak poranda.

Ingatkah kita tatkala Itali menyanjung habis-habisan Roberto Baggio di piala dunia 1994.Apa lacur, justru Italia gagal merengkuh gelar puncak. Namun dua belas tahun kemudian tanpa bintang yang luar biasa Italia justru melumat Perancis di final piala dunia. Tak banyak yang ketika itu mengenal Fabio Grosso, Iaquinta atau Camoranesi, tapi justru di pundak anak-anak muda itulah Italia mencapai impian yang 24 tahun terpendam.

Betul bahwa ketika itu ada Del Piero, Buffon dan juga Inzaghi tapi mereka tak diistimewakan sama sekali. Italia di tangan Lippi ketika itu sungguh-sungguh the real team. Terbaru, Argentina kemaha bintangan Messi sama sekali tak berdampak pada prestasi tim nasional mereka. Jangankan juara piala dunia, finalpun tak pernah dijamah.

Tim merah putih 1991 adalah Italia ketika 2006. Setelah itu tim nasional kita ditaburi bintang-bintang yang layu sebelum benar-benar berkembang.
***
Malam 4 Desember itu adalah kali pertama aku menyaksikan tim sepakbola Indonesia berlaga secara utuh. Itulah pengalaman pertamaku, sebuah teve tua hitam putih menjadi teman kami malam itu.Tak dinyana, usai malam itu tak pernah lagi Indonesia Raya berkumandang sebagai juara dari arena Sea Games.

Ketua organisasi sepakbola tanah air berulang kali telah berganti, dari birokrat, tentara, pengusaha dan kini di tangan seorang Profesor. Masih panjangkah kemarau prestasi kita ini ? Waktu yang akan menjawab.

21 tahun, 3/4 umurku sudah kusaksikan tim sepakbola kita berlaga nyaris tak terlewat satu lagapun, kutonton pasat-pasat baik melalui layar kaca, atau kadang langsung ke arena. Pra piala dunia, AFF cup, pra olimpiade, Piala Merdeka, Piala Asia dan juga Sea Games atau sekedar laga persahabatan.Namun sayang, rindu 4 Desember itu tak kunjung tuntas.Juara seolah selalu seperti fatamorgana, begitu nyata dan begitu dekat namun tak pernah kita rengkuh.

Kulihat nelayan di Srilanka mempertarukan nyawa di atas sebilah kayu untuk sekedar mengumpulkan sekilo dua tangkapan. Pernah kusaksikan anak-anak di Utara Jakarta membajak truk untuk memastikan ada hidangan malam nanti di rumah mereka. Kusaksikan pula gelandangan di Birmingham melawan dingin malam di Desember putih. Bahkan tersesat di Gunung Slamet pernah pula kurasakan.

Hidup memang sangat berbeda ketika kita berkelana, ada banyak perjumpaan yang tak terduga. Dan menemukan betapa rapuh diri kita. Tak ada yang bisa dibanggakan selain kesadaran bahwa kita sadar betapa mungil kita di hadapan alam.

Jauh sudah langkah, panjang sungguh jalan yang tertempuh, sekian banyak perjumpaan dan petualangan telah dirampungkan. Tapi cinta tetaplah misteri yang terlalu kelam untuk kupaham. Memahami cinta saja sebegitu beratnya, apalagi jatuh cinta, terlalu sulit untuk dirasakan.

How can I love when I’m afraid to fall,”begitu kata Christina Perry, seolah menampar kesadaranku yang terlalu realistis. Cinta adalah kenaifan, maka tak bisa didekati dengan terlalu realistis. Begitu Plato mengingatkan.

Lain Plato lain pula Meggy Z, “Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati,”katanya. Karena cinta pula Madiba (Nelso Mandela), merelakan hidupnya dalam penjara dingin di Robben Island. Cinta pula yang mmebuat Sukarno masih bisa tersenyum manakala diasingkan di Pulau Buru yang bermalaria itu. Atas nama cinta pula seorang kekasih bisa membunuh kekasihnya.

Terlalu sulit memahami cinta, atau tak harus dipahami tapi dijalani saja ? Bagaimana bisa menjalani tanpa memahami. “itulah dirimu…semua harus terjelaskan padahal tak semua harus dijelaskan,”begitu seorang teman mengingatkan.

Di dinding Borobudur kita melihat teorama cinta terukir, Prambanan konon adalah seribu candi bukti cinta yang tak jadi. Begitu pula Tangkuban Perahu. Begitu banyak prasasti cinta dalam mitologi nusantara kita ini. Tak terkecuali dongeng yang melegenda, Malin Kundang yang rela menistakan ibunya karena terlalu cintanya pada sang istri.

Romeo dan Juliet milik Shakespeare juga melegenda di Eropa sana, sejuta satu karya lahir karena cinta. Sejuta satu penjelasan tentang cinta telah dicobakan. Tapi mengapa makin sulit memahami ‘makhluk’ bernama cinta itu.

Adam dan Hawa dipersatukan oleh cinta atau takdir ?, pada titik tertentu aku mempertanyakan itu. Apakah Maria mengandung putranya karena cinta atau takdir semata ? itupun terkadang muncul pada titik tertentu.

Ibarat sebuah pelayaran, pada saatnya perahu harus berlabuh di dermaga. Tak kan mungkin berlayar sepanjang waktu. Hanya saja berlabuh untuk selamanya atau sekedar bersandar dan melabuhkan sauh untuk selanjutnya kemabli menjauh ?, itu juga yang kadang aku tak tahu.

Benarlah apa yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma “Manusia yang paling tidak beruntung adalah mereka yang di tempurung kepalanya diisi oleh ketakutan”, aku merasakan itu saat ini.
Menuliskan tentang realitas yang dilihat adalah sangat mudah tapi menuliskan perasaan yang kau rasakan tak akan pernah mudah. Semoga kau yang jauh disana bisa memahami mengapa aku tetap diam dalam penantian panjangmu…

13591733751698434651
doc @huzera


Friday, January 25, 2013


1359096708236383521
Suasana dari Dermaga Titi Akar (doc@huzera)
Pulau Rupat, entah dimana berada. Nama yang sayup saja terdengar. Sampai suatu ketika di tahun lalu, berkesempatan ke pulau ini. Betapa takjubnya, segenggam tanah surga luput dari perhatian kita. Tulisan ini sekedar catatan ringan tentang perjalanan itu.

Memang cocok dijadikan Las Vegas, Rupat ini,” komentar seorang penumpang di atap boat yang membawa kami ke Rupat dari Dumai. Sekitar enam penumpang termasuk saya, duduk di atap boat, karena di bawah sesak. Beresiko, tapi tak ada pilihan lain, ini boat terakhir.
13590971361800823147
Vihara tak jauh dari dermaga (doc@huzera)

Penumpang yang berujar tentang Las Vegas tadi berseragam rapih, sepatu bersemir mengkilap, rambut klimis dan berseragam dengan emblem “Kabupaten Bengkalis” di pundaknya. Hah, kesal aku dengan komentar itu. Cukup bagiku menggambarkan kedalaman pikirannya.

Senja mulai syahdu, saat boat yang membawa kami merapat di Titi Akar. Wajah-wajah ramah menyambut di dermaga. Anak-anak berlarian mencari sanak keluarga yang baru tiba. Dermaga kayu yang tak lebih dari sepuluh meter bersegi itu tiba-tiba sesak. Logat Melayu kental membuat atmosfer menjadi sangat berbeda. Suasana membawaku kembali ke masa kecil. Ah, Tanah Melayu memang sangat bermakna dalam hidupku. Halah, terlalu melankolis.

Cahaya mentari kian berpendar, saat aku duduk di kursi dermaga. Anak-anak duduk berderet di jembatan dermaga. Kaki mereka terjeluntai ke air, sesekali memercik. Wajah mereka sangat khas, bermata sipit, berambut hitam lebat dan kulit yang kecoklatan. Di sisi Selatan dermaga, sebuah kelenteng berdiri gagah, cahaya merah mendominasi. Suara mesin kapal tempel, jeeeg…jeeeeg….jeeeeg membawa lamunanku kembali ke Sungai Musi di kotaku.

Orang Akit, inilah yang membawaku sampai ke Pulau ini. Mereka yang dilupakan zaman tapi tetap melawan. Mereka yang dianggap terbuang tapi tak tetap berdiri tegak dengan tenang.
Pernah mendengar Orang Akit ?, rasanya tak banyak diantara kita yang kenal apalagi paham. Wajar saja, suku ini memang bukan suku dominan seperti Jawa, Bugis atau Melayu yang budayanya dominan pula di nusantara.
1359096936564643986
Salah satu sudut Pulau Rupat (doc @huzera)
Pulau Rupat lebih dari 70% penduduknya adalah suku akit. Mitologi yang berkembang, Orang Akit adalah orang-orang yang setia dengan titah Sultan Sri Indragiri, yang menugaskan mereka mencari kayu-kayu terbaik untuk keperluan pesta anak sang Sultan.

Bergeraklah mereka melintasi lautan, mereka membagi kelompok menjadi tiga. Kelompok yang bertugas menebang kayu, ada kelompok yang mmebuat saluran agar rakit bisa melintas dan ada kelompok yang merakitkan kayu tersebut sampai ke kediaman Sultan.

Kelompok pertama itulah yang kemudian dikenal dengan Suku Utan, yang kedua Suku Hatas (yang meretas) dan yang ketiga dikenal dengan Orang Akit. Meski secara umum mereka tetap dikenal dengan Orang Akit.

Puluhan tahun mereka hidup dalam keterpinggiran, karena dianggap tertinggal, primitif dan menakutkan. Tapi di Titi Akar, Orang Akit membuktikan mereka tak seperti yang dituduhkan. Mereka manantang zaman, membuka mata dunia, mereka layak disejajarkan dengan suku manapun di nusantara. Anak-anak Orang Akit di Titi Akar mulai disekolahkan oleh orang tua mereka sejak 1980an, ada yang dikirim ke Malaysia, Riau bahkan ada yang bersekolah sampai Jakarta.

1359097034665177732
Pak Anyang, Sesepuh Ornag Akit (doc@huzera)
Bertemulah saya dengan Batin Anyang, sesepuh adatmereka yang akhirnya terpilih menjadi kepala desa Titi Akar. 
Pemikirannya luar biasa, sosok yang begitu ramah itu berprinsip. Kalau kami tak mengubah nasib kami, maka tak akan berubah. Pemerintah sering lupa dengan kami yang di pulau kecil ini.

Kini Titi Akar telah menjadi permukiman yang tertata rapih, jalan-jalan yang sebagian mereka bangun dengan swadaya nampak elok dengan bunga-bunga di kiri kanannya. Sebuah kelenteng yang berdiri megah dibangun dengan biaya dari sanak saudara yang merantau ke penjuru dunia. Bahkan penduduk Titi Akar mampu membangun sebuah penginapan yang tak bisa dibilang sederhana, untuk menampung orang-orang yang berminat mendatangi Titi Akar.
***
Titi Akar di Pulau Rupat telah membukakan mataku bahwa perjuangan tak mengenal lelah pada saatnya akan menuai hasil. Orang Akit membuktikannya, kini negara barulah peduli pada mereka, setelah sekian lama dilupakan.

Suasana pesisir dan pantai berpasir di Selatan pulau membuat pulau ini begitu lengkap. Alam yang mengesankan dan orang-orang yang berjuang panjang.

Menariknya lagi, meski sejarah masa lalu membuat Orang Akit terluka dengan segalastereotype yang dilekatkan orang luar. Tapi kini mereka bisa dengan santai menerima pendatang. Ada yang dari Jawa, Melayu, Minang, Batak bahkan Bugis. Mereka mengadu nasib di Rupat. Tak ada dendam.

Sayang seribu sayang, sejumput tanah surga ini, kini menghadapi ancaman. Beberapa perusahaan perkebunan mulai menancapkan akar keserakahannya. Negara melepas izin HGU (Hak Guna Usaha) dan HTI (Hutan Tanaman Industri) di pulau yang luasnya tak lebih dari 1500 KM persegi.

Satu perusahaan pemegang HGU dan dua pemegang HTI sudah melakukan usahanya, Orang Akit mengeluh, karena tanah leluhur mereka kini mulai berganti sawit atau akasia. Berburu yang menjadi pencaharian mereka sekian lami kini tak bisa lagi dilakukan.

Tak cukupkah negara dan korporasi mengoyak nusantara ini, hingga pulau-pulau sekecil Rupatpun harus disayat-sayat. Ah, tak habis pikir saya.
13590972311004299712
Salah satu tongkang milik perusahaan membawa kayu akasia (doc@huzera)
***
Langit makin gelap, dermaga mulai sepi, suara adzan terdengar sayup dari mushollah. Anak-anak mulai beranjak tapi aku masih terpaku di kursi dermaga. Sisa-sisa cahaya yang berpendar di ufuk Barat masih nampak. Belum ingin beranjak rasanya. Teringat kata-kata Gunawan Moehamad Mencintai sebuah tanah air adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa lain, selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja dan terutama untuk mati….”

Disini, di Titi Akar Pulau Rupat aku merapatkan hati dan menemukan arti dari kalimat tersebut.

Wednesday, January 23, 2013


In Latin America the border between soccer and politics is vague. There is a long list of governments that have fallen or have been overthrown after the defeat of the national team.
(Luis Suarez)

Begitu luar biasanya sepakbola. Banyak hal-hal besar yang mempengaruhi sebuah negeri usai kekalahan atau kemenangan tim nasional mereka. Tragedi dan euphoria tali temali dalam drama bernama sepakbola. Tak salah jika Luis Suarez menulis, batas antara politik dan sepakbola di Amerika Latin begitu tidak jelas. Banyak pemerintahan hancur ketika timnas mereka dicukur.

Apa yang diungkapkan Suarez, tak hanya mewakili fenomena di belahan Selatan Amerika, tapi juga dunia. Ingatkah kita betapa sepakbola masih menjadi pemersatu Nigeria yang bergejolak oleh perang sipil, tragedi Biafra di era 60an. Dunia juga mencatat bagaimana pemain-pemain top Argentina pernah mendermakan gaji mereka di Eropa untuk membantu negeri mereka yang terlilit hutang. Kisah-kisah kepahlawan hadir terus menerus dari lapangan hijau, persis tiap kali kompetisi besar digelar. Sepakbola layaknya sebuah glossary
dari hal-hal baik.

Pantas saja Albert Camus lantas menulis Everything I know about morality and the obligations of men, I owe it to soccer. Sepakbola telah menemali banyak kisah kepahlawan, pengorbanan, pengabdian dan perjuangan sampai limit terjauh manusia.

Camus, memang tak salah. Tapi jangan lupa sepakbola juga kompilasi elegy. Kisah pedih dan pilu juga menyesaki sejarah sepakbola. Sejarah mencatat Football War, yang mempertemukan El Salvador dan Honduras. Konflik politik antara kedua negara menemukan momentumnya manakala timnas kedua negara bertemu di kualifikasi Piala Amerika Selatan (Concacaf). Pula ada, tragedy Hassel, sebuah tragedy yang menjadi noktah merah sepakbola dunia. Tak sedikit pula pemain yang harus meregang nyawa karena dianggap penyebab kekalahan. Andres Escobar, pemain timnas Kolombia yang ditembak usai Piala Dunia 1994.

Tak ada habisnya jika membincang sepakbola. Banyak sejarah dan nostalgia di dunia sepakbola. Begitu pula di negeri kita. Indonesia. Sepakbola adalah keseharian, sepakbola adalah harapan dan pada akhirnya sepakbola adalah kebanggaan.

Tak ada rasanya olahraga yang bias menggerakkan begitu banyak dimensi kehidupan di negeri ini melebihi sepakbola. Dimensi politik, sosial, budaya, ekonomi bahkan agama menyeruak manakala menyangkut sepakbola.

Sepakbola menjadi sesuatu yang kompleks, disinilah berbeda sepakbola dengan olahraga lain. Terlalu banyak manusia yang terlibat didalamnya. Sepakbola adalah identitas, sepakbola adalah harga diri. Manusia modern memang tak lagi menggelar gladiator tapi di stadion sepakbola, manusia dibawa kembali pada masa-masa ketika para gladiator berjuang habis-habisan. Membunuh atau terbunuh.

Pada titik inilah sepakbola menjadi semacam ekstasi,adrenalin menggelegak. Karena ada hidup mati disana, ada harga diri dan juga ada cinta kasih.

Entah harus mulai darimana jika membincang sepakbola nasional kita. Mungkin dari prestasi dulu. Ehm, Mario Teguh yang Superrrr sekalipun sulit berkata-kata. Tak ada banyak hal yang bisa dibicarakan. Anggaplah kenangan manis di Manila tahun 1992, manakala Edi Harto dan kawan-kawan mencium medali emas Sea Games sebagai kenangan manis terakhir. Selebihnya, duka lara.

Bolehlah kita menyebut prestasi timnas kita era 1950an, yang lolos hingga perempat final Olimpiade 1954, Melbourne atau prestasi perak Asian Games 1966 sebagai penghibur hati. Tapi itu masa lalu, sob ! Sebuah bangsa tak bisa hidup jika mengandalkan masa lalu. Kita butuh hari ini dan hari esok.

Sepakbola kita hari ini, keruwetan. Sepakbola kita hari esok, ketidakpastian. Penulis beruntung, sempat menyaksikan Indonesia raya berkumandang di Stadion Jose Rizal Memorial, Manila, manakala emas Sea Games direngkuh 1992 silam. Tapi anak-anak kita hari ini, enatha kapan mereka bisa menyaksikan momen indah macam itu lagi.

Dua puluh tahun terakhir, sepakbola kita adalah kompilasi elegy dan tragedy. Sampai kapan ? mungkin hanya Tuhan yang tahu.

Sepakbola adalah passion, sportifitas dan cinta. Pengurus sepakbola di negeri ini sering lupa tiga fundamen sepakbola. Lihatlah Brazil, negara dengan passion sepakbola yang tak tertandingi. City of God (2002), film yang mampu menunjukkan betapa sepakbola adalah kehidupan dan kehidupan adalah sepakbola di Brazil. Tentulah jauh membandingkan negeri kita dengan Brazil untuk urusan passion. Negara kita terlalu kaya, sepakbola adalah sambilan. Di Brazil menjadi pemain sepakbola atau mati kelaparan di jalanan !

Sportifitas, memang sulit menanamkan fondasi satu ini dalam sepakbola kita. Selalu ada alas an untuk mencari pembenaran. Pengakuan atas kekalahan adalah hal langkah di sepakbola kita. Begitupun para supporter.

Cinta, fundamen satu inilah yang masih kita harapkan. Penggemar timnas telah membuktikan. Dua puluh tahun tanpa prestasi berarti, tak surut sedikitpun kecintaan penggamar terhadap timnas garuda. Kalau para petinggi bola itu mengaku cinta sepakbola nasional, maka bersatulah. Kalau penggemar sepakbola tanah air mengaku cinta sepakbola nasional, maka bergenggaman tanganlah. Jika klub-klub sepakbola nasional, cinta sepakbola Indonesia, maka bergabunglah.



Tuesday, January 22, 2013


Air, lebih dari sekedar kebutuhan biologis dasar manusia, tapi juga pembentuk peradaban manusia. Disadari atau tidak peradaban di dunia selalu terkoneksi dengan air. Peradaban Cina dengan Sungai Kuning, Mesir dengan Sungai Nil, Sriwijaya dengan Sungai Musi, India dengan Gangga. Banyak lagi contoh lain.

Sungai yang mengalirkan air dari hulu ke hilir ternyata telah berperan besar dalam melahirkan peradaban. Begitu pula dengan suku-suku kecil di nusantara, ternyata kebudayaan dan kehidupan mereka sangat terhubung dengan air, dalam hal ini sungai. Pengalaman penulis bersama orang rimba, menjadi guru bagi anak-anak rimba telah meyakinkanku, bahwa sungai dan hutan adalah dua hal kunci yang membentuk kebudayaan mereka.


Mika jengon koncing samo binggok di ayik, todok tedendo..”, begitu seru Meruge, sahabat kecilku dari orang rimba rombong Terab saat pertama-tama aku tiba. Jangan buang air kecil atau besar di sungai, bisa kena denda adat. Sungai atau air memang menjadi simbol penting dalam adat orang rimba.

Mendengar istilah Orang Rimba (OR), mungkin belum terlalu akrab. Pemerintah menyebut mereka dengan istilah Suka Anak Dalam (SAD), tapi istilah ini mengandung kekeliruan karena bisa bermakna ganda, karena Orang Bathin di Sumatera Selatan dan Jambi juga disebut SAD. Di luar dari itu semua Orang Rimba menyebut diri “kamia urang rimba”, kami Orang Rimba, maka istilah Orang Rimba lebih relevan menjadi penanda identitas.

Orang rimba yang hidup di hutan dataran Sumatera bagian tengah terutama Jambi dan Sumatera Selatan adalah salah satu suku kecil yang kehadiran mereka kadang terabaikan dan terpinggirkan oleh perubahan sosial yang melaju kencang. Sedangkan mereka masih setia dengan adat. Terutama mereka yang hidup di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD)

Anak-anak rimba dalam keriangan, doc : huzer apriansyah
Disamping hutan yang menjadi pembentuk identitas, sungai juga sangatlah penting. Sungai mengandung dimensi fungsional sekaligus religius dalam kehidupan Orang Rimba. “Hopi ado sungoi hopi ado urang rimba”, tidak ada sungai tidak ada orang rimba, begitu suatu ketika Mangku Basemen dari Orang Rimba Rombong Makekal Tengah pernah berujar.

Penamaan rombong di orang rimba melekat dengan sungai utama yang mereka diami. Misalnya ada Orang Rimba rombong Terab, berarti mereka hidup di tepi Sungai Terab, Orang Rimba Makekal, maka mereka hidup di tepian Sungai Makekal. Begitu seterusnya.

Pelekatan nama sungai menjadi identitas Orang rimba menjadi semacam penegasan betapa sacral dan penting sungai bagi Orang rimba. Di Orang rimba juga meyakini bahwa batu-batuan besar yang terkadang ada di sungai  sebagai batu bedewo, artinya dijaga oleh dewa.

Secara umum kesadaran macam itu terkesan irasional dna mengada-ada, tapi jika kita memahami kosmologi kehidupan orang rimba, maka kita akan kagum. Betapa simbol dalam kebudayaan mereka adalah representasi cara mereka berinteraksi dengan alam, sungai dan hutan khususnya.

Pada hari-hari awal kelahiran anak, orang rimba akan membawa sang anak mandi ke sungai. Fase ini sangat penting, karena itulah kali pertama anak berinteraksi langsung dengan alamnya. Proses memandikan ini diyakini bisa membuat anak kuat dan juga perlambang kedekatan dengan sungai. Saat memandikan bayi di sungai untuk pertama kali itu, sungai seolah menjadi penyambut sang bayi dalam kehidupan nyata.
Salah satu anak rimba bermain di sungai, doc : huzer apriansyah

Begitu banyak pantang adat yang berkaitan dengan sungai berlaku dalam kehidupan orang rimba. Seperti telah disebut di awal. Buang air adalah hal yang sangat dipantang. Jika ini dilanggar, mereka meyakini bahelok (dewa) yang ada di sungai akan pergi dan marah. Pelaku pun pasti dikenai sanksi adat cukup berat.

Ketergantungan yang besar akan keberadaan sumber air menuntut orang rimba memiliki pranata adat dan sosial yang bisa menjaga kelangsungan sumber-sumber air mereka. Perubahan sosial yang berlangsung laju membuat interaksi mereka dengan dunia luarpun semakin intensif, maka pranata adat yang ada harus secara kuat mereka dipertahankan, jika tidak kehidupan mereka akan terancam.

Tak diragukan lagi sungai adalah pembentuk identitas orang rimba, kohesi mereka dan sungai adalah representasi paling nyata dari betapa penting air dalam kehidupan mereka. Tidak secara biologis atau fisis semata, tapi budaya dan sosial. Kehancuran sungai alamat kehancuran orang rimba

Begitulah orang rimba yang identitasnya dibentuk salah satunya oleh rimba dan sungai. Seperti kata Davinci di atas, dalam tata alam, air adalah faktor pendorong.


Thursday, January 17, 2013




Ultimately, it is not the growing technique which is the most important factor, but rather the state of mind of the farmer.” (Masanobu Fukuoka)

Begitulah pendapat Masanobu Fukuoka dalam The One-Straw Revolution: An Introduction to Natural Farming. Teknik menanam bukanlah hal terpenting tapi bagaimana cara berpikir petanilah yang lebih penting. Mengapa kalimat di atas menjadi relevan ketika membincang masa depan industri gula nasional kita ? Jawabannya sederhana saja. Petani adalah unit penting yang kerap terabaikan dalam upaya kita mendongkrak kualitas dan kuantitas produksi industri gula nasional.

Hampir dua dasawarsa terakhir, negeri kita berada dalam kekhawatiran bahwa  industri gula nasional makin jauh dari harapan mencapai swasembada[1]. Era kejayaan gula nasional pada 1930an dimana negeri kita pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia telah menjadi sejarah manis yang tak mudah kita capai kembali.   

Jika kita menilik secara lebih cermat strategi peningkatan produksi gula nasional, ternyata lebih bertumpu pada pengembangan kapasitas produksi pabrik gula (PG). Tetapi kita sering tak terlalu memberi perhatian lebih pada entitas yang ada lebih di hulu, yaitu produktivitas petani tebu.

Salah satu hal yang menurut Prof. Dr. Kaman Nainggolan menjadi penyumbang rendahnya produktivitas gula nasional adalah tidak efisiennya usaha tani tebu kita.[2] Produktivitas kebun tebu per luas lahan yang rendah dan juga tingkat rendemen yang masih terbilang rendah menjadi salah satu picu rendahnya hasil produksi gula nasional. Di sisi lain Departemen Perindustrian dalam Road Map Industri Gula Nasional tahun 2009 menyebut angka konsumsi gula nasional terus meningkat hingga angka 4,2 – 4,7 juta ton.[3]

Tentu banyak aspek yang harus dibenahi dalam tata produksi gula nasional mulai dari hulu hingga ke hilir. Tulisan ini tidak akan mengulas semua aspek tersebut, melainkan mencoba focus pada aspek di hulu produksi gula, yaitu pada proses di perkebunan tebu yang tentu saja menyangkut petani tebu itu sendiri.

Realitas Sektor Hulu Produksi Gula

            Dalam proses produksi, petani tebu sebagai penyedia bahan baku industri gula sejatinya memiliki peran kunci. Posisi nilai tawar petani tebu sesungguhnya pasca 1998 telah menguat terhadap pabrik tebu dan juga investor. Asosiasi petani tebu bermunculan, dana yang digulirkan pemerintah dan juga pihak perusahaan juga besar untuk menstimulus intensifikasi dan ekstensifikasi perkebunan tebu. Tapi mengapa produksi gula nasional tak kunjung meningkat secara signifikan ? Bahkan produksi gula nasional yang dalam Road Map Industri Gula,  ditarget mencapai 5,7 juta ton pada 2014, namun direvisi menjadi 4,8 juta ton.[4]

            Bagaimana sebenarnya merumuskan strategi dan pola penguatan kapasitas petani tebu kita guna mendorong produksi gula nasional ? Paling tidak ada empat hal yang perlu dicatat sebelum merumuskan strategi dan pola penguatan kapasitas petani tebu :

1.      Petani tebu di nusantara adalah entitas yang telah ada sejak awal mula industrialisasi nusantara. Maka, secara historis mereka adalah komponen yang paling mengerti dan memahami bagaimana pasang surut industri gula nasional.

2.     Selama ini petani tebu kerap diabaikan perannya dalam pembuatan kebijakan-kebijakan terkait industri gula. Pola kebijakan yang cenderung top down kadang telah mengabaikan kepentingan petani.

3.   Asosiasi petani tebu yang saat ini banyak hadir, perlu dilihat secara kritis. Karena apakah benar asosiasi tersebut merepresentasikan kepentingan petani atau tidak. Lalu benarkah asosiasi telah benar-benar “mendengar” suara petani.

4.      Pola hubungan pabrik dan petani tebu yang selama ini ada perlu dilihat secara kritis.

Adopsi Prinsip FPIC Sebagai Strategi Pemberdayaan Petani Tebu


            Menarik apa yang dilakukan oleh PTPN X yang menggandeng petani tebu tidak hanya sebagai pemasok bahan baku tapi juga mitra dalam makna yang lebih setara. Disamping bantuan yang sifatnya permodalan tapi juga suara petani coba didengar dan menemukan solusi bersama untuk mengatasi berbagai kendala teknis produksi.[5] Tapi pertanyaannya apakah pola kemitraan yang dibangun oleh pabrik-pabrik gula dengan  petani telah benar-benar mengadopsi beberapa prinsip dasar, FPIC misalnya (Free, prior and informed concern), sebuah prinsip yang mengarusutamakan persetujuan komunitas lokal dalam segala bentuk kegiatan yang mempengaruhi tanah, wilayah dan sumber daya alam komunitas tersebut.[6]

            Secara sederhana FPIC merupakan persetujuan komunitas tanpa adanya unsur paksaan dengan bersandar pada informasi awal. Meski lazimnya prinsip ini dipakai pada fase awal (inisiasi) sebuah proyek industri atau proyek perkebunan namun tidak menutup kemunngkinan prinsip ini diadopsi dalam fase evaluasi sebuah industri atau juga perkebunan.

            Lalu apa manfaat utama bagi industri gula nasional jika mengadopsi prinsip FPIC. Paling tidak ada tiga manfaat ;

            Satu, sebagai bagian penting dari sektor hulu produksi gula, pelibatan petani dalam proses produksi tidak lagi sekedar hubungan patron-client dimana ada dimensi eksplotasi yang kuat di dalamnya. FPIC akan memungkinkan terbangun sinergi antara pabrik gula dan petani dari level teknis hingga strategis. Tinggal pertanyaannya siapkah pabrik gula melakukan ini ? Karena tentu saja tidak mudah bagi korporasi untuk memulai hal baru.

            Kedua, dengan adopsi prinsip FPIC bisa mendorong komunitas lokal lebih pastisipatif dalam mendukung peningkatan kualitas dan kuantitas produksi gula. Misalnya saja komunitas lokal sekitar perkebunan yang biasanya juga petani tebu tersebut bisa lebih termotivasi untuk meningkatkan produksi kebunnya. FPIC adalah ruang untuk komunitas lokal atau masyarakat adat dalam memformulasi kepentingan mereka terkait tanah, wilayah dan sumber daya alam. Privilege ini tentu saja bisa mendorong semangat komunitas lokal yang notabene adalah petani tebu juga.

            Ketiga, jika prinsip FPIC diadopsi, pihak pabrik gula kemungkinan besar tidak akan terlalu kehabisan tenaga dalam mengantisipasi konflik dengan komunitas dan berbagai gesekan lainnya. Prinsip FPIC juga bisa menjadi semacam antisipasi konflik. Jika suara dan eksistensi budaya komunitas lokal mendapat ruang dalam proses produksi gula, bisa dipastikan potensi konflik akan mengendur. Disadari atau tidak konflik yang berlangsung massif antara pabrik gula dan petani akan memicu turunnya produktivitas industri gula nasional.

            Satu hal lagi yang sebenarnya yang akan menjadi manfaat besar bagi korporasi termasuk PTPN X jika mengadopsi prinsip FPIC adalah kesempatan untuk melakukan branding atau pencitraan terhadap dunia internasional. Ini adalah dampak tidak langsung yang akan sangat bernilai.

Epilog

            Sejarah pabrik-pabrik gula di tanah air adalah sejarah yang sangat lekat dengan kolonialisme. Cerita pabrik gula dekat sekali dengan cerita tentang kejamnya kolonialisme, di era reformasi nasib petani tebu belum pula semanis gula yang lahir dari tebu-tebu yang mereka tanam. Adalah sebuah peluang bagi perusahaan gula nasional terutama PTPN X yang merupakan representasi negara untuk menciptakan sejarah baru. Dimana petani tebu mendapatkan “tahta” yang selayaknya mereka dapatkan.

            Logika sederhana, jika petani sebagai pemain kunci di hulu proses produksi bisa sejahtera dan bahagia tentu saja mereka berpeluang meningkatkan produktivitas perkebunan mereka. Jika produktivitas kebun meningkat maka produksi gula nasional bisa meningkat dan kita bisa lepas dari kekhawatiran dominiasi gula impor. Bukankah kutipan Fukuoka di awal tulisan bisa menjadi perenungan kita. Selama ini kita terlalu berfokus pada prihal teknis pertanian, tapi kita lupa untuk bersama-sama mendorong lahirnya petani-petani yang cerdas, mandiri dan tangguh.

            Kita sibuk membincang prihal di hilir dalam produksi gula, mesin-mesin di pabrik, kondisi pabrik gula, angka impor gula dan sebagainya tapi kita bisa jadi abai, bahwa petani yang ada di hulu dalam proses produksi gula adalah instrumen yang teramat penting.


 Sumber gambar ilustrasi : www.labtani.wordpress.com




[1] http://kabarbisnis.com/read/2833414
[2] Prof. Dr. Ir. Kaman Nainggolan dalam makalah “Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global”
[3] Departemen Perindustrian : Road Map Industri Gula Nasional, 2009
[4] Tempo.co, 21 Juli 2012 “Swasembada Gula Tak Butuh Perluasan Lahan”
[5] www.ptpnx.com
[6] People Forest Programme, 2007 (Kerta kerja), Making FPIC Work 

Friday, January 11, 2013



                Nusantara telah terhubung dengan berbagai bangsa di dunia sejak lama[i], manusia dari berbagai penjuru telah menjadikan nusantara sebagai sebuah basis ekonomi. Kolonialisme bangsa-bangsa Eropa telah menarik banyak bangsa-bangsa menanamkan kepentingan dan pengaruhnya di tanah air. Maka, jika berbicara mengenai sejarah nusantara sejatinya tak bisa lepas dari sejarah banyak bangsa di dunia. Di luar bahwa hubungan yang terbangun bersifat eksploitatif namun tetap saja sebagai sebuah fase sejarah hal tersebut menarik untuk diketengahkan sebagai realitas.

            Salah satu bukti sejarah yang masih banyak dimiliki Indonesia adalah pabrik-pabrik gula yang banyak tersebar  khususnya Pulau Jawa. Dalam aspek kesejarahan pabrik-pabrik tersebut memiliki makna yang tinggi sebagai saksi proses panjang kolonialisme di Indonesia. Bicara tentang pabrik gula di nusantara dalam konteks sejarah maka sebenarnya kita tengah berbicara tentang interaksi antara penduduk nusantara, pedagang Eropa dan juga para pebisnis China ketika itu. Tentu saja hal ini jika dikemas dengan menarik akan mengundang minat banyak pelancong yang ingin mengenang suasana romantis historis dari masa lalu peradaban.  

Jika di Indonesia industri gula identik dengan kolonialisme, di Amerika Selatan dan Utara industri gula indentik dengan perbudakan, dan kini sisa-sisa kejayaan industri gula di Amerika Utara dan Selatan tersebut telah dijadikan semacam monumen “hidup”. Monumen yang  menjadi pengingat bagi umat manusia betapa dunia pada masanya pernah berada dalam masa kelam kemanusiaan. Tempat-tempat-tempat tersebut kini banyak dikunjungi orang dari berbagai belahan bumi.[ii]

            Di sisi lain perkembangan pariwisata dunia berlangsung dengan cepat, pergerakan manusia dari satu negara ke negara lain telah menjadi begitu laju dan dalam kuantitas yang besar. Hal ini menjadi sebuah peluang bagi industri gula tanah air terutama PTPN X untuk secara serius menggarap potensi wisata pabrik gula.

Mengapa Wisata Pabrik Gula Menjanjikan ?

            Bicara mengenai potensi wisata pabrik gula maka kita harus melihatnya dari sisi internal dan juga eksternal yang bisa mendorong wisata pabrik gula diminati baik pada level nasional maupun internasional.

Aspek Internal

Paling tidak ada beberapa kekhasan yang dimiliki pabrik gula tua dan tak secara utuh dimiliki jenis wisata lain, yaitu ;

1.      Nilai historis dari pabrik-pabrik gula yang sudah berusia di atas satu abad tentu akan menjadi daya tarik, terutama menyangkut kisah-kisah sejarah di sekitar pabrik tua tersebut. Kisah seputar perlawanan penduduk lokal, kisah cinta antara penduduk lokal dengan para pegawai pabrik yang bangsawan asing, serta berbagai kisah sejarah yang sifatnya humanis dan melegenda pasti akan menarik keingintahuan. Selama ini kisah-kisah di seputar pabrik gula yang melegenda dan hidup dalam keseharian warga cenderung diabaikan. Padahal ini aset berharga, harus dikemas sedemikian rupa hingga bisa menjadi daya tarik wisata.

2.      Arsitektur tua (Heritage) dari pabrik-pabrik gula dan juga rumah-rumah tua di sekitar pabrik adalah aset yang pasti akan menarik perhatian. Apalagi gedung-gedung tersebut dilakukan perbaikan namun tidak mengubah bentuk aslinya. Di sisi lain perlu ada semacam dokumentasi historis menyangkut bangunan-bangunan tersebut. Misal saja untuk rumah-rumah tua di seputar pabrik akan sangat menarik jika didokumentasikan pemilik/penghuni rumah tersebut dari awal didirikan hingga saat ini. Disertai juga dengan sedikit kisah tentang para pemilik rumah tersebut.

3.      Kehidupan komunitas di seputar pabrik merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan, terutama wisatawan manca negara. Bagaimana keseharian penduduk lokal terutama mereka yang bekerja di ladang-ladang tebu tentu akan menjadi pengalaman tersendiri bagi wisatawan. Jika memungkinkan ada semacam homestay dimana rumah para peladang tebu dijadikan tempat bermalam, tentu ini akan sangat menarik. Disamping itu, juga bisa menambah pendapatan komunitas.

4.      Unsur mistis yang biasanya lekat dengan pabrik gula tua, disadari atau tidak akan menjadi nilai lebih bagi wisata pabrik gula tua. Ketertarikan manusia akan hal-hal yang bersifat metafisik akan mendorong orang mengunjungi tempat-tempat tersebut. Pada akhirnya bisa saja ada semacam wisata malam yang mencoba mengeksplorasi dimensi mistis di pabrik-pabrik gula tua.

5.      Nilai edukasi juga bisa menjadi nilai tambah dalam wisata pabrik gula. Wisatawan bisa diajak untuk memahami bagaimana proses produksi gula, kemudian juga bisa diajak untuk melihat lebih dekat bagaimana pekerja pabrik gula melakukan aktivitas kesehariannya di pabrik. Di sisi lain wisatawan juga bisa diajak mempelajari konsumsi gula yang tepat bagi tiap individu, resiko kesehatan jika gula dikonsumsi diluar batas normal dan berbagai nilai edukasi lainnya bisa menjadi aset tersendiri.

6.      Unsur romantis historis bisa juga dimunculkan dengan menjadikan kereta tebu (Lori) sebagai salah satu ikon transportasi bagi para wisatawan. Terutama untuk lokasi pabrik yang masih memiliki jalur lori yang baik dan memungkinkan untuk dikembangkan.

            Enam hal di atas jika dikelola secara sungguh-sungguh dan penuh kecermatan menurut saya kelak bisa menjadikan wisata pabrik gula tua sebagai salah satu andalan wisata nusantara.

Aspek Eksternal         

Disamping keunggulan dalam aspek internal yang dimiliki pabrik gula tua, ada beberapa faktor yang secara eksternal bisa membuat wisata pabrik gula menjadi sangat menjanjikan.

1.      Tren wisata dunia menunjukkan heritage, cultural and historical tourism telah menjadi salah satu tren wisata dunia. Onecarribean[iii], sebuah organisasi yang fokus dalam wisata budaya, sejarah dan warisah peradaban menunjukkan bahwa wisatawan untuk kategori ini mencapai 20% dari total angka seluruh wisatawan dunia, artinya ada sekitar 160 juta wisatawan per tahun dalam ketegori wisata ini. Kondisi tersebut baru dari sisi wisatawan mancanegara, belum lagi potensi wisatawan domestik.

2.      Karakter wisatawan dunia terkini menurut laporan dari TOUREG project, Yunani memiliki karakter yang berbeda jauh dengan karakter wisatawan konvensional di decade sebelumnya. Adapun perbedaan tersebut bisa kita lihat dalam tabel berikut :

Approach
Conventional tourism
New forms of tourism
Forms of tourism
ƒ Sun, sea and sand tourism (S3)
Alternative forms of tourism :
ƒ Agrotourism
ƒ Ecotourism
ƒ Cultural 
ƒ Trekking
ƒ Nature

ƒ Mountain (winter) tourism
Special Interest tourism :
ƒ Conference
ƒ Business trips
ƒ Maritime
ƒ Religious
ƒ Health/spa
ƒ Educational
ƒ Sport
ƒ Adventure
Mode of organisatio
ƒ Mass tourism
ƒ Small groups of
ƒ Individuals
tourists
ƒ Social tourism
ƒ Individuals
ƒ Second residence
ƒ Social tourism
Tourist behaviour 
ƒ Indifference
ƒ Responsibility
ƒ High consumption
ƒ Use of resources (not
(depletion of
consumption)
resources)

State of tourism activity
Not sustainable tourism
ƒ Green tourism

ƒ Economically

sustainable tourism

ƒ Sustainable tourism

















             
                  
















Sumber : Vagianni and Spilanis (2004) dalam TOUREG Project[iv] Report 2009
           
            Dua kondisi eksternal yang bersifat global dalam industri wisata secara jelas memperlihatkan bahwa pabrik gula tua punya peluang untuk dijadikan sebuah model wisata alternatif. Apalagi kalau kita cermati tren perubahan kecenderungan pariwisata dunia dari konvensional, wisatwan cenderung menjadikan budaya, sejarah, petualangan dan hal-hal baru lainnya sebagai bentuk wisata yang digemari. Disamping itu pola wisatawan dalam berwisata cenderung makin selektif dan berupaya mencari tujuan (destinasi) baru yang menarik dan bernilai.

            Melihat keunggulan secara internal yang dimiliki pabrik gula sebagai potensi wisata dan juga faktor eksternal kondisi kepariwisataan global, peluang menjadikan pabrik gula sebagai destinasi wisata baru sangatlah menjanjikan. Namun, untuk mencapai itu ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan secara cermat, sistematis dan melibatkan banyak pihak.

Menuju ‘Wisata Pabrik Gula’

            Untuk mewujudkan mimpi menjadikan pabrik gula sebagai salah satu destinasi wisata tentu saja membutuhkan proses yang tak singkat. Paling tidak ada empat fase yang harus dilakakukan, seperti tergambar dalam began berikut;



            Fase pertama adalah mendengar suara komunitas, sebelum melangkah jauh, hal terpenting dilakukan adalah mendapat dukungan dari komunitas. Komunitas yang dimaksud adalah komunitas pekerja, kemudian yang tak kalah penting adalah komunitas masyarakat sekitar pabrik. Suara komunitas menjadi mutlak karena kelak merekalah yang akan menjadi aktor utama dalam wisata pabrik gula. Jika sedari awal mereka tidak dilibatkan maka rasa memiliki mereka akan sangat kecil.

            Fase kedua adalah melakukan studi kelayakan yang sifatnya komprehensif, pada fase ini juga potensi bisnis, unsur wisata dan berbagai aspek digali dan dipertimbangkan secara mendalam. Fase ketiga adalah inisiasi instrumen wisata, setelah diyakini komunitas mendukung, kemudian secara bisnis, sosial, budaya dan sebagainya layak, barulah masuk pada fase inisiasi instrumen wisata. Didalamnya adalah mempersiapkan unsur wisata secara fisik, perbaikan gedung (tanpa meninggalkan arsitektur aslinya), kerjasama dengan pihak travel agent di berbagai penjuru dunia serta yang tak kalah penting adalah mempersiapkan komunitas yang ada di sekitar pabrik gula untuk siap menghadapi kunjungan wisatawan. Setelah fase inisiasi instrumen wisata ini berjalan, barulah masuk pada Fase keempat, yaitu promosi wisata.

Promosi Wisata Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi

          UNWTO (United Nations-World Tourism Organization) dalam laporannya tahun 2011, menunjukkan bahwa peran teknologi informasi menjadi referensi utama wisatawan dalam memutuskan kemana dan bagaimana wisata mereka. Hal ini juga diperkuat dengan riset yang dilakukan oleh Department of Tourism Management Alexander Technological Educational institute dan Technical University of Crete Yunani, dalam laporannya mereka menyebutkan bahwa kehadiran website yang khusus dalam bidang pariwisata telah menjadi picu penting dari ledakan angka wisatawan dunia.

            Disadari atau tidak dunia memang telah semakin dipengaruhi oleh teknologi informasi dan komunikasi. Masih dari laporan yang dilakukan universitas di Yunani tersebut, mereka juga menyebut bahwa kehadiran smartphone ikut mempengaruhi pola pariwisata dunia. Dengan kata lain teknologi informasi dan komunikasi sanagt mempengaruhi wisatawan dalam memutuskan kemana mereka berpariwisata.

            Melihat realitas pariwisata global dan tren yang mengikutinya, maka pilihan yang sangat rasional dan menjanjikan jika kelak pengelola wisata pabrik gula menjadikan teknologi informasi dan komunikasi sebagai basis utama dalam promosi wisatanya. Paling tidak ada dua pertimbangan mengapa jalur ini yang tepat untuk promosi; Pertama, efektifitas promosi. Kedua, minimalisasi anggaran promosi. Daripada harus melakukan pameran wisata kesana kemari dengan anggaran yang cukup besar, maka medium teknologi informasi dan komunikasi bisa menekan anggaran promosi secara signifikan.

            Format promosi lewat media sosial seperti facebook, twitter, dan sebagainya bisa menjadi medium yang tetap dalam berpromosi. Kedekatan antara pengelola wisata pabrik gula dan calon wisatawan bisa diperkuat melalui media sosial. Hal ini juga memungkinkan calon wisatawan berinteraksi secara intensif dengan pengelola.

Bukan Mimpi Kesiangan

            Impian menjadikan pabrik gula sebagai destinasi wisata tentu saja butuh proses tapi jika menimbang hal-hal seperti yang telah disebut dalam tulisan ini, maka bukan impian semusim. Ini adalah sesuatu yang layak diperjuangkan. Lebih dari sekedar aspek bisnis, wisata pabrik gula juga bisa menjadi semacam “monument” bagi umat manusia untuk selalu sadar bahwa bentuk eksploitasi sesame manusia adalah sesuatu yang layak dilawan. Sejarah di sputar industri gula di tanah air bisa membawa pesan tersebut. Di sisi lain dalam konteks nasionalisme, wisata pabrik gula adalah sarana anak bangsa merenungkan sebuah fase perjuangan yang pernah dilakukan anak-anak negeri pada masanya untuk merebut kedaulatan. Pemberontakan di seputar pabrik-pabrik gula adalah dimensi lain dari perjuangan bangsa ini, layak dikenang sepanjang zaman.









[i] Kedatangan awal bansa Eropa tercatat pada awal abad 16 tepatnya (1511), bangsa Eropa yang pertama kalidatang adalah Portugis.
[ii] Artikel : Virginia Mescher , “HOW SWEET IT IS!” A HISTORY OF SUGAR and SUGAR REFINING IN THE UNITED STATES, 2005.
[iii] Sumber : http://www.onecaribbean.org/content/files/CulturalCaribbeanNicheMarkets-5.pdf
[iv] TOUREG project adalah sebuah proyek yang mengupayakan sebuah inovasi bagi pengembangan wisata yang dilakukan oleh Department of Tourism Management of the  Alexander Technological Educational Institute of Thessaloniki, Greece and the Technical University of Crete, Greece

Popular Posts