Friday, July 29, 2011

                                         Sumber Foto: @Kelompok SEPI

Zaman selalu melahirkan putra-putra terbaiknya. Dedikasi dan karya mereka telah teruji oleh rentang zaman itu sendiri. Yusuf Bilyarta (Y.B) Mangunwijaya salah satu sosok yang karya dan dedikasinya telah mengarungi rentang zaman tersebut.

Lebih dari duabelas tahun pasca kepergian Romo Mangun, semangat yang ia tebarkan seolah telah menjadi semangat zaman. Merasuki mereka yang haus akan nilai-nilai kemanusiaan. Beliau telah menjadi semacam ikon perjuangan bagi para sastrawan pejuang sekaligus intelektual enerjik, yang penuh dedikasi bagi sesama.

10 Februari 1999 beliau pergi menghadap sang pemilik hidup dan kehidupan. Meninggalkan karya yang berlimpah sekaligus mewarisi semangat pemihakan. Kehadiran Romo Mangunwijaya seolah menjawab sinisme publik terhadap dunia sastra. Ketika sastra dianggap tak memberi kontribusi bagi perubahan sosial, Romo tampil dengan karya-karya transformatifnya hingga karya Romo telah menjadi semacam solusi atas kebuntuan hidup.

Menariknya lagi, semangat pemihakan dalam karya-karya sastranya juga dienjawantahkan dalam praktek kehidupan. Pemukiman tepian Kali Code yang mendapat Aga Khan Award for Architecture telah menjadi monumennya.
Spirit pembebasan Romo secara pribadi saya jumpai pertama sekali pada kumpulan esai beliau Tumbal (1994). Kritik terhadap pola pembangunan yang dehumanis dan mengabaikan keberadaan kaum marjinal ditulisnya secara santun dan mendalam. Wajah angkuh orde baru ia telanjangi secara halus, mendetail dan dengan cita rasa sastra yang kental.

Mengungkap kebaikan-kebaikan Romo Mangun tentu bukan harapannya. Beliau tentu lebih ingin kita menangkap semangat yang ia tebar; Pemihakan pada kaum marjinal, pemihakan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan dan penghargaan atas keberagaman. Paling tidak tiga semangat itulah yang diperjuangkannnya secara kental, lewat karya-karyanya.

Hari ini tatkala dunia sastra tanah air mekar bak cendawan di musim hujan adakah semangat Romo Mangun tersebut tumbuh ? Sastrawan muda lahir dari hari kehari. Namun, apakah karya yang hadir telah tampil sebagai pembelaan atas nilai kemanusiaan ? Atau sekedar hadir dan hanyut dalam populisme media ?

Rumah Bambu (2000), kumpulan cerpen berserak beliau yang diterbitkan pasca wafatnya. Menunjukkan pemihakan yang jelas atas rakyat kecil (B. Rahmanto, 2001;102). Puyuk Gonggong, yang ditulis di Kedungombo menjadi semacam karya kritik simbolik atas ganasnya orde baru ketika itu. Lalu, Tak Ada Jalan Lain bercerita tentang peliknya hidup yang memaksa “orang-orang biasa” yang dimarjinalkan memilih jalan tak biasa. Menjadi banci demi menghidupi diri.

Begitupula dengan cerpen Hadiah Abang yang bertutur mengenai si Gondek yang mendadak terinspirasi menjadi kernet demi memberi hadiah uang seribu rupiah pada adiknya. Cerpen Pagi Itu juga bertutur soal orang biasa. Mbok Ranu, penggoreng cucur yang bersukarela membantu hidup seorang tukang becak tua.

Lewat cerpen dan esainya Romo Mangun ingin mengangkat kehidupan orang-orang lemah yang dimarjinalkan ke permukaan. Pedih, pelu dan airmata kaum papah digubah menjadi sebuah karya sastra yang menyentuh dan penuh pengayaan bersinergi dengan kelucuan-kelucuan kehidupan sehari-hari. Gaya bertuturnya yang tidak menggebu-gebu membuat cerpen dan esai beliau mengalir begitu alamiah. Bagai dongeng yang dibacakan menjelang tidur.

Tapi Romo tidak ingin semangat pemihakan yang ia benihkan nasibnya menjadi sekedar dongeng. Malam hari di dengar keesokannya telah terkubur. Romo Mangunwijaya mengangkat cerita dengan latar kehidupan sehari-hari yang sederhana itu tentu bukan tanpa maksud. Inilah yang harus kita cari jawabannya.

Sepintas Ia menjadikan karya-karyanya semacam medium permenungan atas kompleksitas masalah kemanusiaan. Ia berusaha menggunakan cermin yang begitu sederhana untuk memotret hal tersebut. Kehidupan kaum marjinal, itulah cerminnya. Selanjutnya, sebagaimana kita ketahui Romo hidup melintasi fase demi fase sejarah. Masa Revolusi ia telah ada (sebelum 1945), lalu masa orde lama (1946-1966) juga orde baru (1966-1998) bahkan Romo sempat mencicipi hidup di era reformasi (1998-1999). Meski demikian hampir seluruh karyanya ditulis di era (1980-1998).

Maka, dapat kita prediksi sesungguhnya Romo lewat karya-karyanya yang kritis dan memihak tersebut sesungguhnya tengah melakukan upaya-upaya transformasi sosial. Bahkan bisa jadi karya-karya sastra yang mengupayakan transformasi sosial macam karya Romo Mangun, Cak Nun, Kuntowijoyo, Umar Khayam telah menjadi salah satu suluh bagi gerakan reformasi 1998.


Sastra Transformatif
Karya sastra di tangan Romo Mangunwijaya tidak lagi sekedar ekspresi berkesenian. Dengan kata lain art not just for art (seni tidak hanya untuk seni). Sastra telah menjadi semacam pendulum perubahan sosial. Bahkan mengutip judul buku yang ditulis Seno Gumira Ajidarma bahwa “Tatkala pers dibungkam maka sastra harus bicara”.

Begitulah adanya Romo Mangunwijaya, tatkala beragam medium demokrasi di Indonesia tersumbat. Pemilu yang tidak demokratis ketika itu, media yang dibisukan, parlemen yang dilumpuhkan dan juga kebebasan berekspresi yang diberangus maka beliau menjadikan sastra medium pemberontakan atas rezim politik yang berkuasa ketika itu.

Transformasi sosial yang beliau lakukan tentu berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Sri Bintang Pamungkas atau Amien Rais di panggung politik. Juga berbeda dengan strategi “perang” yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka atau Fretelin di Timor Timur ketika itu.

Transformasi sosial yang dilakukannya beserta sastrawan seangkatan seperjuangan adalah pembebasan rasa. Dengan kata lain, keasadaran kritislah yang menjadi muara dari karya transformatif yang diusung.

Karya sastra transformatif ini biasanya memiliki ciri-ciri umum. Mengangkat cerita atau latar belakang kisah dari kehidupan sehari-hari dari orang-orang kecil. Lalu, mengandung unsur ironi (idealitas-realitas) serta mengandung unsur kritik atas realitas baik secara implisit ataupun eksplisit.

Jikalau Alamarhum Kuntowijoyo mengarah pada karya sastra profetik (istilah yang dimunculkan oleh Kuntowijoyo sendiri). Maka karya sastra transformatif inilah rasanya istilah yang layak kita sematkan terhadap karya esai dan cerpen Romo Mangunwijaya.

Mengenang delapan tahun kepergian beliau tentu semangatnyalah yang perlu diwarisi. Sastra sebagai medium transformasi sosial sepatutnya menjadi modus perjuangan sastrawan. Romo Mangunwijaya seolah telah menyulutkan lentera bagi perjalanan sastra di tanah air. Lentera itulah hendaknya menjadi pandu di tengah gelapnya jalan.

Sebagai penikmat karya sastra tanah air, terkadang saya merasa takjub atas kelahiran sastrawan-sastrawan muda yang enerjik dan produktif. Mudah-mudahan semangat sastra transformatif juga mereka miliki. Populisme semoga tidak menghanyutkan, semoga halaman surat khabar punya tempat bagi karya semacam ini yang kadang memang tidak populer dan bersebrangan dengan selera pasar.

Akhirnya, “Tuhanku, lapangkan jalan bagi Romo Mangun. Dekap ia dengan cinta kasih Mu, seperti ia mendekap rakyat jelata dengan cinta dan kasih”.

-kibas ilalang-

Monday, July 11, 2011


Kini mata penaku tak lagi tajam menyuratkan isi hati
dan kini tinta penaku tak lagi secair dulu mengoles lembaran putih
Waktu menuntunku pada fase dimana semuanya menjadi sangat kalkulatif
Perjalanan membawaku pada ruang yang kadang aku merasa asing di dalamnya
Inikah KEHIDUPAN ??

Inlah kehidupan, MISTERI !
Perjumpaan dan perpisahan datang silih berganti
Beragam warna, nuansa bahkan eksotika telah kujumpai
tapi tak kunjung menjawab berbagai pertanyaan yang dari dulu ada di kepalaku
Apa itu hidup ? Kemana kita menuju ? Untuk apa kita hidup ?
Ada beratus jawaban yang romantik, ada puluhan jawab yang filosofis, dan mungkin ribuan jawaban pragmatis..
Tapi aku ingin jawaban yang bersandar pada pengalaman hidupku..aku ingin menjawabnya dengan tiap detak detik yang kumiliki dalam hidupku...

Kehidupan yang mendamparkan kita atau kita yang mendamparkan diri ?
Kadang pilihan memaksa kita mendamparkan diri
Sepahit apapun pilihan yang telah diambil, jangan pernah disesali
Untuk apa menghabiskan energi menjelaskan pada dunia atas pilihan-pilihan kita
Jauh lebih berharga menghabiskan energi untuk cita-cita yang ada dalam pilihan-pilihan itu
Aku ingin menuliskan apa yang kualami dalam pilihan-pilihan itu..

Hidup terlalu singkat untuk dilewatkan tanpa menulis
Itulah yang kusesali beberapa tahun belakangan ini..
terlalu banyak hal yang kualami tapi terlalu sedikit yang kutulis

Semoga belumlah terlambat untuk kembali...!
Bukankah waktu itu tidak selalu maju..terkadang ia berputar ?

11-07-11
01.23

Popular Posts