Sunday, March 24, 2013


Pada akhirnya menulis adalah pertarungan. Pram, sang legenda sastra Indonesia pun bertutur “Kalau umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan.” Menulis adalah pertarungan melawan rasa lupa, melawan rasa takut, pertarungan untuk bersuara.

Pengalamanku mengatakan menulis adalah mozaik kehidupan. Kata telah membawaku terbang melintasi waktu bahkan ruang. Tulisan membawaku pada kesadaran akan realitas, tulisan pula yang menuntun untuk selalu bermimpi. Pertanyaannya kemudian untuk apa aku menulis ?

Bagiku pertanyaan ini mutlak dijawab. Mungkin tidak bagi sebagian orang. Melakukan sesuatu tanpa kita tahu untuk apa hal itu dilakukan tentulah akan membuat apa yang dilakukan tak berjiwa, sekedar ada tanpa tahu mengapa. Pertanyaan ini kembali menyeruak, setelah menyadari blog sederhanaku ini mulai terisi oleh beberapa posting tulisan yang berbau puja puji akan sebuah produk idustri, karena memang sedang mencoba peruntungan di kompetisi-kompetisi.

Aku bukanlah seorang penulis yang luar biasa atau penulis idealis, tapi satu yang coba selalu kuyakini, apapun tulisan itu ia harus membawa “pesan”. Tak peduli apakah aku sedang menulis tentang sebuah produk, misal saja sedang menulis karena ikut lomba yang diadakan sebuah perusahaan. Ini tantangan terberat dalam kepenulisanku. Mengikuti kompetisi semacam ini sama halnya kita menjadi “penulis pesanan”. Tapi, bukankah dengan sedikit kreativitas tulisan itu bisa tetap membawa pesan bukan sekedar iklan. Ah, ini hanya terasa apologi semata. Tapi pada kahirnya memang kita harus punya alasan, mengapa melakukan sesuatu. Termasuk ketika memilih ikut mengkampanyekan sebuah produk industri.

Akhirnya aku berkessimpulan meski dengan tetap melekatkan tanda Tanya pada simpulan itu; Silahkan saja mengikuti lomba apa saja yang diadakan oleh siapa saja, tapi jangan terlalu masuk dalam permainan si empunya hajatan. Ini memang pilihan moderat, sebenarnya yang paling gampang, ya sudah tidak usah ikutan saja. Tapi bagaimana tak tergiur, hadiahnya puluhan juta, bahkan ada berhadiah jalan-jalan gratis ke tempat-tempat nan jauh. Tapi haruskah kita kehilangan “ke-aku-an” kita untuk menggenggam itu semua. Tentu dalam lomba-lomba yang memang ditujukan untuk promosi kita tak lah bisa serta merta lepas dari kepentingan penyelenggara. Tapi kita bisa juga tetap menyelipkan makna dalam tiap tulisan kita.

Kompetisi kadang lebih dari sekadar menang atau kalah, juara atau tak juara. Tapi bagian dari proses pendewasaan. Tiga bulan terakhir beberapa kompetisi kuikuti dan beberapa diantaranya berbuah apresiasi;

1. Termasuk dalam 12 puisi terbaik dalam Lomba Puisi Esai yang diadakan Jurnal Sajak dan Denny JA.
2. Juara Harapan 2 Lomba Karya Tulis PTPN X tentang wisata pabrik gula
3. Juara 2 Lomba Blog Oxfam Indonesia tentang Adaptasi Perubahan Iklim
4. Pemenang mingguan di kontes photo dan tulisan “Langkah Kecil Untuk Sesama” yang diadakan Indomaret-Panadol

Empat apresiasi itu tidak terlalu bermasalah dalam konteks spirit kepenulisanku, karena tema-temanya tidak bermuatan iklan sama sekali. Tapi ada resah karena tiga dari empat tulisan. aku menuliskan kisah-kisah tentang para sahabat-sahabatku. Apakah ini bukan bentuk eksploitasi ? Entah kenapa tanda tanya ini muncul. Meski dalam pembelaan yang paling naïf aku bisa saja berkata, kisah-kisah yang kutuliskan tentang sahabat sebenarnya adalah medium saja untuk menyampaikan pesan-pesan kepada dunia.

Tak lama dari apresiasi-apresiasi yang aku peroleh gairah (kalau tak mau disebut nafsu) untuk meraih apresiasi-apresiasi lainnya menjadi makin liar. Mulai aku ikut lomba blog yang bermuatan murni iklan. Salah satunya lomba blog tentang salah satu produk otomotif. Ah, entah mengapa tiba-tiba aku menjadi malu dengan kalimat Pram yang kukutip di awal tulisan ini.

Aku mulai sadar seorang penulis harus bisa menjadi egois dalam tulisannya. Hal itu yang aku lupa, aku mulai terlalu kompromistis dalam tulisan.

#MelawanLupa



Friday, March 15, 2013

“What a massive responsibility ! Being a moral creature” (Isaac Marion)
Kalimat itu memang tak muncul dalam Warm Bodies versi film, tapi kalimat itu ada dalam versi novelnya. Tapi kalau boleh menarik benang merah film besutan Jonathan Levine ini (yang juga sutradara The Wackness -2008), justru kalimat di ataslah yang menjiwai film.

Film yang berlatar sebuah fantasi kehidupan manusia di dunia yang karena sebuah wabah terbagi menjadi tiga golong besar; manusia, zombie dan tengkorak. Dunia berada dalam rantai konsumsi yang bersifat piramida bukan lagi lingkaran. Manusia berada di lokus terbawah, manusia dikonsumsi oleh zombie dan tengkorak bisa memakan manusia atau zombie. Itulah seting dalam film ini.

Abstrak dan absurd memang, tapi dibalik itu sebenarnya film ini sedang mempertontonkan fakta moral kemanusiaan dunia hari ini. R dan Julie dua tokoh utama dalam film adalah representasi dari kelompok mayat dan manusia.

Spesies manusia yang tersisa sedikit mempertahankan diri dari sernagan mayat dan tengkorak dengan melindungi diri dengan tembok tinggi yang tak akan sanggup dilintasi zombie dan tengkorak. Dalam sebuah misi mencari obat-obatan di wilayah yang dipenuhi zombie, Julie, kehilangan teman dan kekasihnya, yang terbunuh oleh zombie. Adalah R, salah satu zombie yang melumat hati dan otak sang kekasih Julie. Tapi entah mengapa R, berakhir menyelamatkan Julie dari kejaran zombie-zombie lainnya.

Film ini memang drama romantic biasa, tapi ada dimensi kemanusiaan yang tak bisa dibilang surut di dalamnya. Zombie-zombie yang oleh manusia dipersepsikan tak berperasaan, setengah mayat dan buas itu ternyata tak demikian. Kehalusan perasaan dan sentuhan penuh kasih Julie pada R, mengubah itu semua. Zombie menemukan kembali kemanusiaan mereka yang hilang. Sedang Manusia menemukan kembali jiwa mereka yang semula dikungkungi ketakutan.

Jalinan kasih R dan Julie yang ganjil ini, menjadi semacam pemantik kesadaran paling dalam dari dua entitas, manusia dan zombie.

Film ini memang bukan film yang mengharu biru, ada komedi, ada airmata dan ada juga aksi laganya. Tapi diluar itu, film ini semacam menampar kesadaran kemanusiaan kita. Karena sebenarnya selama ini manusia seperti kita terlalu sering berasumsi atas manusia lainnya. Menganggap kita lebih manusia dari yang lain, kita lebih suci dari yang lain atau lainnya. Kita melepas diri dari keterhubungan, kita melepas diri dari kesaling sepahaman. Kita memilih hidup dalam tempurung kepala masing-masing.

Teringat salah satu kalimat R “I just want to connect. Why can't I connect with people? I'm lost…” Begitulah sejatinya kemanusian kebanyakan kita hari ini, kita tersesat dalam kedirian kita. Kita hanya berputar-putar dalam keyakinan semua yang kita yakini. Kita menolak membuka diri dan memahami sudut pandang manusia lainnya. Kita lebih memilih bersama yang sekeyakinan, kita menolak bersama dengan yang berbeda.

“Warm Bodies” memang bukan film luar biasa, tapi istimewa bagi kita yang ingin melihat secara lebih jujur kadar kemanusiaan dunia hari ini.

Warm Bodies (2013)
Directed by Jonathan Levine
Produced by David Hoberman, Todd Lieberman Bruna Papandrea
Screenplay by Jonathan Levine Based on Warm Bodies Novel by Isaac Marion
Starring Nicholas Hoult, Teresa Palmer, Rob Corddry, Dave Franco, Analeigh Tipton
Cory Hardrict, John Malkovich
Music by Marco Beltrami, Buck Sanders
Cinematography Javier Aguirresarobe
Editing by Nancy Richardson
Studio Mandeville Films
Distributed by Summit Entertainment
Release date(s) : February 1, 2013



Thursday, March 14, 2013


SERI SNOWBALL TRAVELER (2)


Cibun, begitu nama kampung kecil yang mungkin namanya tak muncul dalam peta negeri. Tak banyak penghuni republik ini yang pernah mendengar nama itu, alih-alih mengunjunginya. Tapi tidak bagiku persinggahan di Cibun adalah bagian penting dari hidupku. Ada riak-riak kesadaran yang meluap manakala aku singgah disana.

Cibun sebenarnya nama grumbul yang merupakan bagian dari Desa Sunyalangu Kecamatan Karang Lewas, Kabupaten Banyumas. Grumbul sendiri adalah sebutan bagi satuan pemukiman warga yang biasanya tersendiri dan terpisah dari wilayah desa inti dan biasanya juga memiliki penduduk dalam jumlah yang tak besar.

Cibun sendiri berada tak jauh dari kaki Gunung Slamet, sungai Logawa melintasi wilayah ini. Air yang hulunya di Gunung Slamet itu bermuara di Laut Selatan Jawa, di Cilacap sana. Hanya butuh sekitar satu sampai dua jam perjalanan saja dari Purwokerto menuju Cibun.
***

Mimpi rakyat Cibun akan sebuah jambatanlah yang membuatku dan kawan-kawan ketika itu menambatkan hati di tempat sunyi ini. Tapi lebih dari sekedar mimpi akan jembatan, semangat dan kebersamaan dengan orang-orang disanalah yang membuat hatiku tertambat.

Cibun memang bukan destinasi wisata unggulan layaknya Baturraden di Utara Purwokerto atau Guci di daerah Tegal sana. Cibun hanyalah sesesap sepi di kaki Gunung Slamet. Tapi kalau anda seorang snowball backpacker, Cibun adalah tempat yang wajib disinggahi.

Sulit mencari tempat ini ? Tidak juga. Cukup saja katakan pada sopir angkot atau tukang ojek anda hendak ke Kedung Banteng. Sesampai di Kedung  Banteng anda bisa naik ojek atau mencari angkutan umum ke arah Semaya. Saranku gunakan ojek saja. Harga tinggal negosiasi, lima puluh ribu atau tujuh puluh ribu adalah angka yang  rasional.

Selanjutnya berhenti di Rabuk (tanya saja Dusun Rabuk). Dari Rabuk Tanya ke penduduk, mana jalan ke Cibun. Dulu kami selalu berjalan kaki dari Rabuk ke CIbun tak jauh, sekitar satu atau dua kilo saja. Tapi sejak jembatan dibangun anda bisa naik kendaraan roda dua sampai ke Cibun. Saran saya hindari kendaraan, nikmati perjalanan dengan berjalan kaki.


Sekitar sepuluh menit berjalan di suasana pegunungan yang sejuk, anda akan bertemu dengan jembatan gagah berwarna merah. Jembatan gantung inilah yang dulu jadi impian warga Cibun. Belasan tahun mereka memimpikan sebuah jembatan permanen, sebelum itu dibangun hanya sebuah jembatan bamboo yang rapuh ada disitu. Nek jawah giline keli…Kalau hujan jembatannya hanyut, begitu kata mereka.

Dari atas jembatan anda bisa melihat air sungai Logawa yang bergerak di sela-sela batuan besar. Sempatkan turun untuk sekedar merasakan sentuhan dingin air yang dibawa dari Gunung Slamet itu. Di sisi utara kita bisa menyaksikan Gunung Slamet yang berdiri tegak. Sungguh sebuah eksotika yang sulit didapati di tempat-tempat wisata umum yang banyak dikenal di Banyumas dan sekitarnya.

Untuk bermalam ada dua pilihan, bisa menginap di rumah-rumah warga atau kalau anda ingin yang lebih natural, bisa berkemah di areal hutan pinus yang tak jauh dari permukiman mereka. Jika pilihan pertama yang anda ambil. Carilah Pak Ngabidin, Kang Aris atau Pak Riswandi. Biasanya kediaman mereka bisa ditempati. Soal makan jangan khawatir, masakan khas Cibun sangat luar biasa. Tumis pakis dengaan ikan goreng nila atau Gurame biasanya selalu ada.

Cibun sendiri oleh kebanyakan orang luar disebut sebagai perkampungan para pelarian deki (sebutan untuk para pengikut DI/TII), label yang melekat itu masih bertahan hingga kini. Jika anda berminat pada nuansa sejarah dan budaya, anda bisa berbincang dengan Pak Suhaeri atau Pak Yanto (sesepuh desa –jika masih ada). Bagiku Cibun menyimpan magis tersendiri.

Pagi kala kabut masih menutupi cakrawala, maka Cibun seperti sebuah perkampungan di atas kabut. Posisinya yang tinggi membuat suasana terasa hening dan bening. Siang bisa anda habiskan waktu dengan berjalan di hutan pinus atau sekedar mencari pakis. Atau kalau tertarik anda bisa berjalan ke sebuah bukit (saya lupa namanya) dimana sebuah kuburan tua ada disana. Kalau saya lebih melihat pesona kota-kota dari kejauhan. Dari bukit itu dengan leluasa kita bisa memandang Purwokerto.



Bermain bola bersama anak-anak di lapangan hutan pinus bisa jadi cara juga menikmati Cibun. Cericit burung dan semilir angin akan menjadi teman di hutan pinus. Mandi di anak-anak sungai juga hal yang sangat menyenangkan. Dulu kami jarang sekali membawa air minum jika berjalan-jalan disini. Air yang mengalir biasanya langsung kami konsumsi. Sejuk dan menyegarkan rasanya.

Kala senja datang dan cahaya langit mulai menguning, suara ayat-ayat Tuhan yang berkumandang dari pelantang mushollah akan menjadi orchestra yang menenangkan. Tak lama kemudian suara adzan akan menjalari Cibun.

***

Akomodasi wisata di Cibun memang tak ada apa-apanya disbanding Baturaden atau yang sejenis. Tapi bagi snowball traveler justru inilah kenikmatan yang tak ternilai. Menyaksikan sudut-sudut nusantara dari sisi yang paling apa adanya.

Pada akhirnya petualangan sejati adalah perjalanan menemukan jatidiri bukan sekedar memuaskan hasrat atau fantasi. Cibun adalah sebuah destinasi yang layak menjadi opsi bagi kita yang menjadikan petualangan sebagai ruang menemukan diri.

Salam snowball traveler !


Keterangan Foto

Foto (1) Jalan setapak menuju Cibun/huzer apriansyah
Foto (2) Jembatan gantung merah yang melewati Logawa menuju Cibun/huzer apriansyah
Foto (3) Jembatan bambu sebelum jembatan cibun dibangun/huzer apriansyah
Foto (4) Purwokerto nampak dari Cibun/huzer apriansyah


Jelang petang ibukota, cuaca masih terasa terik tapi angin kencang berhembus menghempas daun-daun. Seng-seng penanda lubang galian berderit dihempas angin. Irwanto berdiri di bawah jembatan penyeberangan, mencari solusi bagaimana menapaki trotoar yang berlubang disana-sini.

Bukan masalah besar bagi mereka yang memiliki kesempurnaan fisik untuk melewati trotoar berlubang dan tak rata di sekitaran Sudirman hingga ke Fatmawati ketika itu. Tapi tidak bagi Irwanto, sahabatku yang bermasalah dengan penglihatannya sejak lahir. Irwanto adalah juru pijat yang kesehariannya ia habiskan di Purwokerto. Tapi entah setahun atau dua tahun sekali ia ke ibukota untuk mengikuti kegiatan PERTUNI (Persatuan Tuna Netra Indonesia) atau sekedar memenuhi undangan sanak saudara.

Di Purwokerto ia kesulitan beraktivitas di jalan umum karena minimnya trotoar, sedangkan di Jakarta ada trotoar tapi berlubang dan tak rata, di banyak tempat malah trotoar telah berganti fungsi jadi kaki lima atau diserobot oleh pengendara roda dua. Ah, nasib pejalan kaki dengan disabilitas seperti Irwanto, tidak akan pernah mudah di ibukota.

Tongkat pemandu yang menjadi sahabat mengarungi ibukota tak sepenuhnya berfungsi di padat dan sesaknya trotoar. Irwanto dan penyandang disabilitas lainnya tersudut di keramaian ibukota, seolah tak diberi ruang untuk menikmati fasilitas publik yang dengan mudah dinikmati mereka yang sempurna secara fisik.

Mari kita perhatikan dengan seksama jalan dan trotoar ibukota di waktu-waktu tertentu, terutama menjelang akhir tahun dan menjelang musim penghujan, selalu dipenuhi galian. Entah itu galian kabel, galian untuk jalur air atau galian-galian lainnya. Tentu galian adalah hal yang tak terhindarkan dari sebuah kota, terutama galian kabel dan jalan. Namun masalahnya, bagaimana manajemen dan perlakuan terhadap galian yang dibuat kadang memprihatinkan dan melupakan aspek keselamatan pengguna jalan.


Kalaupun dibuat standar pengamanan, kebanyakan standarnya melindungi mereka yang sempurna secara fisik. Tapi apakah pembuat galian sadar, kota tak hanya dihuni oleh mereka yang sempurna secara fisik, melainkan juga saudara-saudara kita dengan disabilitas. Manajemen lubang galian yang peka terhadap penyandang disabilitas tentu saja mutlak dilakukan di sebuah negeri yang jumlah penyandang disabilitasnya tak bisa disebut sedikit.

Mereka punya hak yang sama dengan yang lain dalam mengakses layanan publik termasuk jalan dan trotoarnya. Tak peduli itu musim hujan atau kemarau. Standar pengamanan lubang galian tak bisa lagi dibuat ala kadarnya. Jangan sampai manajemen lubang galian yang buruk menyebabkan malapetaka, baik bagi mereka dengan disabilitas atau masyarakat umum lainnya.

Keluh kesah kaum difabel di ibukota kerap sudah kita dengar, mulai dari angkutan umum yang tak ramah bagi mereka hingga akses terhadap fasilitas publik lainnya yang tak bersahabat. Maka mulai saat ini rasanya perlu kita mendorong sebuah kampanye besar bersama, guna mendorong hadirnya fasilitas-fasilitas publik yang ramah bagi penderita disabilitas seperti Irwanto. Ibukota atau sebutlah Indonesia bukan hanya milik mereka yang sempurna secara fisik tapi juga milik penyandang disabilitas.



Kolaborasi sinergis antar semua pihak menjadi mutlak dalam kampanye ini. Salah satu yang seharusnya kita dukung adalah apa yang dilakukan kartunet.com dan ASEAN Blogger community dengan dukungan XL Axiata. Kampanye bertajuk “Kartunet Kampanye Aksesibilitas Tanpa Batas” ini berusaha mendorong kesadaran kolektif bangsa agar lebih peduli dengan hak penyandang disabilitas dalam mengakse fasilitas publik yang ada di seluruh Indonesia.

Ke depan layaklah kita bermimpi, sosok seperti Irwanto tak perlu bersusah hati mengarungi ibukota, ia bisa berorganisasi dan beraktivitas layaknya kita semua. Layanan publik adalah hak bagi semua rakyat. Tak peduli bagaimana dan seperti apa mereka…


TULISAN INI ADALAH BAGIAN DARI PARTISIPASI DALAM KAMPANYE “KARTUNET KAMPANYE AKSESIBILITAS TANPA BATAS”

Foto Dalam Artikel adalah karya pribadi penulis/Huzer Apriansyah

Kontes Blogging Kartunet Kampanye Aksesibilitas tanpa Batas

Wednesday, March 13, 2013


SERI SNOWBALL TRAVELER  (1)

Medio 2002, aku mencoba menulis sebuah kisah panjang. Namun sayang kisah panjang yang sedianya diharap berujung novel itu tak pernah benar-benar selesai, sekitar seratusan halaman saja yang bisa rampung. Aku menulis seorang tokoh utama yang berasal dari Labuhan, sebuah daerah di seputaran Banten sana.

Tak tahu mengapa tiba-tiba inspirasi tentang Labuhan muncul begitu saja, mendengar nama tempat itu saja hampir tak pernah apalagi berkunjung kesana. Hanya sebaris paragrap yang kudapati di sebuah koran bekas kala itu. Koran itu mengisahkan tentang upacara selamatan laut yang digelar warga sebagai tanda syukur atas tangkapan yang mereka terima sepanjang tahun sembari berharap nasib baik kembali datang di tahun yang baru.

Kisah panjang tentang Labuhan itu pun menguap seiring waktu, jejak filenya saja entah dimana. Persis saat komputer tuaku rusak, kisah-kisah itu pun terbang menghilang. Selepas menyelesaikan kuliah di Purwokerto pada 2005, tak pernah lagi aku mengingat-ingat kisah panjang itu. Novel pertama pun gagal sudah.

Tapi entah mengapa, Labuhan serasa hidup dalam imajinasiku, tempat yang benar-benar serasa nyata dan seolah pernah kujumpai. Lalu lalang kapal nelayan dengan bendera warna warni, anak-anak yang berlari di pantai serta jalan-jalan kecil beraspal yang sunyi. Itulah yang tergambar dalam pikiranku. Labuhan, telah menjadi semacam file yang hadir di pikiranku. Aku tak sama sekali mengingat lagi kisah panjang yang kutulis, tapi aku mengenang Labuhan sebagai sebuah tempat yang serasa begitu dekat.

Waktu pun bergulir, asa dan perjalanan hidup membawaku pada banyak hal yang tak terbayang. Beberapa negeri sempat kusinggahi, sekali dua pernah ke Eropa, Sumatera pun kujelajahi, Jawa tuntas kujamah, hingga Sulawesi pun tak lepas kujejaki. Beberapa negara Asia sempat pula kusinggahi. Bayang-bayang Labuhan akhirnya menghilang. File yang dulu ada kian terbenam ke dalam, tertimpa file-file baru tentang negeri-negeri baru yang telah kusinggahi atau ingin kusinggahi.

Hanya ketika menatap laut, seberkas ‘kenangan’ tentang Labuhan mencuat kembali, selebihnya aku lupa.
***
Awal Januari 2012 lalu di tengah kepenatan hidup dan silih bergantinya masalah, kuputuskan melakukan perjalanan sendiri. Bukan ke tempat yang jauh, entah kemana tapi arahnya ke Merak. Tak lebih dari lima jam saja dari tempat ku bermukim ketika itu, Ciputat. Sebuah backpack mungil dengan sebuah kamera dan beberapa potong pakaian menjadi teman perjalanan itu.

Berangkat dengan kereta dari stasiun Jurang Mangu, ke arah Barat. Ini benar-benar perjalanan yang tak terlalu terencana mengalir begitu saja. Hanya satu dalam pikiranku, menuju stasiun terjauh, Merak. Tak ada kereta yang langsung ke Merak ketika itu, atau paling tidak setelah sejam menunggu hanya ada kereta ke Bintaro. Kuputuskan ikut saja.


Dari Bintaro aku menaiki kereta ke Merak, sebuah kereta ekonomi yang penuh sesak. Kugelar koran di pinggir pintu, lumayan bisa sambil jeprat jepret, pikirku. Kereta merah berwajah lusuh itu pun bergerak laju, kubidik obyek-obyek yang sebenarnya tak terlalu luar biasa; ada sawah, seorang gadis yang sibuk bertelpon di tengah sawah, petani dengan wajah-wajah lusuh.

Setelah sekitar empat jam perjalanan aku bingung kemana menuju, apakah berhenti di Stasiun Merak atau di Cilegon. Aku tak terlalu tahu, kuputuskan sampai ke ujung, Merak. Paling tidak aku bisa menatapi laut, pikirku.

Setiba di Merak, aku lebih bingung lagi, imajinaasiku tak seindah kenyataan. Merak begitu panas, debu menjalari jalanan. Tak ada pantai untuk sekedar menjamah pasir putih. Aku kembali ke stasiun, berharap ada kereta yang bisa kutumpangi ke arah sebaliknya, turn a way. Balik kanan, selamat tinggal, begitu rencanaku. Apa daya, kereta baru ada esok pagi.

Kutelusuri sisi jalan masuk ke pelabuhan, panas, berdebu dan tak teratur. Bus, truk dan mobil pribadi, silih berganti. Aku menyerah, bukan ini perjalanan yang kumaui.
Setelah duduk sejenak, terlintas Anyer. Ya Pantai Anyer akan menyenangkan pikirku. Kugegas langkah karena hari sudah mulai tinggi. Sedangkan jalan ke Anyer tak pula kutahu.

Usai tanya sana-sini, kini aku berada dalam sebuah angkutan umum menuju Anyer. Singkat cerita aku tiba di sebuah penginapan tua tak jauh dari pantai Anyer. Setelah dapat kamar seharga 100 atau 150 ribu itu, segera ganti pakaian dan menuju pantai.

Lunas rasanya lelah perjalanan tatkala kucumbui pasir putih dengan latar anak Gunung Krakatau yang Mahsyur itu. Gelombang Selat Sunda menghempas air ke bibir pantai, angin pun bertiup kencang. Sayangnya mendung datang, tak bisalah kusaksikan matahari terbenam di pantai rupawan ini. Musim Barat, begitu warga setempat memperingatkanku. Angin kencang, gelombang tinggi dan hujan menjadi. Begitu kata mereka.


Keesokan paginya cuaca tak kunjung bersahabat, jalan-jalan ke pantai bukan pilihan tepat. Kuubah rencana, sebuah air terjun di kawasan hutan lindung yang tak jauh dari penginapan kujadikan sasaran. Bersama seorang pemuda lokal aku menuju lokasi itu.

Ternyata tak lah bisa disebut dekat, paling tidak aku butuh waktu tiga jam untuk tiba di air terjun di taman wisata alam Carita tersebut. Untunglah mandi di air terjun itu bisa membasuh lelah perjalanan.

Petang jelang malam kuputuskan meninggalkan Carita, berjumpa dengan Orang Badui Dalam targetku selanjutnya. Sebenarnya aku bisa berangkat cepat dari Carita, tapi undangan makan siang oleh seorang sahabat baru, Thom, membuatku menunda rencana. Usai makan siang barulah kugegas langkah. Paling tidak malam itu aku bisa tiba Pandeglang pikirku. Perjalanan yang betul-betul meraba-raba dan tak terencana. Aku menyebut ini sebagai snowball backpacker. Backpacker yang menentukan tujuan berdasarkan informasi yang ditemukan di lapangan, bukan sesuatu yang terencana dengan matang.

Uang dikantong tak akan cukup untuk membiayai perjalanan, hanya dua lembar sepuluh ribuan dan selembar lima ribuan. Kuputuskan mampir ke Anjungan Tunai Mandiri di kota kecamatan terdekat. Selanjutnya aku mulai bingung bagaimana caranya bisa sampai ke Pandeglang.

Aden naik ojek saja dulu ke Labuhan, dari sana nanti banyak angkutan ke Pandeglang,” seorang ibu pedagang gorengan memberi solusi begitu. Tiba-tiba bergetar hatiku mendengar nama tempat itu disebutkan. Ah, bagaimana bisa tempat yang sekian lama dulu pernah kuakrabi dalam imajinasi, kini tinggal sejengkal jarak saja dari kakiku.

Akupun menjejak Labuhan, tempat yang selama ini hanya eksis dalam imajinasiku kini benar-benar menjadi begitu nyata. Namun, sayang bayang-bayang Labuhan di dalam imajinasiku jauh lebih eksotis dari apa yang kudapati di alam nyata.

Tak ada kapal-kapal nelayan dari kayu dengan bendera warna-warni, tak ada selamatan laut dan tak ada jalan-jalan kecil yang sunyi. Justru sebaliknya jalanan berlubang dengan aroma busuk dari parit yang tak terurus, orang-orang dengan langkah tergesa di pasar serta mobil omprengan yang berseliweran menawarkan tumpangan.

***

Eksotisme Labuhan yang hidup dalam imajinasiku memang luluh lantak diterjang realitas yang kutemukan, tapi sesaat aku menatap seorang bapak dengan kain sarung dan peci hitam berjalan ke arah Mushollah, kuikuti langkahnya. Kami berjamaah di ujung senja. Di penghujung doa aku berpikir, beginilah cara alam bekerja, tiap impian yang kita simpan dalam-dalam dan kita bawa sebagai harapan pada saatnya akan mewujud menjadi kenyataan. Alam mempunyai caranya sendiri menjadikan impian kita sebuah kenyataan. Bukankah dulu aku menyimpan asa menjejakkan langkah di Labuhan. Dan alam memberikan jalan…

Ah aku harus bergegas, jalan masih teramat panjang….
(Berlanjut pada kisah-kisah perjalanan lainnya)

Keterangan Foto :

(1) Kereta sejenis ini dan sepadat ini yang kugunakan ke Merak.
(2) Salah satu hasil jepretan selama di kereta. Ah, indahnya negeriku.
(3) Gunung Anak Krakatau dari Pantai Carita Anyer.
(4) Mandi Dulu di Air Terjun...

Foto 1,2,3 hasil karya penulis/huzer apriansya
Foto 4 hasil jepretan pemuda di carita (lupa namanya...)



Senyum merekah dari wajah anak-anak yang tengah asyik mencumbui  gelombang dan pantai, kapal-kapal kecil berbendera warna warni melintas pelan didorong angin. Ada keceriaan, ada kehangatan. Seorang ayah dan anak bersenda gurau, nenek dan cucu saling bertukar senyum, sebuah pemandangan yang tak mudah didapat di hari-hari berat ibukota.

Di sudut lain taman impian, dua anak yang duduk berdampingan di dalam kereta air, terpesona menatap boneka-boneka yang diukir sedemikian rupa dengan busana yang beraneka warna. Boneka-boneka itu mewakili identitas budaya- budaya nusantara. Tak hanya itu, banyak pula yang mewakili budaya dunia. Seorang anak yang kutaksir kurang dari sepuluh tahun setengah berbisik, “Kak, serasa lagi keliling dunia ya ?” Anak satu lagi merespon dengan menganggukkan kepala, tanda setuju. Di wahana rumah boneka kejadian itu kusaksikan.

Menepi ke sisi lain taman impian, aku menyaksikan pentas pertunjukkan yang memadukan teknologi laser dan seni teater. Lagi-lagi penonton terkesima, nilai cerita yang sederhana tapi sarat makna disertai tata artistik yang luar biasa, membuat gerimis tak sanggup meredupkan semangat anak-anak yang menyaksikan, termasuk aku.


Kejadian-kejadian itu kurekam medio Januari tahun lalu di Taman Impian Jaya Ancol. Kalaulah boleh meminjam makna sekolah dalam pengertian sejatinya yang berarti waktu luang, maka saat itu aku serasa tengah menyaksikan anak-anak bersekolah. Bukan dalam bentuk klasiknya; berseragam, di gedung sekolah dengan bangku-bangku yang berderet kaku, melainkan dalam bentuk azali; keceriaan, kebebasan dan kesenangan. Bukankah begitulah seharusnya pendidikan ?

Dalam konsepsi paling klasik tentang pendidikan, kita mengenal kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan terbaik adalah yang bisa memberi ruang tumbuh bagi ketiga kemampuan dasar itu. Di taman impian ini, setiap anak bahkan orang dewasa mendapat ruang untuk itu. Prihal kognitif tentulah tak perlu dijelaskan panjang lagi, sebagian besar wahana menawarkan ini. Sebut saja rumah boneka dengan beragam identitas budaya nusantara dan dunia, akuarium raksasa (Sea World) yang menawarkan pengetahuan tentang dunia laut dan habitat di dalamnya, juga tentang sungai dan spesies di dalamnya. Ada juga wahana ‘rumah miring’ yang mengajarkan konsep ruang dan derajat kemiringan serta beragam wahana lainnya.

Prihal afeksi, kita bisa menjumpainya di pasar seni, lukisan yang terpajang dan benda seni lainnya menjadi semacam labirin bagi kita mengasah rasa, pementasan teater berbalut teknologi atau drama-drama musikal menjadi wahana yang bisa menyuburkan kepekaan kita. Pada bentuk yang paling alamiah, menikmati hembusan angin di pantai karnaval sembari menyaksikan kapal-kapal kayu merapati dermaga adalah pengalaman batin yang mencerahkan. Anak-anak kita hari ini membutuhkan hal-hal semacam itu.

Kalau bicara psikomotorik, tentu saja tak usah diragukan lagi. Banyak wahana yang memberikan kesempatan pada kita melatih olah fisik kita. Mulai dari yang sederhana sekedar berlari kecil di taman-taman berkolam, atau mengadu nyali di wahana halilintar dan hysteria.

Lengkap apa yang ditawarkan taman impian. Pendidikan tiba-tiba saja menjadi sesuatu yang asyik dan membahagiakan, jauh dari kesan kaku dan beku. Pendidikan formal membutuhkan model belajar a la taman impian untuk mendukung proses belajar formal. Apa yang terekam di memori anak-anak akan berbekas dalam, apalagi metode menyampaikan pengetahuan itu didapat dari pengalaman yang menyenangkan.

***

Beratus-ratus kilometer nan jauh dari taman impian, di sebuah sekolah dengan atap yang rapuh, seorang guru tengah berdiri kaku sembari memegang buku ajar dan membacakan materi dengan tak berselera. Hari itu materi tentang pakaian dan rumah adat nusantara. Sebagian anak saling menyepakkan kaki di bawah meja, sebagian lagi nampak murung bahkan mengantuk. Kejadian itu kurekam di ingatan saat SD di Palembang dulu.

Apa yang terekam di ingatanku saat menyaksikan dua anak di kereta air di wahana rumah boneka dan rekaman tentang pelajarah IPS di SD dulu, sungguh berbeda dan bertolak belakang. Realitas pertama menampilkan wajah pucat masai dari cara belajar klasik yang cenderung menjadi beban masa kanak-kanak, karena anak dijauhkan dari kesenangan dan keceriaan. Sedangkan realitas kedua, keceriaan dan rasa ingin tahu dipompa secara alamiah melalui kedekatan dengan obyek pembelajaran. Ada intimitas dan ada ketertarikan, disanalah muasal keceriaan dalam belajar.

Pada titik inilah ruang hiburan sekaligus sarana belajar seperti taman impian ancol memiliki peran penting. Mengubah wajah belajar yang kaku dan beku menjadi ceria dan menyenangkan.



Keterangan Foto :  (1) Keceriaan anak-anak di pantai karnaval (2) Salah satu sisi rumah boneka (3) Pementasan teater dan laser (4) Wahana Hysteria (5) Ikon Ancol di dekat pintu depan
Semua Foto Karya Penulis/huzer apriansyah







Indonesia adalah negeri mimpi kala terjaga, begitu Lawrence Blair penulis Ring of Fire (Edisi terjemahan 2012 : 1) melukiskan negeri kita. Sebuah perpaduan keindahan, misteri dan keragaman, begitu ia menulis. Lain Blair lain pula Arysio Santos, Profesor asal Brazil  menganalisis bahwa Benua Atlantis yang hilang adalah nusantara hari ini, disinilah kedamaian, harmoni dan kesejahteraan dulunya bertahta.
Tapi dimanakah posisi negeri kita dalam percaturan dunia hari ini ? Lantaskah Gangnam Style membenamkan identitas kebangsaan kita ? Masihkah pancasila  bermakna bagi kehidupan kita ?

Ataukah kisah kejayaan Sriwijaya, keemasan Samudera Pasai atau juga Majapahit benar-benar telah menjadi nostalgia dan tak bisa kita rengkuh lagi pencapaian itu. Sudikah kita menjadi sekedar penonton dari  kompetisi global masyarakat dunia dalam berbagai dimensi ? Jika jawabannya tidak, maka tak ada pilihan lain, kita harus mengumpulkan kembali keping-keping ke-Indonesia-an kita yang terserak oleh beragam problematika.

Kita Mulai Dari yang Ketiga

Kala itu bulan kelima di awal 2009. Terik menyengat pesisir Barat Aceh, angin yang berhembus pelan tak sanggup mengusir hangatnya suasana. Bendera merah menyala dengan garis hitam putih di sisi atas dan bawah serta tulisan “Aceh” di tengah berkibar-kibar di ujung perahu nelayan. Sementara itu Pak Wahab, masih sibuk menyemai bakau di tepian tambaknya.

Pak Wahab, sosok berwajah keras, senyum jarang sekali terlempar darinya. Tapi keras wajahnya bukan representasi hatinya. Ia mantan kombatan (pejuang) GAM (Gerakan Aceh Merdeka), kurir senjata yang tangguh, pembawa informasi yang setia dan pengawal panglima yang disegani. Itulah Pak Wahab. Tak ada “Indonesia” dalam pikirannya dulu. Tapi waktu berlalu, gejolak Aceh telah menjadi sejarah. Aceh adalah Indonesia, begitu kata Pak Wahab satu ketika. Tak ada gunanya lagi mengangkat senjata, karena pada akhirnya hanya berujung derita.

Dalam sebuah kesadaran baru akan makna harmoni dan semangat persatuan, Pak Wahab banting haluan, kini ia menyemai bakau di pesisir Aceh yang dulu diterjang tsunami. Ia mananam bakau atau cemara laut, bukan untuknya tapi untuk anak cucu kelak. Menanam kayu sebatang, bermanfaat sejuta zaman, begitu kata Pak Wahab.

Pak Wahab adalah cerminan riil dari kesadaran anak negeri akan persatuan, kesadaran yang tidak hadir begitu saja melainkan melalui proses panjang sejarah. Ia menemukan persatuan Indonesia dengan cara yang tak mudah. Dengan mata kepala sendiri pula ia menyaksikan negeri ini bersatu, bahu membahu menghadapi ujian berat bernama tsunami di penghujung 2004.

Sila ketiga Persatuan Indonesia seolah mendapat pemaknaan baru manakala orang-orang seperti Pak Wahab yang dulu bergolak melawan republik kini menjadi bagian yang ikut memperjuangkan persatuan. Republik ini membutuhkan beribu bahkan berjuta kesadaran yang sama seperti yang dimiliki Pak Wahab, agar benih disintegrasi tak tumbuh dan mengkerdilkan bangsa. Kalaulah berbeda pendapat itu baik saja, tapi tak harus berdarah-darah.

Ben Anderson menyebut negeri kita sebagai imagine country, karena dibangun atas kemajemukan yang luar biasa dahsyat hingga hampir-hampir Indonesia itu hanya imajinasi semata, karena tak ada hal yang benar-benar krusial yang bisa menyatukan keragaman yang ekstrim selain sejarah sebagai bangsa terjajah. Pantas saja jika di kemudian hari benih perpecahan selalu saja mengintai, Aceh dan Papua setelah sebelumnya Timor Timur adalah bukti shahih dari betapa ancaman disintegrasi itu sesuatu yang nyata.

Maka disinilah kunci negeri kita dalam percaturan global, persatuan Indonesia. Keunikan bangsa kita terletak dalam keragaman, pluralitas yang bermuara pada persatuan dan kesatuan bangsa. Jika ini tercabik maka luluh lantaklah identitas kebangsaan kita. Cerita Pak Wahab dari Aceh semoga bisa membawa makna, bahwa negeri ini masih solid sebagai sebuah bangsa yang plural.

…Kemudian yang Kelima

Dunia hari ini adalah dunia yang berpacu dalam perang modal, eksplotasi sumber daya alam yang melupakan keadilan atas sesama manusia dan alam, tak penting lagi keadilan selama keuntungan bisa diraih dengan sebesar-besarnya. Siapa yang kuat dia yang dapat, siapa yang lemah maka ia akan kalah, begitulah pameo yang berlaku dalam tata ekonomi dunia.

Indonesia memiliki sila kelima, Kesejahteraan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Sayang seribu sayang, sila ini berserak dan terlupa ditumpukan kontrak karya dengan korporasi global, atau terselip di tumpukan surat saham lembaga-lembaga keuangan global. Ekonomi berbasis sumber daya alam yang menjadi titik tumpu pembangunan ekonomi kita telah menunjukkan kerapuhannya.

Daya dukung ekologi kita menurun dan keadilan sosial masih menjadi mimpi yang tak terbeli. Selayaknya negara (baca pemerintah) menakar kembali seberapa besar prinsip sila kelima ini telah terlaksana dalam kebijakan politik dan ekonomi kita hari ini. Ketidakadilan sosial dan ekonomi akan bermuara pada potensi disintegrasi, Papua dan Aceh adalah bukti paling nyata atas hal ini. Jika negeri kita ingin bertahan, maka segala usaha ekonomi bangsa harus bermuara pada sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, seperti amanah UUD 1945 pasal 33 ayat 3.

…Lalu yang Kedua

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah pondasi negeri ini.  Prinsip-prinsip kemanusiaan adalah instrumen kunci dalam semua aktivitas kita sebagai bangsa. Prinsip kemanusiaan yang berkeadilan inilah yang bisa menjadi penyemangat kebersamaan kita yang begitu beragam ini.

Prinsip kemanusian sejatinya menapikkan perbedaan demi hal-hal yang luhur. Kemanusiaan sejatinya tak mengenal batas-batas agama, ras dan suku-suku. Karena semangat kemanusiaan melampaui batas-batas primordial tersebut.

Sekali lagi inilah modal besar kita sebagai bangsa, meski beragam tapi nilai kemanusiaan tetaplah salah satu yang terdepan. Hal ini membedakan bangsa kita dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

…Selanjutnya yang Keempat

Demokrasi telah menjadi arus besar sejarah dunia. Nilai-nilainya dijunjung tinggi hingga seolah tak terbantahkan. Tapi benarkah demokrasi sesempurna itu ? Rasanya tidak juga. Praktik demokrasi hari ini adalah praktik demokrasi liberal, yang jika salah dipahami bisa bermakna siapa yang kuat dan bermodal dialah yang menentukan suara rakyat. Mengapa demikian ? Demokrasi liberal tak ubahnya pasar bebas, penawar tertinggi dialah yang berkuasa. Suara rakyat menjadi komoditas dan pembelinya adalah mereka yang berpunya dan berkuasa.

Gejala demokrasi yang terlalu liberal telah membuat demokrasi terdegradasi hanya sebatas pemilihan umum. Krisis demokrasi begitu para ahli menyebut fase ini. Sesungguhnya para founding fathers bangsa ini telah mengantisipasi kemungkinan buruk demokrasi dengan menjadikan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan  dan Perwakilan sebagai pondasi. Inilah konsepsi demokrasi yang khas bangsa kita. Bahwa segala sesuatu tak melulu one man one vote, ada musyawarah untuk mufakat disitu. Karakter ini bisa menjadi pembeda kehidupan politik bangsa kita di tengah dunia yang semakin liar dalam berdemokrasi.

....Pada Akhirnya yang Pertama

Dunia yang bergerak makin materialistis dan di tengah budaya hedonis yang menggejala, sebagai bangsa kita seharusnya masih bisa berbeda, dan dengan bangga mengaku sebagai Indonesia. Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa” sejatinya semacam simpul yang mengikat negeri kita dalam sebuah keyakinan pada Tuhanlah kita bermula dan padaNya pula kita kembali.

Pengakuan atas prinsip ketuhanan ini memberi kekuatan pada bangsa ini untuk percaya pada kekuatan sendiri, karena pada akhirnya segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan. Inilah sisi paling “magis” dari pancasila. Karena rasionalitas yang kokoh di empat sila ditemali dalam sebuah kekokohan keyakinan berlandaskan ketuhanan. Lengkap sudah, itulah yang membuat negeri ini bisa berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

***

Bisa jadi bangsa Korea Selatan berbangga diri dengan Gangnam Style yang mendunia atau Samsung milik mereka yang merajai teknologi dunia, Amerika bisa bertepuk dada dengan demokrasi mereka atau karena penguasaan ekonomi dunia. Negara di Timur Tengah bisa bergaya karena punya cadangan minyak terbesar di dunia, Inggris bisa merasa hebat karena sejarah kejayaan mereka. Brazil bisa bahagia dengan tim sepakbola mereka yang luar biasa atau Afrika Selatan bisa bertepuk tangan karena Nelson Mandela telah menjadi pahlawan dunia. Disini, di sebuah negara kepulauan yang kaya, kita bisa berbangga, karena kita masih punya pancasila. Prinsip hidup berbangsa yang lahir melalui perjalanan panjang sejarah bangsa, bukan hanya sepuluh atau dua puluh tahun sebelum merdeka, bahkan jauh dari itu, ia telah lahir ketika nusantara masih berupa kerajaan-kerajaan. Ini adalah intisari sejarah nusantara , begitu kata Sukarno. Akhirnya, mari kita rajut kembali kepingan pancasila untuk Indonesia yang bermartabat.

Sebagai penutup layaklah quote dari Gunawan Muhammad menjadi permenungan kita,..sebab mencintai tanah air, nak, adalah merasa jadi bagian dari sebuah negeri, merasa terpaut dengan sebuah komunitas, merasa bahwa diri, identitas, nasib, terajut rapat, dengan sesuatu yang disebut Indonesia, atau Jepang, atau Amerika. Mencintai sebuah tanah air adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa lain, selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja dan terutama untuk mati..(Caping 4 : 80)



Keterangan foto :
Foto Pertama, Merah Putih/Huzer Apriansyah
Ilustrasi Burung Garuda/Manteb.com



Popular Posts