Thursday, July 24, 2008


Betapa tak terberkahi hidup dalam kecemasan, betapa tanpa rahmat hidup dalam kegelisahan. Setiap orang harus mampu menguak tempurung kegelapannya, setiap orang harus mampu berjuang menguak ketakutannya…
(Seno Gumira Ajidarma)
Peristiwa kriminalitas datang bak laju kendaraan di jalan tol, begitu cepat dan silih berganti. Tak usahlah disajikan data angka-angka yang njelimet, cukup tonton saja tayangan berita kriminal di teve-teve. Itu saja, baru tayangan kekerasan yang bersifat fisik belum lagi kalau mau bicara kekerasan non-fisik. Tindakan kriminal telah menjadi semacam “hal biasa” dalam masyarakat modern. Howard Bahr (1973) mengidentifikasi bahwa perkembangan masyarakat dalam tata sosial ekonomi yang modern telah melahirkan kelompok-kelompok marginal, salah satunya adalah orang jalanan, studi ini dilakukan Bahr di daerah skid row (istilah untuk daerah pemukiman orang jalanan). Dalam konteks Indonesia orang jalanan telah menjadi sosok yang menakutkan dan diidentikkan dengan tindakan kriminal. Apa benar demikian ?
Di pertengahan tahun 2004, di stasiun gambir dini hari saat tiba dari Purwokerto. Sembari menunggu datangnya pagi, bercakaplah saya dengan seorang anak yang usianya tak lebih dari 20 tahun. Dari percakapan ngalor ngidul tersebut ada satu pesan yang tertangkap, bahwa kadang kala mereka “dipaksa” bertindak kriminal, seperti mencopet atau merampas barang orang lain. Siapa yang memaksa ? dan mengapa mau dipaksa ?
Siapa yang memaksa mereka ? ada beberapa hal yang memaksa mereka. Ternyata kitapun ikut andil memaksa mereka. Pendapat umum masyarakat yang selalu mengidentikkan mereka dengan kriminalitas, secara tidak langsung membuat mereka terbiasa bertindak kriminal. Seperti kata kawan bercakap saya di gambir itu, “lha..semua orang saja menganggap kami penjahat, lalu pantes dong kalau kami benar-benar jadi jahat…” begitu kurang lebih pernyataannya ketika ditanya soal copet dan jambret yang sering terjadi di stasiun. Bisa jadi bukan hanya itu yang memaksa mereka bertindak kriminal, tapi juga cara pikir kita yang memaklumi kejahatan di jalan. Ambil contoh, jika kita mau naik bus kota di kota-kota besar ada semacam catatan umum “hati-hati dompet kalau naik bus, banyak copet !” lalu kebenaran dompet kita hilang betulan. Maka, orang-orang akan berkata “makanya hati-hati di bus”. Dari contoh itu akan nampak bahwa publik telah memaklumi kejahatan dalam bus kota, hingga yang disalahkan justru si korban, bukan pula si copet atau budaya copet, atau juga bertanya mengapa sampai ada pencopet, masyarakat kita itu memang aneh !
Hal-hal di atas baru dua dari contoh peran kita masyarakat meningkatkan angka kriminalitas. Lalu, mengapa pula orang jalanan itu mau “dipaksa” untuk bertindak krimnal ? Parsudi Suparlan (1993) berdasarkan hasil studinya terhadap gelandangan di Jakarta menyebutkan bahwa politik gelandangan adalah kesadaran yang lahir karena mereka merasa tidak memiliki kekuatan apapun powerless dan menanggapinya secara fatalistik. Ketermarginalan yang luar biasa yang dirasakan orang jalanan telah membuat mereka melupakan segala bentuk norma, bahkan melupakan nurani, ini adalah gejala umum. Pantaskah mereka yang disalahkan semata-mata ? sedangkan mereka sebenarnya hanya korban. Yang harus dicari adalah apa dan siapa yang memarginalkan mereka. Ketermarginalan gelandangan atau orang jalanan ini bisa memunculkan keterasingan yang luar biasa (Howard Bahr), hingga semua hal diluar diri mereka dan kelompok mereka dianggap musuh atau adalah mangsa.
Pembaca mungkin bertanya mengapa tulisan ini mengerucut pada orang jalanan, karena salah satu penyumbang angka kriminalitas yang cukup besar adalah kejahatan di jalanan yang konon oleh sebagian orang pelakunya dituduhkan pada orang-orang jalanan. Satu hal lagi tulisan mencoba memberi ruang refleksi bagi kita, bahwa kejahatan juga lahir karena cara kita memandang kejahatan.
Ngewongke orang jalanan
Orang jalanan yang sering menjadi kambing hitam atas kejahatan di jalanan bukanlah mahluk tanpa nurani, mereka hanya seringkali mengalami “keterhilangan diri” dari dunia. Maka tak adil kalau kemudian yang kita lakukan makin menghilangkan ke-diri-an mereka dari dunia. Ruang ekspresi bagi mereka sering kita tutup rapat-rapat, bukan sphere (ruang) dalam artian tempat atau wahana tapi ruang dalam pikiran dan nurani kita, mereka tidak mendapatkan itu. Ketika kita memberi uang pada pengamen umumnya bukan bentuk apresiasi kita atas kerya mereka tapi lebih dikarenakan permakluman kita pada profesi mereka. Ini salah satu masalah yang menurut saya menjadi penyebab keterasingan orang jalanan dan jadilah mereka bertingkah semau gue.
Tak bisa dihindarkan lagi, jika kita ingin angka kriminalitas menurun khususnya dari sektor kriminalitas di jalan maka manusiakanlah orang jalanan secara normal. Hargai dan apresiasilah profesi mereka, ubahlah sudut pandang kita tentang mereka, ajak mereka bicara. Buang kegelapan dan ketakutan dari tengkorak kepala kita !

Tuesday, July 15, 2008


Political Science Lyric
By Randy Newman
(Mari Tersenyum dan mengeryitkan dahi membaca lirik ini…
akankah pemerintah AS bisa ikut tersenyum..??)
No one likes us-I don't know why
We may not be perfect, but heaven knows we try
But all around, even our old friends put us down
Let's drop the big one and see what happens

We give them money-but are they grateful?
No, they're spiteful and they're hateful
They don't respect us-so let's surprise them
We'll drop the big one and pulverize them

Asia's crowded and Europe's too old
Africa is far too hot
And Canada's too cold
And South America stole our name
Let's drop the big one
There'll be no one left to blame us

We'll save Australia
Don't wanna hurt no kangaroo
We'll build an All American amusement park there
They got surfin', too

Boom goes London and boom Paris
More room for you and more room for me
And every city the whole world round
Will just be another American town
Oh, how peaceful it will be
We'll set everybody free
You'll wear a Japanese kimono
And there'll be Italian shoes for me

They all hate us anyhow
So let's drop the big one now
Let's drop the big one now

Popular Posts