SERI SNOWBALL TRAVELER (1)
Medio 2002, aku mencoba menulis sebuah kisah panjang.
Namun sayang kisah panjang yang sedianya diharap berujung novel itu tak pernah
benar-benar selesai, sekitar seratusan halaman saja yang bisa rampung. Aku
menulis seorang tokoh utama yang berasal dari Labuhan, sebuah daerah di
seputaran Banten sana.
Tak tahu mengapa tiba-tiba inspirasi tentang Labuhan
muncul begitu saja, mendengar nama tempat itu saja hampir tak pernah apalagi
berkunjung kesana. Hanya sebaris paragrap yang kudapati di sebuah koran bekas
kala itu. Koran itu mengisahkan tentang upacara selamatan laut yang digelar
warga sebagai tanda syukur atas tangkapan yang mereka terima sepanjang tahun
sembari berharap nasib baik kembali datang di tahun yang baru.
Kisah panjang tentang Labuhan itu pun menguap seiring
waktu, jejak filenya saja entah
dimana. Persis saat komputer tuaku rusak, kisah-kisah itu pun terbang
menghilang. Selepas menyelesaikan kuliah di Purwokerto pada 2005, tak pernah
lagi aku mengingat-ingat kisah panjang itu. Novel pertama pun gagal sudah.
Tapi entah mengapa, Labuhan serasa hidup dalam
imajinasiku, tempat yang benar-benar serasa nyata dan seolah pernah kujumpai.
Lalu lalang kapal nelayan dengan bendera warna warni, anak-anak yang berlari di
pantai serta jalan-jalan kecil beraspal yang sunyi. Itulah yang tergambar dalam
pikiranku. Labuhan, telah menjadi semacam file
yang hadir di pikiranku. Aku tak sama sekali mengingat lagi kisah panjang yang
kutulis, tapi aku mengenang Labuhan sebagai sebuah tempat yang serasa begitu
dekat.
Waktu pun bergulir, asa dan perjalanan hidup membawaku
pada banyak hal yang tak terbayang. Beberapa negeri sempat kusinggahi, sekali
dua pernah ke Eropa, Sumatera pun kujelajahi, Jawa tuntas kujamah, hingga
Sulawesi pun tak lepas kujejaki. Beberapa negara Asia sempat pula kusinggahi.
Bayang-bayang Labuhan akhirnya menghilang. File
yang dulu ada kian terbenam ke dalam, tertimpa file-file baru tentang
negeri-negeri baru yang telah kusinggahi atau ingin kusinggahi.
Hanya ketika menatap laut, seberkas ‘kenangan’ tentang
Labuhan mencuat kembali, selebihnya aku lupa.
***
Awal Januari 2012 lalu di tengah kepenatan hidup dan
silih bergantinya masalah, kuputuskan melakukan perjalanan sendiri. Bukan ke tempat
yang jauh, entah kemana tapi arahnya ke Merak. Tak lebih dari lima jam saja
dari tempat ku bermukim ketika itu, Ciputat. Sebuah backpack mungil dengan sebuah kamera dan beberapa potong pakaian
menjadi teman perjalanan itu.
Berangkat dengan kereta dari stasiun Jurang Mangu, ke
arah Barat. Ini benar-benar perjalanan yang tak terlalu terencana mengalir
begitu saja. Hanya satu dalam pikiranku, menuju stasiun terjauh, Merak. Tak ada
kereta yang langsung ke Merak ketika itu, atau paling tidak setelah sejam
menunggu hanya ada kereta ke Bintaro. Kuputuskan ikut saja.
Dari Bintaro aku menaiki kereta ke Merak, sebuah
kereta ekonomi yang penuh sesak. Kugelar koran di pinggir pintu, lumayan bisa
sambil jeprat jepret, pikirku. Kereta merah berwajah lusuh itu pun bergerak
laju, kubidik obyek-obyek yang sebenarnya tak terlalu luar biasa; ada sawah,
seorang gadis yang sibuk bertelpon di tengah sawah, petani dengan wajah-wajah
lusuh.
Setelah sekitar empat jam perjalanan aku bingung
kemana menuju, apakah berhenti di Stasiun Merak atau di Cilegon. Aku tak
terlalu tahu, kuputuskan sampai ke ujung, Merak. Paling tidak aku bisa menatapi
laut, pikirku.
Setiba di Merak, aku lebih bingung lagi, imajinaasiku
tak seindah kenyataan. Merak begitu panas, debu menjalari jalanan. Tak ada
pantai untuk sekedar menjamah pasir putih. Aku kembali ke stasiun, berharap ada
kereta yang bisa kutumpangi ke arah sebaliknya, turn a way. Balik kanan, selamat tinggal, begitu rencanaku. Apa
daya, kereta baru ada esok pagi.
Kutelusuri sisi jalan masuk ke pelabuhan, panas,
berdebu dan tak teratur. Bus, truk dan mobil pribadi, silih berganti. Aku
menyerah, bukan ini perjalanan yang kumaui.
Setelah duduk sejenak, terlintas Anyer. Ya Pantai
Anyer akan menyenangkan pikirku. Kugegas langkah karena hari sudah mulai tinggi.
Sedangkan jalan ke Anyer tak pula kutahu.
Usai tanya sana-sini, kini aku berada dalam sebuah
angkutan umum menuju Anyer. Singkat cerita aku tiba di sebuah penginapan tua
tak jauh dari pantai Anyer. Setelah dapat kamar seharga 100 atau 150 ribu itu,
segera ganti pakaian dan menuju pantai.
Lunas rasanya lelah perjalanan tatkala kucumbui pasir
putih dengan latar anak Gunung Krakatau yang Mahsyur itu. Gelombang Selat Sunda
menghempas air ke bibir pantai, angin pun bertiup kencang. Sayangnya mendung
datang, tak bisalah kusaksikan matahari terbenam di pantai rupawan ini. Musim
Barat, begitu warga setempat memperingatkanku. Angin kencang, gelombang tinggi
dan hujan menjadi. Begitu kata mereka.
Keesokan paginya cuaca tak kunjung bersahabat,
jalan-jalan ke pantai bukan pilihan tepat. Kuubah rencana, sebuah air terjun di
kawasan hutan lindung yang tak jauh dari penginapan kujadikan sasaran. Bersama
seorang pemuda lokal aku menuju lokasi itu.
Ternyata tak lah bisa disebut dekat, paling tidak aku
butuh waktu tiga jam untuk tiba di air terjun di taman wisata alam Carita
tersebut. Untunglah mandi di air terjun itu bisa membasuh lelah perjalanan.
Petang jelang malam kuputuskan meninggalkan Carita,
berjumpa dengan Orang Badui Dalam
targetku selanjutnya. Sebenarnya aku bisa berangkat cepat dari Carita, tapi
undangan makan siang oleh seorang sahabat baru, Thom, membuatku menunda
rencana. Usai makan siang barulah kugegas langkah. Paling tidak malam itu aku
bisa tiba Pandeglang pikirku. Perjalanan yang betul-betul meraba-raba dan tak terencana.
Aku menyebut ini sebagai snowball
backpacker. Backpacker yang
menentukan tujuan berdasarkan informasi yang ditemukan di lapangan, bukan sesuatu
yang terencana dengan matang.
Uang dikantong tak akan cukup untuk membiayai
perjalanan, hanya dua lembar sepuluh ribuan dan selembar lima ribuan.
Kuputuskan mampir ke Anjungan Tunai Mandiri di kota kecamatan terdekat. Selanjutnya
aku mulai bingung bagaimana caranya bisa sampai ke Pandeglang.
“Aden naik ojek
saja dulu ke Labuhan, dari sana nanti banyak angkutan ke Pandeglang,” seorang
ibu pedagang gorengan memberi solusi begitu. Tiba-tiba bergetar hatiku
mendengar nama tempat itu disebutkan. Ah, bagaimana bisa tempat yang sekian
lama dulu pernah kuakrabi dalam imajinasi, kini tinggal sejengkal jarak saja
dari kakiku.
Akupun menjejak Labuhan, tempat yang selama ini hanya
eksis dalam imajinasiku kini benar-benar menjadi begitu nyata. Namun, sayang bayang-bayang
Labuhan di dalam imajinasiku jauh lebih eksotis dari apa yang kudapati di alam
nyata.
Tak ada kapal-kapal nelayan dari kayu dengan bendera
warna-warni, tak ada selamatan laut dan tak ada jalan-jalan kecil yang sunyi.
Justru sebaliknya jalanan berlubang dengan aroma busuk dari parit yang tak
terurus, orang-orang dengan langkah tergesa di pasar serta mobil omprengan yang
berseliweran menawarkan tumpangan.
***
Eksotisme Labuhan yang hidup dalam imajinasiku memang
luluh lantak diterjang realitas yang kutemukan, tapi sesaat aku menatap seorang
bapak dengan kain sarung dan peci hitam berjalan ke arah Mushollah, kuikuti
langkahnya. Kami berjamaah di ujung senja. Di penghujung doa aku berpikir,
beginilah cara alam bekerja, tiap impian yang kita simpan dalam-dalam dan kita bawa
sebagai harapan pada saatnya akan mewujud menjadi kenyataan. Alam mempunyai
caranya sendiri menjadikan impian kita sebuah kenyataan. Bukankah dulu aku
menyimpan asa menjejakkan langkah di Labuhan. Dan alam memberikan jalan…
Ah aku harus bergegas, jalan masih teramat panjang….
(Berlanjut pada kisah-kisah perjalanan lainnya)
Keterangan Foto :
(1) Kereta sejenis ini dan sepadat ini yang kugunakan ke Merak.
(2) Salah satu hasil jepretan selama di kereta. Ah, indahnya negeriku.
(3) Gunung Anak Krakatau dari Pantai Carita Anyer.
(4) Mandi Dulu di Air Terjun...
Foto 1,2,3 hasil karya penulis/huzer apriansya
Foto 4 hasil jepretan pemuda di carita (lupa namanya...)
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.