Tuesday, April 29, 2008

                                          sumber foto : Yuhardin, panyingkul.com

Transportasi telah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat modern. Apalagi jika menyangkut transportasi publik. Ketersediaan transportasi publik yang komperhensif akan sangat mempengaruhi mobilitas sebuah kota.
Di kebanyakan kota besar di seantero dunia, transportasi publik menjadi permasalahan serius. Kota-kota besar di Indonesia juga mengalami hal serupa. Bahkan di beberapa kota masalah transportasi telah menjadi sedemikian akut.
Kemacetan lalu lintas, kecelakaan dan kesemrawutan jalan telah menjadi hal yang rutin di kota-kota besar. Kondisi ini secara umum memang disebabakan oleh ledakan jumlah kendaraan pribadi serta kecilnya daya dukung inprastruktur dan suprastruktur jalan. Namun, secara spesifik masih terdapat faktor-faktor lain. Termasuk di dalamnya sensitifitas kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Permasalahan ketersediaan transportasi publik tentunya membutuhkan sebuah pendekatan yang komperhensif. Mengapa ? karena masalah transportasi akan memberikan implikasi yang signifikan pada sektor lain. Ekonomi, budaya, pendidikan bahkan juga mempengaruhi tingkat kriminalitas.
Makassar, sebagai salah satu kota besar di Indonesia, tentu tak luput dari permasalahan transportasi. Menarik untuk disikapi polemik seputar masalah transportasi yang terjadi belakangan ini di Kota Makassar. Seperti diberitakan harian Fajar (19/12/2006) aksi mogok sopir petepete (angkutan kota) sebagai bentuk kritik mereka atas beberapa kebijakan pemerintah kota dalam bidang transportasi.
Aksi mogok sopir petepete ini telah memberi implikasi yang cukup luas. Penumpang terlantar, siswa dan mahasiswa kesulitan mencapai sekolah dan kampus dan sebagainya (Fajar, 19/12/2006). Namun, lebih dari itu nampaknya Kota Makassar memang membutuhkan pola transportasi publik yang lebih tersistematisasi hingga akan menopang kota dalam perkembangannya.
Public policy berbasis partisipasi
Pada bagian ini kami mencoba menelaah pola kebijakan publik yang lebih partisipatif dalam pengembangan dan pengelolaan sistem transportasi publik. Seperti kecenderungan umum, banyak kebijakan publik yang mengabaikan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan, implementasi dan evaluasinya. Pola top down ini memiliki banyak kelemahan. Menurut Prof. Selo Soemardjan dalam tulisannya berjudul Good Governance (Jurnal Ekonomi Rakyat, No. 4/Juni/2002) menggambarkan pelibatan masyarakat dalam berbagai proses pemerintahan dengan memperhatikan aspek budaya lokal adalah karakter utama good governance.
Pertanyaannya kemudian, telahkah kebijakan pengembangan dan pengelolaan transportasi publik di Kota Makassar melibatkan masyarakat. Baik itu masyarakat pengguna jalan, maupun aktor dalam pelaksanaan pelayanan transportasi publik. Seperti, sopir petepete, pemilik armada, dan sebagainya.
Jika kebijakan pengelolaan dan pengembangan transportasi publik hanya bersandar pada data statistik dan opini ahli, berkecenderungan menimbulkan bias. Menarik dicermati upaya pemerintah kota Makassar yang menawarkan solusi penyediaan transportasi modern berupa bus way dalam rangka memperbaiki sistem transportasi publik.
Permasalahannya menurut hemat saya, bukan pada apa yang ditawarkan. Bisa jadi penyediaan bus way adalah jalan keluar, namun permasalahan terletak pada proses perencanaannya. Sudahkah masyarakat secara luas dilibatkan dalam penyusunan perencanaan, sudahkah pula aspek sosio-ekonomi dipertimbangkan. Karena, setiap kebijakan seputar transportasi publik juga menyangkut nasib ribuan pelaku di sektor ini. Maka, mereka juga harus dilibatkan dalam penyusunan rencana.
Tentu saja pelibatan partisipasi publik dalam perencanaan akan memberi kerja tambahan bagi pemerintah. Namun, jika pemerintah Kota Makassar ingin konsisten dalam upaya mewujudkan clean and good governance hal ini menjadi mutlak. Tidak hanya berhenti pada level perencanaan, masyarakat juga harus dilibatkan secara aktif dalam implementasi kebijakan dan evaluasi.
Faktor khusus permasalahan
Sebagaimana kita ketahui kompleksitas masalah transportasi jalan tidak hanya disebabkan pola kebijakan publik yang buruk tetapi juga menyangkut beberapa faktor khusus. Antara lain, faktor mentalitas pengguna jalan, pola penegakan hukum serta daya dukung lingkungan sosial.
Mentalitas pengguna jalan di Indonesia secara umum cukup memprihatinkan. Hal ini terlihat dari pola penggunaan jalan yang semena-mena dan sering kali mengbaikan faktor keselamatan. Hal ini disadari atau tidak telah berkontribusi menambah masalah di jalan raya.
Setiap saat kita dapat dengan mudah mendapati pengguna petepete naik dan turun petepete di tempat yang tak semestinya. Daerah lampu lalu lintas (perempatan, pertigaan) dan tikungan jadi tempat favorit untuk naik dan turun. Kesadaran yang rendah ini ditambah pula dengan minimnya sarana berupa tempat pemberhentian dan penantian angkutan kota (halte) yang memadai. Hingga semakin malaslah pengguna angkutan umum naik dan turun di tempat yang semestinya. Banyak contoh lainnya yang menunjukkan lemahnya kesadaran kita pengguna jalan.
Aturan hukum kadangkala berlaku secara tidak tegas dan berkecendrungan bersifat kompromistis, terutama dalam menyangkut pelanggaran penggunaan jalan. Jadilah kemudian wibawa hukum dipandang sebelah mata oleh pengguna jalan.
Di sisi lain daya dukung lingkungan sosial juga cukup lemah, seperti kesadaran untuk memelihara kelestarian jalan secara swadaya atau upaya meningkatkan kenyamanan jalan melalui penghijauan jalan secara swadaya juga terbilang belum cukup memadai. Masyarakat masih sangat tergantung pemerintah. Padahal daya dukung lingkungan sosial ini akan sangat berarti dalam upaya mengatasi beragam permasalahan transportasi jalan.
Ibarat sebuah toko jalan raya adalah etalase sebuah kota. Artinya apa-apa yang terjadi disana merupakan cerminan dari apa yang dimiliki masyarakat kota tersebut. Semakin beradab perilaku pengguna jalan sama artinya masyarakat di tempat tersebut makin beradab, jika tidak tanya kenapa ?
Teringat pengalaman mengunjungi beberapa kota di Eropa; Koln (Jerman), Birmingham, Stratford dan London (UK), masyarakat dan pemerintah menjadikan sektor transportasi publik sebagai hal yang sangat primer. Tentu saya tidak bermaksud melakukan komparasi atas keadaan yang ada di negara kita dan disana. Karena kondisinya tentu akan sangat berbeda. Namun saya bermaksud menangkap spirit yang ada disana sebagai buah pelajaran bagi kita.
Di Birmingham misalnya, masyarakat diajak berpikir bersama dengan city council untuk menentukan sarana transportasi apa yang layak digunakan, kemudian dimana saja lokasi yang tepat dan strategis untuk dibangun bus stop (Halte). Kemudian dalam evaluasi kebijakan masyarakat juga dilibatkan aktif untuk mengontrol perilaku sopir transportasi umum di jalanan. Hal ini dilakukan dengan sms, juga via email. Satu hal yang tatkala penting adalah penguatan supremasi hukum menjadi kunci sistem transportasi disana.
Tiga hal penting yang kemudian harus menjadi konsen kita bersama jika ingin mengatasi masalah transportasi adalah. Pertama, perencanaan, implementasi dan evaluasi kebijakan yang berbasis partisipasi masyarakat luas. Kedua, sustainable effort dalam upaya membangun kesadaran publik dalam penggunaan jalan secara bermartabat dan beradab. Ketiga, penegakan aturan hukum secara berkeadilan, transparan dan tegas.
Akhirnya, sebagai pengguna petepete dan angkutan umum lainnya saya berharap masa depan anggkutan publik di Indonesia umumnya dan Makassar khususnya bisa makin baik dan memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup warga negara.

*Tulisan ini Pernah dimuat di Harian Fajar Makassar, 26 Desember 2006


0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts