Tuesday, April 22, 2008


Ruang bermain adalah tempat dimana anak-anak tumbuh dan mengembangkan kecerdasan serta kepribadiannya. Disinilah anak-anak melakukan kontak dan interaksi dengan lingkungan sosial, yang akhirnya ikut membentuk karakter sang anak. (Pearce dalam Wilkinson 1980)

Jangan salahkan anak-anak, jika kini mereka tumbuh dan berkembang tak seindah harapan dan impian para orang tua. Jangan pula terkejut jika saat ini mereka melakukan “loncatan besar” dalam pola berekspresi. Lihatlah, ada siswa sekolah dasar yang mencoba mengkonsumsi obat terlarang, adapula anak yang menyiksa temannya a la smackdown atau ada anak-anak SMA yang memilih bertawuran ria ketimbang berangkat ke sekolah. Inilah konsekuensi dari berkurangnya ruang ekspresi bagi mereka.

Ruang bermain sebagai ruang ekspresi bagi anak-anak yang hidup di kota-kota besar kian menyempit, hak anak untuk bermainpun dilanggar atas nama kemajuan pembangunan. Sejatinya anak-anak memiliki energi yang besar untuk bermain, hingga ketika ruang bermain mereka dirampas mereka akan selalu mencari alternatif ruang bermain. Permasalahannya sehat dan baikkah alternatif yang mereka temukan itu ?

Konvensi Hukum Anak (KHA) menyebutkan empat hak anak; hak hidup, hak perlindungan, hak berpartisipasi dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Tersedianya ruang bermain bagi mereka adalah bentuk pemenuhan atas hak anak untuk tumbuh dan berkembang. Namun, sejauh ini perhatian kita atas hak anak dalam mendapatkan ruang bermain kerap terabaikan.

Cobalah sesekali melintasi kawasan lampu merah Grogol di atas pukul 12 malam, kalau cuaca cerah kita akan melihat anak-anak yang mengalihfungsikan lintasan busway sebagai ruang bermain. Hal serupa juga terjadi di banyak tempat, keinginan mereka untuk bermain telah melupakan mereka akan ancaman yang mungkin terjadi.

Tentu ancaman bagi anak-anak tidak hanya yang bersifat fisik tetapi yang jauh lebih parah adalah efek psikologis bagi anak. Bukankah kemungkinan anak-anak melakukan pembangkangan akan semakin besar tatkala hak-hak mereka dirampas. Kesempatan mereka untuk membangun kontak sosial dengan lingkungan juga akan berkurang. Jadi, jangan heran kalau kemudian mereka menjadi generasi yang sulit membangun empati, bahkan untuk sekedar menyadari bahwa mereka ada dan mengada bersama lingkungan saja menjadi sulit. Beramai-ramailah mereka membentuk gank-gank sebagai upaya memenuhi kebutuhan interaksi sosial mereka.

Bayangkan sebuah tanah lapang yang ditumbuhi rumput hijau dan dilindungi pepohonan rindang, anak-anak akan bisa bersenda gurau sembari bermain lompat tali atau main gobak sodor. Ada banyak hal positif yang bisa terbentuk dalam diri sang anak yang bermain didalamnya. Pelan tapi pasti mereka akan menganggap bahwa ruang bermain yang hijau itu adalah istana bagi mereka, lalu muncullah rasa memiliki dan keinginan untuk merawat. Dari sana mereka akan mulai belajar makna lingkungan alam yang baik bagi mereka.

Bermain di tempat yang baik juga akan membawa mereka pada sifat sportif, menghargai dan menghormati temannya, mau mengakui kekalahan dan tak pongah ketika mendapat kemenangan. Tapi kini hak mereka dirampas, ruang bermain taklah menjadi prioritas pembangunan yang cenderung berorientasi komersial semata. Anak-anak menjadi korban ketidakdewasaan orang-orang dewasa.

Kehilangan ruang bermain bukan sekedar perkara anak-anak tidak bisa bermain, tapi lebih dari itu ini masalah pembentukan karakter anak-anak. Tersumbatnya proses interaksi sosial dan aktualisasi diri akan berimplikasi buruk terhadap karakter mereka.

Maka, sudah saatnya kondisi ini mendapat perhatian dari semua pihak. Karena masa depan anak-anak adalah masa depan negeri ini. Angka populasi yang sangat tinggi di kota besar makin memperparah kondisi ini.

Pembangunan Pro Hak Anak
Sudah saatnya pembangunan yang pro terhadap hak anak dan juga pro pelestarian lingkungan dimulai. Pemerintah harus dengan ketat mengawasi pembangunan di kota-kota besar dan merancang master plan yang berorientasi pada hak-hak anak dan juga ramah lingkungan. Di sisi lain para orang tua harus dengan sungguh-sungguh memperjuangkan ruang bermain hijau bagi anak-anak mereka di lingkungan terkecil yaitu rukun tetangga.

Di tengah krisis lahan di kota-kota besar rasanya prioritas bagi ruang bermain anak masih berada di urutan kesekian. Tapi tentu kita tak ingin anak-anak Indonesia tumbuh dan berkembang hanya di mal-mal, generasi nongkrong yang relatif memiliki intuisi sosial yang lemah dan cenderung hedonis, inilah yang akan mewujud jika kita menafikkan arti penting ruang bermain bagi anak.

Melihat keceriaan anak-anak bermain, kita seolah melihat keceriaan masa depan negeri ini, tapi kini keceriaan itu banyak yang hilang. Untuk sekedar bermain mereka harus menunggu jalanan sepi, untuk bermain mereka harus memanjat tembok tinggi yang menutupi halaman sekolah yang biasanya jadi tempat bermain favorit, sedangkan di tanah-tanah kosong dijejali kendaran yang parkir, taman-taman bermain dipenuhi pedagang. Anak-anak kota besar tersisih, hak mereka tak dipenuhi. Sungguh ironis kondisi ini, di satu sisi kita berharap banyak pada mereka agar menjadi generasi yang cerdas dan berkualitas tapi disisi lain hak-hak mereka dirampas.

Menyikapi kondisi ini paling tidak tiga hal yang harus mulai dikerjakan bersama. Pertama, mendorong pemerintah membuat regulasi yang memproteksi hak-hak anak secara optimal. Serta implementasi kebijakan tersebut harus dengan ketat dilaksanakan.

Pembangunan fisik yang mengabaikan hak anak harus mendapat sanksi, marilah kita lihat proyek fenomenal yang saat ini tengah menjadi landmark Jakarta, Busway. Sudahkan proyek ini pro terhadap hak anak ?? rasanya belum. Adakah kursi khusus anak ?? adakah loket khusus anak ?? Mengapa anak-anak perlu mendapat loket khusus karena kecendrungan anak-anak adalah bertanya hingga mereka perlu mendapat pelayanan khusus. Bagi orang dewasa perkara naik busway hanya sekedar sampai ke tujuan, tapi bagi anak-anak ini perkara pengalaman hidup hingga mereka pantas mendapatkan hak mereka untuk tahu lebih banyak dan menikmatinya secara aman dan nyaman.

Pola pemanfaatan lahan yang mengabaikan hak anak tentu tidak hanya terjadi di Indonesia, hampir di seluruh kota besar di dunia mengalami hal serupa. Tapi paling tidak apa yang dilakukan pemerintah kota Solo dengan konsep taman cerdas adalah sebuah bentuk terobosan dalam menghadirkan kota yang ramah dan layak bagi anak.

Kedua, rasanya konsentrasi perlindungan terhadap anak tidak hanya menyangkut kekerasan terhadap anak (bullying) tetapi juga pada hak-hak anak yang lain. Isu bullying memang sangat penting tetapi perhatian terhadap hak anak atas ruang bermain juga perlu mendapat perhatian. Untuk itu kita sebagai masyarakat umum dan tentu saja lembaga-lembaga yang concern terhadap isu anak-anak dan remaja perlu mulai mengkampanyekan hak-hak anak atas ruang bermain ini secara lebih intensif.

Ketiga, orang tua dan orang dewasa lainnya harus mulai menyadari bahwa anak memiliki dunianya sendiri hingga dari sana tentu mereka punya hak atas dunia mereka tersebut. Maka, kita harus dengan penuh kesadaran menghormati hak-hak anak termasuk menghargai hak mereka untuk memiliki ruang bermain.
Sebuah kota yang ramah dan layak bagi anak memang masih menjadi impian bagi kita, tetapi memulai usaha ke arah itu rasanya bukan sesuatu yang salah. Jangan biarkan anak-anak bertanya “Kemana Kami Haru Bermain ??”.

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts