Wednesday, March 13, 2013


SERI SNOWBALL TRAVELER  (1)

Medio 2002, aku mencoba menulis sebuah kisah panjang. Namun sayang kisah panjang yang sedianya diharap berujung novel itu tak pernah benar-benar selesai, sekitar seratusan halaman saja yang bisa rampung. Aku menulis seorang tokoh utama yang berasal dari Labuhan, sebuah daerah di seputaran Banten sana.

Tak tahu mengapa tiba-tiba inspirasi tentang Labuhan muncul begitu saja, mendengar nama tempat itu saja hampir tak pernah apalagi berkunjung kesana. Hanya sebaris paragrap yang kudapati di sebuah koran bekas kala itu. Koran itu mengisahkan tentang upacara selamatan laut yang digelar warga sebagai tanda syukur atas tangkapan yang mereka terima sepanjang tahun sembari berharap nasib baik kembali datang di tahun yang baru.

Kisah panjang tentang Labuhan itu pun menguap seiring waktu, jejak filenya saja entah dimana. Persis saat komputer tuaku rusak, kisah-kisah itu pun terbang menghilang. Selepas menyelesaikan kuliah di Purwokerto pada 2005, tak pernah lagi aku mengingat-ingat kisah panjang itu. Novel pertama pun gagal sudah.

Tapi entah mengapa, Labuhan serasa hidup dalam imajinasiku, tempat yang benar-benar serasa nyata dan seolah pernah kujumpai. Lalu lalang kapal nelayan dengan bendera warna warni, anak-anak yang berlari di pantai serta jalan-jalan kecil beraspal yang sunyi. Itulah yang tergambar dalam pikiranku. Labuhan, telah menjadi semacam file yang hadir di pikiranku. Aku tak sama sekali mengingat lagi kisah panjang yang kutulis, tapi aku mengenang Labuhan sebagai sebuah tempat yang serasa begitu dekat.

Waktu pun bergulir, asa dan perjalanan hidup membawaku pada banyak hal yang tak terbayang. Beberapa negeri sempat kusinggahi, sekali dua pernah ke Eropa, Sumatera pun kujelajahi, Jawa tuntas kujamah, hingga Sulawesi pun tak lepas kujejaki. Beberapa negara Asia sempat pula kusinggahi. Bayang-bayang Labuhan akhirnya menghilang. File yang dulu ada kian terbenam ke dalam, tertimpa file-file baru tentang negeri-negeri baru yang telah kusinggahi atau ingin kusinggahi.

Hanya ketika menatap laut, seberkas ‘kenangan’ tentang Labuhan mencuat kembali, selebihnya aku lupa.
***
Awal Januari 2012 lalu di tengah kepenatan hidup dan silih bergantinya masalah, kuputuskan melakukan perjalanan sendiri. Bukan ke tempat yang jauh, entah kemana tapi arahnya ke Merak. Tak lebih dari lima jam saja dari tempat ku bermukim ketika itu, Ciputat. Sebuah backpack mungil dengan sebuah kamera dan beberapa potong pakaian menjadi teman perjalanan itu.

Berangkat dengan kereta dari stasiun Jurang Mangu, ke arah Barat. Ini benar-benar perjalanan yang tak terlalu terencana mengalir begitu saja. Hanya satu dalam pikiranku, menuju stasiun terjauh, Merak. Tak ada kereta yang langsung ke Merak ketika itu, atau paling tidak setelah sejam menunggu hanya ada kereta ke Bintaro. Kuputuskan ikut saja.


Dari Bintaro aku menaiki kereta ke Merak, sebuah kereta ekonomi yang penuh sesak. Kugelar koran di pinggir pintu, lumayan bisa sambil jeprat jepret, pikirku. Kereta merah berwajah lusuh itu pun bergerak laju, kubidik obyek-obyek yang sebenarnya tak terlalu luar biasa; ada sawah, seorang gadis yang sibuk bertelpon di tengah sawah, petani dengan wajah-wajah lusuh.

Setelah sekitar empat jam perjalanan aku bingung kemana menuju, apakah berhenti di Stasiun Merak atau di Cilegon. Aku tak terlalu tahu, kuputuskan sampai ke ujung, Merak. Paling tidak aku bisa menatapi laut, pikirku.

Setiba di Merak, aku lebih bingung lagi, imajinaasiku tak seindah kenyataan. Merak begitu panas, debu menjalari jalanan. Tak ada pantai untuk sekedar menjamah pasir putih. Aku kembali ke stasiun, berharap ada kereta yang bisa kutumpangi ke arah sebaliknya, turn a way. Balik kanan, selamat tinggal, begitu rencanaku. Apa daya, kereta baru ada esok pagi.

Kutelusuri sisi jalan masuk ke pelabuhan, panas, berdebu dan tak teratur. Bus, truk dan mobil pribadi, silih berganti. Aku menyerah, bukan ini perjalanan yang kumaui.
Setelah duduk sejenak, terlintas Anyer. Ya Pantai Anyer akan menyenangkan pikirku. Kugegas langkah karena hari sudah mulai tinggi. Sedangkan jalan ke Anyer tak pula kutahu.

Usai tanya sana-sini, kini aku berada dalam sebuah angkutan umum menuju Anyer. Singkat cerita aku tiba di sebuah penginapan tua tak jauh dari pantai Anyer. Setelah dapat kamar seharga 100 atau 150 ribu itu, segera ganti pakaian dan menuju pantai.

Lunas rasanya lelah perjalanan tatkala kucumbui pasir putih dengan latar anak Gunung Krakatau yang Mahsyur itu. Gelombang Selat Sunda menghempas air ke bibir pantai, angin pun bertiup kencang. Sayangnya mendung datang, tak bisalah kusaksikan matahari terbenam di pantai rupawan ini. Musim Barat, begitu warga setempat memperingatkanku. Angin kencang, gelombang tinggi dan hujan menjadi. Begitu kata mereka.


Keesokan paginya cuaca tak kunjung bersahabat, jalan-jalan ke pantai bukan pilihan tepat. Kuubah rencana, sebuah air terjun di kawasan hutan lindung yang tak jauh dari penginapan kujadikan sasaran. Bersama seorang pemuda lokal aku menuju lokasi itu.

Ternyata tak lah bisa disebut dekat, paling tidak aku butuh waktu tiga jam untuk tiba di air terjun di taman wisata alam Carita tersebut. Untunglah mandi di air terjun itu bisa membasuh lelah perjalanan.

Petang jelang malam kuputuskan meninggalkan Carita, berjumpa dengan Orang Badui Dalam targetku selanjutnya. Sebenarnya aku bisa berangkat cepat dari Carita, tapi undangan makan siang oleh seorang sahabat baru, Thom, membuatku menunda rencana. Usai makan siang barulah kugegas langkah. Paling tidak malam itu aku bisa tiba Pandeglang pikirku. Perjalanan yang betul-betul meraba-raba dan tak terencana. Aku menyebut ini sebagai snowball backpacker. Backpacker yang menentukan tujuan berdasarkan informasi yang ditemukan di lapangan, bukan sesuatu yang terencana dengan matang.

Uang dikantong tak akan cukup untuk membiayai perjalanan, hanya dua lembar sepuluh ribuan dan selembar lima ribuan. Kuputuskan mampir ke Anjungan Tunai Mandiri di kota kecamatan terdekat. Selanjutnya aku mulai bingung bagaimana caranya bisa sampai ke Pandeglang.

Aden naik ojek saja dulu ke Labuhan, dari sana nanti banyak angkutan ke Pandeglang,” seorang ibu pedagang gorengan memberi solusi begitu. Tiba-tiba bergetar hatiku mendengar nama tempat itu disebutkan. Ah, bagaimana bisa tempat yang sekian lama dulu pernah kuakrabi dalam imajinasi, kini tinggal sejengkal jarak saja dari kakiku.

Akupun menjejak Labuhan, tempat yang selama ini hanya eksis dalam imajinasiku kini benar-benar menjadi begitu nyata. Namun, sayang bayang-bayang Labuhan di dalam imajinasiku jauh lebih eksotis dari apa yang kudapati di alam nyata.

Tak ada kapal-kapal nelayan dari kayu dengan bendera warna-warni, tak ada selamatan laut dan tak ada jalan-jalan kecil yang sunyi. Justru sebaliknya jalanan berlubang dengan aroma busuk dari parit yang tak terurus, orang-orang dengan langkah tergesa di pasar serta mobil omprengan yang berseliweran menawarkan tumpangan.

***

Eksotisme Labuhan yang hidup dalam imajinasiku memang luluh lantak diterjang realitas yang kutemukan, tapi sesaat aku menatap seorang bapak dengan kain sarung dan peci hitam berjalan ke arah Mushollah, kuikuti langkahnya. Kami berjamaah di ujung senja. Di penghujung doa aku berpikir, beginilah cara alam bekerja, tiap impian yang kita simpan dalam-dalam dan kita bawa sebagai harapan pada saatnya akan mewujud menjadi kenyataan. Alam mempunyai caranya sendiri menjadikan impian kita sebuah kenyataan. Bukankah dulu aku menyimpan asa menjejakkan langkah di Labuhan. Dan alam memberikan jalan…

Ah aku harus bergegas, jalan masih teramat panjang….
(Berlanjut pada kisah-kisah perjalanan lainnya)

Keterangan Foto :

(1) Kereta sejenis ini dan sepadat ini yang kugunakan ke Merak.
(2) Salah satu hasil jepretan selama di kereta. Ah, indahnya negeriku.
(3) Gunung Anak Krakatau dari Pantai Carita Anyer.
(4) Mandi Dulu di Air Terjun...

Foto 1,2,3 hasil karya penulis/huzer apriansya
Foto 4 hasil jepretan pemuda di carita (lupa namanya...)

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts