Saturday, January 26, 2013

Kulihat nelayan di Srilanka mempertarukan nyawa di atas sebilah kayu untuk sekedar mengumpulkan sekilo dua tangkapan. Pernah kusaksikan anak-anak di Utara Jakarta membajak truk untuk memastikan ada hidangan malam nanti di rumah mereka. Kusaksikan pula gelandangan di Birmingham melawan dingin malam di Desember putih. Bahkan tersesat di Gunung Slamet pernah pula kurasakan.

Hidup memang sangat berbeda ketika kita berkelana, ada banyak perjumpaan yang tak terduga. Dan menemukan betapa rapuh diri kita. Tak ada yang bisa dibanggakan selain kesadaran bahwa kita sadar betapa mungil kita di hadapan alam.

Jauh sudah langkah, panjang sungguh jalan yang tertempuh, sekian banyak perjumpaan dan petualangan telah dirampungkan. Tapi cinta tetaplah misteri yang terlalu kelam untuk kupaham. Memahami cinta saja sebegitu beratnya, apalagi jatuh cinta, terlalu sulit untuk dirasakan.

How can I love when I’m afraid to fall,”begitu kata Christina Perry, seolah menampar kesadaranku yang terlalu realistis. Cinta adalah kenaifan, maka tak bisa didekati dengan terlalu realistis. Begitu Plato mengingatkan.

Lain Plato lain pula Meggy Z, “Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati,”katanya. Karena cinta pula Madiba (Nelso Mandela), merelakan hidupnya dalam penjara dingin di Robben Island. Cinta pula yang mmebuat Sukarno masih bisa tersenyum manakala diasingkan di Pulau Buru yang bermalaria itu. Atas nama cinta pula seorang kekasih bisa membunuh kekasihnya.

Terlalu sulit memahami cinta, atau tak harus dipahami tapi dijalani saja ? Bagaimana bisa menjalani tanpa memahami. “itulah dirimu…semua harus terjelaskan padahal tak semua harus dijelaskan,”begitu seorang teman mengingatkan.

Di dinding Borobudur kita melihat teorama cinta terukir, Prambanan konon adalah seribu candi bukti cinta yang tak jadi. Begitu pula Tangkuban Perahu. Begitu banyak prasasti cinta dalam mitologi nusantara kita ini. Tak terkecuali dongeng yang melegenda, Malin Kundang yang rela menistakan ibunya karena terlalu cintanya pada sang istri.

Romeo dan Juliet milik Shakespeare juga melegenda di Eropa sana, sejuta satu karya lahir karena cinta. Sejuta satu penjelasan tentang cinta telah dicobakan. Tapi mengapa makin sulit memahami ‘makhluk’ bernama cinta itu.

Adam dan Hawa dipersatukan oleh cinta atau takdir ?, pada titik tertentu aku mempertanyakan itu. Apakah Maria mengandung putranya karena cinta atau takdir semata ? itupun terkadang muncul pada titik tertentu.

Ibarat sebuah pelayaran, pada saatnya perahu harus berlabuh di dermaga. Tak kan mungkin berlayar sepanjang waktu. Hanya saja berlabuh untuk selamanya atau sekedar bersandar dan melabuhkan sauh untuk selanjutnya kemabli menjauh ?, itu juga yang kadang aku tak tahu.

Benarlah apa yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma “Manusia yang paling tidak beruntung adalah mereka yang di tempurung kepalanya diisi oleh ketakutan”, aku merasakan itu saat ini.
Menuliskan tentang realitas yang dilihat adalah sangat mudah tapi menuliskan perasaan yang kau rasakan tak akan pernah mudah. Semoga kau yang jauh disana bisa memahami mengapa aku tetap diam dalam penantian panjangmu…

13591733751698434651
doc @huzera


0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts