Membincang soal kampanye penggunaan kondom bagi
kelompok beresiko, selalu akan mengundang perdebatan. Paling tidak ada tiga
kelompok besar yang ada di negeri ini; Pertama, mereka yang menolak sama sekali
kampanye penggunaan kondom, argumentasi utama kelompok ini adalah argumentasi
religius. Kelompok kedua adalah yang meyakini bahwa penggunaan kondom adalah
salah satu “senjata” ampuh mencegah penularan penyakit menular seksual (PMS)
dan juga HIV-AIDS. Kelompok ketiga adalah kelompok yang tidak peduli sama
sekali akan kehadiran kampanye penggunaan kondom bagi kelompok beresiko.
Kelompok terakhir ini jumlanya tentu tidak sedikit.
Pada kelompok yang pertama dan kedua tentu saja
memiliki basis argumentasi yang sama kuatnya. Masalah justru pada kelompok yang
ketiga, mereka yang tidak tahu dan tidak peduli ini. Justru merekalah yang punya
resiko tinggi terkena HIV/AIDS dan PMS. Dalam sudut pandang saya sebagai orang
awam, realitas bahwa pengidap HIV/AIDS itu terus bertambah adalah sebuah fakta
yang sulit diingkari. Maka, memang harus ada langkah yang sifatnya kolaboratif
dalam mencegah meluasnya penderita HIV/AIDS.
Langkah kolaboratif itu harus melibatnya banyak pihak,
paling tidak yang masuk dalam elemen langkah kolaboratif tersebut adalah :
1. Kelompok
agama harus bekerja keras untuk memahamkan pada pemeluknya untuk menjauhi zina
atau pergaulan bebas. Ini akan mengisi sisi preventif dalam dimensi moral.
2. Kelompok
ilmuwan sosial, perguruan tinggi, pemerintah dan lembaga sosial masyarakat
harus secara gigih pula memahamkan pada remaja dan juga orang dewasa mengenai
dampak sosial yang ditimbulkan dari hubungan seks pra nikah. Di sisi lain
pihak-pihak ini harus ikut mendorong peran keluarga sebagai basis pembentukan
identitas dan karakter anak. Hal kedua ini termasuk dalam usaha preventif dalam
dimensi sosial.
3. Kelompok
penggiat kampanye seks sehat (penggunaan kondom) tetap harus mengupayakan
kampanye tersebut secara massif terutama kepada kelompok yang sangat beresiko.
Hal ini bisa kita sebut sebagai usaha preventif dan kuratif dalam dimensi
medis.
Dunia yang Tak Hitam Putih
Permasalahannya, ego lintas kelompok inilah yang sulit
disatukan. Ada kelompok-kelompok yang menganggap kampanye kondom atau yang
sejenis adalah bentuk kampanye atas seks bebas itu sendiri. Karena secara tidak
langsung berusaha melegalkan seks bebas. Namun, dalam pandangan sederhana saya,
dunia tidak bisa dilihat terlalu hitam-putih. Karena faktanya dalam sejarah
agama-agama, agama kerap tidak mampu secara seratus persen menggaransi perilaku
umatnya. Selalu ada penyelewengan perilaku umat.
Pertanyaannya apakah para
penyeleweng ini harus dibiarkan terus terperosok, bahkan ditasbihkan sebagai
orang yang layak mati karena perilaku selewengnya. Benarkah agama memahaminya
demikian ?
Jika jawabannya tidak, maka tak ada alasan untuk
melakukan pembiaran terhadap kelompok beresiko secara seksual. Untuk itu, mari
kita lihat realitas dari statistik-statistik berikut
Kita mulai dengan melihat data 35 negara yang angka
penderita HIV/AIDSnya tertinggi di dunia versi CIA Factbook 2011:
Tabel 35 Negara Dengan Angka Penderita HIV/AIDS Tertinggi
Sumber : Diformulasi ulang dari CIA World Factbook,
2011 dan
Indonesia
ternyata berada di urutan ke 21 dengan angka penderita HIV/AIDS sebanyak 270
ribu jiwa. Ini belum seberapa, jika kita menggunakan data terbaru yang dirilis
UNAIDS dalam global report 2012,
Indonesia berada di urutan ke 13 dengan 380 ribu penderita, berikut tabel 20 negara dengan penderita HIV/AIDS tertinggi versi UNAIDS :
Diolah dari : UNAIDS Report on the Global AIDS
Endemic, 2012
Berikut dapat pula kita saksikan peta negara-negara
dunia dengan tingkat populasi penderita AIDS.
Sumber : Wikipedia.org (last modified 29 Desember, 2012)
Statistik di atas menunjukkan pada kita bahwa ancaman
HIV/AIDS terhadap masa depan peradaban global dan Indonesia pada khususnya
bukanlah isapan jempol belaka. Tinggal permasalahannya, maukah kita lebih bijak
melihat permasalahan ini, tidak sekedar hitam putih. Anggapan bahwa penderita
adalah para pendosa yang layak mendapat kenistaan dan hukuman, rasanya tak bisa
dijadikan pijakan. Karena faktanya banyak penderita HIV/AIDS bukanlah para
pendosa; anak yang diwarisi oleh orang tuanya, mereka yang secara tak sengaja
terkena jarum suntik yang terinfeksi dan berbagai kemungkinan penyebab lainnya
yang tak bisa dikatakan bahwa mereka pendosa.
Kalau saja mereka memang pendosa, apa lantas layak
dibiarkan begitu saja ? Rasanya tidak. Maka, tak ada pilihan lain bagi dunia dan
bangsa kita juga tentunya untuk melakukan langkah yang kolaboratif dan
berkesinambungan untuk mencegah makin meluasnya penderita HIV/AIDS.
Berlomba-lombalah Dalam
Kebaikan
Fastabiqul khairat (berlomba-lombalah dalam kebaikan), begitu Al Quran
mengajarkan pemeluknya. Di luar apakah kemudian yang dilakukan itu benar atau
salah, tapi paling tidak selama upaya tersebut diniatkan untuk kebaikan,
mengapa tidak dicoba. Kalau ada yang meyakini bahwa kampanye penggunaan kondom
sebagai sebuah langkah preventif, maka ini layak diapresiasi, jikalau ada yang
tak setuju maka lakukan hal yang bisa menjadi konter atas langkah yang
dilakukan pihak lain.
Jangan menghabiskan energi dengan debat berkepanjangan
yang tak ada ujungnya, jangan pula saling menistakan kelompok. Jauh lebih baik
berlomba dalam kebaikan. Apa yang dilakukan berbagai pihak dengan menggelar “Pekan
Kondom Nasional 2012” lalu yang mengundang penolakan dari beberapa pihak (bacadisini dan disini) juga layak diapresiasi sebagai usaha kolaboratif mencegah penyebaran
HIV/AIDS. Jika ada yang tak setuju dengan kampanye seperti ini, maka lakukan
kegiatan pembanding yang muaranya sama, mencegah penyebaran HIV/AIDS. Sehingga energi
kita tidak habis hanya untuk saling menyerang dan menjatuhkan.
Pada akhirnya, mengutip kalimat Barrack Obama,
“The best way to not feel hopeless is to get up
and do something. Don’t wait for good things to happen to you. If you go out
and make some good things happen, you will fill the world with hope, you will
fill yourself with hope.”
Maka, saatnya kita mengusahakan kebaikan bersama.
Apapun strategi dan langkahnya selama hal tersebut bermuara pada kebaikan, maka
layak kita apresiasi.
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.