Friday, February 3, 2012


Hentakan halus roda B 737-200 di landas pacu menjadi penanda kehadiranku di negeri baru. Layaknya kehadiran di sebuah negeri baru, misteri dan rasa ingin tahu taut-bertaut dalam hati. Sejumput asa di ruang belajar barupun menyeruak. Gelisah, tentu saja ada. Namun kali ini, aku tak lah hendak berkisah detail-detail gelisah nan personal itu. It’s more about something that make me confuse, is Indonesia as an entity truly exist ?

Ah, ayak-ayak wae ! Indonesia, itu jelas dan pasti, jangan dipertanyakan lagi. Final sudah ! Iya juga ya, tiap hari kita dengar, kita baca, bahkan kita ucapkan kata itu, “In-do-ne-sia”. Indonesia sudah menjadi semacam sesuatu yang tak terbantahkan, mutlak ! Sedari kecil kita sudah sepakat Indonesia itu final, bukan begitu ? Kalau anda tak sepakat. Pernahkah anda mempertanyakan apa itu Indonesia ? Entah mengapa, di negeri baru ini tiba-tiba “Indonesia” menjadi sesuatu yang sumir dan begitu absurd di mata ku. *Ah,janganlah didramatisir sungguh, bray ! Sungguh, saya tak sedang mendramatisasi. Coba dengar kisah ini, kawan..!

***

Entah harus mulai darimana, selalu sulit memulai kisah tentang negeri kita ini. Karena tak mudah menuliskan kisah tentang negeri yang sejarah dan perjalanannya dipenuhi distorsi dan fakta yang ‘bengkok’. Bahkan, seorang kawan yang hidupnya berkutat dengan keresahan-keresahan tentang negeri ini, menyebut Indonesia itu sepenuhnya sebuah ilusi. Bisalah kita bilang pendapat itu sebaris dengan analisa Ben Anderson; Indonesia itu sebuah imagine community. Sahabat satu lagi lebih ekstrim lagi, Indonesia itu Jakarta, selebihnya anak pungut. Ehm, makar itu ! hehehe.

Baiklah, tak lah hendak aku menyeret teori dan konsepsi yang rumit dan ruwet seputar negeri ini. Mari membincang Indonesia dari tiga fragmen berikut ini saja ;

Fragmen #1

Sinar matahari menerabas segaris ubun-ubun, angin bertiup lembut saja saat kumasuki mobil ‘taksi’, taksi ini jangan dibayangkan sebuah mobil sedan dengan logo ‘taxi’ di atasnya dan dilengkapi argo. Ini mobil pribadi biasa saja dengan plat hitam, tapi tetap disebut taksi, karena mereka mengangkut penumpang dengan bayaran tertentu. Usman, nama pengemudi itu. Logat Melayu kental terasa. ”Bang, bolehkah tak pakai AC saja” Kalimat pembukaku dengan Bang Usman dalam perjalanan.

Perbincangan pun berlanjut, mulai dari keyakinan Bang Usman bahwa Anas Urbaningrum akan lengser dari demokrat 1, sampai ke isu selingkuh salah satu bupati yang juga mantan artis di daerahnya. Ya, standar saja pendapatnya. Tak lebih replikasi dari opini-opini media yang memang berseliweran. Sampai pada sebuah kalimat dari Bang Usman “Mano pedulilah orang macam kami nih, mau apo tejadi di Jakarta tuh…” Tet tot, ucapan itu membuatku tersentak sejenak. Kalau saja ucapan itu kudengar dari masyarakat dimana konflik yang bernuansa separatis terjadi, mungkin bisa dimengerti dan beralasan. Tapi ini, di sebuah tempat yang jaraknya hanya satu jam saja dari ibukota via jalur udara, dan dikenal tentram dan tenang. Luar biasa sungguh rasanya.

Ada dua hal menarik yang bisa kita tangkap. Pertama, Bang Usman mengidentifikasi dirinya dengan ”kami” dan orang-orang yang di Jakarta seolah sebagai ”mereka”. Ada semacam jarak psikologis disana. Layaklah jadi pertanyaan lanjutan. Mengapa dan bagaimana jarak itu hadir, sehingga seakan-akan antara ‘kami’ yang ada di daerah ini dan ‘mereka’ yang di Jakarta sana berbeda ? Padahal, bukankah semua adalah Indonesia. Ah, mungkin saja Indonesia itu sungguh ilusi saja.

Sepanjang perjalanan sekitar 40 menit itu, banyak kisah yang ia selorohkan. Jelas sungguh bahwa ia begitu bangga dan bahagia menjadi orang daerah itu. Kkupancing Bang Usman dengan membandingkan daerahnya dengan keberhasilan sang kota tetangga, Palembang. Terekam olehku rasa jengkelnya dia. Nadanya yang meninggi dan kata… ‘tapi…’ dan ‘tapi…’ berulang kali meluncur. Entahlah, apa mungkin karena sentiment konflik lama antara Palembang dan kota ini karena memperebutkan lokasi pusat kerajaan Sriwijaya, atau apa, aku tak tahu pasti.

Kedua, kalimat-kalimat yang mengalir dari Bang Usman seolah merepresentasikan inferioritas daerah mereka atas ibukota “iyolah..itukan Jakarta”, “Ah, dak heran Jakarta tuh…” Awalan-awalan macam itu kerap kudengar dalam selorohnya. Kesan yang tertangkap meski sepintas, ada kebencian disitu, ada antipati dan juga ada semacam dendam. Terlalu gegabah sih, menarik kesimpulan atas peristiwa sekilah itu.

Satu yang pasti, pertemuan singkat itu memberi bekas tentang jarak “kami” dan “mereka”. Kalau dipikir-pikir benar juga seloroh Bang Usman sang pengendara taksi bandara itu. Jakarta itu Indonesia dan Indonesia itu Jakarta. Daerah seolah menjadi ornamen belaka. Ah, mungkin ini berlebihan saja. Bukankah otonomi daerah itu sebuah solusi konkrit dan nyata-nyata berhasil !Well, bukannya tak menghargai inisiatif Otda, tapi jauh panggang dari api rasanya kalau mau bilang otda berhasil.

Dominasi, keangkuhan dan bahkan arogansi “Jakarta” dalam banyak dimensi kehidupan kita berbangsa dan bernegara seolah membuat Indonesia itu bagai keping-keping puzzle. Jakarta, itu bisa berarti pemerintah pusat, kultur masyarakatnya atau bisa berarti apa saja. Sulit memahaminya sepintas saja. Tapi cukuplah untuk membuat bertanya ”Indonesia itu apa sih ?”

Fragmen #2

Semilir angin senja menepak-nepak daun jendela rumah khas Melayu. Posisi rumah panggung dengan tiang-tiang tinggi itu membuat angina semakin asyik menepak daun jendela. Tapi telinga dan mataku tak terusik banyak. Konsentrasi dan fokus tetap tertuju pada sosok berkacamata yang tak pernah lepas senyum itu. Kiprah sosok satu ini, kisahnya telah bergulir hingga ke negeri-negeri jauh. Keteguhan dan dedikasinya telah mengantarkan beliau menjadi antropolog dengan spesialisasi orang rimba (Suku Anak Dalam). 15 tahun lebih ia dan lembaga tempatnya berkarya berjuang dan belajar bersama dengan orang rimba sembari mencari celah bagaimana eksistensi orang rimba bisa tetap ada di tengah ancaman kehancuran ‘rumah’ hidup mereka, rimbo (hutan).

Tulisan ini tak hendak membincang sosok bernama Robert Aritonang ini, mungkin lain kali saja. Tapi, sebuah penjelasan dalam presentasi beliau tentang program di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNDB) yang saya dengarkan dua hari lalu sungguh mengusik hati ini.

“Hampir semua orang rimba yang tua-tua saya tanyakan tentang masa depan mereka, semua menjawab gelap. Tak ada masa depan, hanya menunggu mati saja…”

Entah mengapa rasanya terhenyak saja. Sulit rasanya membayangkan manusia bisa hidup dalam ketiadaan harapan. Ancaman kehilangan ruang bermukin yang mengintai tiap saat, sumber pangan yang sangat terbatas dan keterdesakan ruang akibat kehadiran perkebunan, permukiman penduduk umum dan juga pertambangan.

Mendengar uraian Bang Robert mulai dari bangsa colonial yang mempersepsi orang rimba sebagai manusia yang berjalan tegak namun tak bisa berbicara sehingga dianggap sebagai rantai yang hilang dalam konsepsi Darwin tentang evolusi, hingga kisah Orang Rimba yang mulai menghadapi kehilangan ‘rumah’ manakala Orde baru membuka habis hutan dimana orang rimba bermukim untuk transmigrasi. Identitas kerimbaan orang rimba pun mengalami krisis, hidup Orang Rimba pun di ujung tanduk. Apa usai orde baru, keterancaman Orang Rimba menjadi usai ? tentu tidak. Korporasi perkebunan kini menjadi momok baru mereka…

Apakah orang rimba peduli dengan apa itu Indonesia ? entahlah saya tak bisa menduga-duga. Butuh waktu untuk menjawab hal itu. Atau jangan-jangan atas nama Indonesia itu pula mereka kehilangan ‘rumah’ mereka ? Tiba-tiba Indonesia itu menjadi sesuatu yang gelap rasanya usai mendengar Bang Robert bertutur. Timbul pertanyaanku ”Perlukah Indonesia itu ?”


Fragmen #3

Sinar matahari pagi yang menerabas lorong jendela kamarku membentuk siluet di tembok putih. Sementara matahari diam-diam meninggi, segerombolan semut seperti biasa berbaris rapih mengangkut sisa-sisa cemilanku semalam. Rapatnya barisan semut itu membuat mereka Nampak jalan di tempat, tak bergerak. Menatapi mereka berbaris dalam waktu lama membuat pikiranku jadi gila. Iya…gila..benar-benar gila.

Bayangkan saja, tiba a/ku bertanya pada mereka “Woi semut, kalian butuh Indonesia tidak ?” *saran saya jangan pandangi parade semut terlalu lama, kalau anda tak mau gila seperti saya _Don’t try at home, okay !
Beruntung kegilaan itu tak berlangsung lama, andai saja kegilaan itu kekal. Tamatlah saya..! Tunggu-tunggu..Apa itu gila ? *Kayaknya dugaan saya salah, kegilaan saya belum benar-benar hilang rupanya. Arti gila kok ditanya-tanya. Gila itu edan, sedeng, ora waras. Itukan persamaan kata saja, gila itu sendiri apa ? Saya tak mau sulit-sulit membawa definisi teoritis tentang gila itu. Sederhana saja, kalau anda sadar anda gila, maka anda tidak gila. Kalau anda mengira anda tidak gila, mungkin anda sedang gila. Mengapa bisa demikian ? Kenapa juga harus ada pertanyaan mengapa demikian, pernyataan saya tentang definisi gila itu, ngawur 17 keliling, jadi tak usah ditanya ini itu, pokoknya titik aja. Sykur-syukur ngawur 17 keliling itu ada benarnya.

Soal gila dan ngawur 17 keliling itu apa pula sangkut pautnya dengan Indonesia. Begini-begini, konsepsi gila itu kan absurd, sumir. Contoh, apa menurut anda Orang Rimba atau juga Orang Baduy dengan pola dan cara hidup mereka yang berbeda jauh dengan ‘hidup normal’ manusia modern itu gila ? Saya yakin tak sedikit yang berpikir demikian. Orang Rimba disebut pula Kubu, nah konotasi Kubu itu kerap identik dengan kegilaan atau orang Jawa bilang ora umum. Di Sumatera Selatan dan sekitarnya misalnya, jika ingin memaki seseorang sebagai orang aneh atau gila biasa mereka berujar begini “Dasar kubu nian kau nih…”. Tapi, tunggu dulu, bisa jadi orang rimba justru menganggap manusia macam kita inilah yang gila.
Nah, absurd dan sumirnya pemaknaan gila itu sama absurd dan sumirnya dengan makna Indonesia kita hari ini ?

Kadang-kadang jadi agak berdebar-debar kalau pikiran kotorku melintas, jangan-jangan Founding fathers bangsa kita ini saat merumuskan Indonesia sebagai Negara Unitarian(persatuan) itu sedang dalam kondisi mabok. Saya khawatir mereka baru saja disuap petinggi-petinggi Jepang yang kalah perang dengan berbotol-botol sake (minuman tradisional Jepang) sehingga Nusantara yang tak punya alasan untuk bersatu dipaksa menjadi satu dalam entitas bernama “Indonesia” itu.

Kalau soal semut berbaris tadi adalah ngawur 17 keliling, maka soal founding fathers bangsa ini mabok saat merumuskan Republik Indonesia ‘unitarian’ adalah ngawur 77 keliling. Jadi tak perlu disusul dengan pertanyaan-pertanyaan tambahan. Titik aja deh. Toh, ini ngawur 77 keliling, syukur kalau-kalau ngawur 77 keliling ini bisa membuat kita jadi bertanya ”Haruskah Indonesia Unitarian ini dipertahankan ?”

Popular Posts