Friday, March 30, 2012



Democracy means government by uneducated while aristocracy means government by badly educated (Chesterton, 1931)

Sejarah preman di nusantara bukan sebuah kisah seluas Sungai Musi. Bisalah kita sebut seluas Samudera Hindia. Akar sejarah premanisme telah ada sejak kerajaan-kerajaan tua nusantara dan terus bersenyawa dalam tiap episode sejarah negeri. Ketika demokrasi menemukan momentumnya di republik kita, penggiat (baca aktivis) kelompok-kelompok preman itupun mendapat ruang ‘bermain’ yang makin meluas.
Kepentingan pragmatis kelompok-kelompok preman nusantara, terutama yang berbasis di ibukota tiba-tiba bersinergi dengan kepentingan pragmatis politis para elit politik nasional. Di lokus lokalpun kelompok yang berbasis di daerah mendapat peruntungan dari liberalisasi politik. Tali temali kepentingan antara elit politik dan elit preman inilah yang mengekalkan simbiosis mutualisme antara keduanya. Tak hanya itu, korporasi juga ikut berperan menyuburkan kelompok-kelompok preman di nusantara. Kepentingan penjagaan aset dan pengamanan investasi telah pula melibatkan kelompok-kelompok preman. Bahkan hipotesa yang sangat ‘berani’ juga menyebutkan bahwa aparat keamanan ikut bermain dengan kelompok-kelompok tersebut.
Kompleksitas hubungan berbagai kelompok kepentingan di atas menjadikan peran kelompok preman dalam berbagai macam ‘cover’nya (misal : kelompok kedaerahan) menjadi sangat strategis. Tak heran jika beberapa nama pentolan preman tiba-tiba menjadi aktor politik dan atau aktor bisnis di era reformasi. Tulisan ini tak mencoba mengulas nama dari aktor-aktor tersebut, namun mencoba melihat bagaimana posisi kelompok-kelompok preman tersebut memainkan peran sosial dan politik mereka saat ini.
Premanisme di Era Demokrasi yang “Terbeli
Hipotesa Gilbert Keith Chesterton di awal tulisan ini, hadir lebih dari delapan puluh tahun yang lalu. Namun, dalam konteks Indonesia hari ini, demokrasi yang menjadi pondasi kehidupan politik nasional telah tersandera oleh pragmatisme yang cenderung mereduksi demokrasi sebatas kursi kekuasaan semata. Di sisi lain, marjinalisasi kepentingan publik juga terjadi.
Rekruitmen politik sebagai salah satu proses penting dalam demokrasi kini terdistorsi menjadi sarana aktualisasi kepentingan-kepentingan elit semata. Di sisi lain, komersialisasi suara dalam Pemilu telah ikut menjadi faktor perusak substansi demokrasi. Kondisi ini bisalah kita sebut government by uneducated, seperti hipotesa Chesterton di atas.
Pada titik inilah, kelompok-kelompok preman dengan segala tamengnya menjadi sangat dibutuhkan. Semakin semrawut sebuah tatanan sosial dan politik dan semakin tak berfungsinya institusi hukum formal, maka semakin besarlah peluang kelompok preman dibutuhkan.
Sebelum lebih jauh membincang prihal preman dan premanisme, mari kita lihat definisi preman secara etimologis. Dalam kamus online Bahasa Indonesia (www.kamusbahasaindonesia.org) kata preman memiliki tiga definisi (1) partikelir; swasta; (2) bukan tentara; sipil (tentang orang, pakaian, dsb); (3) Sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras, dsb). Meski awalnya kata preman berakar pada kata vrijman (Bahasa Belanda) yang berarti orang bebas dan cenderung bermakna “netral”. Namun, seiring perkembangan kondisi sosio-kultural yang mengitari entitas preman di Indonesia, maka kata preman mengalami peyorasi. Jadilah identik preman dan kejahatan.
            Permasalahan sosial makin meluas manakala kelompok preman tersebut mendapat ruang sosial dan politik yang luas dan di sisi lain penegakan hukum oleh negara makin melemah. Memang terasa berlebihan jika kita sebut negeri ini, negeri para preman. Tapi indikasi bahwa kelompok-kelompok “gelap” yang beroperasi mengintervensi berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara mengarah para premis, negeri ini negeri preman. APBN dan APBD seolah menjadi bancakan bagi kelompok-kelompok gelap tersebut.
            Belakangan ini perbincangan tentang kelompok-kelompok preman kembali mengemuka. Publik seolah disadarkan bahwa kisah mafia a la Holywood itu ada dan nyata di negeri kita. Pertanyaannya kemudian sejauhmana kehadiran kelompok preman tersebut berimplikasi pada tereduksinya nilai substansi dari demokrasi, yang terus mencari bentuk idealnya di negeri kita.
Pseudo Democracy
            Judul tulisan ini memang terasa terlalu dramatis, dan seolah menisbikan pencapaian-pencapaian proses demokratisasi yang bermula sejak 1998. Namun, jika kita mau secara kritis melihat kondisi demokrasi terkini. Maka, kita bisa menemukan beberapa fakta yang sangat merisaukan, terutama menyangkut keberadaan kelompok-kelompok preman di tanah air.
            Pertama, dibajaknya proses demokrasi oleh sekelompok elit. Determinasi elit yang berafiliasi dengan kelompok preman telah dengan terang benerang menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk mengumpulkan sumber daya ekonomi.
            Kedua, dalam upayanya meraih kursi-kursi kekuasaan, elit politik telah dengan sistematis menjadikan kelompok preman sebagai salah satu ‘mesin’ mobilisasi politik. Pola persuasi sekaligus intimidatif juga digunakan untuk mobilisasi massa.
            Ketiga, kolaborasi kepentingan antara kelompok preman, elit politik dan pengusaha telah ikut menjadi kekuatan besar dalam libaralisasi politik di negeri kita.
            Kalaulah kondisi ini kita lihat sebagai sesuatu yang alamiah dalam liberalisasi politik, maka sadar atau tidak kita tengah mengantarkan demokrasi di negeri ini ksebagai pseudo democary (demokrasi semu). Jika ini terjadi maka demokrasi pada akhirnya akan sangat bermuara pada kapital. Demokrasipun akan berbias menjadi arena pertarungan modal. Lalu dimana posisi kepentingan publik ?
            Kepentingan publik tentunya akan terkubur, dibalik politik balas budi dan politik bancakan (berbagi kue pembangunan). Pada titik inilah dengan terang benerang kita bisa melihat bagaimana kelompok-kelompok preman bisa menjadi aktor kunci dalam proses politik di negeri ini. Maka, tak heran jika kelompok-kelompok ini berkembang dan terus tumbuh bak cendawan di musim hujan. Kemana mereka berpihak ? pastilah kepada siapapun yang membayar mereka. Mereka akan tampil sebagai anjing penjaga yang setia pada siapapun yang memberi mereka makan. Demokrasipun terancam, salah-salah negri kita karam.

           
             

Wednesday, March 21, 2012


Temaram senja di awal bulan ketiga
Saat wangi buah-buah bergetah menggelayuti udara
Senyum-senyum lebar terbentang dari wajah polos kehidupan

Alangkah senang hati menghayati tiap bulir senyum mengalir
Sembari melafalkan abjad-abjad cinta yang bergulir

Hatipun berayun kala mendengar lantunan kata terbata-bata
Dari bibir-bibir lugu kehidupan

Kalaulah hidup adalah kumpulan harapan
Kami disini adalah onggokan yang dilupakan
Harapan seperti sebuah ilusi yang lalu lalang
Dan pada akhirnya hilang

Abjad yang bergulir
Kata yang terbata
Senyum yang mengalir
Dan semangat yang terkata
Sesungguhnya penawar
Ilusi yang lalu lalang

(Doc : Huzer Apriansyah)


Sako Tulang, 9 Maret 2012
Sejenak usai belajar bersama dengan bebudak Rimba di Rombong Depati Bepak Ngarap, Sako Tulang. Barat Taman Nasional Bukit Dua Belas

Popular Posts