Thursday, January 17, 2013




Ultimately, it is not the growing technique which is the most important factor, but rather the state of mind of the farmer.” (Masanobu Fukuoka)

Begitulah pendapat Masanobu Fukuoka dalam The One-Straw Revolution: An Introduction to Natural Farming. Teknik menanam bukanlah hal terpenting tapi bagaimana cara berpikir petanilah yang lebih penting. Mengapa kalimat di atas menjadi relevan ketika membincang masa depan industri gula nasional kita ? Jawabannya sederhana saja. Petani adalah unit penting yang kerap terabaikan dalam upaya kita mendongkrak kualitas dan kuantitas produksi industri gula nasional.

Hampir dua dasawarsa terakhir, negeri kita berada dalam kekhawatiran bahwa  industri gula nasional makin jauh dari harapan mencapai swasembada[1]. Era kejayaan gula nasional pada 1930an dimana negeri kita pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia telah menjadi sejarah manis yang tak mudah kita capai kembali.   

Jika kita menilik secara lebih cermat strategi peningkatan produksi gula nasional, ternyata lebih bertumpu pada pengembangan kapasitas produksi pabrik gula (PG). Tetapi kita sering tak terlalu memberi perhatian lebih pada entitas yang ada lebih di hulu, yaitu produktivitas petani tebu.

Salah satu hal yang menurut Prof. Dr. Kaman Nainggolan menjadi penyumbang rendahnya produktivitas gula nasional adalah tidak efisiennya usaha tani tebu kita.[2] Produktivitas kebun tebu per luas lahan yang rendah dan juga tingkat rendemen yang masih terbilang rendah menjadi salah satu picu rendahnya hasil produksi gula nasional. Di sisi lain Departemen Perindustrian dalam Road Map Industri Gula Nasional tahun 2009 menyebut angka konsumsi gula nasional terus meningkat hingga angka 4,2 – 4,7 juta ton.[3]

Tentu banyak aspek yang harus dibenahi dalam tata produksi gula nasional mulai dari hulu hingga ke hilir. Tulisan ini tidak akan mengulas semua aspek tersebut, melainkan mencoba focus pada aspek di hulu produksi gula, yaitu pada proses di perkebunan tebu yang tentu saja menyangkut petani tebu itu sendiri.

Realitas Sektor Hulu Produksi Gula

            Dalam proses produksi, petani tebu sebagai penyedia bahan baku industri gula sejatinya memiliki peran kunci. Posisi nilai tawar petani tebu sesungguhnya pasca 1998 telah menguat terhadap pabrik tebu dan juga investor. Asosiasi petani tebu bermunculan, dana yang digulirkan pemerintah dan juga pihak perusahaan juga besar untuk menstimulus intensifikasi dan ekstensifikasi perkebunan tebu. Tapi mengapa produksi gula nasional tak kunjung meningkat secara signifikan ? Bahkan produksi gula nasional yang dalam Road Map Industri Gula,  ditarget mencapai 5,7 juta ton pada 2014, namun direvisi menjadi 4,8 juta ton.[4]

            Bagaimana sebenarnya merumuskan strategi dan pola penguatan kapasitas petani tebu kita guna mendorong produksi gula nasional ? Paling tidak ada empat hal yang perlu dicatat sebelum merumuskan strategi dan pola penguatan kapasitas petani tebu :

1.      Petani tebu di nusantara adalah entitas yang telah ada sejak awal mula industrialisasi nusantara. Maka, secara historis mereka adalah komponen yang paling mengerti dan memahami bagaimana pasang surut industri gula nasional.

2.     Selama ini petani tebu kerap diabaikan perannya dalam pembuatan kebijakan-kebijakan terkait industri gula. Pola kebijakan yang cenderung top down kadang telah mengabaikan kepentingan petani.

3.   Asosiasi petani tebu yang saat ini banyak hadir, perlu dilihat secara kritis. Karena apakah benar asosiasi tersebut merepresentasikan kepentingan petani atau tidak. Lalu benarkah asosiasi telah benar-benar “mendengar” suara petani.

4.      Pola hubungan pabrik dan petani tebu yang selama ini ada perlu dilihat secara kritis.

Adopsi Prinsip FPIC Sebagai Strategi Pemberdayaan Petani Tebu


            Menarik apa yang dilakukan oleh PTPN X yang menggandeng petani tebu tidak hanya sebagai pemasok bahan baku tapi juga mitra dalam makna yang lebih setara. Disamping bantuan yang sifatnya permodalan tapi juga suara petani coba didengar dan menemukan solusi bersama untuk mengatasi berbagai kendala teknis produksi.[5] Tapi pertanyaannya apakah pola kemitraan yang dibangun oleh pabrik-pabrik gula dengan  petani telah benar-benar mengadopsi beberapa prinsip dasar, FPIC misalnya (Free, prior and informed concern), sebuah prinsip yang mengarusutamakan persetujuan komunitas lokal dalam segala bentuk kegiatan yang mempengaruhi tanah, wilayah dan sumber daya alam komunitas tersebut.[6]

            Secara sederhana FPIC merupakan persetujuan komunitas tanpa adanya unsur paksaan dengan bersandar pada informasi awal. Meski lazimnya prinsip ini dipakai pada fase awal (inisiasi) sebuah proyek industri atau proyek perkebunan namun tidak menutup kemunngkinan prinsip ini diadopsi dalam fase evaluasi sebuah industri atau juga perkebunan.

            Lalu apa manfaat utama bagi industri gula nasional jika mengadopsi prinsip FPIC. Paling tidak ada tiga manfaat ;

            Satu, sebagai bagian penting dari sektor hulu produksi gula, pelibatan petani dalam proses produksi tidak lagi sekedar hubungan patron-client dimana ada dimensi eksplotasi yang kuat di dalamnya. FPIC akan memungkinkan terbangun sinergi antara pabrik gula dan petani dari level teknis hingga strategis. Tinggal pertanyaannya siapkah pabrik gula melakukan ini ? Karena tentu saja tidak mudah bagi korporasi untuk memulai hal baru.

            Kedua, dengan adopsi prinsip FPIC bisa mendorong komunitas lokal lebih pastisipatif dalam mendukung peningkatan kualitas dan kuantitas produksi gula. Misalnya saja komunitas lokal sekitar perkebunan yang biasanya juga petani tebu tersebut bisa lebih termotivasi untuk meningkatkan produksi kebunnya. FPIC adalah ruang untuk komunitas lokal atau masyarakat adat dalam memformulasi kepentingan mereka terkait tanah, wilayah dan sumber daya alam. Privilege ini tentu saja bisa mendorong semangat komunitas lokal yang notabene adalah petani tebu juga.

            Ketiga, jika prinsip FPIC diadopsi, pihak pabrik gula kemungkinan besar tidak akan terlalu kehabisan tenaga dalam mengantisipasi konflik dengan komunitas dan berbagai gesekan lainnya. Prinsip FPIC juga bisa menjadi semacam antisipasi konflik. Jika suara dan eksistensi budaya komunitas lokal mendapat ruang dalam proses produksi gula, bisa dipastikan potensi konflik akan mengendur. Disadari atau tidak konflik yang berlangsung massif antara pabrik gula dan petani akan memicu turunnya produktivitas industri gula nasional.

            Satu hal lagi yang sebenarnya yang akan menjadi manfaat besar bagi korporasi termasuk PTPN X jika mengadopsi prinsip FPIC adalah kesempatan untuk melakukan branding atau pencitraan terhadap dunia internasional. Ini adalah dampak tidak langsung yang akan sangat bernilai.

Epilog

            Sejarah pabrik-pabrik gula di tanah air adalah sejarah yang sangat lekat dengan kolonialisme. Cerita pabrik gula dekat sekali dengan cerita tentang kejamnya kolonialisme, di era reformasi nasib petani tebu belum pula semanis gula yang lahir dari tebu-tebu yang mereka tanam. Adalah sebuah peluang bagi perusahaan gula nasional terutama PTPN X yang merupakan representasi negara untuk menciptakan sejarah baru. Dimana petani tebu mendapatkan “tahta” yang selayaknya mereka dapatkan.

            Logika sederhana, jika petani sebagai pemain kunci di hulu proses produksi bisa sejahtera dan bahagia tentu saja mereka berpeluang meningkatkan produktivitas perkebunan mereka. Jika produktivitas kebun meningkat maka produksi gula nasional bisa meningkat dan kita bisa lepas dari kekhawatiran dominiasi gula impor. Bukankah kutipan Fukuoka di awal tulisan bisa menjadi perenungan kita. Selama ini kita terlalu berfokus pada prihal teknis pertanian, tapi kita lupa untuk bersama-sama mendorong lahirnya petani-petani yang cerdas, mandiri dan tangguh.

            Kita sibuk membincang prihal di hilir dalam produksi gula, mesin-mesin di pabrik, kondisi pabrik gula, angka impor gula dan sebagainya tapi kita bisa jadi abai, bahwa petani yang ada di hulu dalam proses produksi gula adalah instrumen yang teramat penting.


 Sumber gambar ilustrasi : www.labtani.wordpress.com




[1] http://kabarbisnis.com/read/2833414
[2] Prof. Dr. Ir. Kaman Nainggolan dalam makalah “Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global”
[3] Departemen Perindustrian : Road Map Industri Gula Nasional, 2009
[4] Tempo.co, 21 Juli 2012 “Swasembada Gula Tak Butuh Perluasan Lahan”
[5] www.ptpnx.com
[6] People Forest Programme, 2007 (Kerta kerja), Making FPIC Work 

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts