Thursday, March 14, 2013


SERI SNOWBALL TRAVELER (2)


Cibun, begitu nama kampung kecil yang mungkin namanya tak muncul dalam peta negeri. Tak banyak penghuni republik ini yang pernah mendengar nama itu, alih-alih mengunjunginya. Tapi tidak bagiku persinggahan di Cibun adalah bagian penting dari hidupku. Ada riak-riak kesadaran yang meluap manakala aku singgah disana.

Cibun sebenarnya nama grumbul yang merupakan bagian dari Desa Sunyalangu Kecamatan Karang Lewas, Kabupaten Banyumas. Grumbul sendiri adalah sebutan bagi satuan pemukiman warga yang biasanya tersendiri dan terpisah dari wilayah desa inti dan biasanya juga memiliki penduduk dalam jumlah yang tak besar.

Cibun sendiri berada tak jauh dari kaki Gunung Slamet, sungai Logawa melintasi wilayah ini. Air yang hulunya di Gunung Slamet itu bermuara di Laut Selatan Jawa, di Cilacap sana. Hanya butuh sekitar satu sampai dua jam perjalanan saja dari Purwokerto menuju Cibun.
***

Mimpi rakyat Cibun akan sebuah jambatanlah yang membuatku dan kawan-kawan ketika itu menambatkan hati di tempat sunyi ini. Tapi lebih dari sekedar mimpi akan jembatan, semangat dan kebersamaan dengan orang-orang disanalah yang membuat hatiku tertambat.

Cibun memang bukan destinasi wisata unggulan layaknya Baturraden di Utara Purwokerto atau Guci di daerah Tegal sana. Cibun hanyalah sesesap sepi di kaki Gunung Slamet. Tapi kalau anda seorang snowball backpacker, Cibun adalah tempat yang wajib disinggahi.

Sulit mencari tempat ini ? Tidak juga. Cukup saja katakan pada sopir angkot atau tukang ojek anda hendak ke Kedung Banteng. Sesampai di Kedung  Banteng anda bisa naik ojek atau mencari angkutan umum ke arah Semaya. Saranku gunakan ojek saja. Harga tinggal negosiasi, lima puluh ribu atau tujuh puluh ribu adalah angka yang  rasional.

Selanjutnya berhenti di Rabuk (tanya saja Dusun Rabuk). Dari Rabuk Tanya ke penduduk, mana jalan ke Cibun. Dulu kami selalu berjalan kaki dari Rabuk ke CIbun tak jauh, sekitar satu atau dua kilo saja. Tapi sejak jembatan dibangun anda bisa naik kendaraan roda dua sampai ke Cibun. Saran saya hindari kendaraan, nikmati perjalanan dengan berjalan kaki.


Sekitar sepuluh menit berjalan di suasana pegunungan yang sejuk, anda akan bertemu dengan jembatan gagah berwarna merah. Jembatan gantung inilah yang dulu jadi impian warga Cibun. Belasan tahun mereka memimpikan sebuah jembatan permanen, sebelum itu dibangun hanya sebuah jembatan bamboo yang rapuh ada disitu. Nek jawah giline keli…Kalau hujan jembatannya hanyut, begitu kata mereka.

Dari atas jembatan anda bisa melihat air sungai Logawa yang bergerak di sela-sela batuan besar. Sempatkan turun untuk sekedar merasakan sentuhan dingin air yang dibawa dari Gunung Slamet itu. Di sisi utara kita bisa menyaksikan Gunung Slamet yang berdiri tegak. Sungguh sebuah eksotika yang sulit didapati di tempat-tempat wisata umum yang banyak dikenal di Banyumas dan sekitarnya.

Untuk bermalam ada dua pilihan, bisa menginap di rumah-rumah warga atau kalau anda ingin yang lebih natural, bisa berkemah di areal hutan pinus yang tak jauh dari permukiman mereka. Jika pilihan pertama yang anda ambil. Carilah Pak Ngabidin, Kang Aris atau Pak Riswandi. Biasanya kediaman mereka bisa ditempati. Soal makan jangan khawatir, masakan khas Cibun sangat luar biasa. Tumis pakis dengaan ikan goreng nila atau Gurame biasanya selalu ada.

Cibun sendiri oleh kebanyakan orang luar disebut sebagai perkampungan para pelarian deki (sebutan untuk para pengikut DI/TII), label yang melekat itu masih bertahan hingga kini. Jika anda berminat pada nuansa sejarah dan budaya, anda bisa berbincang dengan Pak Suhaeri atau Pak Yanto (sesepuh desa –jika masih ada). Bagiku Cibun menyimpan magis tersendiri.

Pagi kala kabut masih menutupi cakrawala, maka Cibun seperti sebuah perkampungan di atas kabut. Posisinya yang tinggi membuat suasana terasa hening dan bening. Siang bisa anda habiskan waktu dengan berjalan di hutan pinus atau sekedar mencari pakis. Atau kalau tertarik anda bisa berjalan ke sebuah bukit (saya lupa namanya) dimana sebuah kuburan tua ada disana. Kalau saya lebih melihat pesona kota-kota dari kejauhan. Dari bukit itu dengan leluasa kita bisa memandang Purwokerto.



Bermain bola bersama anak-anak di lapangan hutan pinus bisa jadi cara juga menikmati Cibun. Cericit burung dan semilir angin akan menjadi teman di hutan pinus. Mandi di anak-anak sungai juga hal yang sangat menyenangkan. Dulu kami jarang sekali membawa air minum jika berjalan-jalan disini. Air yang mengalir biasanya langsung kami konsumsi. Sejuk dan menyegarkan rasanya.

Kala senja datang dan cahaya langit mulai menguning, suara ayat-ayat Tuhan yang berkumandang dari pelantang mushollah akan menjadi orchestra yang menenangkan. Tak lama kemudian suara adzan akan menjalari Cibun.

***

Akomodasi wisata di Cibun memang tak ada apa-apanya disbanding Baturaden atau yang sejenis. Tapi bagi snowball traveler justru inilah kenikmatan yang tak ternilai. Menyaksikan sudut-sudut nusantara dari sisi yang paling apa adanya.

Pada akhirnya petualangan sejati adalah perjalanan menemukan jatidiri bukan sekedar memuaskan hasrat atau fantasi. Cibun adalah sebuah destinasi yang layak menjadi opsi bagi kita yang menjadikan petualangan sebagai ruang menemukan diri.

Salam snowball traveler !


Keterangan Foto

Foto (1) Jalan setapak menuju Cibun/huzer apriansyah
Foto (2) Jembatan gantung merah yang melewati Logawa menuju Cibun/huzer apriansyah
Foto (3) Jembatan bambu sebelum jembatan cibun dibangun/huzer apriansyah
Foto (4) Purwokerto nampak dari Cibun/huzer apriansyah

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts