Wednesday, January 23, 2013


In Latin America the border between soccer and politics is vague. There is a long list of governments that have fallen or have been overthrown after the defeat of the national team.
(Luis Suarez)

Begitu luar biasanya sepakbola. Banyak hal-hal besar yang mempengaruhi sebuah negeri usai kekalahan atau kemenangan tim nasional mereka. Tragedi dan euphoria tali temali dalam drama bernama sepakbola. Tak salah jika Luis Suarez menulis, batas antara politik dan sepakbola di Amerika Latin begitu tidak jelas. Banyak pemerintahan hancur ketika timnas mereka dicukur.

Apa yang diungkapkan Suarez, tak hanya mewakili fenomena di belahan Selatan Amerika, tapi juga dunia. Ingatkah kita betapa sepakbola masih menjadi pemersatu Nigeria yang bergejolak oleh perang sipil, tragedi Biafra di era 60an. Dunia juga mencatat bagaimana pemain-pemain top Argentina pernah mendermakan gaji mereka di Eropa untuk membantu negeri mereka yang terlilit hutang. Kisah-kisah kepahlawan hadir terus menerus dari lapangan hijau, persis tiap kali kompetisi besar digelar. Sepakbola layaknya sebuah glossary
dari hal-hal baik.

Pantas saja Albert Camus lantas menulis Everything I know about morality and the obligations of men, I owe it to soccer. Sepakbola telah menemali banyak kisah kepahlawan, pengorbanan, pengabdian dan perjuangan sampai limit terjauh manusia.

Camus, memang tak salah. Tapi jangan lupa sepakbola juga kompilasi elegy. Kisah pedih dan pilu juga menyesaki sejarah sepakbola. Sejarah mencatat Football War, yang mempertemukan El Salvador dan Honduras. Konflik politik antara kedua negara menemukan momentumnya manakala timnas kedua negara bertemu di kualifikasi Piala Amerika Selatan (Concacaf). Pula ada, tragedy Hassel, sebuah tragedy yang menjadi noktah merah sepakbola dunia. Tak sedikit pula pemain yang harus meregang nyawa karena dianggap penyebab kekalahan. Andres Escobar, pemain timnas Kolombia yang ditembak usai Piala Dunia 1994.

Tak ada habisnya jika membincang sepakbola. Banyak sejarah dan nostalgia di dunia sepakbola. Begitu pula di negeri kita. Indonesia. Sepakbola adalah keseharian, sepakbola adalah harapan dan pada akhirnya sepakbola adalah kebanggaan.

Tak ada rasanya olahraga yang bias menggerakkan begitu banyak dimensi kehidupan di negeri ini melebihi sepakbola. Dimensi politik, sosial, budaya, ekonomi bahkan agama menyeruak manakala menyangkut sepakbola.

Sepakbola menjadi sesuatu yang kompleks, disinilah berbeda sepakbola dengan olahraga lain. Terlalu banyak manusia yang terlibat didalamnya. Sepakbola adalah identitas, sepakbola adalah harga diri. Manusia modern memang tak lagi menggelar gladiator tapi di stadion sepakbola, manusia dibawa kembali pada masa-masa ketika para gladiator berjuang habis-habisan. Membunuh atau terbunuh.

Pada titik inilah sepakbola menjadi semacam ekstasi,adrenalin menggelegak. Karena ada hidup mati disana, ada harga diri dan juga ada cinta kasih.

Entah harus mulai darimana jika membincang sepakbola nasional kita. Mungkin dari prestasi dulu. Ehm, Mario Teguh yang Superrrr sekalipun sulit berkata-kata. Tak ada banyak hal yang bisa dibicarakan. Anggaplah kenangan manis di Manila tahun 1992, manakala Edi Harto dan kawan-kawan mencium medali emas Sea Games sebagai kenangan manis terakhir. Selebihnya, duka lara.

Bolehlah kita menyebut prestasi timnas kita era 1950an, yang lolos hingga perempat final Olimpiade 1954, Melbourne atau prestasi perak Asian Games 1966 sebagai penghibur hati. Tapi itu masa lalu, sob ! Sebuah bangsa tak bisa hidup jika mengandalkan masa lalu. Kita butuh hari ini dan hari esok.

Sepakbola kita hari ini, keruwetan. Sepakbola kita hari esok, ketidakpastian. Penulis beruntung, sempat menyaksikan Indonesia raya berkumandang di Stadion Jose Rizal Memorial, Manila, manakala emas Sea Games direngkuh 1992 silam. Tapi anak-anak kita hari ini, enatha kapan mereka bisa menyaksikan momen indah macam itu lagi.

Dua puluh tahun terakhir, sepakbola kita adalah kompilasi elegy dan tragedy. Sampai kapan ? mungkin hanya Tuhan yang tahu.

Sepakbola adalah passion, sportifitas dan cinta. Pengurus sepakbola di negeri ini sering lupa tiga fundamen sepakbola. Lihatlah Brazil, negara dengan passion sepakbola yang tak tertandingi. City of God (2002), film yang mampu menunjukkan betapa sepakbola adalah kehidupan dan kehidupan adalah sepakbola di Brazil. Tentulah jauh membandingkan negeri kita dengan Brazil untuk urusan passion. Negara kita terlalu kaya, sepakbola adalah sambilan. Di Brazil menjadi pemain sepakbola atau mati kelaparan di jalanan !

Sportifitas, memang sulit menanamkan fondasi satu ini dalam sepakbola kita. Selalu ada alas an untuk mencari pembenaran. Pengakuan atas kekalahan adalah hal langkah di sepakbola kita. Begitupun para supporter.

Cinta, fundamen satu inilah yang masih kita harapkan. Penggemar timnas telah membuktikan. Dua puluh tahun tanpa prestasi berarti, tak surut sedikitpun kecintaan penggamar terhadap timnas garuda. Kalau para petinggi bola itu mengaku cinta sepakbola nasional, maka bersatulah. Kalau penggemar sepakbola tanah air mengaku cinta sepakbola nasional, maka bergenggaman tanganlah. Jika klub-klub sepakbola nasional, cinta sepakbola Indonesia, maka bergabunglah.



0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts