Tuesday, April 29, 2008



 Salah satu rekomendasi Muktamar Muhammadiyah ke-45 adalah dibentuknya Lembaga Lingkungan Hidup (LLI). Kini Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah memiliki lembaga tersebut dan diketuai Ir. H.M. Dasron Hamid, M.Sc. Namun pertanyaannya, mampukah Muhammadiyah melakukan optimalisasi atas peran lembaga tersebut ?

Di tengah pola kebijakan penyelenggara negara yang berparadigma pragmatis, memiliki kesenjangan amat besar antara wacana dan realitas politik. Pola pikir reduksionis dan eksploitatif berkembang mewarnai setiap lini penyelenggaraan negara. Terutama dalam pengelolaan sumber daya alam.

Christopher Stone (1972) menulis bahwa alam sebagai entitas (di luar manusia) memiliki hak. Maka penghormatan atas hak-hak alam inilah yang kemudian menjadi landas pijak lahirnya beragam gerakan lingkungan. Tentu pesan Islam juga memerintahkan manusia untuk menghormati hak-hak alam.

Melangkah ke depan. LLI harus mampu menjawab permasalahan-permasalahan lingkungan hidup aktual di tanah air. Mendorong kebijakan negara yang pro lingkungan adalah salah satu space yang harus diperankan LLI Muhammadiyah. Di samping peran lain termasuk aksi konservasi berbasis partisipasi warga Muhammadiyah.

Sebelum sampai kesana, LLI harus melakukan peningkatan kesadaran warga Muhammadiyah dan warga Indonesia umumnya akan arti penting keberlanjutan alam. Tentu sebagai pilot project adalah warga Muhammadiyah.

Pada usianya yang bisa dibilang sangat muda. LLI tentu tengah mencari format gerakan yang tepat. Salah satunya orientasi gerakan harus dibangun secara kokoh. Dalam perspektif penulis gerakan lingkungan berbasis agama adalah salah satu gerakan yang paling strategis dalam membangun kesadaran publik.
Maka, LLI memang harus merumuskan semacam orientasi gerakan. Dengan kata lain fokus harus dimiliki. Permasalahan lingkungan begitu kompleks dan melibatkan berbagai faktor, maka orientasi penting agar gerakan tidak tenggelam di tengah kompleksitas masalah.

Kesadaran Warga
Membangun kesadaran publik, merupakan fase yang paling sulit dan fundamental. Mengingat segala macam aksi konservasi yang tidak melibatkan masyarakat cenderung akan gagal. Maka orientasi pertama gerakan lingkungan di tubuh Muhammadiyah, kesadaran lingkungan warga Muhammadiyah.
Selanjutnya orientasi kedua, secara jujur harus diakui. Muhammadiyah sebagai institusi relatif masih awam dalam manajemen gerakan lingkungan, maka tak dapat dihindari jejaring (networking) yang kuat adalah mutlak. Sepengetahuan penulis, begitu banyak kader Muhammadiyah yang bergerak di lembaga lingkungan. Tentu sumber daya kader ini harus dioptimalkan dalam membangun jaringan kerja LLI.
Lalu, kita harus mampu pula menyusun strategi aksi dalam mencapai orientasi tersebut. Untuk orientasi pertama saya pikir tidak ada permasalahan, karena membangun jejaring, Muhammadiyah telah terbukti handal.
Namun, untuk orientasi pertama ini perlu secara komperhensif dipikirkan. Secara umum bisa dikatakan bahwa kesadaran lingkungan masyarakat Indonesia masih sangat rendah.
Ruth Richards, M.D., Ph.D dalam tulisannya yang dirilis Journal of Humanistic Psychology, Vol. 41, No. 2, 59-95 (2001). Mengatakan bahwa kesadaran manusia akan lingkungannya meliputi beragam faktor yang sangat kompleks. Mulai dari identitas kultural, kepercayaan sampai pada sistem pendidikan. Tentu kesadaran tidak muncul secara instant melainkan melalui proses persinggungan dengan realitas maupun pengetahuan. Hingga aspek kognitif, afektif dan psikomotorik menjadi sangat penting dalam membangun kesadaran termasuk kesadaran lingkungan.
Selama ini pola membangun kesadaran lingkungan (environmental awareness) terlalu menitik beratkan pada simpul kognisi. Hingga kesadaran yang terbangun belum komperhensif. Mengingat masalah lingkungan bersifat faktual dan aktual, maka pengalaman yang sifatnya emosional dan juga aktivitas empiris menjadi hal penting.
Pada tahap selanjutnya, kesadaran merupakan sesuatu yang dinamis dan tidak statis. Maka persuasi harus bersifat berkelanjutan terhadap subyek penyadaran. Proses membangun kesadaran adalah proses yang terus menerus, tidak pernah berhenti. Karena, kesadaran sendiri bersifat dinamis. Kesadaran hari ini bisa jadi harus diperbaiki di masa depan, begitu selanjutnya.
Dalam konteks Muhammadiyah yang relatif berbasis warga yang berpendidikan, tentu bisa dijadikan modal awal. Juga semua institusi yang ada di tubuh muhammadiyah, mulai dari kesehatan, pendidikan, dakwah dan ekonomi bisa dijadikan medium pengantar bagi transformasi kesadaran publik.
Sebagaimana kita ketahui, Indonesia tiga tahun terakhir terus menerus ditimpa bencana alam (natural disaster), tentu ini juga menjadi pekerjaan medesak LLI. Bukan sekedar aksi tanggap darurat bencana, tetapi lebih dari itu adalah aksi menelusuri penyebab bencana. Banjir, tanah longsor dan beragam bentuk bencana alam tersebut tentu tidak terjadi karena faktor alamiah semata, ada faktor lain yang bisa berperan.
Perilaku manusia bisa jadi faktor penyebab beragam bencana alam. Memang, bisa jadi bukan faktor utama tapi bukan berarti andilnya kecil. Dalam konteks inilah LLI memiliki ruang aksi yang luas dalam ikut berkontribusi melimitasi peluang bencana alam di Indonesia.

Peran Politik Lingkungan
Ada segmen yang tak kalah penting dengan membangun kesadaran lingkungan warga, yaitu membangun kesadaran lingkungan penyelenggara negara. Pola kebijakan yang eksploitatif dan manipulatif dalam pengelolaan sumber daya alam harus diubah. Muhammadiyah tentu harus berperan mendorong perubahan tersebut.
Pola kebijakan negara yang pro investasi (utamanya asing) tidak diikuti dengan pola pengawasan dan evaluasi atas investasi tersebut. Khususnya investasi di bidang-bidang yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Kerugian material dan non-material yang disebabkan kerusakan lingkungan dan merapuhnya konstruksi sosial masyarakat local adalah harga yang harus dibayar.
Kasus Freeport, Newmont Minahasa Raya, Lapindo dan sebagainya adalah bukti lemahnya pengawasan dan evaluasi. Tak ada pilihan lain, kebijakan negara atas investasi harus diperbaiki dan pola pengawasan dan evaluasi harus melibatkan multi stakeholders. Muhammadiyah harus memainkan peran ini lebih optimal melalui LLI.
Gagasan-gagasan dalam tulisan ini berhasrat untuk mengingatkan betapa strategisnya peran Muhammadiyah dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dan menjadi benteng perlawanan atas segala pengrusakan lingkungan. Di tubuh LLI dengan nahkoda Ir. Dasron Hamid tentu telah dengan serius memikirkan ini dan berkarya. Namun, dukungan tentu tetap mereka butuhkan. Tulisan ini salah satu bentuk dukungan pada para Ayahanda.
Mengutip Mahatma Gandhi, ���the earth has enough for everyone's needs but not for some people greed's". Akhirnya, semoga Muhammadiyah menjadi pencerah di tengah peradaban yang makin ���tamak��� dan galaunya masa depan lingkungan.. Fastabiqul Khairat !
Dimuat di Majalah . Suara Muhammadiyah edisi No. 24. Bulan Desember 2006

                                          sumber foto : Yuhardin, panyingkul.com

Transportasi telah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat modern. Apalagi jika menyangkut transportasi publik. Ketersediaan transportasi publik yang komperhensif akan sangat mempengaruhi mobilitas sebuah kota.
Di kebanyakan kota besar di seantero dunia, transportasi publik menjadi permasalahan serius. Kota-kota besar di Indonesia juga mengalami hal serupa. Bahkan di beberapa kota masalah transportasi telah menjadi sedemikian akut.
Kemacetan lalu lintas, kecelakaan dan kesemrawutan jalan telah menjadi hal yang rutin di kota-kota besar. Kondisi ini secara umum memang disebabakan oleh ledakan jumlah kendaraan pribadi serta kecilnya daya dukung inprastruktur dan suprastruktur jalan. Namun, secara spesifik masih terdapat faktor-faktor lain. Termasuk di dalamnya sensitifitas kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Permasalahan ketersediaan transportasi publik tentunya membutuhkan sebuah pendekatan yang komperhensif. Mengapa ? karena masalah transportasi akan memberikan implikasi yang signifikan pada sektor lain. Ekonomi, budaya, pendidikan bahkan juga mempengaruhi tingkat kriminalitas.
Makassar, sebagai salah satu kota besar di Indonesia, tentu tak luput dari permasalahan transportasi. Menarik untuk disikapi polemik seputar masalah transportasi yang terjadi belakangan ini di Kota Makassar. Seperti diberitakan harian Fajar (19/12/2006) aksi mogok sopir petepete (angkutan kota) sebagai bentuk kritik mereka atas beberapa kebijakan pemerintah kota dalam bidang transportasi.
Aksi mogok sopir petepete ini telah memberi implikasi yang cukup luas. Penumpang terlantar, siswa dan mahasiswa kesulitan mencapai sekolah dan kampus dan sebagainya (Fajar, 19/12/2006). Namun, lebih dari itu nampaknya Kota Makassar memang membutuhkan pola transportasi publik yang lebih tersistematisasi hingga akan menopang kota dalam perkembangannya.
Public policy berbasis partisipasi
Pada bagian ini kami mencoba menelaah pola kebijakan publik yang lebih partisipatif dalam pengembangan dan pengelolaan sistem transportasi publik. Seperti kecenderungan umum, banyak kebijakan publik yang mengabaikan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan, implementasi dan evaluasinya. Pola top down ini memiliki banyak kelemahan. Menurut Prof. Selo Soemardjan dalam tulisannya berjudul Good Governance (Jurnal Ekonomi Rakyat, No. 4/Juni/2002) menggambarkan pelibatan masyarakat dalam berbagai proses pemerintahan dengan memperhatikan aspek budaya lokal adalah karakter utama good governance.
Pertanyaannya kemudian, telahkah kebijakan pengembangan dan pengelolaan transportasi publik di Kota Makassar melibatkan masyarakat. Baik itu masyarakat pengguna jalan, maupun aktor dalam pelaksanaan pelayanan transportasi publik. Seperti, sopir petepete, pemilik armada, dan sebagainya.
Jika kebijakan pengelolaan dan pengembangan transportasi publik hanya bersandar pada data statistik dan opini ahli, berkecenderungan menimbulkan bias. Menarik dicermati upaya pemerintah kota Makassar yang menawarkan solusi penyediaan transportasi modern berupa bus way dalam rangka memperbaiki sistem transportasi publik.
Permasalahannya menurut hemat saya, bukan pada apa yang ditawarkan. Bisa jadi penyediaan bus way adalah jalan keluar, namun permasalahan terletak pada proses perencanaannya. Sudahkah masyarakat secara luas dilibatkan dalam penyusunan perencanaan, sudahkah pula aspek sosio-ekonomi dipertimbangkan. Karena, setiap kebijakan seputar transportasi publik juga menyangkut nasib ribuan pelaku di sektor ini. Maka, mereka juga harus dilibatkan dalam penyusunan rencana.
Tentu saja pelibatan partisipasi publik dalam perencanaan akan memberi kerja tambahan bagi pemerintah. Namun, jika pemerintah Kota Makassar ingin konsisten dalam upaya mewujudkan clean and good governance hal ini menjadi mutlak. Tidak hanya berhenti pada level perencanaan, masyarakat juga harus dilibatkan secara aktif dalam implementasi kebijakan dan evaluasi.
Faktor khusus permasalahan
Sebagaimana kita ketahui kompleksitas masalah transportasi jalan tidak hanya disebabkan pola kebijakan publik yang buruk tetapi juga menyangkut beberapa faktor khusus. Antara lain, faktor mentalitas pengguna jalan, pola penegakan hukum serta daya dukung lingkungan sosial.
Mentalitas pengguna jalan di Indonesia secara umum cukup memprihatinkan. Hal ini terlihat dari pola penggunaan jalan yang semena-mena dan sering kali mengbaikan faktor keselamatan. Hal ini disadari atau tidak telah berkontribusi menambah masalah di jalan raya.
Setiap saat kita dapat dengan mudah mendapati pengguna petepete naik dan turun petepete di tempat yang tak semestinya. Daerah lampu lalu lintas (perempatan, pertigaan) dan tikungan jadi tempat favorit untuk naik dan turun. Kesadaran yang rendah ini ditambah pula dengan minimnya sarana berupa tempat pemberhentian dan penantian angkutan kota (halte) yang memadai. Hingga semakin malaslah pengguna angkutan umum naik dan turun di tempat yang semestinya. Banyak contoh lainnya yang menunjukkan lemahnya kesadaran kita pengguna jalan.
Aturan hukum kadangkala berlaku secara tidak tegas dan berkecendrungan bersifat kompromistis, terutama dalam menyangkut pelanggaran penggunaan jalan. Jadilah kemudian wibawa hukum dipandang sebelah mata oleh pengguna jalan.
Di sisi lain daya dukung lingkungan sosial juga cukup lemah, seperti kesadaran untuk memelihara kelestarian jalan secara swadaya atau upaya meningkatkan kenyamanan jalan melalui penghijauan jalan secara swadaya juga terbilang belum cukup memadai. Masyarakat masih sangat tergantung pemerintah. Padahal daya dukung lingkungan sosial ini akan sangat berarti dalam upaya mengatasi beragam permasalahan transportasi jalan.
Ibarat sebuah toko jalan raya adalah etalase sebuah kota. Artinya apa-apa yang terjadi disana merupakan cerminan dari apa yang dimiliki masyarakat kota tersebut. Semakin beradab perilaku pengguna jalan sama artinya masyarakat di tempat tersebut makin beradab, jika tidak tanya kenapa ?
Teringat pengalaman mengunjungi beberapa kota di Eropa; Koln (Jerman), Birmingham, Stratford dan London (UK), masyarakat dan pemerintah menjadikan sektor transportasi publik sebagai hal yang sangat primer. Tentu saya tidak bermaksud melakukan komparasi atas keadaan yang ada di negara kita dan disana. Karena kondisinya tentu akan sangat berbeda. Namun saya bermaksud menangkap spirit yang ada disana sebagai buah pelajaran bagi kita.
Di Birmingham misalnya, masyarakat diajak berpikir bersama dengan city council untuk menentukan sarana transportasi apa yang layak digunakan, kemudian dimana saja lokasi yang tepat dan strategis untuk dibangun bus stop (Halte). Kemudian dalam evaluasi kebijakan masyarakat juga dilibatkan aktif untuk mengontrol perilaku sopir transportasi umum di jalanan. Hal ini dilakukan dengan sms, juga via email. Satu hal yang tatkala penting adalah penguatan supremasi hukum menjadi kunci sistem transportasi disana.
Tiga hal penting yang kemudian harus menjadi konsen kita bersama jika ingin mengatasi masalah transportasi adalah. Pertama, perencanaan, implementasi dan evaluasi kebijakan yang berbasis partisipasi masyarakat luas. Kedua, sustainable effort dalam upaya membangun kesadaran publik dalam penggunaan jalan secara bermartabat dan beradab. Ketiga, penegakan aturan hukum secara berkeadilan, transparan dan tegas.
Akhirnya, sebagai pengguna petepete dan angkutan umum lainnya saya berharap masa depan anggkutan publik di Indonesia umumnya dan Makassar khususnya bisa makin baik dan memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup warga negara.

*Tulisan ini Pernah dimuat di Harian Fajar Makassar, 26 Desember 2006


Tuesday, April 22, 2008


Ruang bermain adalah tempat dimana anak-anak tumbuh dan mengembangkan kecerdasan serta kepribadiannya. Disinilah anak-anak melakukan kontak dan interaksi dengan lingkungan sosial, yang akhirnya ikut membentuk karakter sang anak. (Pearce dalam Wilkinson 1980)

Jangan salahkan anak-anak, jika kini mereka tumbuh dan berkembang tak seindah harapan dan impian para orang tua. Jangan pula terkejut jika saat ini mereka melakukan “loncatan besar” dalam pola berekspresi. Lihatlah, ada siswa sekolah dasar yang mencoba mengkonsumsi obat terlarang, adapula anak yang menyiksa temannya a la smackdown atau ada anak-anak SMA yang memilih bertawuran ria ketimbang berangkat ke sekolah. Inilah konsekuensi dari berkurangnya ruang ekspresi bagi mereka.

Ruang bermain sebagai ruang ekspresi bagi anak-anak yang hidup di kota-kota besar kian menyempit, hak anak untuk bermainpun dilanggar atas nama kemajuan pembangunan. Sejatinya anak-anak memiliki energi yang besar untuk bermain, hingga ketika ruang bermain mereka dirampas mereka akan selalu mencari alternatif ruang bermain. Permasalahannya sehat dan baikkah alternatif yang mereka temukan itu ?

Konvensi Hukum Anak (KHA) menyebutkan empat hak anak; hak hidup, hak perlindungan, hak berpartisipasi dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Tersedianya ruang bermain bagi mereka adalah bentuk pemenuhan atas hak anak untuk tumbuh dan berkembang. Namun, sejauh ini perhatian kita atas hak anak dalam mendapatkan ruang bermain kerap terabaikan.

Cobalah sesekali melintasi kawasan lampu merah Grogol di atas pukul 12 malam, kalau cuaca cerah kita akan melihat anak-anak yang mengalihfungsikan lintasan busway sebagai ruang bermain. Hal serupa juga terjadi di banyak tempat, keinginan mereka untuk bermain telah melupakan mereka akan ancaman yang mungkin terjadi.

Tentu ancaman bagi anak-anak tidak hanya yang bersifat fisik tetapi yang jauh lebih parah adalah efek psikologis bagi anak. Bukankah kemungkinan anak-anak melakukan pembangkangan akan semakin besar tatkala hak-hak mereka dirampas. Kesempatan mereka untuk membangun kontak sosial dengan lingkungan juga akan berkurang. Jadi, jangan heran kalau kemudian mereka menjadi generasi yang sulit membangun empati, bahkan untuk sekedar menyadari bahwa mereka ada dan mengada bersama lingkungan saja menjadi sulit. Beramai-ramailah mereka membentuk gank-gank sebagai upaya memenuhi kebutuhan interaksi sosial mereka.

Bayangkan sebuah tanah lapang yang ditumbuhi rumput hijau dan dilindungi pepohonan rindang, anak-anak akan bisa bersenda gurau sembari bermain lompat tali atau main gobak sodor. Ada banyak hal positif yang bisa terbentuk dalam diri sang anak yang bermain didalamnya. Pelan tapi pasti mereka akan menganggap bahwa ruang bermain yang hijau itu adalah istana bagi mereka, lalu muncullah rasa memiliki dan keinginan untuk merawat. Dari sana mereka akan mulai belajar makna lingkungan alam yang baik bagi mereka.

Bermain di tempat yang baik juga akan membawa mereka pada sifat sportif, menghargai dan menghormati temannya, mau mengakui kekalahan dan tak pongah ketika mendapat kemenangan. Tapi kini hak mereka dirampas, ruang bermain taklah menjadi prioritas pembangunan yang cenderung berorientasi komersial semata. Anak-anak menjadi korban ketidakdewasaan orang-orang dewasa.

Kehilangan ruang bermain bukan sekedar perkara anak-anak tidak bisa bermain, tapi lebih dari itu ini masalah pembentukan karakter anak-anak. Tersumbatnya proses interaksi sosial dan aktualisasi diri akan berimplikasi buruk terhadap karakter mereka.

Maka, sudah saatnya kondisi ini mendapat perhatian dari semua pihak. Karena masa depan anak-anak adalah masa depan negeri ini. Angka populasi yang sangat tinggi di kota besar makin memperparah kondisi ini.

Pembangunan Pro Hak Anak
Sudah saatnya pembangunan yang pro terhadap hak anak dan juga pro pelestarian lingkungan dimulai. Pemerintah harus dengan ketat mengawasi pembangunan di kota-kota besar dan merancang master plan yang berorientasi pada hak-hak anak dan juga ramah lingkungan. Di sisi lain para orang tua harus dengan sungguh-sungguh memperjuangkan ruang bermain hijau bagi anak-anak mereka di lingkungan terkecil yaitu rukun tetangga.

Di tengah krisis lahan di kota-kota besar rasanya prioritas bagi ruang bermain anak masih berada di urutan kesekian. Tapi tentu kita tak ingin anak-anak Indonesia tumbuh dan berkembang hanya di mal-mal, generasi nongkrong yang relatif memiliki intuisi sosial yang lemah dan cenderung hedonis, inilah yang akan mewujud jika kita menafikkan arti penting ruang bermain bagi anak.

Melihat keceriaan anak-anak bermain, kita seolah melihat keceriaan masa depan negeri ini, tapi kini keceriaan itu banyak yang hilang. Untuk sekedar bermain mereka harus menunggu jalanan sepi, untuk bermain mereka harus memanjat tembok tinggi yang menutupi halaman sekolah yang biasanya jadi tempat bermain favorit, sedangkan di tanah-tanah kosong dijejali kendaran yang parkir, taman-taman bermain dipenuhi pedagang. Anak-anak kota besar tersisih, hak mereka tak dipenuhi. Sungguh ironis kondisi ini, di satu sisi kita berharap banyak pada mereka agar menjadi generasi yang cerdas dan berkualitas tapi disisi lain hak-hak mereka dirampas.

Menyikapi kondisi ini paling tidak tiga hal yang harus mulai dikerjakan bersama. Pertama, mendorong pemerintah membuat regulasi yang memproteksi hak-hak anak secara optimal. Serta implementasi kebijakan tersebut harus dengan ketat dilaksanakan.

Pembangunan fisik yang mengabaikan hak anak harus mendapat sanksi, marilah kita lihat proyek fenomenal yang saat ini tengah menjadi landmark Jakarta, Busway. Sudahkan proyek ini pro terhadap hak anak ?? rasanya belum. Adakah kursi khusus anak ?? adakah loket khusus anak ?? Mengapa anak-anak perlu mendapat loket khusus karena kecendrungan anak-anak adalah bertanya hingga mereka perlu mendapat pelayanan khusus. Bagi orang dewasa perkara naik busway hanya sekedar sampai ke tujuan, tapi bagi anak-anak ini perkara pengalaman hidup hingga mereka pantas mendapatkan hak mereka untuk tahu lebih banyak dan menikmatinya secara aman dan nyaman.

Pola pemanfaatan lahan yang mengabaikan hak anak tentu tidak hanya terjadi di Indonesia, hampir di seluruh kota besar di dunia mengalami hal serupa. Tapi paling tidak apa yang dilakukan pemerintah kota Solo dengan konsep taman cerdas adalah sebuah bentuk terobosan dalam menghadirkan kota yang ramah dan layak bagi anak.

Kedua, rasanya konsentrasi perlindungan terhadap anak tidak hanya menyangkut kekerasan terhadap anak (bullying) tetapi juga pada hak-hak anak yang lain. Isu bullying memang sangat penting tetapi perhatian terhadap hak anak atas ruang bermain juga perlu mendapat perhatian. Untuk itu kita sebagai masyarakat umum dan tentu saja lembaga-lembaga yang concern terhadap isu anak-anak dan remaja perlu mulai mengkampanyekan hak-hak anak atas ruang bermain ini secara lebih intensif.

Ketiga, orang tua dan orang dewasa lainnya harus mulai menyadari bahwa anak memiliki dunianya sendiri hingga dari sana tentu mereka punya hak atas dunia mereka tersebut. Maka, kita harus dengan penuh kesadaran menghormati hak-hak anak termasuk menghargai hak mereka untuk memiliki ruang bermain.
Sebuah kota yang ramah dan layak bagi anak memang masih menjadi impian bagi kita, tetapi memulai usaha ke arah itu rasanya bukan sesuatu yang salah. Jangan biarkan anak-anak bertanya “Kemana Kami Haru Bermain ??”.

Popular Posts