Wednesday, August 13, 2008



Road is a field of war, begitulah rasanya jika kita menyaksikan warna warni jalanan. Keselamatan bukanlah prioritas, begitupun solidaritas, etikapun kandas. Jalan raya telah menjelma menjadi medan perang; yang kuat yang menang, ganas, kejam dan kadang tak berperadaban.

Harus berapa nyawa lagi yang melayang karena ego dan mentalitas pengguna jalan, mengapa menjadi tertib dan beretika menjadi amat sangat sulit di negeri ini ? sekedar menunggu maksimal 180 detik atau tiga menit saja di traffic light sangat sulit bagi kita ? Mengapa untuk sekedar memberi kesempatan pada pengguna jalan lain menjadi sesuatu yang sungguh langkah ? Pejalan kaki kehilangan haknya, trotoar disambar motor dan bajaj, zebra cross disapu kendaraan yang malas menunggu di belakang garis batas. Angkutan umum menjadi preman jalanan; bajaj, taksi, bus semua tunggang langgang seenaknya, tak peduli etika apalagi aturan. Aturanpun telah menjadi komoditas di jalanan. Traffic goes on by instinct not by rules.
Tulisan ini mencoba melihat kompleksitas permasalahan di jalan dari sisi regulasi mengenai izin mengemudi (SIM). Karena bisa jadi pangkal dari buruknya mentalitas pengguna jalan diakibatkan buruknya pola dan mekanisme penerbitan SIM.

Sudah jadi rahasia umum jika urusan buat membuat SIM itu bukan perkara yang terlalu sulit. Banyak jalan menuju kursi kemudi, begitu kira-kira mottonya. Jalan pintas mendapatkan SIM tersedia dengan beragam variannya. Datang saja ke satuan lalu lintas di tingkat polisi daerah rasanya mata dan insting anda tidak akan terlalu sulit menemukan jalan pintas itu.

Urusan SIM ini diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 44 tahun 1993 tentang kendaraan dan pengemudi. Secara umum ada dua ujian yang harus diikuti yaitu ujian teori dan praktek. Tapi mari tanyakan pada orang-orang di sekitarmu, berapa orang yang betul-betul mengikuti ujian teori dan praktek ini ? Dari survei kecil yang saya lakukan terhadap lima belas orang teman yang memiliki SIM, hanya satu orang yang benar-benar mengikuti tes tersebut, sisanya tak mengenal tes tersebut.

Delapan butir syarat memiliki SIM pada PP No 44 tahun 1993 pasal 217 (1) sejauh ini tak mampu menjamin bahwa pemegang SIM bisa memiliki etika, disiplin dan kemampuan berlalulintas yang memadai. Jika menilik mentalitas dan perilaku pengguna jalan dan data statistik jumlah pelanggaran dan kecelakaan di jalan raya rasanya pantas kita mencoba melihat kembali prosedur dan tata kelola perizinan mengemudi.

Tahun 2004 menurut menteri perhubungan ketika itu, Hatta Radjasa ada kurang lebih 30.000 angka kematian tiap tahunnya akibat kecelakaan lalu lintas. Artinya kecelakaan lalu lintas menjadi “pembunuh” terbesar ketiga setelah jantung dan stroke di Indonesia. Sisi mana yang perlu kita lihat dalam proses penerbitan izin mengemudi ?

Secara umum ada empat jenis pengemudi di jalan raya kita. Pengemudi kendaraan bermotor roda dua, pengemudi kendaraan (mobil) pribadi, pengemudi kendaraan angkutan umum, dan pengemudi angkutan barang. Jika menggunakan pembagian berdasarkan kepemilikan SIM, ada pemegang SIM C dan D, SIM A, A Umum SIM B I dan B II. Masing-masing jenis pemegang izin mengemudi berdasar jenis dan kegunaan kendaraan sebenarnya memiliki tingkat kesulitan masing-masing. Sayangnya hal ini tidak mendapat perhatian dengan jelas di PP nomor 44 tahun 1993 tersebut. Perbedaannya hanya pada prasyarat kepemilikan SIM. Harus memiliki SIM A untuk mendapat SIM A umum, memiliki SIM A umum atau B I untuk memiliki SIM BI umum dan seterusnya. Aspek psikologis dan sosiologis luput dari perhatian. Memang pada pasal 240 diatur mengenai waktu bekerja bagi pengemudi angkutan umum. Namun, itu saja belum cukup.


Aspek Psikologis
Tiap individu secara alamiah memiliki keunikan atau kekhasan dalam dirinya. Termasuk menyangkut karakter emosi dan kecenderungan perilaku. Mengingat kecendrungan karakter inilah yang akan menjadi modal bagi pengemudi kendaraan dalam melakukan interaksi di jalan raya dengan sesame pengguna jalan. Maka kecendrungan emosi ini harus diketahui dan dipahami oleh tiap-tiap pengemudi.

Pengukuran kecenderungan karakter emosional ini harus menjadi salah satu item penting dalam driving license test. Di beberapa Negara maju seperti Swedia, Swiss dan beberapa Negara Eropa lainnya menjadikan aspek psikologis sebagai aspek penting dalam proses kepemilikan izin mengemudi.

Berbekal pengetahuan akan karakter pribadi dan karakter-karakter pengemudi lainnya tentu akan menjadi pondasi untuk saling memahami antar pengguna jalan. Agresivitas yang berlebihan di jalan raya telah menjadi salah satu sumbu permasalahan keruwetan transportasi kita. Hal ini tentu saja menyangkut aspek psikologis pengemudi. To combat aggressive behavior on the road attitude and behavior modification is required (American Institute for Public Safety), maka yang dibutuhkan adalah pendekatan psikologis dengan memodifikasi perilaku dan kebiasaan pengguna jalan.

Proses modifikasi ini bisa dilakukan mulai dari awal, yaitu mulai dari fase tes kepemilikan SIM. Data kecendrungan emosi inilah yang harus diketahui oleh calon pemegang SIM sendiri. Calon pemegang SIM juga harus mengetahui kecendrungan karakter emosi lainnya di jalan. Dari data psikologis tersebut, pihak berkompeten seperti direktorat lalu lintas kepolisian atau departemen perhubungan dapat mejadikannya acuan dalam melakukan treatment terhadap masing-masing golongan berkecendrungan emosi tertentu.

Dalam konteks klasifikasi kelompok kecendrungan psikologis pengemudi dapat menggunakan basis teori Karl Gustav Jung (1875-1961), analisis untuk memahami tipe kepribadian ini menggunakan perangkat yang disebut MBTI Myers-Briggs Type Indicator. 16 kemungkinan tipe kepribadian yang mungkin dimiliki seorang pengemudi berdasarkan persepsi, penilaian (judgement) dan sikap bisa dijadikan dasar dalam memahami kompleksitas perilaku pengguna jalan.

Harapannya dengan menggunakan pendekatan psikologis dalam tes kepemilikan SIM, dapat membuat pemegang SIM tahu apa dan bagaimana kondisinya secara psikis, hingga bisa mengambil keputusan dan berperilaku secara tepat dalam berkendaraan. Disisi lain ia bisa mengetahui dan mencoba memahami karakter dan perilaku pengguna jalan lainnya. Pada akhirnya proses interaksi sosial di jalan diharapkan bisa dibangun atas kesalingsepahaman bukan di atas jungle law, siapa yang kuat dia yang menang.

Penekanan aspek psikologis dalam tes kepemilikan SIM, bisa saja terasa berlebihan. Namun, paling tidak ada tiga hal yang bisa dijadikan alasan; Mentalitas pengguna jalan di Indonesia sudah sampai pada kondisi yang memprihatinkan. Hal kedua, angka kecelakaan yang sangat tinggi sebagian besar disebabkan oleh perilaku mengemudi yang buruk. Hal ketiga, premanisme berkenderaan telah menjadi patogen di jalan.
Aspek Sosiologis
Secara sosiologis pengemudi dibagi menjadi dua kelompok besar, pengemudi kendaraan pribadi dan pengemudi kendaraan umum. Masing-masing memiliki karakter sosial yang berbeda. Pengemudi kendaraan pribadi cenderung tidak dipengaruhi kondisi sosial masyarakat, tidak dipengaruhi secara langsung oleh target setoran dan digunakan untuk kepentingan yang sifatnya individual serta tidak memiliki rute atau trayek tertentu. Sedangkan pengemudi kendaraan umum memiliki ciri-ciri yang berkebalikan dari ciri sosial pengemudi kendaraan pribadi.

Biasanya pengemudi kendaraan umumlah yang kerap menjadi sumbu masalah dari berbagai keresahan di jalan. Perilaku ugal-ugalan, berhenti di sembarang tempat dan berbagai perilaku agresif lainnya telah menjadi semacam brandmark pengemudi kendaraan umum, preman jalan raya sebutannya. Kondisi ini sebenarnya tidak bisa digeneralisir karena masih ada juga pengemudi angkutan umum yang beretika dan tertib dan banyak juga pengemudi kendaraan pribadi yang lebih “preman” dari pengemudi kendaraan umum.

Proses berlalu lintas sejatinya adalah proses interaksi sosial dimana masing-masing komponen memiliki posisi dan fungsinya masing-masing yang kemudian melakukan kontak sosial satu sama lain. Paling tidak ada empat pelaku dalam proses interaksi sosial tersebut. Pengemudi kendaraan pribadi, pengemudi kendaraan umum, pejalan kaki dan polisi atau aparat sejenis. Keempat pelaku itu semua berada di bawah rules tertentu, yaitu peraturan lalu lintas dalam segala bentuknya.

Masing-masing unsur memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Maka dalam konteks tes kepemilikan SIM. Rasanya perlu memasukkan unsur interaksi sosial ini sebagai item dalam proses tes. Pola interaksi sosial ini perlu dipahami oleh tiap calon pemegang SIM. Harapannya agar proses interaksi sosial di jalan dapat dibangun beradasarkan pembagian fungsi dan kerja. Sehingga masing-masing unsur dapat menghormati dan menghargai hak satu sama lain.
Proses Kepemilikan SIM
Sejauh ini proses kepemilikan SIM di Indonesia hanya bersifat formal prosedural. Idealnya ada tiga tahapan dalam rangka kepemilikan SIM. Meliputi ; pra tes, tes dan pasca tes, dimana ketiga fase saling terkait. Pra tes, inilah fase edukasi bagi calon pemegang SIM, maka pihak berwenang perlu dan harus melakukan proses edukasi yang bersifat komperhensif. Sehingga seorang calon pemilik SIM tidak hanya datang saat (katanya) ujian teori dan praktek tetapi sebelumnya sudah melakukan proses belajar. Tak ada tes tanpa fase belajar, begitu kira-kira semboyannya.
Fase kedua adalah fase tes, dimana tes kepemilikan SIM harus berlangsung secara praktis, transparan, komperhensif dan jujur. Tak ada lagi jalan pintas menuju kursi mengemudi. Fase ketiga adalah fase pasca tes. Inilah fase pemantauan, dimana aspek penegakan hukum menjadi sangat penting. Bila perlu ada aturan yang mengatur jumlah maksimal pelanggaran. Jika melebihi jumlah tertentu maka SIM akan dicabut dan pemilik SIM dilarang untuk memiliki SIM seumur hidupnya.

Tentu saja gagasan di atas terasa amat menggantung di awan. Apalagi kerumitan yang ditimbulkan oleh perubahan ini. Undang-undang baru, peraturan baru, mekanisme baru, anggaran besar yang baru, sumber daya manusia baru dan sebagainya-sebagainya. Namun, ikhtiar memperbaiki kondisi bangsa ini rasanya tetap perlu digulirkan. Bukankah budaya berlalu lintas adalah cerminan budaya suatu bangsa..?

Thursday, July 24, 2008


Betapa tak terberkahi hidup dalam kecemasan, betapa tanpa rahmat hidup dalam kegelisahan. Setiap orang harus mampu menguak tempurung kegelapannya, setiap orang harus mampu berjuang menguak ketakutannya…
(Seno Gumira Ajidarma)
Peristiwa kriminalitas datang bak laju kendaraan di jalan tol, begitu cepat dan silih berganti. Tak usahlah disajikan data angka-angka yang njelimet, cukup tonton saja tayangan berita kriminal di teve-teve. Itu saja, baru tayangan kekerasan yang bersifat fisik belum lagi kalau mau bicara kekerasan non-fisik. Tindakan kriminal telah menjadi semacam “hal biasa” dalam masyarakat modern. Howard Bahr (1973) mengidentifikasi bahwa perkembangan masyarakat dalam tata sosial ekonomi yang modern telah melahirkan kelompok-kelompok marginal, salah satunya adalah orang jalanan, studi ini dilakukan Bahr di daerah skid row (istilah untuk daerah pemukiman orang jalanan). Dalam konteks Indonesia orang jalanan telah menjadi sosok yang menakutkan dan diidentikkan dengan tindakan kriminal. Apa benar demikian ?
Di pertengahan tahun 2004, di stasiun gambir dini hari saat tiba dari Purwokerto. Sembari menunggu datangnya pagi, bercakaplah saya dengan seorang anak yang usianya tak lebih dari 20 tahun. Dari percakapan ngalor ngidul tersebut ada satu pesan yang tertangkap, bahwa kadang kala mereka “dipaksa” bertindak kriminal, seperti mencopet atau merampas barang orang lain. Siapa yang memaksa ? dan mengapa mau dipaksa ?
Siapa yang memaksa mereka ? ada beberapa hal yang memaksa mereka. Ternyata kitapun ikut andil memaksa mereka. Pendapat umum masyarakat yang selalu mengidentikkan mereka dengan kriminalitas, secara tidak langsung membuat mereka terbiasa bertindak kriminal. Seperti kata kawan bercakap saya di gambir itu, “lha..semua orang saja menganggap kami penjahat, lalu pantes dong kalau kami benar-benar jadi jahat…” begitu kurang lebih pernyataannya ketika ditanya soal copet dan jambret yang sering terjadi di stasiun. Bisa jadi bukan hanya itu yang memaksa mereka bertindak kriminal, tapi juga cara pikir kita yang memaklumi kejahatan di jalan. Ambil contoh, jika kita mau naik bus kota di kota-kota besar ada semacam catatan umum “hati-hati dompet kalau naik bus, banyak copet !” lalu kebenaran dompet kita hilang betulan. Maka, orang-orang akan berkata “makanya hati-hati di bus”. Dari contoh itu akan nampak bahwa publik telah memaklumi kejahatan dalam bus kota, hingga yang disalahkan justru si korban, bukan pula si copet atau budaya copet, atau juga bertanya mengapa sampai ada pencopet, masyarakat kita itu memang aneh !
Hal-hal di atas baru dua dari contoh peran kita masyarakat meningkatkan angka kriminalitas. Lalu, mengapa pula orang jalanan itu mau “dipaksa” untuk bertindak krimnal ? Parsudi Suparlan (1993) berdasarkan hasil studinya terhadap gelandangan di Jakarta menyebutkan bahwa politik gelandangan adalah kesadaran yang lahir karena mereka merasa tidak memiliki kekuatan apapun powerless dan menanggapinya secara fatalistik. Ketermarginalan yang luar biasa yang dirasakan orang jalanan telah membuat mereka melupakan segala bentuk norma, bahkan melupakan nurani, ini adalah gejala umum. Pantaskah mereka yang disalahkan semata-mata ? sedangkan mereka sebenarnya hanya korban. Yang harus dicari adalah apa dan siapa yang memarginalkan mereka. Ketermarginalan gelandangan atau orang jalanan ini bisa memunculkan keterasingan yang luar biasa (Howard Bahr), hingga semua hal diluar diri mereka dan kelompok mereka dianggap musuh atau adalah mangsa.
Pembaca mungkin bertanya mengapa tulisan ini mengerucut pada orang jalanan, karena salah satu penyumbang angka kriminalitas yang cukup besar adalah kejahatan di jalanan yang konon oleh sebagian orang pelakunya dituduhkan pada orang-orang jalanan. Satu hal lagi tulisan mencoba memberi ruang refleksi bagi kita, bahwa kejahatan juga lahir karena cara kita memandang kejahatan.
Ngewongke orang jalanan
Orang jalanan yang sering menjadi kambing hitam atas kejahatan di jalanan bukanlah mahluk tanpa nurani, mereka hanya seringkali mengalami “keterhilangan diri” dari dunia. Maka tak adil kalau kemudian yang kita lakukan makin menghilangkan ke-diri-an mereka dari dunia. Ruang ekspresi bagi mereka sering kita tutup rapat-rapat, bukan sphere (ruang) dalam artian tempat atau wahana tapi ruang dalam pikiran dan nurani kita, mereka tidak mendapatkan itu. Ketika kita memberi uang pada pengamen umumnya bukan bentuk apresiasi kita atas kerya mereka tapi lebih dikarenakan permakluman kita pada profesi mereka. Ini salah satu masalah yang menurut saya menjadi penyebab keterasingan orang jalanan dan jadilah mereka bertingkah semau gue.
Tak bisa dihindarkan lagi, jika kita ingin angka kriminalitas menurun khususnya dari sektor kriminalitas di jalan maka manusiakanlah orang jalanan secara normal. Hargai dan apresiasilah profesi mereka, ubahlah sudut pandang kita tentang mereka, ajak mereka bicara. Buang kegelapan dan ketakutan dari tengkorak kepala kita !

Tuesday, July 15, 2008


Political Science Lyric
By Randy Newman
(Mari Tersenyum dan mengeryitkan dahi membaca lirik ini…
akankah pemerintah AS bisa ikut tersenyum..??)
No one likes us-I don't know why
We may not be perfect, but heaven knows we try
But all around, even our old friends put us down
Let's drop the big one and see what happens

We give them money-but are they grateful?
No, they're spiteful and they're hateful
They don't respect us-so let's surprise them
We'll drop the big one and pulverize them

Asia's crowded and Europe's too old
Africa is far too hot
And Canada's too cold
And South America stole our name
Let's drop the big one
There'll be no one left to blame us

We'll save Australia
Don't wanna hurt no kangaroo
We'll build an All American amusement park there
They got surfin', too

Boom goes London and boom Paris
More room for you and more room for me
And every city the whole world round
Will just be another American town
Oh, how peaceful it will be
We'll set everybody free
You'll wear a Japanese kimono
And there'll be Italian shoes for me

They all hate us anyhow
So let's drop the big one now
Let's drop the big one now

Thursday, June 5, 2008


*Surat ini aku kutip dari bagian pembuka draf naskah novelku...semoga memberi warna...

                  sumber foto : plkc-corner.blogspot.com




To :
erva.salsabillah@yahoo.com
Subject : Surat untuk mama....(jangan dibaca dek..)
From :
gotho.ilalang@gmail.com


Assalammu'alaikum
Mama....aku disini baik-baik. Awal musim gugur, sempat membuatku kena flu ringan tapi tak masalah, sudah baikan. Jangan khawatir sekarang aku sudah agak terbiasa dengan makanan disini.
Apa kabar keluarga kita ? selamat ya ma atas wisuda D2nya. Semoga lebih bermakna dan makin dicintai oleh murid-murid mama.
Ma izinkan aku bercerita..akan panjang semoga mama tak lelah.
Usiaku lewat seperempat abad sudah, banyak yang telah kualami dan lalui. Sekian lama aku jauh dari rumah, berkelana ke banyak tanah. Tapi kutahu cintamu tak ada habisnya, cinta yang dulu kau berikan saat tubuhku masih merah dalam balutan popok. Kutahu, kau selalu terjaga karena tangisku dini hari, belum sempat kau padamkan lelah dan letihmu aku sudah terbangun, kaupun bangun walau kantuk menggelayuti kesadaranmu. Kau ganti celanaku, kau susui aku bukan dengan segumpal daging yang menyemburkan air susu tapi kau susui aku dengan hatimu...dengan jiwamu...tak ada yang tak kau berikan padaku. Bahkan dirimu
Ma...masa itu jauh berlalu tapi tak berkurang cintamu barang semilipun. Aku tahu semua itu ma, air matamu yang kulihat tiap kali kau mengantarku kembali ke perantauan menyiratkan itu. Airmata cinta yang tak bertepi, tapi aku mah...aku anakmu bahkan belum tahu cara mencintaimu. Aku berlari kesana-kemari mengejar impianku, menghalau tiap jengkal keinginanku. Aku lupa membalas cintamu yang memang tak akan pernah mampu kubalas itu. Meski begitu kau tak pernah berubah. Seburuk apapun laku anakmu, kau tetap memelukku dengan cintamu, tak ada yang berubah.
Sama....sama seperti dulu saat kau berpeluh keringat di dapur, jauh sebelum matahari pagi bangkit. Kau goreng pisang, kau siapkan penganan untuk kau jual. Tak pernah terbersit rasa malu akan semua itu, kau melakukannya karena mencintai keluargamu. Mencoba mencari tambahan rezeki, dibalik himpitan kebutuhan kita..seberapalah gaji pegawai negara..pantang bagimu menyerah, apalagi membiarkan kami lapar. Keringatmu tak akan pernah bisa kami gantikan dengan apapun...anak-anakmu tak akan pernah mampu..
Menyesal rasanya sering membantah omonganmu. Sering memaksamu memahami hidupku...menyesal ma. Aku merasa malu...tapi kau tak sedikitpun mengurangi cinta. Kutahu saat tanganmu menyapu keningku ketika kutidur waktu pulang ke rumah. Pasti kau merindukan anak-anak manismu dulu, sayang seiring waktu kami kerap melupakanmu..sibuk meraih pencapaian- pencapaian hidup.
Sedang dirimu tetap bangun sebelum subuh datang, kau berdoa panjang dalam sholat malammu. Memohon Tuhan menjaga kami, anakmu. Kau menangis mengingat kesulitan yang kami hadapi, dalam doa kau kirimkan kekuatan kepada kami. Matamu memerah karena tangismu dalam doa. Sedang aku anakmu dirantau sibuk dengan segala harapan-harapan masa depan.
Aku lupa, bahwa waktu kelak akan membawamu pergi jauh. Saat matamu menutup rapat, senyummu menghiasi wajahmu dan kedua tanganmu didekapkan di dada. Pasti itu akan datang, sungguh suatu saat yang tak sanggup aku bayangkan. Apalah rupa hatiku, saat harus menghadapi itu.
Pernah dulu saat seragamku masih putih merah, kau sakit, sakit keras. Tubuhku lemah tak berdaya di atas dipan. Infus menjulur di tangan kirimu, nenek menangis dipinggir kepalamu. Aku belum cukup dewasa ketika itu, tapi aku tahu mungkin aku akan kehilanganmu. Kematian belum kupaham ketika itu, tapi aku merasa sebuah kepiluan yang dalam dan ketakutan yang amat sangat. Tak semenitpun aku jauh dari kakimu. Kutindihkan bantal-bantal di ujung kakimu yang berselimut tebal, jemari kecilku kutekan-tekankan ke kakimu. Aku memijatmu dengan hati yang lirih. Aku tahu ada sesuatu yang tengah menimpamu. Papa menangis sambil menggenggam tanganmu, tangis yang tak sepenuhnya tumpah. Aku tahu mungkin aku akan kehilanganmu.
Seragam sekolahku memang masih putih merah, tapi hatiku membimbingku pada keresahan. Kutinggalkan sekolah, tak ingin semenitpun aku meninggalkanmu. Badanmu panas, bibirmu kering, matamu sembab, sesekali nafasmu seperti berhenti, orang-orang menangis disisimu.
Akupun rapuh dengan perasaanku. Nenek memintaku bermain di luar, aku menolaknya, aku hanya berpikir harus bersamamu...tak ada makanan yang masuk ketubuhmu dari mulut, semua dikirim lewat selang yang menjalarimu. Saat itulah aku merasakan ketakutan yang amat sangat.
Suatu waktu kau tersadarkan, aku masing di ujung kakimu. Tubuhku berkeringat dingin, gemetar rasanya. Kau menatapku, matamu menuntunku mendekati kepalamu...akupun bergerak dengan jiwa yang rapuh sebagai anak-anak yang sangat takut kehilangan ibunda tercinta.
Tak ada kata-kata yang kau lepaskan dari mulutmu, hanya airmata yang berbicara. Akupun terpukul dengan airmatamu, aku menangis, tangis yang kutahan sekuat-kuatnya..tapi airmataku menggelinding menjatuhi lenganmu. Kuusap-usap mataku, agar airmata itu berlalu tapi tiap kali kuusap, airmata selajutnyapun segara tumpah.
Kutahu banyak yang ingin kau katakan tapi tenagamu tak ada untuk berkata-kata. Kupijit keningmu dengan jemariku yang bergetar, aku ingin mengusir semua sakitmu, aku ingin rasanya meremas-remas rasa sakit itu dan menyuruh mereka pergi..pikiran kanak-kanakku, penyakit itu seperti rombongan semut yang menyerbu tubuhmu.
Orang-orang menangis di sisi dipanmu, nenek tiap saat membasuh matanya ke kamar mandi lalu kembali ke kamar. Papa hanya terpaku di atas kursi di sampingmu. Wajahnya pucat, air matanya tumpah walau tak sederas air mataku. Mereka memintaku bermain dengan adek, tapi aku menolaknya.
Waktu itu adek masih sangat kecil, dia hanya berlari-lari saat orang berdatangan, kadang ia menangis lalu berlari-lari lagi. Mungkin adek akan menangis tiga kali lebih deras dariku andai ia tahu mungkin kau akan pergi jauh..
Setelah lama kau menahan kata-katamu, akhirnya sekalimat terkeluarkan dari mulutmu...kau memintaku mencari daun kapuk randu untuk mengompresmu. Bergegas aku mencari daun itu, aku tahu di jalan ke sekolahku ada yang punya pohon itu.
Dalam perjalanan, langkah derasku terhenti, seekor ikan sepat berkesiap di tanah siring. Seorang penjala mengangkatnya dengan jala dari lebak di dekat rumah kita, mungkin ia lupa memungutnya atau sengaja meninggalkan ikan sepat merah itu. Kuambil sepat itu, aku berdoa sambil menuntut pada Tuhan ���Tuhan, akan kuselamatkan ikan sepat ini, tapi maukah Kau berjanji padaku, sembuhkan mamaku��� Kulemparkan sepat itu kembali ke rawa. Ia berkecipuk lalu hilang dibalik air rawa. Aku tawar menawar dengan Tuhan. Logika sederhana kanak-kanakku, meyakini kalau aku memberi maka Tuhan akan membalasnya. Aku menyelamatkan sepat itu, Tuhan harus menyelamatkan mamaku..adil !
Entah karena tawar menawarku dengan Tuhan atau karena seorang mantri yang datang membuat ibuku mulai membaik. Daun yang kubawa diremas-remas di dalam air sebaskom kecil lalu dikomreskan ke keningmu. Kau tak jadi meninggalkan kami, keluargamu yang kau cintai dengan sepenuh hidupmu.
Peristiwa itu jauh di masa lalu, tapi aku tak bisa melupakannya. Kalau orang bertanya apa prestasi tertinggiku pasti kukatakan soal ini pada mereka. Inilah prestasi tertinggi, tawar menawar dengan Tuhan, karena aku tak mau kau pergi.
Disini ma, aku menemukan diriku, aku melihat siapa aku. Lendir-lendir anyir kulihat memenuhi tubuhku, dusta, pengkhianatan, kebusukan, maksiat telah banyak kulakukan. Pasti kau kecewa ma...aku tahu..
Ma, aku mencoba memulai dari titik nol, aku ingin belajar menjadi diriku sesungguhnya. Pasti kau mendukungku walau hatimu perih mengetahui rahasia anakmu dirantau...
Aku sangat mencintaimu ma, tentu juga papa dan adek-adek..
Salam sayang anakmu,
Gotho

Monday, May 12, 2008


Sebuah Pengantar
“Saling mencintai atau musnah dari muka bumi” begitulah ungkapan terkenal penyair Auden yang menjadi semacam azimat bagi Morrie Scwartzh di hari-hari akhir hidupnya yang berat bersama penyakit Lou Gehrig. Dunia medis mengenalnya dengan ALS (amyotropic lateral sclerosis).


Jauh waktu setelah Morrie pergi, jauh disini di negeri yang sejatinya kaya cinta justru meradang. Cahaya cinta di hati bangsa ini tengah berpendar, lalu memudar. Pemerintah kami pandai tapi taklah kami tahu mereka memiliki cinta atau tidak. Pengusaha kami tekun, tapi taklah kami tahu mengertikah mereka makna cinta. Intelektual kami cerdas, tapi adakah mereka ingat cara mencintai ? Anggota legislatif kamipun tangguh, tapi mereka kadang lupa makna cinta.

Elaborasi kepentingan antara mereka telah menggulung makna cinta. Bayangkan ! Hutan yang sedianya adalah jembatan antara manusia dan alam, pusat bernafas yang membuat kehidupan tetap berjalan justru digadai. PP No 2 tahun 2008 menjadi legitimasi bagi konversi hutan. Lalu, siapa menuai untung dari semua ini ?? tentu saja bukan rakyat biasa, apalagi perempuan yang posisinya selalu lemah.

Adakah para pembuat kebijakan sempat terlintas memikirkan serangga yang bersembunyi di akar kayu, binatang liar yang berumah di balik lebatnya hutan, adakah mereka berpikir anak desa yang hidup di sekeliling hutan, atau terbayangkankah perempuan-perempuan tangguh pengumpul kayu bakar ?? atau terbayang gemiricik rupiah yang perpindahan tangannya di sebuah hotel mewah dengan dayang-dayang perempuan gemulai lagi berbisa ?? Entahlah !! “Orang-orang penting” di negeri ini rasanya perlu ikut kuliah terakhir Morrie Schwartz di penghujung hidupnya atau paling tidak membaca hasil kuliah itu,yang ditulis oleh Mitch Albom, Tuesday With Morrie. Agar keserakahan itu terangkut dari hati mereka.

Memahami Perspektif Pembuat Kebijakan
Tunggu dulu kawan, jangan terburu nafsu menghakimi pembuat kebijakan. Rasanya mereka juga punya dalih. Jika membaca penjelasan umum atas PP No 2/2008 termuat kalimat sebagai berikut.
“Sumber daya hutan Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai penyangga kehidupan manusia melalui berbagai fungsinya.Hilangnya fungsi hutan mengakibatkan bencana seperti banjir, kekeringan, hilangnya keanekaragaman hayati, cadangan pangan, cadangan obatobatan, hasil kayu dan nonkayu, dan lain-lain. Oleh karena itu, sumber daya hutan merupakan objek sekaligus subjek pembangunan yang sangat strategis.

Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang saat ini dilakukan, belum sepenuhnya memberikan penghargaan terhadap nilai manfaat hutan yang hilang. Nilai manfaat hutan ini antara lain kompensasinya adalah dalam bentuk lahan kompensasi, tetapi lahan kompensasi sulit diperoleh. Oleh karena itu, diperlukan suatu nilai pengganti terhadap lahan kompensasi”

Nampak sekali bahwa pembuat kebijakan paham betul fungsi dan kemanfaatan hutan. Hingga sebagai kompromi antara kepentingan investasi yang berarti devisa dengan kepentingan konservasi yang berarti masa depan lahirlah PP ini. Niatnya baik sungguh.

Lalu, pertanyaannya sudahkah proses lahirnya kebijakan ini memenuhi beberapa hal penting; pelibatan komunitas adat, masyarakat seputar hutan, perempuan-perempuan pencari kayu bakar, anak-anak desa tepian hutan. Kalau jawabannya iya, bolehlah kita sepakat dengan PP No 2/2008 ini, tapi kalau jawabannya tidak, maka saatnya melawan.

Masyarakat seputar kawasan hutanlah yang akan memikul direct impact dari kebijakan ini. Sepantasnya mereka menjadi aktor utama dalam lahirnya kebijakan ini. Atau jangan-jangan mereka hanya angka statistik yang penting kala momen pemilu saja ??
Izinkan Perempuan Bergerak

Perempuan sejauh ini selalu menjadi penonton, kebijakan yang menyangkut hajat mereka justru mereka tak dilibatkan. Ketika dampak negatifnya mulai berasa, merekalah yang sangat dirugikan. Mari kita susuri kisah-kisah usang konflik ekologis. Aleta Baun di Mollo adalah bukti bahwa perempuan adalah pihak yang paling rentan resiko ketika hutan dikonversi menjadi tambang atau kepentingan lainnya. Rima Mananta di Soroaku juga mengalami hal serupa.

Mengapa perempuan menjadi sangat rentan ? Sejatinya perempuan memiliki kepekaan yang lebih kuat terhadap hutan. Hal ini saya temui saat proses belajar bersama di Grumbul Cibun, kaki Gunung Slamet yang masuk wilayah admistratif Banyumas. Perempuan disana sangat resah tatkala air mengalami degradasi kualitas. Perempuan disana juga pedih kalau melihat pohon tua yang ditumbangkan. Ketika mandi atau mencuci di sungai mereka tanpa sadar melakukan dialog dengan alam. Kalau mencari kayu bakar mereka akan lebih lama dibanding lelaki, karena mereka memilah ranting yang layak menjadi kayu bakar, mereka mencari ranting yang sudah mati atau akan segera mati. Kalau ditanya mengapa ? jawabannya sederhana, jangan “membunuh” kehidupan, tidak baik.

Maka, saya melihat kaum perempuanlah yang paling berpeluang melawan segala bentuk “penganiayaan” terhadap hutan. Meski perlawanan itu bisa berbentuk silent struggle, perlawanan yang bersifat diam atau bisa berbentuk perlawanan berwujud. Relasi yang cenderung bersifat emosional antara kaum perempuan dan hutan membuat perempuan memiliki kepekaan lebih. Hampir ½ waktu hidup perempuan di seputaran hutan dihabiskan bersama alam; mencuci dan mandi di sungai, mencari kayu bakar, memasak dengan kayu bakar, menanam, menganyam dan sebagainya.

Di sisi lain, pemilik kepentingan ekonomis di balik konversi hutan melihat perempuan sebagai sosok yang mudah dan gampang diintimidasi demi melanggengkan kepentingan mereka, jadilah perempuan korban.

Di balik itu semua, mari kita lihat potensi perempuan sebagai garda terakhir perlawanan menghadang pengrusakan hutan. Perempuan-perempuan di tepian hutan memahami makna hutan secara alamiah dari hubungan emosional mereka dengan alam. Jadi, andaikata mereka berdaya dan tahu cara berjuang menyelamatkan hutan secara baik, saya yakin mereka akan menjadi radar yang akurat bagi setiap upaya perusakan hutan. Sekaligus penjaga yang baik.

Gerakan perempuan sudah saatnya menjadikan isu lingkungan sebagai yang utama dalam upaya peningkatan kesadaran lingkungan berbasis gender.

Sebagai kaum Adam, malu menyadari betapa setia dan cintanya perempuan terhadah alam. Gadis kecil bernama Ruby Creek Fox Nelson di Maine berjibaku menjual bunga petunia yang hasilnya ia sumbangkan untuk konservasi orangutan di Borneo. Butet Manurung perempuan tangguh yang memilih belajar bersama suku anak dalam sembari merawat hutan. Aleta Baun, di Mollo harus menanggung pilu sebagai akibat perjuangannya melawan tambang marmer.

Perempuan menjadi tumpuan kelangsungan hutan kita. Merekalah yang nanti akan menasehati anak-anak “nak, hutan adalah nafas bagi kita, air yang kita minum juga datang dari sana, udara yang kau hirup juga karena pohon-pohon disana. Jadi nak, jangan kau sakiti hutan”.
Akhirnya, bergeraklah perempuan Indonesia. Dengan kelembutanmu ajarkan kepada siapapun yang tamak bahwa hutan itu karunia, jangan kau jamah secara tak berbudaya tapi jagalah. Dengan mata hatimu beritahukan pada kami yang belum tahu bahwa hutan rindu kasih sayang manusia. Sekali lagi bergeraklah perempuan !!



Tuesday, April 29, 2008



 Salah satu rekomendasi Muktamar Muhammadiyah ke-45 adalah dibentuknya Lembaga Lingkungan Hidup (LLI). Kini Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah memiliki lembaga tersebut dan diketuai Ir. H.M. Dasron Hamid, M.Sc. Namun pertanyaannya, mampukah Muhammadiyah melakukan optimalisasi atas peran lembaga tersebut ?

Di tengah pola kebijakan penyelenggara negara yang berparadigma pragmatis, memiliki kesenjangan amat besar antara wacana dan realitas politik. Pola pikir reduksionis dan eksploitatif berkembang mewarnai setiap lini penyelenggaraan negara. Terutama dalam pengelolaan sumber daya alam.

Christopher Stone (1972) menulis bahwa alam sebagai entitas (di luar manusia) memiliki hak. Maka penghormatan atas hak-hak alam inilah yang kemudian menjadi landas pijak lahirnya beragam gerakan lingkungan. Tentu pesan Islam juga memerintahkan manusia untuk menghormati hak-hak alam.

Melangkah ke depan. LLI harus mampu menjawab permasalahan-permasalahan lingkungan hidup aktual di tanah air. Mendorong kebijakan negara yang pro lingkungan adalah salah satu space yang harus diperankan LLI Muhammadiyah. Di samping peran lain termasuk aksi konservasi berbasis partisipasi warga Muhammadiyah.

Sebelum sampai kesana, LLI harus melakukan peningkatan kesadaran warga Muhammadiyah dan warga Indonesia umumnya akan arti penting keberlanjutan alam. Tentu sebagai pilot project adalah warga Muhammadiyah.

Pada usianya yang bisa dibilang sangat muda. LLI tentu tengah mencari format gerakan yang tepat. Salah satunya orientasi gerakan harus dibangun secara kokoh. Dalam perspektif penulis gerakan lingkungan berbasis agama adalah salah satu gerakan yang paling strategis dalam membangun kesadaran publik.
Maka, LLI memang harus merumuskan semacam orientasi gerakan. Dengan kata lain fokus harus dimiliki. Permasalahan lingkungan begitu kompleks dan melibatkan berbagai faktor, maka orientasi penting agar gerakan tidak tenggelam di tengah kompleksitas masalah.

Kesadaran Warga
Membangun kesadaran publik, merupakan fase yang paling sulit dan fundamental. Mengingat segala macam aksi konservasi yang tidak melibatkan masyarakat cenderung akan gagal. Maka orientasi pertama gerakan lingkungan di tubuh Muhammadiyah, kesadaran lingkungan warga Muhammadiyah.
Selanjutnya orientasi kedua, secara jujur harus diakui. Muhammadiyah sebagai institusi relatif masih awam dalam manajemen gerakan lingkungan, maka tak dapat dihindari jejaring (networking) yang kuat adalah mutlak. Sepengetahuan penulis, begitu banyak kader Muhammadiyah yang bergerak di lembaga lingkungan. Tentu sumber daya kader ini harus dioptimalkan dalam membangun jaringan kerja LLI.
Lalu, kita harus mampu pula menyusun strategi aksi dalam mencapai orientasi tersebut. Untuk orientasi pertama saya pikir tidak ada permasalahan, karena membangun jejaring, Muhammadiyah telah terbukti handal.
Namun, untuk orientasi pertama ini perlu secara komperhensif dipikirkan. Secara umum bisa dikatakan bahwa kesadaran lingkungan masyarakat Indonesia masih sangat rendah.
Ruth Richards, M.D., Ph.D dalam tulisannya yang dirilis Journal of Humanistic Psychology, Vol. 41, No. 2, 59-95 (2001). Mengatakan bahwa kesadaran manusia akan lingkungannya meliputi beragam faktor yang sangat kompleks. Mulai dari identitas kultural, kepercayaan sampai pada sistem pendidikan. Tentu kesadaran tidak muncul secara instant melainkan melalui proses persinggungan dengan realitas maupun pengetahuan. Hingga aspek kognitif, afektif dan psikomotorik menjadi sangat penting dalam membangun kesadaran termasuk kesadaran lingkungan.
Selama ini pola membangun kesadaran lingkungan (environmental awareness) terlalu menitik beratkan pada simpul kognisi. Hingga kesadaran yang terbangun belum komperhensif. Mengingat masalah lingkungan bersifat faktual dan aktual, maka pengalaman yang sifatnya emosional dan juga aktivitas empiris menjadi hal penting.
Pada tahap selanjutnya, kesadaran merupakan sesuatu yang dinamis dan tidak statis. Maka persuasi harus bersifat berkelanjutan terhadap subyek penyadaran. Proses membangun kesadaran adalah proses yang terus menerus, tidak pernah berhenti. Karena, kesadaran sendiri bersifat dinamis. Kesadaran hari ini bisa jadi harus diperbaiki di masa depan, begitu selanjutnya.
Dalam konteks Muhammadiyah yang relatif berbasis warga yang berpendidikan, tentu bisa dijadikan modal awal. Juga semua institusi yang ada di tubuh muhammadiyah, mulai dari kesehatan, pendidikan, dakwah dan ekonomi bisa dijadikan medium pengantar bagi transformasi kesadaran publik.
Sebagaimana kita ketahui, Indonesia tiga tahun terakhir terus menerus ditimpa bencana alam (natural disaster), tentu ini juga menjadi pekerjaan medesak LLI. Bukan sekedar aksi tanggap darurat bencana, tetapi lebih dari itu adalah aksi menelusuri penyebab bencana. Banjir, tanah longsor dan beragam bentuk bencana alam tersebut tentu tidak terjadi karena faktor alamiah semata, ada faktor lain yang bisa berperan.
Perilaku manusia bisa jadi faktor penyebab beragam bencana alam. Memang, bisa jadi bukan faktor utama tapi bukan berarti andilnya kecil. Dalam konteks inilah LLI memiliki ruang aksi yang luas dalam ikut berkontribusi melimitasi peluang bencana alam di Indonesia.

Peran Politik Lingkungan
Ada segmen yang tak kalah penting dengan membangun kesadaran lingkungan warga, yaitu membangun kesadaran lingkungan penyelenggara negara. Pola kebijakan yang eksploitatif dan manipulatif dalam pengelolaan sumber daya alam harus diubah. Muhammadiyah tentu harus berperan mendorong perubahan tersebut.
Pola kebijakan negara yang pro investasi (utamanya asing) tidak diikuti dengan pola pengawasan dan evaluasi atas investasi tersebut. Khususnya investasi di bidang-bidang yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Kerugian material dan non-material yang disebabkan kerusakan lingkungan dan merapuhnya konstruksi sosial masyarakat local adalah harga yang harus dibayar.
Kasus Freeport, Newmont Minahasa Raya, Lapindo dan sebagainya adalah bukti lemahnya pengawasan dan evaluasi. Tak ada pilihan lain, kebijakan negara atas investasi harus diperbaiki dan pola pengawasan dan evaluasi harus melibatkan multi stakeholders. Muhammadiyah harus memainkan peran ini lebih optimal melalui LLI.
Gagasan-gagasan dalam tulisan ini berhasrat untuk mengingatkan betapa strategisnya peran Muhammadiyah dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dan menjadi benteng perlawanan atas segala pengrusakan lingkungan. Di tubuh LLI dengan nahkoda Ir. Dasron Hamid tentu telah dengan serius memikirkan ini dan berkarya. Namun, dukungan tentu tetap mereka butuhkan. Tulisan ini salah satu bentuk dukungan pada para Ayahanda.
Mengutip Mahatma Gandhi, ���the earth has enough for everyone's needs but not for some people greed's". Akhirnya, semoga Muhammadiyah menjadi pencerah di tengah peradaban yang makin ���tamak��� dan galaunya masa depan lingkungan.. Fastabiqul Khairat !
Dimuat di Majalah . Suara Muhammadiyah edisi No. 24. Bulan Desember 2006

                                          sumber foto : Yuhardin, panyingkul.com

Transportasi telah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat modern. Apalagi jika menyangkut transportasi publik. Ketersediaan transportasi publik yang komperhensif akan sangat mempengaruhi mobilitas sebuah kota.
Di kebanyakan kota besar di seantero dunia, transportasi publik menjadi permasalahan serius. Kota-kota besar di Indonesia juga mengalami hal serupa. Bahkan di beberapa kota masalah transportasi telah menjadi sedemikian akut.
Kemacetan lalu lintas, kecelakaan dan kesemrawutan jalan telah menjadi hal yang rutin di kota-kota besar. Kondisi ini secara umum memang disebabakan oleh ledakan jumlah kendaraan pribadi serta kecilnya daya dukung inprastruktur dan suprastruktur jalan. Namun, secara spesifik masih terdapat faktor-faktor lain. Termasuk di dalamnya sensitifitas kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Permasalahan ketersediaan transportasi publik tentunya membutuhkan sebuah pendekatan yang komperhensif. Mengapa ? karena masalah transportasi akan memberikan implikasi yang signifikan pada sektor lain. Ekonomi, budaya, pendidikan bahkan juga mempengaruhi tingkat kriminalitas.
Makassar, sebagai salah satu kota besar di Indonesia, tentu tak luput dari permasalahan transportasi. Menarik untuk disikapi polemik seputar masalah transportasi yang terjadi belakangan ini di Kota Makassar. Seperti diberitakan harian Fajar (19/12/2006) aksi mogok sopir petepete (angkutan kota) sebagai bentuk kritik mereka atas beberapa kebijakan pemerintah kota dalam bidang transportasi.
Aksi mogok sopir petepete ini telah memberi implikasi yang cukup luas. Penumpang terlantar, siswa dan mahasiswa kesulitan mencapai sekolah dan kampus dan sebagainya (Fajar, 19/12/2006). Namun, lebih dari itu nampaknya Kota Makassar memang membutuhkan pola transportasi publik yang lebih tersistematisasi hingga akan menopang kota dalam perkembangannya.
Public policy berbasis partisipasi
Pada bagian ini kami mencoba menelaah pola kebijakan publik yang lebih partisipatif dalam pengembangan dan pengelolaan sistem transportasi publik. Seperti kecenderungan umum, banyak kebijakan publik yang mengabaikan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan, implementasi dan evaluasinya. Pola top down ini memiliki banyak kelemahan. Menurut Prof. Selo Soemardjan dalam tulisannya berjudul Good Governance (Jurnal Ekonomi Rakyat, No. 4/Juni/2002) menggambarkan pelibatan masyarakat dalam berbagai proses pemerintahan dengan memperhatikan aspek budaya lokal adalah karakter utama good governance.
Pertanyaannya kemudian, telahkah kebijakan pengembangan dan pengelolaan transportasi publik di Kota Makassar melibatkan masyarakat. Baik itu masyarakat pengguna jalan, maupun aktor dalam pelaksanaan pelayanan transportasi publik. Seperti, sopir petepete, pemilik armada, dan sebagainya.
Jika kebijakan pengelolaan dan pengembangan transportasi publik hanya bersandar pada data statistik dan opini ahli, berkecenderungan menimbulkan bias. Menarik dicermati upaya pemerintah kota Makassar yang menawarkan solusi penyediaan transportasi modern berupa bus way dalam rangka memperbaiki sistem transportasi publik.
Permasalahannya menurut hemat saya, bukan pada apa yang ditawarkan. Bisa jadi penyediaan bus way adalah jalan keluar, namun permasalahan terletak pada proses perencanaannya. Sudahkah masyarakat secara luas dilibatkan dalam penyusunan perencanaan, sudahkah pula aspek sosio-ekonomi dipertimbangkan. Karena, setiap kebijakan seputar transportasi publik juga menyangkut nasib ribuan pelaku di sektor ini. Maka, mereka juga harus dilibatkan dalam penyusunan rencana.
Tentu saja pelibatan partisipasi publik dalam perencanaan akan memberi kerja tambahan bagi pemerintah. Namun, jika pemerintah Kota Makassar ingin konsisten dalam upaya mewujudkan clean and good governance hal ini menjadi mutlak. Tidak hanya berhenti pada level perencanaan, masyarakat juga harus dilibatkan secara aktif dalam implementasi kebijakan dan evaluasi.
Faktor khusus permasalahan
Sebagaimana kita ketahui kompleksitas masalah transportasi jalan tidak hanya disebabkan pola kebijakan publik yang buruk tetapi juga menyangkut beberapa faktor khusus. Antara lain, faktor mentalitas pengguna jalan, pola penegakan hukum serta daya dukung lingkungan sosial.
Mentalitas pengguna jalan di Indonesia secara umum cukup memprihatinkan. Hal ini terlihat dari pola penggunaan jalan yang semena-mena dan sering kali mengbaikan faktor keselamatan. Hal ini disadari atau tidak telah berkontribusi menambah masalah di jalan raya.
Setiap saat kita dapat dengan mudah mendapati pengguna petepete naik dan turun petepete di tempat yang tak semestinya. Daerah lampu lalu lintas (perempatan, pertigaan) dan tikungan jadi tempat favorit untuk naik dan turun. Kesadaran yang rendah ini ditambah pula dengan minimnya sarana berupa tempat pemberhentian dan penantian angkutan kota (halte) yang memadai. Hingga semakin malaslah pengguna angkutan umum naik dan turun di tempat yang semestinya. Banyak contoh lainnya yang menunjukkan lemahnya kesadaran kita pengguna jalan.
Aturan hukum kadangkala berlaku secara tidak tegas dan berkecendrungan bersifat kompromistis, terutama dalam menyangkut pelanggaran penggunaan jalan. Jadilah kemudian wibawa hukum dipandang sebelah mata oleh pengguna jalan.
Di sisi lain daya dukung lingkungan sosial juga cukup lemah, seperti kesadaran untuk memelihara kelestarian jalan secara swadaya atau upaya meningkatkan kenyamanan jalan melalui penghijauan jalan secara swadaya juga terbilang belum cukup memadai. Masyarakat masih sangat tergantung pemerintah. Padahal daya dukung lingkungan sosial ini akan sangat berarti dalam upaya mengatasi beragam permasalahan transportasi jalan.
Ibarat sebuah toko jalan raya adalah etalase sebuah kota. Artinya apa-apa yang terjadi disana merupakan cerminan dari apa yang dimiliki masyarakat kota tersebut. Semakin beradab perilaku pengguna jalan sama artinya masyarakat di tempat tersebut makin beradab, jika tidak tanya kenapa ?
Teringat pengalaman mengunjungi beberapa kota di Eropa; Koln (Jerman), Birmingham, Stratford dan London (UK), masyarakat dan pemerintah menjadikan sektor transportasi publik sebagai hal yang sangat primer. Tentu saya tidak bermaksud melakukan komparasi atas keadaan yang ada di negara kita dan disana. Karena kondisinya tentu akan sangat berbeda. Namun saya bermaksud menangkap spirit yang ada disana sebagai buah pelajaran bagi kita.
Di Birmingham misalnya, masyarakat diajak berpikir bersama dengan city council untuk menentukan sarana transportasi apa yang layak digunakan, kemudian dimana saja lokasi yang tepat dan strategis untuk dibangun bus stop (Halte). Kemudian dalam evaluasi kebijakan masyarakat juga dilibatkan aktif untuk mengontrol perilaku sopir transportasi umum di jalanan. Hal ini dilakukan dengan sms, juga via email. Satu hal yang tatkala penting adalah penguatan supremasi hukum menjadi kunci sistem transportasi disana.
Tiga hal penting yang kemudian harus menjadi konsen kita bersama jika ingin mengatasi masalah transportasi adalah. Pertama, perencanaan, implementasi dan evaluasi kebijakan yang berbasis partisipasi masyarakat luas. Kedua, sustainable effort dalam upaya membangun kesadaran publik dalam penggunaan jalan secara bermartabat dan beradab. Ketiga, penegakan aturan hukum secara berkeadilan, transparan dan tegas.
Akhirnya, sebagai pengguna petepete dan angkutan umum lainnya saya berharap masa depan anggkutan publik di Indonesia umumnya dan Makassar khususnya bisa makin baik dan memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup warga negara.

*Tulisan ini Pernah dimuat di Harian Fajar Makassar, 26 Desember 2006


Tuesday, April 22, 2008


Ruang bermain adalah tempat dimana anak-anak tumbuh dan mengembangkan kecerdasan serta kepribadiannya. Disinilah anak-anak melakukan kontak dan interaksi dengan lingkungan sosial, yang akhirnya ikut membentuk karakter sang anak. (Pearce dalam Wilkinson 1980)

Jangan salahkan anak-anak, jika kini mereka tumbuh dan berkembang tak seindah harapan dan impian para orang tua. Jangan pula terkejut jika saat ini mereka melakukan “loncatan besar” dalam pola berekspresi. Lihatlah, ada siswa sekolah dasar yang mencoba mengkonsumsi obat terlarang, adapula anak yang menyiksa temannya a la smackdown atau ada anak-anak SMA yang memilih bertawuran ria ketimbang berangkat ke sekolah. Inilah konsekuensi dari berkurangnya ruang ekspresi bagi mereka.

Ruang bermain sebagai ruang ekspresi bagi anak-anak yang hidup di kota-kota besar kian menyempit, hak anak untuk bermainpun dilanggar atas nama kemajuan pembangunan. Sejatinya anak-anak memiliki energi yang besar untuk bermain, hingga ketika ruang bermain mereka dirampas mereka akan selalu mencari alternatif ruang bermain. Permasalahannya sehat dan baikkah alternatif yang mereka temukan itu ?

Konvensi Hukum Anak (KHA) menyebutkan empat hak anak; hak hidup, hak perlindungan, hak berpartisipasi dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Tersedianya ruang bermain bagi mereka adalah bentuk pemenuhan atas hak anak untuk tumbuh dan berkembang. Namun, sejauh ini perhatian kita atas hak anak dalam mendapatkan ruang bermain kerap terabaikan.

Cobalah sesekali melintasi kawasan lampu merah Grogol di atas pukul 12 malam, kalau cuaca cerah kita akan melihat anak-anak yang mengalihfungsikan lintasan busway sebagai ruang bermain. Hal serupa juga terjadi di banyak tempat, keinginan mereka untuk bermain telah melupakan mereka akan ancaman yang mungkin terjadi.

Tentu ancaman bagi anak-anak tidak hanya yang bersifat fisik tetapi yang jauh lebih parah adalah efek psikologis bagi anak. Bukankah kemungkinan anak-anak melakukan pembangkangan akan semakin besar tatkala hak-hak mereka dirampas. Kesempatan mereka untuk membangun kontak sosial dengan lingkungan juga akan berkurang. Jadi, jangan heran kalau kemudian mereka menjadi generasi yang sulit membangun empati, bahkan untuk sekedar menyadari bahwa mereka ada dan mengada bersama lingkungan saja menjadi sulit. Beramai-ramailah mereka membentuk gank-gank sebagai upaya memenuhi kebutuhan interaksi sosial mereka.

Bayangkan sebuah tanah lapang yang ditumbuhi rumput hijau dan dilindungi pepohonan rindang, anak-anak akan bisa bersenda gurau sembari bermain lompat tali atau main gobak sodor. Ada banyak hal positif yang bisa terbentuk dalam diri sang anak yang bermain didalamnya. Pelan tapi pasti mereka akan menganggap bahwa ruang bermain yang hijau itu adalah istana bagi mereka, lalu muncullah rasa memiliki dan keinginan untuk merawat. Dari sana mereka akan mulai belajar makna lingkungan alam yang baik bagi mereka.

Bermain di tempat yang baik juga akan membawa mereka pada sifat sportif, menghargai dan menghormati temannya, mau mengakui kekalahan dan tak pongah ketika mendapat kemenangan. Tapi kini hak mereka dirampas, ruang bermain taklah menjadi prioritas pembangunan yang cenderung berorientasi komersial semata. Anak-anak menjadi korban ketidakdewasaan orang-orang dewasa.

Kehilangan ruang bermain bukan sekedar perkara anak-anak tidak bisa bermain, tapi lebih dari itu ini masalah pembentukan karakter anak-anak. Tersumbatnya proses interaksi sosial dan aktualisasi diri akan berimplikasi buruk terhadap karakter mereka.

Maka, sudah saatnya kondisi ini mendapat perhatian dari semua pihak. Karena masa depan anak-anak adalah masa depan negeri ini. Angka populasi yang sangat tinggi di kota besar makin memperparah kondisi ini.

Pembangunan Pro Hak Anak
Sudah saatnya pembangunan yang pro terhadap hak anak dan juga pro pelestarian lingkungan dimulai. Pemerintah harus dengan ketat mengawasi pembangunan di kota-kota besar dan merancang master plan yang berorientasi pada hak-hak anak dan juga ramah lingkungan. Di sisi lain para orang tua harus dengan sungguh-sungguh memperjuangkan ruang bermain hijau bagi anak-anak mereka di lingkungan terkecil yaitu rukun tetangga.

Di tengah krisis lahan di kota-kota besar rasanya prioritas bagi ruang bermain anak masih berada di urutan kesekian. Tapi tentu kita tak ingin anak-anak Indonesia tumbuh dan berkembang hanya di mal-mal, generasi nongkrong yang relatif memiliki intuisi sosial yang lemah dan cenderung hedonis, inilah yang akan mewujud jika kita menafikkan arti penting ruang bermain bagi anak.

Melihat keceriaan anak-anak bermain, kita seolah melihat keceriaan masa depan negeri ini, tapi kini keceriaan itu banyak yang hilang. Untuk sekedar bermain mereka harus menunggu jalanan sepi, untuk bermain mereka harus memanjat tembok tinggi yang menutupi halaman sekolah yang biasanya jadi tempat bermain favorit, sedangkan di tanah-tanah kosong dijejali kendaran yang parkir, taman-taman bermain dipenuhi pedagang. Anak-anak kota besar tersisih, hak mereka tak dipenuhi. Sungguh ironis kondisi ini, di satu sisi kita berharap banyak pada mereka agar menjadi generasi yang cerdas dan berkualitas tapi disisi lain hak-hak mereka dirampas.

Menyikapi kondisi ini paling tidak tiga hal yang harus mulai dikerjakan bersama. Pertama, mendorong pemerintah membuat regulasi yang memproteksi hak-hak anak secara optimal. Serta implementasi kebijakan tersebut harus dengan ketat dilaksanakan.

Pembangunan fisik yang mengabaikan hak anak harus mendapat sanksi, marilah kita lihat proyek fenomenal yang saat ini tengah menjadi landmark Jakarta, Busway. Sudahkan proyek ini pro terhadap hak anak ?? rasanya belum. Adakah kursi khusus anak ?? adakah loket khusus anak ?? Mengapa anak-anak perlu mendapat loket khusus karena kecendrungan anak-anak adalah bertanya hingga mereka perlu mendapat pelayanan khusus. Bagi orang dewasa perkara naik busway hanya sekedar sampai ke tujuan, tapi bagi anak-anak ini perkara pengalaman hidup hingga mereka pantas mendapatkan hak mereka untuk tahu lebih banyak dan menikmatinya secara aman dan nyaman.

Pola pemanfaatan lahan yang mengabaikan hak anak tentu tidak hanya terjadi di Indonesia, hampir di seluruh kota besar di dunia mengalami hal serupa. Tapi paling tidak apa yang dilakukan pemerintah kota Solo dengan konsep taman cerdas adalah sebuah bentuk terobosan dalam menghadirkan kota yang ramah dan layak bagi anak.

Kedua, rasanya konsentrasi perlindungan terhadap anak tidak hanya menyangkut kekerasan terhadap anak (bullying) tetapi juga pada hak-hak anak yang lain. Isu bullying memang sangat penting tetapi perhatian terhadap hak anak atas ruang bermain juga perlu mendapat perhatian. Untuk itu kita sebagai masyarakat umum dan tentu saja lembaga-lembaga yang concern terhadap isu anak-anak dan remaja perlu mulai mengkampanyekan hak-hak anak atas ruang bermain ini secara lebih intensif.

Ketiga, orang tua dan orang dewasa lainnya harus mulai menyadari bahwa anak memiliki dunianya sendiri hingga dari sana tentu mereka punya hak atas dunia mereka tersebut. Maka, kita harus dengan penuh kesadaran menghormati hak-hak anak termasuk menghargai hak mereka untuk memiliki ruang bermain.
Sebuah kota yang ramah dan layak bagi anak memang masih menjadi impian bagi kita, tetapi memulai usaha ke arah itu rasanya bukan sesuatu yang salah. Jangan biarkan anak-anak bertanya “Kemana Kami Haru Bermain ??”.

Popular Posts