Tuesday, January 1, 2013


Sebuah buku yang mengalir begitu lembut, penuh dengan gagasan-gagasan religius yang metafisis. Namun, balutan romantis menjadikan semua berbingkai begitu syahdu. Meskipun kisah ini berujung bahagia, namun ada sesuatu yang justru muncul bahwa tiap pilihan menjadi bahagia sekalipun tetap menyimpan kepahitan. Begitu pesan yang kutangkap.

Si Tepi Sungai Piedra.." telah menyegarkan ingatanku betapa sejauh apapun manusia melangkah, kenangan masa kecil akn selalu menjadi teman paling setia. Betapa besar pengaruh masa kecil akan membuat sebesar apapun pencapaian seakan sanggup ditukarkan untuk merengkuh kembali masa-masa itu.

Coelho sungguh apik menemali detik demi detik kisah. Meski aku merasa ada beberapa titik yang meloncat, tetapi sebagai pembaca, aku stak menggubrisnya, terlalu hanyut dalam kisah.

Kisah ini telah pula "menghasutku" untuk menulis sebuah kisah, begitu hebat Coelho menstimulus pikiran dan hati pembacanya. Kisah ini terasa ganjil tapi meski ganjil semua terasa begitu hidup dan nyata. Irasional tapi membuai. Mungkin hal itu senada dengan makna cinta dalam kisah Pilar dan sang pendeta muda. Cinta mereka berdua tampak begitu tak rasional tapi terasa begitu alamiah. Mungkin begitulah sesungguhnya cinta.
 
Di luar segala sisi baik buku ini, ada saja sisi yang membuatku "ill feel", kisah ketika di dalam gua dan orang-orang berjumpa dengan "Sang Perawan", sungguh-sunguh mengingkari akal sehatku, sulit aku menerimanya. 

Secara umum novel ini Bintang Tiga ( * * *)

Khatam pada 27 Agustus 2012


 ______

Adalah kebiasaanku membuat semacam catatan kecil di ujung buku, saat selesai membaca sebuah buku. Selsai disini, maksudnya bisa benar-benar khatam atau menyerah membacanya karena tidak tertarik mengkhatamkannya. Akhirnya untuk sekedar berbagi, aku akan mencoba menuliskan catatan-catatan tersebut di blog ini.

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts