Indonesia
adalah negeri mimpi kala terjaga, begitu Lawrence Blair
penulis Ring of Fire (Edisi terjemahan 2012 : 1) melukiskan negeri kita. Sebuah
perpaduan keindahan, misteri dan keragaman, begitu ia menulis. Lain Blair lain
pula Arysio Santos, Profesor asal Brazil
menganalisis bahwa Benua Atlantis yang hilang adalah nusantara hari ini,
disinilah kedamaian, harmoni dan kesejahteraan dulunya bertahta.
Tapi dimanakah posisi
negeri kita dalam percaturan dunia hari ini ? Lantaskah Gangnam Style membenamkan identitas
kebangsaan kita ? Masihkah pancasila
bermakna bagi kehidupan kita ?
Ataukah kisah kejayaan Sriwijaya, keemasan Samudera
Pasai atau juga Majapahit benar-benar telah menjadi nostalgia dan tak bisa kita
rengkuh lagi pencapaian itu. Sudikah kita menjadi sekedar penonton dari kompetisi global masyarakat dunia dalam berbagai dimensi ? Jika jawabannya
tidak, maka tak ada pilihan lain, kita harus mengumpulkan kembali keping-keping
ke-Indonesia-an kita yang terserak oleh beragam problematika.
Kita Mulai Dari yang Ketiga
Kala itu bulan kelima di awal 2009. Terik menyengat
pesisir Barat Aceh, angin yang berhembus pelan tak sanggup mengusir hangatnya
suasana. Bendera merah menyala dengan garis hitam putih di sisi atas dan bawah
serta tulisan “Aceh” di tengah berkibar-kibar di ujung perahu nelayan.
Sementara itu Pak Wahab, masih sibuk menyemai bakau di tepian tambaknya.
Pak Wahab, sosok berwajah keras, senyum jarang sekali
terlempar darinya. Tapi keras wajahnya bukan representasi hatinya. Ia mantan kombatan (pejuang) GAM (Gerakan Aceh Merdeka),
kurir senjata yang tangguh, pembawa informasi yang setia dan pengawal panglima
yang disegani. Itulah Pak Wahab. Tak ada “Indonesia” dalam pikirannya dulu.
Tapi waktu berlalu, gejolak Aceh telah menjadi sejarah. Aceh adalah Indonesia,
begitu kata Pak Wahab satu ketika. Tak ada gunanya lagi mengangkat senjata,
karena pada akhirnya hanya berujung derita.
Dalam sebuah kesadaran baru akan makna harmoni dan
semangat persatuan, Pak Wahab banting haluan, kini ia menyemai bakau di pesisir
Aceh yang dulu diterjang tsunami. Ia mananam bakau atau cemara laut, bukan
untuknya tapi untuk anak cucu kelak. Menanam
kayu sebatang, bermanfaat sejuta zaman, begitu kata Pak Wahab.
Pak Wahab adalah cerminan riil dari kesadaran anak
negeri akan persatuan, kesadaran yang tidak hadir begitu saja melainkan melalui
proses panjang sejarah. Ia menemukan persatuan Indonesia dengan cara yang tak mudah.
Dengan mata kepala sendiri pula ia menyaksikan negeri ini bersatu, bahu membahu
menghadapi ujian berat bernama tsunami di penghujung 2004.
Sila ketiga “Persatuan Indonesia” seolah mendapat
pemaknaan baru manakala orang-orang seperti Pak Wahab yang dulu bergolak
melawan republik kini menjadi bagian yang ikut memperjuangkan persatuan.
Republik ini membutuhkan beribu bahkan berjuta kesadaran yang sama seperti yang
dimiliki Pak Wahab, agar benih disintegrasi tak tumbuh dan mengkerdilkan bangsa.
Kalaulah berbeda pendapat itu baik saja, tapi tak harus berdarah-darah.
Ben Anderson menyebut negeri kita sebagai imagine country, karena dibangun atas
kemajemukan yang luar biasa dahsyat hingga hampir-hampir Indonesia itu hanya
imajinasi semata, karena tak ada hal yang benar-benar krusial yang bisa
menyatukan keragaman yang ekstrim selain sejarah sebagai bangsa terjajah. Pantas
saja jika di kemudian hari benih perpecahan selalu saja mengintai, Aceh dan
Papua setelah sebelumnya Timor Timur adalah bukti shahih dari betapa ancaman
disintegrasi itu sesuatu yang nyata.
Maka disinilah kunci negeri kita dalam percaturan
global, persatuan Indonesia. Keunikan bangsa kita terletak dalam keragaman,
pluralitas yang bermuara pada persatuan dan kesatuan bangsa. Jika ini tercabik
maka luluh lantaklah identitas kebangsaan kita. Cerita Pak Wahab dari Aceh
semoga bisa membawa makna, bahwa negeri ini masih solid sebagai sebuah bangsa
yang plural.
…Kemudian yang Kelima
Dunia hari ini adalah dunia yang berpacu dalam perang
modal, eksplotasi sumber daya alam yang melupakan keadilan atas sesama manusia
dan alam, tak penting lagi keadilan selama keuntungan bisa diraih dengan
sebesar-besarnya. Siapa yang kuat dia yang dapat, siapa yang lemah maka ia akan
kalah, begitulah pameo yang berlaku dalam tata ekonomi dunia.
Indonesia memiliki sila kelima, “Kesejahteraan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.” Sayang seribu sayang, sila ini berserak dan terlupa
ditumpukan kontrak karya dengan korporasi global, atau terselip di tumpukan
surat saham lembaga-lembaga keuangan global. Ekonomi berbasis sumber daya alam
yang menjadi titik tumpu pembangunan ekonomi kita telah menunjukkan kerapuhannya.
Daya dukung ekologi kita menurun dan keadilan sosial
masih menjadi mimpi yang tak terbeli. Selayaknya negara (baca pemerintah)
menakar kembali seberapa besar prinsip sila kelima ini telah terlaksana dalam
kebijakan politik dan ekonomi kita hari ini. Ketidakadilan sosial dan ekonomi
akan bermuara pada potensi disintegrasi, Papua dan Aceh adalah bukti paling nyata
atas hal ini. Jika negeri kita ingin bertahan, maka segala usaha ekonomi bangsa
harus bermuara pada sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, seperti amanah UUD
1945 pasal 33 ayat 3.
…Lalu yang Kedua
“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
adalah pondasi negeri ini. Prinsip-prinsip
kemanusiaan adalah instrumen kunci dalam semua aktivitas kita sebagai bangsa. Prinsip
kemanusiaan yang berkeadilan inilah yang bisa menjadi penyemangat kebersamaan kita
yang begitu beragam ini.
Prinsip kemanusian sejatinya menapikkan perbedaan demi
hal-hal yang luhur. Kemanusiaan sejatinya tak mengenal batas-batas agama, ras
dan suku-suku. Karena semangat kemanusiaan melampaui batas-batas primordial
tersebut.
Sekali lagi inilah modal besar kita sebagai bangsa,
meski beragam tapi nilai kemanusiaan tetaplah salah satu yang terdepan. Hal ini
membedakan bangsa kita dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
…Selanjutnya yang Keempat
Demokrasi telah menjadi arus besar sejarah dunia.
Nilai-nilainya dijunjung tinggi hingga seolah tak terbantahkan. Tapi benarkah
demokrasi sesempurna itu ? Rasanya tidak juga. Praktik demokrasi hari ini
adalah praktik demokrasi liberal, yang jika salah dipahami bisa bermakna siapa
yang kuat dan bermodal dialah yang menentukan suara rakyat. Mengapa demikian ?
Demokrasi liberal tak ubahnya pasar bebas, penawar tertinggi dialah yang
berkuasa. Suara rakyat menjadi komoditas dan pembelinya adalah mereka yang
berpunya dan berkuasa.
Gejala demokrasi yang terlalu liberal telah membuat demokrasi
terdegradasi hanya sebatas pemilihan umum. Krisis demokrasi begitu para ahli
menyebut fase ini. Sesungguhnya para founding
fathers bangsa ini telah mengantisipasi kemungkinan buruk demokrasi dengan
menjadikan “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan dan Perwakilan”
sebagai pondasi. Inilah konsepsi demokrasi yang khas bangsa kita. Bahwa segala
sesuatu tak melulu one man one vote,
ada musyawarah untuk mufakat disitu. Karakter ini bisa menjadi pembeda
kehidupan politik bangsa kita di tengah dunia yang semakin liar dalam berdemokrasi.
....Pada Akhirnya yang Pertama
Dunia yang bergerak makin materialistis dan di tengah
budaya hedonis yang menggejala, sebagai bangsa kita seharusnya masih bisa
berbeda, dan dengan bangga mengaku sebagai Indonesia. Sila pertama “Ketuhanan
yang Maha Esa” sejatinya semacam simpul yang mengikat negeri kita dalam
sebuah keyakinan pada Tuhanlah kita bermula dan padaNya pula kita kembali.
Pengakuan atas prinsip ketuhanan ini memberi kekuatan
pada bangsa ini untuk percaya pada kekuatan sendiri, karena pada akhirnya
segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan. Inilah sisi paling “magis” dari pancasila. Karena rasionalitas yang kokoh di empat sila
ditemali dalam sebuah kekokohan keyakinan berlandaskan ketuhanan. Lengkap
sudah, itulah yang membuat negeri ini bisa berbeda dengan bangsa-bangsa lain di
dunia.
***
Bisa jadi bangsa Korea Selatan berbangga diri dengan Gangnam Style yang mendunia atau Samsung
milik mereka yang merajai teknologi dunia, Amerika bisa bertepuk dada dengan demokrasi
mereka atau karena penguasaan ekonomi dunia. Negara di Timur Tengah bisa
bergaya karena punya cadangan minyak terbesar di dunia, Inggris bisa merasa
hebat karena sejarah kejayaan mereka. Brazil bisa bahagia dengan tim sepakbola
mereka yang luar biasa atau Afrika Selatan bisa bertepuk tangan karena Nelson
Mandela telah menjadi pahlawan dunia. Disini, di sebuah negara kepulauan yang
kaya, kita bisa berbangga, karena kita masih punya pancasila. Prinsip hidup
berbangsa yang lahir melalui perjalanan panjang sejarah bangsa, bukan hanya
sepuluh atau dua puluh tahun sebelum merdeka, bahkan jauh dari itu, ia telah
lahir ketika nusantara masih berupa kerajaan-kerajaan. Ini adalah intisari
sejarah nusantara , begitu kata Sukarno. Akhirnya, mari kita
rajut kembali kepingan pancasila untuk Indonesia yang bermartabat.
Sebagai penutup layaklah quote dari Gunawan Muhammad menjadi permenungan kita,“..sebab mencintai tanah air, nak, adalah merasa
jadi bagian dari sebuah negeri, merasa terpaut dengan sebuah komunitas, merasa
bahwa diri, identitas, nasib, terajut rapat, dengan sesuatu yang disebut
Indonesia, atau Jepang, atau Amerika. Mencintai sebuah tanah air adalah
merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa lain,
selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk
hidup, bekerja dan terutama untuk mati..”(Caping 4 : 80)
Keterangan foto :
Foto Pertama, Merah Putih/Huzer Apriansyah
Ilustrasi Burung Garuda/Manteb.com
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.