In Latin America the border between soccer
and politics is vague. There is a long list of governments that have fallen or
have been overthrown after the defeat of the national team.
(Luis Suarez)
Begitu luar
biasanya sepakbola. Banyak hal-hal besar yang mempengaruhi sebuah negeri usai
kekalahan atau kemenangan tim nasional mereka. Tragedi dan euphoria tali temali
dalam drama bernama sepakbola. Tak salah jika Luis Suarez menulis, batas antara
politik dan sepakbola di Amerika Latin begitu tidak jelas. Banyak pemerintahan
hancur ketika timnas mereka dicukur.
Apa yang
diungkapkan Suarez, tak hanya mewakili fenomena di belahan Selatan Amerika, tapi
juga dunia. Ingatkah kita betapa sepakbola masih menjadi pemersatu Nigeria yang
bergejolak oleh perang sipil, tragedi Biafra di era 60an. Dunia juga mencatat
bagaimana pemain-pemain top Argentina pernah mendermakan gaji mereka di Eropa
untuk membantu negeri mereka yang terlilit hutang. Kisah-kisah kepahlawan hadir
terus menerus dari lapangan hijau, persis tiap kali kompetisi besar digelar.
Sepakbola layaknya sebuah glossary
dari hal-hal baik.
Pantas saja Albert Camus
lantas menulis Everything I know about morality and the
obligations of men, I owe it to soccer.
Sepakbola telah menemali banyak kisah kepahlawan, pengorbanan, pengabdian dan
perjuangan sampai limit terjauh manusia.
Camus, memang tak salah. Tapi jangan lupa sepakbola juga kompilasi elegy. Kisah pedih dan pilu juga
menyesaki sejarah sepakbola. Sejarah mencatat Football War, yang mempertemukan El Salvador dan Honduras. Konflik
politik antara kedua negara menemukan momentumnya manakala timnas kedua negara bertemu
di kualifikasi Piala Amerika Selatan (Concacaf). Pula ada, tragedy Hassel,
sebuah tragedy yang menjadi noktah merah sepakbola dunia. Tak sedikit pula
pemain yang harus meregang nyawa karena dianggap penyebab kekalahan. Andres Escobar,
pemain timnas Kolombia yang ditembak usai Piala Dunia 1994.
Tak ada habisnya
jika membincang sepakbola. Banyak sejarah dan nostalgia di dunia sepakbola. Begitu
pula di negeri kita. Indonesia. Sepakbola adalah keseharian, sepakbola adalah
harapan dan pada akhirnya sepakbola adalah kebanggaan.
Tak ada rasanya
olahraga yang bias menggerakkan begitu banyak dimensi kehidupan di negeri ini melebihi
sepakbola. Dimensi politik, sosial, budaya, ekonomi bahkan agama menyeruak
manakala menyangkut sepakbola.
Sepakbola menjadi
sesuatu yang kompleks, disinilah berbeda sepakbola dengan olahraga lain.
Terlalu banyak manusia yang terlibat didalamnya. Sepakbola adalah identitas,
sepakbola adalah harga diri. Manusia modern memang tak lagi menggelar gladiator
tapi di stadion sepakbola, manusia dibawa kembali pada masa-masa ketika para
gladiator berjuang habis-habisan. Membunuh atau terbunuh.
Pada titik inilah
sepakbola menjadi semacam ekstasi,adrenalin menggelegak. Karena ada hidup mati disana, ada harga diri dan juga
ada cinta kasih.
Entah harus mulai
darimana jika membincang sepakbola nasional kita. Mungkin dari prestasi dulu.
Ehm, Mario Teguh yang Superrrr sekalipun sulit berkata-kata. Tak ada banyak hal
yang bisa dibicarakan. Anggaplah kenangan manis di Manila tahun 1992, manakala
Edi Harto dan kawan-kawan mencium medali emas Sea Games sebagai kenangan manis
terakhir. Selebihnya, duka lara.
Bolehlah kita
menyebut prestasi timnas kita era 1950an, yang lolos hingga perempat final
Olimpiade 1954, Melbourne atau prestasi perak Asian Games 1966 sebagai
penghibur hati. Tapi itu masa lalu, sob ! Sebuah bangsa tak bisa hidup jika
mengandalkan masa lalu. Kita butuh hari ini dan hari esok.
Sepakbola kita hari
ini, keruwetan. Sepakbola kita hari esok, ketidakpastian. Penulis beruntung,
sempat menyaksikan Indonesia raya berkumandang di Stadion Jose Rizal Memorial,
Manila, manakala emas Sea Games direngkuh 1992 silam. Tapi anak-anak kita hari
ini, enatha kapan mereka bisa menyaksikan momen indah macam itu lagi.
Dua puluh tahun
terakhir, sepakbola kita adalah kompilasi elegy dan tragedy. Sampai kapan ?
mungkin hanya Tuhan yang tahu.
Sepakbola adalah passion, sportifitas dan cinta. Pengurus
sepakbola di negeri ini sering lupa tiga fundamen sepakbola. Lihatlah Brazil, negara
dengan passion sepakbola yang tak
tertandingi. City of God (2002), film yang mampu menunjukkan betapa sepakbola
adalah kehidupan dan kehidupan adalah sepakbola di Brazil. Tentulah jauh
membandingkan negeri kita dengan Brazil untuk urusan passion. Negara kita terlalu kaya, sepakbola adalah sambilan. Di
Brazil menjadi pemain sepakbola atau mati kelaparan di jalanan !
Sportifitas, memang
sulit menanamkan fondasi satu ini dalam sepakbola kita. Selalu ada alas an untuk
mencari pembenaran. Pengakuan atas kekalahan adalah hal langkah di sepakbola
kita. Begitupun para supporter.
Cinta, fundamen
satu inilah yang masih kita harapkan. Penggemar timnas telah membuktikan. Dua
puluh tahun tanpa prestasi berarti, tak surut sedikitpun kecintaan penggamar
terhadap timnas garuda. Kalau para petinggi bola itu mengaku cinta sepakbola
nasional, maka bersatulah. Kalau penggemar sepakbola tanah air mengaku cinta
sepakbola nasional, maka bergenggaman tanganlah. Jika klub-klub sepakbola
nasional, cinta sepakbola Indonesia, maka bergabunglah.
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.