Senyum merekah dari wajah anak-anak yang tengah asyik mencumbui gelombang dan pantai, kapal-kapal kecil
berbendera warna warni melintas pelan didorong angin. Ada keceriaan, ada
kehangatan. Seorang ayah dan anak bersenda gurau, nenek dan cucu saling
bertukar senyum, sebuah pemandangan yang tak mudah didapat di hari-hari berat
ibukota.
Di sudut lain taman impian, dua anak yang duduk
berdampingan di dalam kereta air, terpesona menatap boneka-boneka yang diukir
sedemikian rupa dengan busana yang beraneka warna. Boneka-boneka itu mewakili
identitas budaya- budaya nusantara. Tak hanya itu, banyak pula yang mewakili budaya dunia.
Seorang anak yang kutaksir kurang dari sepuluh tahun setengah berbisik, “Kak, serasa lagi keliling dunia ya ?” Anak
satu lagi merespon dengan menganggukkan kepala, tanda setuju. Di wahana rumah
boneka kejadian itu kusaksikan.
Menepi ke sisi lain taman impian, aku menyaksikan pentas
pertunjukkan yang memadukan teknologi laser dan seni teater. Lagi-lagi penonton
terkesima, nilai cerita yang sederhana tapi sarat makna disertai tata artistik
yang luar biasa, membuat gerimis tak sanggup meredupkan semangat anak-anak yang
menyaksikan, termasuk aku.
Kejadian-kejadian itu kurekam medio Januari tahun lalu
di Taman Impian Jaya Ancol. Kalaulah boleh meminjam makna sekolah dalam pengertian
sejatinya yang berarti waktu luang, maka saat itu aku serasa tengah menyaksikan
anak-anak bersekolah. Bukan dalam bentuk klasiknya; berseragam, di gedung
sekolah dengan bangku-bangku yang berderet kaku, melainkan dalam bentuk azali;
keceriaan, kebebasan dan kesenangan. Bukankah begitulah seharusnya pendidikan ?
Dalam konsepsi paling klasik tentang pendidikan, kita
mengenal kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan terbaik
adalah yang bisa memberi ruang tumbuh bagi ketiga kemampuan dasar itu. Di taman
impian ini, setiap anak bahkan orang dewasa mendapat ruang untuk itu. Prihal
kognitif tentulah tak perlu dijelaskan panjang lagi, sebagian besar wahana
menawarkan ini. Sebut saja rumah boneka dengan beragam identitas budaya
nusantara dan dunia, akuarium raksasa (Sea
World) yang menawarkan pengetahuan tentang dunia laut dan habitat di
dalamnya, juga tentang sungai dan spesies di dalamnya. Ada juga wahana ‘rumah
miring’ yang mengajarkan konsep ruang dan derajat kemiringan serta beragam
wahana lainnya.
Prihal afeksi, kita bisa menjumpainya di pasar seni,
lukisan yang terpajang dan benda seni lainnya menjadi semacam labirin bagi kita
mengasah rasa, pementasan teater berbalut teknologi atau drama-drama musikal
menjadi wahana yang bisa menyuburkan kepekaan kita. Pada bentuk yang paling
alamiah, menikmati hembusan angin di pantai karnaval sembari menyaksikan
kapal-kapal kayu merapati dermaga adalah pengalaman batin yang mencerahkan.
Anak-anak kita hari ini membutuhkan hal-hal semacam itu.
Kalau bicara psikomotorik, tentu saja tak usah
diragukan lagi. Banyak wahana yang memberikan kesempatan pada kita melatih olah
fisik kita. Mulai dari yang sederhana sekedar berlari kecil di taman-taman
berkolam, atau mengadu nyali di wahana halilintar dan hysteria.
Lengkap apa yang ditawarkan taman impian. Pendidikan
tiba-tiba saja menjadi sesuatu yang asyik dan membahagiakan, jauh dari kesan
kaku dan beku. Pendidikan formal membutuhkan model belajar a la taman impian untuk mendukung proses belajar formal. Apa yang
terekam di memori anak-anak akan berbekas dalam, apalagi metode menyampaikan
pengetahuan itu didapat dari pengalaman yang menyenangkan.
***
Beratus-ratus kilometer nan jauh dari taman impian, di
sebuah sekolah dengan atap yang rapuh, seorang guru tengah berdiri kaku sembari
memegang buku ajar dan membacakan materi dengan tak berselera. Hari itu materi tentang
pakaian dan rumah adat nusantara. Sebagian anak saling menyepakkan kaki di
bawah meja, sebagian lagi nampak murung bahkan mengantuk. Kejadian itu kurekam di
ingatan saat SD di Palembang dulu.
Apa yang terekam di ingatanku saat menyaksikan dua
anak di kereta air di wahana rumah boneka dan rekaman tentang pelajarah IPS di
SD dulu, sungguh berbeda dan bertolak belakang. Realitas pertama menampilkan
wajah pucat masai dari cara belajar klasik yang cenderung menjadi beban masa
kanak-kanak, karena anak dijauhkan dari kesenangan dan keceriaan. Sedangkan
realitas kedua, keceriaan dan rasa ingin tahu dipompa secara alamiah melalui
kedekatan dengan obyek pembelajaran. Ada intimitas dan ada ketertarikan,
disanalah muasal keceriaan dalam belajar.
Pada titik inilah ruang hiburan sekaligus sarana belajar seperti taman impian ancol memiliki peran penting. Mengubah wajah belajar yang kaku dan beku menjadi ceria dan menyenangkan.
Keterangan Foto : (1) Keceriaan anak-anak di pantai karnaval (2) Salah satu sisi rumah boneka (3)
Pementasan teater dan laser (4) Wahana Hysteria (5) Ikon Ancol di dekat pintu depan
Semua Foto Karya Penulis/huzer apriansyah
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.