Wednesday, March 13, 2013




Indonesia adalah negeri mimpi kala terjaga, begitu Lawrence Blair penulis Ring of Fire (Edisi terjemahan 2012 : 1) melukiskan negeri kita. Sebuah perpaduan keindahan, misteri dan keragaman, begitu ia menulis. Lain Blair lain pula Arysio Santos, Profesor asal Brazil  menganalisis bahwa Benua Atlantis yang hilang adalah nusantara hari ini, disinilah kedamaian, harmoni dan kesejahteraan dulunya bertahta.
Tapi dimanakah posisi negeri kita dalam percaturan dunia hari ini ? Lantaskah Gangnam Style membenamkan identitas kebangsaan kita ? Masihkah pancasila  bermakna bagi kehidupan kita ?

Ataukah kisah kejayaan Sriwijaya, keemasan Samudera Pasai atau juga Majapahit benar-benar telah menjadi nostalgia dan tak bisa kita rengkuh lagi pencapaian itu. Sudikah kita menjadi sekedar penonton dari  kompetisi global masyarakat dunia dalam berbagai dimensi ? Jika jawabannya tidak, maka tak ada pilihan lain, kita harus mengumpulkan kembali keping-keping ke-Indonesia-an kita yang terserak oleh beragam problematika.

Kita Mulai Dari yang Ketiga

Kala itu bulan kelima di awal 2009. Terik menyengat pesisir Barat Aceh, angin yang berhembus pelan tak sanggup mengusir hangatnya suasana. Bendera merah menyala dengan garis hitam putih di sisi atas dan bawah serta tulisan “Aceh” di tengah berkibar-kibar di ujung perahu nelayan. Sementara itu Pak Wahab, masih sibuk menyemai bakau di tepian tambaknya.

Pak Wahab, sosok berwajah keras, senyum jarang sekali terlempar darinya. Tapi keras wajahnya bukan representasi hatinya. Ia mantan kombatan (pejuang) GAM (Gerakan Aceh Merdeka), kurir senjata yang tangguh, pembawa informasi yang setia dan pengawal panglima yang disegani. Itulah Pak Wahab. Tak ada “Indonesia” dalam pikirannya dulu. Tapi waktu berlalu, gejolak Aceh telah menjadi sejarah. Aceh adalah Indonesia, begitu kata Pak Wahab satu ketika. Tak ada gunanya lagi mengangkat senjata, karena pada akhirnya hanya berujung derita.

Dalam sebuah kesadaran baru akan makna harmoni dan semangat persatuan, Pak Wahab banting haluan, kini ia menyemai bakau di pesisir Aceh yang dulu diterjang tsunami. Ia mananam bakau atau cemara laut, bukan untuknya tapi untuk anak cucu kelak. Menanam kayu sebatang, bermanfaat sejuta zaman, begitu kata Pak Wahab.

Pak Wahab adalah cerminan riil dari kesadaran anak negeri akan persatuan, kesadaran yang tidak hadir begitu saja melainkan melalui proses panjang sejarah. Ia menemukan persatuan Indonesia dengan cara yang tak mudah. Dengan mata kepala sendiri pula ia menyaksikan negeri ini bersatu, bahu membahu menghadapi ujian berat bernama tsunami di penghujung 2004.

Sila ketiga Persatuan Indonesia seolah mendapat pemaknaan baru manakala orang-orang seperti Pak Wahab yang dulu bergolak melawan republik kini menjadi bagian yang ikut memperjuangkan persatuan. Republik ini membutuhkan beribu bahkan berjuta kesadaran yang sama seperti yang dimiliki Pak Wahab, agar benih disintegrasi tak tumbuh dan mengkerdilkan bangsa. Kalaulah berbeda pendapat itu baik saja, tapi tak harus berdarah-darah.

Ben Anderson menyebut negeri kita sebagai imagine country, karena dibangun atas kemajemukan yang luar biasa dahsyat hingga hampir-hampir Indonesia itu hanya imajinasi semata, karena tak ada hal yang benar-benar krusial yang bisa menyatukan keragaman yang ekstrim selain sejarah sebagai bangsa terjajah. Pantas saja jika di kemudian hari benih perpecahan selalu saja mengintai, Aceh dan Papua setelah sebelumnya Timor Timur adalah bukti shahih dari betapa ancaman disintegrasi itu sesuatu yang nyata.

Maka disinilah kunci negeri kita dalam percaturan global, persatuan Indonesia. Keunikan bangsa kita terletak dalam keragaman, pluralitas yang bermuara pada persatuan dan kesatuan bangsa. Jika ini tercabik maka luluh lantaklah identitas kebangsaan kita. Cerita Pak Wahab dari Aceh semoga bisa membawa makna, bahwa negeri ini masih solid sebagai sebuah bangsa yang plural.

…Kemudian yang Kelima

Dunia hari ini adalah dunia yang berpacu dalam perang modal, eksplotasi sumber daya alam yang melupakan keadilan atas sesama manusia dan alam, tak penting lagi keadilan selama keuntungan bisa diraih dengan sebesar-besarnya. Siapa yang kuat dia yang dapat, siapa yang lemah maka ia akan kalah, begitulah pameo yang berlaku dalam tata ekonomi dunia.

Indonesia memiliki sila kelima, Kesejahteraan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Sayang seribu sayang, sila ini berserak dan terlupa ditumpukan kontrak karya dengan korporasi global, atau terselip di tumpukan surat saham lembaga-lembaga keuangan global. Ekonomi berbasis sumber daya alam yang menjadi titik tumpu pembangunan ekonomi kita telah menunjukkan kerapuhannya.

Daya dukung ekologi kita menurun dan keadilan sosial masih menjadi mimpi yang tak terbeli. Selayaknya negara (baca pemerintah) menakar kembali seberapa besar prinsip sila kelima ini telah terlaksana dalam kebijakan politik dan ekonomi kita hari ini. Ketidakadilan sosial dan ekonomi akan bermuara pada potensi disintegrasi, Papua dan Aceh adalah bukti paling nyata atas hal ini. Jika negeri kita ingin bertahan, maka segala usaha ekonomi bangsa harus bermuara pada sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, seperti amanah UUD 1945 pasal 33 ayat 3.

…Lalu yang Kedua

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah pondasi negeri ini.  Prinsip-prinsip kemanusiaan adalah instrumen kunci dalam semua aktivitas kita sebagai bangsa. Prinsip kemanusiaan yang berkeadilan inilah yang bisa menjadi penyemangat kebersamaan kita yang begitu beragam ini.

Prinsip kemanusian sejatinya menapikkan perbedaan demi hal-hal yang luhur. Kemanusiaan sejatinya tak mengenal batas-batas agama, ras dan suku-suku. Karena semangat kemanusiaan melampaui batas-batas primordial tersebut.

Sekali lagi inilah modal besar kita sebagai bangsa, meski beragam tapi nilai kemanusiaan tetaplah salah satu yang terdepan. Hal ini membedakan bangsa kita dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

…Selanjutnya yang Keempat

Demokrasi telah menjadi arus besar sejarah dunia. Nilai-nilainya dijunjung tinggi hingga seolah tak terbantahkan. Tapi benarkah demokrasi sesempurna itu ? Rasanya tidak juga. Praktik demokrasi hari ini adalah praktik demokrasi liberal, yang jika salah dipahami bisa bermakna siapa yang kuat dan bermodal dialah yang menentukan suara rakyat. Mengapa demikian ? Demokrasi liberal tak ubahnya pasar bebas, penawar tertinggi dialah yang berkuasa. Suara rakyat menjadi komoditas dan pembelinya adalah mereka yang berpunya dan berkuasa.

Gejala demokrasi yang terlalu liberal telah membuat demokrasi terdegradasi hanya sebatas pemilihan umum. Krisis demokrasi begitu para ahli menyebut fase ini. Sesungguhnya para founding fathers bangsa ini telah mengantisipasi kemungkinan buruk demokrasi dengan menjadikan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan  dan Perwakilan sebagai pondasi. Inilah konsepsi demokrasi yang khas bangsa kita. Bahwa segala sesuatu tak melulu one man one vote, ada musyawarah untuk mufakat disitu. Karakter ini bisa menjadi pembeda kehidupan politik bangsa kita di tengah dunia yang semakin liar dalam berdemokrasi.

....Pada Akhirnya yang Pertama

Dunia yang bergerak makin materialistis dan di tengah budaya hedonis yang menggejala, sebagai bangsa kita seharusnya masih bisa berbeda, dan dengan bangga mengaku sebagai Indonesia. Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa” sejatinya semacam simpul yang mengikat negeri kita dalam sebuah keyakinan pada Tuhanlah kita bermula dan padaNya pula kita kembali.

Pengakuan atas prinsip ketuhanan ini memberi kekuatan pada bangsa ini untuk percaya pada kekuatan sendiri, karena pada akhirnya segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan. Inilah sisi paling “magis” dari pancasila. Karena rasionalitas yang kokoh di empat sila ditemali dalam sebuah kekokohan keyakinan berlandaskan ketuhanan. Lengkap sudah, itulah yang membuat negeri ini bisa berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

***

Bisa jadi bangsa Korea Selatan berbangga diri dengan Gangnam Style yang mendunia atau Samsung milik mereka yang merajai teknologi dunia, Amerika bisa bertepuk dada dengan demokrasi mereka atau karena penguasaan ekonomi dunia. Negara di Timur Tengah bisa bergaya karena punya cadangan minyak terbesar di dunia, Inggris bisa merasa hebat karena sejarah kejayaan mereka. Brazil bisa bahagia dengan tim sepakbola mereka yang luar biasa atau Afrika Selatan bisa bertepuk tangan karena Nelson Mandela telah menjadi pahlawan dunia. Disini, di sebuah negara kepulauan yang kaya, kita bisa berbangga, karena kita masih punya pancasila. Prinsip hidup berbangsa yang lahir melalui perjalanan panjang sejarah bangsa, bukan hanya sepuluh atau dua puluh tahun sebelum merdeka, bahkan jauh dari itu, ia telah lahir ketika nusantara masih berupa kerajaan-kerajaan. Ini adalah intisari sejarah nusantara , begitu kata Sukarno. Akhirnya, mari kita rajut kembali kepingan pancasila untuk Indonesia yang bermartabat.

Sebagai penutup layaklah quote dari Gunawan Muhammad menjadi permenungan kita,..sebab mencintai tanah air, nak, adalah merasa jadi bagian dari sebuah negeri, merasa terpaut dengan sebuah komunitas, merasa bahwa diri, identitas, nasib, terajut rapat, dengan sesuatu yang disebut Indonesia, atau Jepang, atau Amerika. Mencintai sebuah tanah air adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa lain, selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja dan terutama untuk mati..(Caping 4 : 80)



Keterangan foto :
Foto Pertama, Merah Putih/Huzer Apriansyah
Ilustrasi Burung Garuda/Manteb.com



0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts