Thursday, June 5, 2008


*Surat ini aku kutip dari bagian pembuka draf naskah novelku...semoga memberi warna...

                  sumber foto : plkc-corner.blogspot.com




To :
erva.salsabillah@yahoo.com
Subject : Surat untuk mama....(jangan dibaca dek..)
From :
gotho.ilalang@gmail.com


Assalammu'alaikum
Mama....aku disini baik-baik. Awal musim gugur, sempat membuatku kena flu ringan tapi tak masalah, sudah baikan. Jangan khawatir sekarang aku sudah agak terbiasa dengan makanan disini.
Apa kabar keluarga kita ? selamat ya ma atas wisuda D2nya. Semoga lebih bermakna dan makin dicintai oleh murid-murid mama.
Ma izinkan aku bercerita..akan panjang semoga mama tak lelah.
Usiaku lewat seperempat abad sudah, banyak yang telah kualami dan lalui. Sekian lama aku jauh dari rumah, berkelana ke banyak tanah. Tapi kutahu cintamu tak ada habisnya, cinta yang dulu kau berikan saat tubuhku masih merah dalam balutan popok. Kutahu, kau selalu terjaga karena tangisku dini hari, belum sempat kau padamkan lelah dan letihmu aku sudah terbangun, kaupun bangun walau kantuk menggelayuti kesadaranmu. Kau ganti celanaku, kau susui aku bukan dengan segumpal daging yang menyemburkan air susu tapi kau susui aku dengan hatimu...dengan jiwamu...tak ada yang tak kau berikan padaku. Bahkan dirimu
Ma...masa itu jauh berlalu tapi tak berkurang cintamu barang semilipun. Aku tahu semua itu ma, air matamu yang kulihat tiap kali kau mengantarku kembali ke perantauan menyiratkan itu. Airmata cinta yang tak bertepi, tapi aku mah...aku anakmu bahkan belum tahu cara mencintaimu. Aku berlari kesana-kemari mengejar impianku, menghalau tiap jengkal keinginanku. Aku lupa membalas cintamu yang memang tak akan pernah mampu kubalas itu. Meski begitu kau tak pernah berubah. Seburuk apapun laku anakmu, kau tetap memelukku dengan cintamu, tak ada yang berubah.
Sama....sama seperti dulu saat kau berpeluh keringat di dapur, jauh sebelum matahari pagi bangkit. Kau goreng pisang, kau siapkan penganan untuk kau jual. Tak pernah terbersit rasa malu akan semua itu, kau melakukannya karena mencintai keluargamu. Mencoba mencari tambahan rezeki, dibalik himpitan kebutuhan kita..seberapalah gaji pegawai negara..pantang bagimu menyerah, apalagi membiarkan kami lapar. Keringatmu tak akan pernah bisa kami gantikan dengan apapun...anak-anakmu tak akan pernah mampu..
Menyesal rasanya sering membantah omonganmu. Sering memaksamu memahami hidupku...menyesal ma. Aku merasa malu...tapi kau tak sedikitpun mengurangi cinta. Kutahu saat tanganmu menyapu keningku ketika kutidur waktu pulang ke rumah. Pasti kau merindukan anak-anak manismu dulu, sayang seiring waktu kami kerap melupakanmu..sibuk meraih pencapaian- pencapaian hidup.
Sedang dirimu tetap bangun sebelum subuh datang, kau berdoa panjang dalam sholat malammu. Memohon Tuhan menjaga kami, anakmu. Kau menangis mengingat kesulitan yang kami hadapi, dalam doa kau kirimkan kekuatan kepada kami. Matamu memerah karena tangismu dalam doa. Sedang aku anakmu dirantau sibuk dengan segala harapan-harapan masa depan.
Aku lupa, bahwa waktu kelak akan membawamu pergi jauh. Saat matamu menutup rapat, senyummu menghiasi wajahmu dan kedua tanganmu didekapkan di dada. Pasti itu akan datang, sungguh suatu saat yang tak sanggup aku bayangkan. Apalah rupa hatiku, saat harus menghadapi itu.
Pernah dulu saat seragamku masih putih merah, kau sakit, sakit keras. Tubuhku lemah tak berdaya di atas dipan. Infus menjulur di tangan kirimu, nenek menangis dipinggir kepalamu. Aku belum cukup dewasa ketika itu, tapi aku tahu mungkin aku akan kehilanganmu. Kematian belum kupaham ketika itu, tapi aku merasa sebuah kepiluan yang dalam dan ketakutan yang amat sangat. Tak semenitpun aku jauh dari kakimu. Kutindihkan bantal-bantal di ujung kakimu yang berselimut tebal, jemari kecilku kutekan-tekankan ke kakimu. Aku memijatmu dengan hati yang lirih. Aku tahu ada sesuatu yang tengah menimpamu. Papa menangis sambil menggenggam tanganmu, tangis yang tak sepenuhnya tumpah. Aku tahu mungkin aku akan kehilanganmu.
Seragam sekolahku memang masih putih merah, tapi hatiku membimbingku pada keresahan. Kutinggalkan sekolah, tak ingin semenitpun aku meninggalkanmu. Badanmu panas, bibirmu kering, matamu sembab, sesekali nafasmu seperti berhenti, orang-orang menangis disisimu.
Akupun rapuh dengan perasaanku. Nenek memintaku bermain di luar, aku menolaknya, aku hanya berpikir harus bersamamu...tak ada makanan yang masuk ketubuhmu dari mulut, semua dikirim lewat selang yang menjalarimu. Saat itulah aku merasakan ketakutan yang amat sangat.
Suatu waktu kau tersadarkan, aku masing di ujung kakimu. Tubuhku berkeringat dingin, gemetar rasanya. Kau menatapku, matamu menuntunku mendekati kepalamu...akupun bergerak dengan jiwa yang rapuh sebagai anak-anak yang sangat takut kehilangan ibunda tercinta.
Tak ada kata-kata yang kau lepaskan dari mulutmu, hanya airmata yang berbicara. Akupun terpukul dengan airmatamu, aku menangis, tangis yang kutahan sekuat-kuatnya..tapi airmataku menggelinding menjatuhi lenganmu. Kuusap-usap mataku, agar airmata itu berlalu tapi tiap kali kuusap, airmata selajutnyapun segara tumpah.
Kutahu banyak yang ingin kau katakan tapi tenagamu tak ada untuk berkata-kata. Kupijit keningmu dengan jemariku yang bergetar, aku ingin mengusir semua sakitmu, aku ingin rasanya meremas-remas rasa sakit itu dan menyuruh mereka pergi..pikiran kanak-kanakku, penyakit itu seperti rombongan semut yang menyerbu tubuhmu.
Orang-orang menangis di sisi dipanmu, nenek tiap saat membasuh matanya ke kamar mandi lalu kembali ke kamar. Papa hanya terpaku di atas kursi di sampingmu. Wajahnya pucat, air matanya tumpah walau tak sederas air mataku. Mereka memintaku bermain dengan adek, tapi aku menolaknya.
Waktu itu adek masih sangat kecil, dia hanya berlari-lari saat orang berdatangan, kadang ia menangis lalu berlari-lari lagi. Mungkin adek akan menangis tiga kali lebih deras dariku andai ia tahu mungkin kau akan pergi jauh..
Setelah lama kau menahan kata-katamu, akhirnya sekalimat terkeluarkan dari mulutmu...kau memintaku mencari daun kapuk randu untuk mengompresmu. Bergegas aku mencari daun itu, aku tahu di jalan ke sekolahku ada yang punya pohon itu.
Dalam perjalanan, langkah derasku terhenti, seekor ikan sepat berkesiap di tanah siring. Seorang penjala mengangkatnya dengan jala dari lebak di dekat rumah kita, mungkin ia lupa memungutnya atau sengaja meninggalkan ikan sepat merah itu. Kuambil sepat itu, aku berdoa sambil menuntut pada Tuhan ���Tuhan, akan kuselamatkan ikan sepat ini, tapi maukah Kau berjanji padaku, sembuhkan mamaku��� Kulemparkan sepat itu kembali ke rawa. Ia berkecipuk lalu hilang dibalik air rawa. Aku tawar menawar dengan Tuhan. Logika sederhana kanak-kanakku, meyakini kalau aku memberi maka Tuhan akan membalasnya. Aku menyelamatkan sepat itu, Tuhan harus menyelamatkan mamaku..adil !
Entah karena tawar menawarku dengan Tuhan atau karena seorang mantri yang datang membuat ibuku mulai membaik. Daun yang kubawa diremas-remas di dalam air sebaskom kecil lalu dikomreskan ke keningmu. Kau tak jadi meninggalkan kami, keluargamu yang kau cintai dengan sepenuh hidupmu.
Peristiwa itu jauh di masa lalu, tapi aku tak bisa melupakannya. Kalau orang bertanya apa prestasi tertinggiku pasti kukatakan soal ini pada mereka. Inilah prestasi tertinggi, tawar menawar dengan Tuhan, karena aku tak mau kau pergi.
Disini ma, aku menemukan diriku, aku melihat siapa aku. Lendir-lendir anyir kulihat memenuhi tubuhku, dusta, pengkhianatan, kebusukan, maksiat telah banyak kulakukan. Pasti kau kecewa ma...aku tahu..
Ma, aku mencoba memulai dari titik nol, aku ingin belajar menjadi diriku sesungguhnya. Pasti kau mendukungku walau hatimu perih mengetahui rahasia anakmu dirantau...
Aku sangat mencintaimu ma, tentu juga papa dan adek-adek..
Salam sayang anakmu,
Gotho

Popular Posts