Thursday, November 23, 2006




Kemenangan Keith Ellison (42) menjadi anggota kongres Amerika Serikat (AS) dengan mengalahkan Alan Fine dari partai republik menjadi perbincangan hangat di AS. Ada apa rupanya dibalik kemenangan Keith Ellison di Minnesota dalam midterm election ini ?

Dalam laporannya, Minnesota Daily (02/11) menyebutkan bahwa kemenangan Ellison sangat dipengaruhi oleh rekam jejak perjalanan politiknya yang cemerlang selama menjadi legislator di Minnesota State Legislature. Mennesota Daily mengutip pendapat masyarakat “We are endorsing Keith Ellison because his track record in the state Legislature shows that he is dedicated to fighting for the well-being of all Minnesotans”

Bukan hanya karena reputasi dan perjuangannya bagi rakyat Minnesota yang membuat Keith Ellison menjadi bahan perbincangan. Tetapi juga karena Ellison adalah muslim pertama di kongres AS. Tentu saja ini menjadi sangat menarik, apalagi di tengah kampanye pemerintah AS memerangi terorisme dan kontroversi invasi AS dan sekutu di Afghanistan dan Irak.

Kemenangan Ellison ini melengkapi kemenangan Partai Demokrat atas Republik di pemilu sela (midterm election). Saat ini baik di Senat maupun di House of Representatives Partai Demokrat lebih dominan.

Kembali pada kemenangan muslim pertama AS ini. Tentu menimbulkan beragam pertanyaan. Mulai dari analisis yang menyebut bahwa saat ini masyarakat AS banyak yang bersimpati pada Islam sampai pada spekulasi mengenai dukungan jaringan Al-Qaeda dalam kemenangan Ellison.

Ellison, ayah empat orang anak dan suami dari Kim, seorang guru matematika ini dalam kampanye-kampanyenya memang tidak membawa isu primordial. Meski demikian saingannya dari partai Republik terus meneror publik dengan opini seputar latar belakang agama Ellison. Terutama menyangkut pertemanan Ellison dengan Louis Farakhan di masa lalu yang merupakan pemimpin organisasi muslim yang anti-semitisme.

Selanjutnya, setelah mutlak menggantikan Martin Sabo sebagai wakil Minnesota di kongres. Ellison akan berhadapan dengan beragam tuntutan agar ia membuktikan janji-janji kampanyenya seputar penguatan solidaritas warga negara. Serta pemberdayaan penduduk sub-urban.

Daya Terima Warga AS

Menarik untuk disimak opini Ellison yang dilansir CBSNews (29/6) “I think Democrats have to rediscover and re-embrace liberalism”. Mungkinkah cita-cita pembaharuan makna liberalisme itu menjadi kenyataan ? Hingga spirit baru itu membawa AS menjadi lebih bijak dalam memandang beragam masalah. Termasuk dalam menyikapi isu nuklir dan terorisme ? Kita simak nanti perjuangan Partai Demokrat, pasca kemenangan.

Kemenangan mantan pengacara ini juga sedikit banyak menunjukkan bahwa daya terima warga AS terhadap Islam semakin membaik. Sebelum Ellison terpilih, suara muslim AS menyebut bahwa kemenangan Ellison menjadi penting untuk membuka jalan baru bagi warga AS dalam menerima Islam.

Sumbal Mahmud (juru bicara Islamic Centre of Minnesota)sebelum kemenangan Ellison mengatakan ..”the years since the Sept. 11 attacks have been difficult for Muslims in America, and Ellison's candidacy is an important sign on the road back to acceptance.”(CBS News, 29/06).

Tentu saja kemenangan Ellison tidak bisa digeneralisir sebagai bentuk daya terima (acceptance) warga AS atas Islam. Namun, hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak seperti yang dituduhkan pemerintahan Bush; seram, menakutkan dan memusuhi pihak diluar Islam.

Islam sebagai kekuatan pro perdamaian dan keadilan ditunjukkan oleh Ellison. Dalam kampanyenya seperti termuat dalam situs resmi Ellison (www.keithellison.org) ia selalu mencoba menyampaikan pesan perdamaian. Ellison menyatakan “We have to unify. We have to come together from the suburb and the city. We have to come together straight and gay, black and white, red and yellow. We have to come together."(Minnesota Public radio,6/05).

Semangat membangun jembatan di atas perbedaan ini menjadi salah satu faktor yang mendukung kemenangan Ellison. Nampaknya warga AS telah bosan dengan semangat permusuhan dan saling menghancurkan yang selalu didengungkan oleh Gedung Putih.

Ellison yang memeluk Islam pada usia 19 tahun, kini telah menjadi salah satu simbol Islam di kancah politik AS. Tentu Ellison harus dengan segera menjawab keraguan publik atas semangatnya pada kerjasama dan kebersamaan lintas identitas (budaya, agama dan ras).

Gerakan Islam Konstruktif

Islamphobia yang meledak di AS pasca peristiwa (misterius) 11 September tentu harus dijawab dengan nilai-nilai Islam yang sangat kaya dengan humanisme. Tuduhan kekerasan sebagai senjata Islam harus dikikis dengan kerja nyata membangun kemaslahatan dunia.

Peran muslim sebagai rahmatan lil alamin harusnya dijadikan sebagai senjata “pemusnah” massal atas tuduhan atas Islam. Kini, dunia muslim dituntut memperkuat solidaritas guna membangun resistensi konstruktif atas segala bentuk kejahatan terhadap kemanusian.

Lebih dari itu umat Islam harus segera menyusun beragam strategi dan aksi mengatasi beragam masalah kemanusian. Mulai dari kemiskinan hingga tata perdagangan dunia yang adil. Dari ledakan populasi sampai krisis energi.

Jika Islam mampu menjadi kekuatan penyeimbang atas kekuatan otoriter dan anti kemanusian manapun termasuk jaringan korporasi internasional (TNC’s, MNC’s) atau pemerintah manapun yang anti-keadilan dan kemanusiaan. Gerakan Islam konstruktif akan menjadi antithesa bagi Islamphobia juga resistensi atas kekuatan anti-kemanusian.

Kehadiran Ellison di kancah politik nasional AS tentu tidak bisa dijadikan sandaran kebangkitan Dunia Islam. Solidaritas Islam dunia harus segera membangun sebuah grand strategy ke arah itu. Penguatan basis-basis umat di sektor ekonomi, budaya dan politik harus diupayakan. Guna lahirnya gerakan Islam Konstruktif.

Nama Islam yang dicoreng moreng oleh retorika politik Bush, Blair atau politisi anti perdamaian lainnya harus dijawab. Bagaimana caranya ? hentikan aksi politik mereka sekarang juga. Selamat Ellison !

Sunday, November 12, 2006


Tanggal 9 November 1989, Tembok Berlin, setelah 28 tahun membagi kota ini menjadi Berlin Barat dan Berlin Timur, diruntuhkan. Sebuah monumen sejarah penting dalam dua dekade terakhir.


Saat ini, 17 tahun pasca peristiwa itu Amerika Serikat dan sekutunya yang dulu menguasai Berlin Barat telah menjadi kekuatan “super” dahsyat. Tak ada kekuatan penyeimbang sama sekali. Penguasa Berlin Timur masa lalu, Uni Soviet telah lenyap.

Kemarin Minggu (5/11) waktu Irak, seorang ikon perlawanan paling gigih atas kedigdayaan Amerikapun dijatuhi hukuman mati, di negeri yang sekian lama ia pimpin. Saddam Hussein terpojok di pengadilan yang “ditunggangi” Washington. Apa daya, ia dinyatakan bersalah melakukan genosida terhadap sekitar 150 warga Syiah tahun 1982 di Desa Dujail.

Masih banyak sosok-sosok yang menjadi “hantu” bagi Amerika dan arogansinya. Usama Bin Ladden, Mahmoud Ahmadinejad (presiden Iran) dan tentu juga seteru abadi AS, Fidel Castro. Namun, sayangnya keotoriteran AS dan sekutu belum bisa digoyahkan.

Mari kita identifikasi kejahatan kemanusian yang dilakukan AS dan sekutunya selama kepemimpinan Bush. Pertama, penyerangan terhadap Afghanistan, dengan dalil menghentikan teror Al Qaeda yang bermarkas disana. Ribuan rakyat sipil tak berdosa menjadi korban. Kepemimpinan Taliban di bawah Mullah Omar dianggap membentengi terorisme. Luluh lantaklah negeri itu.

Kedua, invasi AS dan sekutu -selanjutnya saya sebut Poros AS- ke Irak. Atas dalil menghancurkan instalasi nuklir Irak yang kemudian setelah gagal menemukan instalasi nuklir, AS membelokkan menjadi isu demokratisasi. Berdasarkan laporan John Hopkins Bloomberg School of Publik Health yang dirilis jurnal the Lancet terdapat sekitar 650 ribu lebih korban selama invasi poros AS ke Irak.

Kejahatan ketiga adalah kejahatan lingkungan. Menurut laporan Majalah New Internasionalist edisi Juni 2006, AS menjadi salah satu negara dengan produksi karbon dioksida (CO2) paling tinggi di dunia. Pada 2002 tercatat 20,1 juta metrik tons berkapita. Belum lagi kejahatan lingkungan yang dilakukan Trans National Corporations (TNC’s) dan Multi National Corporations (MNC’s) yang dimiliki atau dilindungi pemerintahan Amerika di negara dunia ketiga. Sebagai contoh kejahatan yang dilakukan Freeport Indonesia di Papua.

Ketiga hal di atas belum termasuk kejahatan kemanusiaan yang dilakukan serdadu Israel -yang dengan kasat mata mendapat dukungan Washington- terhadap rakyat Lebanon pada Juli 2006. Tentu juga serangan tak kenal henti terhadap palestina.

Jadilah kemudian atas nama anti nuklir dan juga anti terorisme, poros AS membabi buta menghancurkan semua negara yang mereka anggap ancaman. Seperti apa kata Bush. Hanya ada pilihan bagi dunia menjadi sekutu AS atau menjadi sekutu terorisme, yang artinya siap-siap dimusuhi dan diperangi poros AS. Korea Utara, Iran dan China adalah target AS selanjutnya, kita tunggu.

Pertanyaannya, mengapa kekuatan penyeimbang AS dan sekutu tak kunjung solid pasca runtuhnya Uni Soviet ? Ada dua kemungkinan ; pertama, AS dan sekutunya begitu powerfull hingga progress resistensi atas AS dan sekutu tak kunjung kelihatan secara berarti. Kedua, kekuatan penyeimbang poros AS muncul dalam dua poros besar; poros Islam dan kekuatan sosialis baru. Dua kekuatan ini tidak mudah untuk bersatu, hingga perlawanan terhadap poros AS bersifat sporadis dan parsial.

Poros Islam untuk sementara dapat kita representasikan dengan figur Ahmadinejad di jalur diplomatik dan Usama bin Ladden di jalur non-diplomatik. Secara umum Ahmadi Nejad mendapat dukungan diam-diam (silent support) dari banyak negara Islam lainnya. Termasuk Malaysia dan beberapa negara muslim di Afrika. Namun, pengaruh Iran belum cukup besar, mengingat negara-negara muslim yang “berhutang budi” dengan poros AS tidaklah sedikit, termasuk di dalamnya Indonesia.

Sedangkan Usama yang mulanya dibesarkan AS, menemukan bentuk perlawanan non diplomatik. Strategi ini cukup jitu, memberikan ketakutan pada poros AS, namun di sisi lain memperlemah posisi diplomasi kekuatan Islam yang digalang Ahmadinejad.

Poros kekuatan lain resistensi atas poros AS, berpusat di Latin America. Untuk menggambarkan kembalinya kekuatan sosialis di Amerika Latin. Pakar Amerika Latin Alvaro Vargas Llosa mengatakan “Populism is coming back to Latin America. We thought we had gotten rid of it at the end of the 1980s and early 1990s, but it’s coming back with force”.

Bermula dari kepemimpinan Luiz Inacio Lula da Silva di Brazil dan Hugo Chavez di Venezuela seolah menandakan awal baru revolusi Bolivarian, yang dulu diperjuangkan Simon Bolivar.

Kekuatan baru ini tentu memperkuat perlawanan yang digalang Fidel Castro di Cuba. Tidak hanya itu kemenangan Michelle Bachelet di Chili dan Evo Morales di Bolivia menambah kekuatan poros kiri baru di Amerika Latin ini.

Tentu saja poros AS sangat terusik dengan berbagai kemajuan kekuatan populisme di Amerika Latin ini. Hanya saja gerakan perlawanan poros ini nampaknya belum begitu padu. Lula, dikenal agak lunak terhadap Washington berbeda dengan Morales dan Chavez yang keras. Kekuatan latin amerika inipun juga belum membangun kerjasama yang lebih mendalam dengan China dan Korea Utara.

Membayangkan sebuah koalisi besar poros kiri Amerika Latin dan kekuatan kiri Asia (China dan Korea Utara) tentu akan menjadi kekuatan luar biasa menghadapi kedigdayaan poros AS. Namun, pertanyaannya mampukah kekuatan-kekuatan yang telah ada mengkompromikan masing-masing kepentingan nasional mereka. Kemudian, menyusun sebuah strategi bersama.

Menghadirkan dunia yang berkeseimbangan adalah sesuatu yang mutlak bagi tatanan dunia yang lebih baik. Poros AS tak bisa dibiarkan merajalela dan memberikan standar pada dunia semau perut (baca ; kepentingan) mereka. Pada tahap awal kehadiran kekuatan penyeimbang menjadi sangat mutlak.

Tembok Berlin memang menjadi semacam simbol sejarah buruk peradaban manusia. Tetapi, di sisi lain tembok Berlin mencerminkan sebuah dunia yang berbagi, tanpa dominasi. Tembok Berlin menjadi buruk, karena sejarah menulisnya demikian. Akhirnya makna apapun bisa hadir berkat intepretasi manusia atas tembok Berlin, bisa juga seperti yang disebut Fukuyama, itulah pertanda kemenangan kapitalisme. Sejarah telah berakhir.
17 tahun pasca runtuhnya tembok Berlin. Tatanan dunia baru menghendaki sebuah kondisi yang berkeadilan dan saling menghormati kedaulatan. Namun, dominasi poros AS telah membawa dunia dalam saling kebencian dan berpotensi saling menghancurkan. Konstruksi ekonomi dunia yang saling menindas, demokrasi berstandar ganda a la Amerika, lalu beragam kejahatan lingkungan menjadi bukti kegagalan poros AS. Saatnya perubahan !

Saturday, November 4, 2006





Kesadaran adalah ruang
Tindakan adalah pengisinya
Kesadaran tanpa tindakan
adalah ruang hampa

Kita lahir dari Tanah Merdeka
Tuhan menitipkan kita pada alam
Tuhan meminjamkan kita pikiran

Jika alam tempat dimana kita tumbuh
telah dibelah dengan tajamnya mata bor keangkuhan
hingga tanah menjadi retak
air menjadi keruh
langit menjadi kelabu
dan hutan menjadi rapuh

Lalu, saat pikiran kita terjajah
ketika kita menjadi warga dunia kelas lima
harkat dan kemanusiaan direndahkan

Bukankah itu sama dengan penghinaan pada Tuhan
pantaslah jika jihad diteriakkan..
lalu siapa di seberang sebagai lawan ?

Tahulah sudah...
tentu mereka yang menanam mata bor di seantero nusantara
pastilah mereka yang memperbudak pribumi di pabrik-pabrik
sudah tentu mereka yang menghutangi kita tapi lalu mencekik
akhirnya kita tahu siapa di seberang.

Jangan pikir yang diseberang adalah pahlawan
karena sesungguhnya mereka jahanam
tak boleh kita prasangka mereka beri kita keuntungan
karena dasarnya mereka rakus akan kesenangan
jangan pernah pula kira mereka berbudi
karena mereka sebenarnya penjudi

Nasib jutaan warga asli di pelosok negeri mereka pertaruhkan
ribuan hektar hijau rupawan hutan mereka telan
lalu..
akhirnya kita tahu siapa di seberang

Berotak tapi tamak
bertampang sahabat padahal pengkhianat
bercorak kemanusian tetapi cinta kematian

akhirnya kedaulatan kemanusian kita mereka kangkangi..

Masihkah kita tertidur
atau sekedar bertafakur ?
aaah... rasanya kita dilahirkan untuk tidak menyerah
apalagi menjadi bangsa yang kalah

paling tidak hari ini
aku akhirnya tahu siapa di seberang....



Bangor, Wales Utara 28 Oktober 2006
-Dalam kegelisahan yang menyeruak-



Thursday, October 26, 2006



"Bangsa itu adalah hasil historis yang ditimbulkan deretan kejadian yang semua menuju ke satu arah. Setelah menguraikan masalah ras, bahasa, agama, persekutuan kepentingan bersama, keadaan alam, Renant menyimpulkan, bangsa itu merupakan keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble)." Demikianlah Prof. Sunario Sastrowardoyo mengutip Ernest Renant mengawali pidatonya dalam kongres Pemuda 1928.

Secara umum semangat persatuan yang begitu menonjol dari hasil kongres pemuda ini, mengental dalam memori kolektif bangsa ini. Banyak diantara kita mungkin belum tahu bahwa tiga tahun sebelum sumpah pemuda, para pemuda Indonesia juga telah merumuskan sebuah manifesto politik 1925 (selanjutnya saya singkat MP 1925) yang dikeluarkan di Belanda oleh pemuda Indonesia dalam perhimpunan Indonesia di negeri Belanda saat itu. Tentu saja MP 1925 juga ikut memberi landasan bagi kongres pemuda 1928 yang melahirkan sumpah pemuda.
MP 1925 menurut Prof. Sartono Kartodirdjo lebih fundamental dari Sumpah Pemuda 1928 (Kompas, 28 Oktober 2002). Hal ini dikarenakan tiga prinsip dasar dalam manifesto politik 1925 lebih komperhensif dalam melihat permasalahan bangsa saat itu. MP 1925 pada intinya berisi prinsip perjuangan yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan) sedangkan sumpah pemuda hanya menonjolkan aspek persatuan semata.

Pantas rasanya jika hari ini disaat kondisi bangsa belumlah mencapai formulasi terbaik bagi terciptanya demokrasi, persamaan hak dan kemerdekaan bagi rakyat dalam berpolitik, ekonomi dan budaya. Kita membincang ulang semangat MP 1925 yang notabene merupakan hasil gagasan pemuda-pemuda terbaik bangsa ketika itu. Antara lain Mohammad Hatta dan Sunario.

Prinsip persatuan, kesetaraan dan kemerdekaan sebenarnya secara cemerlang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini dalam lima sila (pancasila) sebagai konstruksi atas ide-ide dasar bangsa. Namun permasalahannya, telahkan ketiga nilai dasar itu menemukan bentuknya dalam kehidupan kita sebagai sebuah bangsa ?

Mencoba memahami realitas sosial yang terjadi di Indonesia hari ini, ada beberapa indikasi bahwa spirit perjuangan dalam MP 1925 masih sangat relevan dijadikan sandaran dalam mengatasi berbagai problematika yang dihadapi bangsa. Pertama, persatuan (unity) telah hadir sebagai social bond dalam masyarakat kita. Tak dapat dibayangkan jika heterogenitas yang dimiliki bangsa kita tanpa persatuan tentulah akan menghasilkan konflik berkepanjangan.

Namun, persatuan yang hadir baru sebatas solidaritas kebangsaan, padahal kita membutuhkan lebih dari itu. Mengapa ? karena diakui atau tidak secara ekonomi dan budaya bangsa kita masih menjadi bangsa terjajah. Bayangkan jumlah hutang luar negeri kita menurut laporan Bank Dunia berjumlah sekitar 130 milyar dollar AS pada 2003. Kondisi ini belum termasuk pinjaman lunak pasca Tsunami 2004 di Aceh dan juga gempa bumi di Jogjakarta. Dengan perincian hutang dapat dilihat pada tabel berikut ini.


Table Hutang Luar Negeri Indonesia
(data bulan September 2003, dalam jutaan dolar Amerika Serikat)
Jumlah Total Hutang Luar Negeri 132.762 milyar
Pemerintah 77.093 milyar
- bilateral 28.492 milyar
- multilateral 28.394 milyar
- kredit ekspor 17.539 milyar
- leasing 0.325 milyar
- Komersial 2.343 milyar
Sektor Swasta 53.597 milyar
Sumber : Diolah dari situs Bank Dunia (www.worldbank.org)

Kondisi ini secara umum telah memberikan peluang kepada banyak pihak, khususnya negara ataupun institusi pemberi hutang untuk mengintervensi kedaulatan ekonomi bahkan kedaulatan politik Indonesia sebagai negara berdaulat. Maka bercermin dari semangat MP 1925, sebagai bangsa kita harus memperjuangkan kemerdekaan dari hutang luar negeri.

Sebagai sebuah kolektifitas, persatuan kita harus lebih dari sekedar solidaritas budaya tapi harus mewujud dalam solidaritas perjuangan kebangsaan. Kita harus berani menegaskan posisi kita dalam konteks hutang luar negeri ini. Hutang yang hari ini menjadi beban bangsa kita secara historis juga disebabkan oleh “pembodohan” yang dilakukan oleh pemberi hutang (meski tidak semuanya). Mengapa demikian ? karena mengutip pendapat Richard Lombardi dalam tulisan berjudul Debt Trap : Rethingking the Logic of Development (Southern Economic Journal vol. 53 No. 3 tahun 1987) ada kecenderungan bahwa hutang yang diberikan negara atau institusi donor pada dasarnya merupakan jebakan agar bisa mengontrol pengambilan kebijakan ekonomi dan juga politik di negara yang diberi pinjaman.

Belum lagi jika mau menghitung “hutang” sejarah dan hutang lingkungan (eco debt) negara dunia pertama terhadap bangsa kita, tentu angka hutang kita saat ini tidaklah sebanding. Maka berbekal spirit persatuan dan kemerdekaan, kita sebagai bangsa berhak menolak membayar hutang tersebut bukan mengemis untuk dihapuskan hutang. Meski demikian tentu segala konsekuensi dari keputusan kolektif ini harus pula dipertimbangkan.

Kedua, persamaan (equality). Berefleksi dari MP 1925 sudahkah kita dengan sungguh-sungguh merealisasikan semangat ini dalam kehidupan politik, sosial, budaya dan ekonomi di Republik ini. Sudahkah pelayanan publik bersifat equal antara bupati dan penarik becak, telahkah akses pendidikan sama terbukanya antara masyarakat di pedalaman Sumatera dengan yang ada di kota-kota di Pulau Jawa. Telahkah pula pelayanan kesehatan sama rata, kemudian akses untuk mendapatkan pekerjaan telah merata. Jika sebagian besar atau bahkan semua jawaban atas pertanyaan di atas adalah belum. Sepatutnya kita mencoba mencari alternatif pemecahan.

Prinsip persamaan, kemerdekaan dan persatuan dalam MP 1925 tentu memperkenankan kita untuk mendiskusikan kembali bentuk negara kita. Karena berdasarkan fakta mengenai distribusi kesejahteraan, akses pelayanan publik dan sebagainya, pantas rasanya jika bentuk negara federal atau bentuk lainnya masuk dalam wacana alternatif memecah kebuntuan mengenai distribusi kesejahteraan dan akses bagi semua penduduk Indonesia. Ini sekedar tawaran, untuk menghidupkan diskusi kebangsaan dengan semangat tiga prinsip MP 1925. Semoga berguna dalam kita memaknai 78 tahun sumpah pemuda.

Tuesday, October 24, 2006

Teruntuk para sahabat : Erix, Julie, Indah, echa, Mabrur, Alliah, Warni


Memaknai malam yang berlalu, dalam gelisah dan sendiri
Mencoba merangkul makna dari peristiwa yang saling berlari
Rentak, syahdu lalu gemuruh. Itulah parodi waktu
Di dalamnya aku, kamu, kami, mereka dan kita membatu
Sembunyikan luka dengan tawa-tawa kecil
Simpan pedih dengan canda-canda mungil

Sembari menyusun jemari terangkat ke atas
mengharap waktu segeralah berlari kemuka
tinggalkan semua pedih dan luka berbatas
kuingin menghirup udara dari hidup bebas


tanpa kebohongan
tanpa penindasan
tanpa pembodohan


Memaknai malam yang berlalu, dalam gelisah dan sendiri
Mencoba merangkul makna dari peristiwa yang saling berlari
Beragam raut kita jumpa, mengerling sejenak menyapa masa
di tepi, kitapun bersapa membuat lingkaran imaji tak berasa
keryitkan dahi tanda tak mengerti
pada dunia yang begitu pongah
Cibirkan bibir tanda tak pasti
kapan manusia mengakhiri sikap aniaya


Kami Diam bukan tak melawan
diam kami adalah senjata
petani berhenti menanam bukan berarti kalah
karena ingin musuh mengerti
inilah cara kami melawan


Birmingham' 24 Okt 2006
00.12



Sumber foto : http://www.obsidiandawn.com/


Small Heath Moslem Centre, di Green Lane Road Birmingham sebuah masjid yang sangat unik berada. Mengapa ? aku menyebutnya masjid bergeraja, karena secara arsitektur sepenuhnya ini adalah bangunan gereja, dan menurut salah satu jamaah disini yang keturunan Pakistan. Dulu masjid ini adalah gereja. Tak ada yang diubah secara substansial dari bangunan ini.
Small Heath, menurut Paul seorang guru sekolah dasar yang tinggal di daerah ini hampir separuh penduduk disini adalah muslim. Mereka merupakan keturunan Somalia, Pakistan, Afganistan, India dan beberapa wilayah Timur Tengah lainnya. Tak jauh dari masjid ini terdapat Birmingham City Stadion yang merupakan markas kesebelasan Birmingham FC.


Menariknya, secara substansial tak pernah terbesit niat para muslim disini untuk mengacaukan negeri tempat dimana mereka tinggal saat ini. Darimana saya tahu ? Paul, yang seorang Krisnten mengatakan itu, sepenuh hati saya yakin bahwa muslim disini adalah orang-orang baik. Pertanyaannya mengapa mereka sampai harus dimata-matai dan dicurigai, sampai-sampai Blair CS mengharuskan universitas di seantero UK mengawasi mahasiswa asal/keturunan Asia.


Tadi pagi, aku sholat IED di masjid di Green lane ini, muslim di Birmingham tumpah ruah disini. Meski jauh dari rumah dan keluarga, tetapi ada semacam kebahagiaan berkumpul dengan sesama muslim. Dalam khotbahnya, khotib mengatakan (terjemahannya kurang lebih sebagai berikut)
"Islam menyerukan perdamaian dan bergerak dalam damai, tetapi posisi Islam selalu tersudut di negeri ini. Posisi tersudut dan disudutkan inilah yang membuat banyak muslim memilih jalan konfrontatif. Namun sebagai nilai, islam adalah rahmat"
Menggagas equalitas antar peradaban, adalah sebuah keharusan di tengah masyarakat yang saling menyimpan kecurigaan satu dengan yang lain. Kekhawatiran dan ketakutan yang berlebihan dari "Barat" khususnya US dan UK telah membuat kebencian terselubung makin mengental di dalam dada masing-masing penghuni peradaban yang saling berkontak.


Pertanyaannya kemudian. Negara-negara besar yang memiliki peradaban monolitik yang sesungguhnya bermuka dua tersebut apakah telah memandang peradaban lain sebagai mitra yang sejajar atau ruang untuk ditaklukkan ? Kalau ia, pantas saja segala cara digunakan untuk mengamputasi segala kekuatan peradaban yang dianggap sebagai rival bagi peradaban global dengan universalisme nilai yang mereka bawa.


Tulisan ini tidak sedang mencoba menyerang Barat dengan segala klaim kebenaran yang mereka miliki. Tetapi mencoba membangun persepsi yang lebih akurat atas klaim "kejahatan kemanusiaan" yang dituduhkan Barat dengan menjadikan terorisme sebagai senjata utama.


Sebuah keluarga India di daerah Kingsheath, tempat dimana teman saya dari Sumatera tinggal bertutur. Berapa ratus tahunpun kami tinggal di UK, tetaplah kami dianggap warga kelas dua, karena kulit kami dan kami bukan penduduk asli. Lalu sesungguhnya dimana ekualitas yang dikampanyekan selama ini, jikalau di hati mereka masih berlumur kebencian dan menganggap rendah yang lain...?
Sungguh, peradaban disini berwajah ganda.
Seolah malaikat tetapi setan,
seakan penolong padahal penjajah,
nampak solider tetapi perampas.
Begitulah kapitalisme mewujud dalam banyak wajah, menjalar bagai candu dan berkembang laksana virus. Cepat, tak terdeteksi dan mematikan kemanusiaan umat manusia.
Dari masjid bergereja di Green Lane, dapat kupungut serpihan realitas. Mengayun langkah sembari berharap akan lahir "DR. Azhari-DR. Azhari" lain, yang berjuang, yang berpihak, yang menantang angkuhnya zaman. Berharap pula lahir Malcom X - Malcom X lain yang menerjang pedihnya penidasan.
B'ham 23 Okt. 06. 21.00pm




Konon dulu korupsi dilakukan segilintir orang, sekarang dilakukan gotong royong. Konon dulu korupsi didominasi eksekutif, sekarang legislatif tak mau kalah. Semua berlomba mencari celah untuk korupsi. Lalu, nasib kami –rakyat kecil- ?

Perubahan laku pengelolah negara adalah amanah reformasi, terutama menyangkut perilaku korup pejabat publik. Setelah tujuh tahun reformasi apa kabar pejabat publik sekarang ? Kebangkrutan negeri ini di bawah kuasa orde baru disebabkan perilaku korup birokrasi, tentu sebagai bangsa kita tak mau jatuh di lubang yang sama. Bukankah kita bukan keledai ? Rasanya belum banyak yang berubah dari perilaku pejabat publik. Perilaku korup masih menjadi semacam trademark. Upaya perbaikan terkesan masih sangat simbolik dan dilakukan setengah hati.

Tiga bulan terakhir saja ada paling tidak empat kasus korupsi yang mencuat dan mengguncang Jawa Tengah, keempat kasus itu melibatkan pejabat publik. Kasus dugaan anggaran ganda di DPRD Kota Semarang, Dugaan penyelewengan APBD Tahun 2003 di DPRD Kota Solo, juga dugaan penyelewengan APBD tahun 2002-2003 di DPRD Banyumas, dan yang paling menarik adalah kasus dugaan penyelewengan anggaran pemilu yang melibatkan Bupati Temanggung. Inilah fakta yang kita temukan, tak banyak yang berubah dari perilaku pejabat publik. Mereka tetap “nyaman” dengan laku korupnya.

Itulah kenyataan setelah tujuh tahun reformasi, laku korup pejabat publik makin menjadi. Korupsi hanya berubah modus, menjadi lebih massal dan berani. Kondisi ini seperti kiasan Ronggowarsito dalam zaman edan “Hidup di zaman edan gelap jiwa bingung pikiran. Turut edan hati tak tahan, jika tak turut batin merana dan penasaran, tertindas dan kelaparan...”. Ayo mau pilih yang mana, bapak terhormat ? Begitulah gurita sistem yang kemudian menjadi adat dan mengentitas menjadi spiral kejahatan (bukan sekedar lingkaran). Tak banyak pejabat publik yang bisa lolos dari spiral tersebut, yang paling parah muncul permakluman terhadap perilaku korup ini. Ada semacam anggapan pejabat korup itu yo wajar wong nduwe kesempatan. Lalu dalam keadaan yang serba memprihatinkan ini apa yang bisa kita lakukan ?
Ada sebuah rekomendasi menarik yang dirumuskan dalam International Anti Corruption Conference IX di Durban Afrika Selatan tahun 1999 yaitu seni anti korupsi. Strategi ini direkomendasikan sebagai upaya penyadaran massal kepada publik untuk bersama-sama melawan korupsi melalui medium seni. Hal ini cocok dengan modus korupsi pejabat kita, korupsi dilakukan secara massal mak kita lawan dengan massal pula.

Sebenarnya perbincangan mengenai seni anti korupsi ini bukan hal baru, tapi tetap perlu diperbincangkan untuk selalu menyegarkan ingatan kita bahwa seni sangat diharapkan perannya menghabisi korupsi.
Seni konon khabarnya memiliki bahasa universal dan tidak hanya bisa menyentuh rasa tapi juga logika. Itulah kelebihan medium seni sebagai media propaganda anti korupsi. Kemudian, seni juga bisa dikonsumsi secara massal oleh semua lapisan masyarakat. Hal ini berbeda dengan tulisan-tulisan ilmiah di media massa atau aksi-aksi mahasiswa anti korupsi. Kita semua masih ingat bagaimana Bento-nya Iwan Fals bisa menggelorakan kesadaran banyak orang tentang korupnya orde baru. Seni anti korupsi telah menggejala sejak lama di Indonesia, tapi kontribusnya masih belum optimal.

Optimalisasi peran seni bisa dilakukan dengan konsolidasi kekuatan seniman melalui kantong-kantong seni yang peduli dan terus menerus mempropagandakan anti korupsi. Sebagai publik kitapun harus mau mengapresiasi produk seni anti korupsi tersebut, hingga seni anti korupsi bisa “hidup”. Seni anti korupsipun harus muncul dalam beragam ruang publik. Bila perlu sebelum mulai belajar di sekolah atau aktivitas di kantor dinyanyikan mars anti korupsi, juga jangan lupa sebelum mulai sidang dewan terhomat dinyanyikan mars anti korupsi pula. Ok kan ?

Bayangkan saja bila seni dijadikan basis perjuangan melawan korupsi. Mulai bangun tidur orang di Republik ini disuguhi dengan mars anti korupsi. Televisi dan radio memulai siaran dengan Indonesia Raya dan Mars Anti Korupsi, di sekolah, kantor juga disuguhi lagi. Buka harian umum yang muncul halaman khusus seni anti korupsi, belum lagi para esais dan cerpenis menghantam korupsi dengan penanya dan sebagainya. Sungguh betapa tak nyaman para koruptor hidup disini dan betapa bingungnya orang yang berniat korupsi.
Langkah ini disamping “menghajar” koruptor juga mengandung nilai pendidikan bagi generasi berikut. Ide ini mungkin akan menyulut kritik dari penganut paham seni untuk seni, tapi apa iya para seniman tega melihat kekayaan bangsa yang juga milik kita digerogoti garong berdasi ?

Sunday, October 22, 2006



Entah siapa yang bilang, konon kita bisa lebih memahami Tuhan
disaat kita menjadi minoritas dan terkucil...

Jauh dari kampung halaman, tak pula bisa mudik. Terdampar di negeri seribu jajahan, menyaksikan banyak "kebusukan" yang dibalut dengan "keindahan" memberikan pengalaman lain berlebaran tahun ini. Satu bulan Ramadhan, dengan satu kali gagal puasa (saat berkunjung ke Stratford -tanah lahir Shakespeare-). Tak banyak yang menghargai ibadah ini, bahkan oleh muslim dari negeri kitapun tidak terlalu menghargai. Agama ada di ruang privat, mungkin begitulah tamengnya..

Ada empat masjid yang setahuku rutin menggelar sholat taraweh di Birmingham, aku sesekali datang ke Birmingham Centre Mosque, kadnag di Muath Trust atau sesekali di dekat stadion Birmingham FC di Green Lane Street. Ada banyak pelajaran saat kita mencoba menghidupi bathin dan jiwa kita melalui aktivitas memahami diri dan keyakinan di sebuah lingkungan yang membuang jauh-jauh hal tersebut dari kehidupan mereka. Tuhan bagi banyak orang disini adalah bahan perbincangan, ibadah dilakukan bagi yang membutuhkan dan beragam persepsi sejenis lainnya.
Tentu aku tak lebih baik dari orang di negeri Blair ini, namun tak ada salahnya menangkap pelajaran dari mereka. Saat berbuka puasa bersama di komunitas muslim India, Pakistan atau bahkan Somalia ada semacam kepuasaan tersendiri, disamping karena gratis (...hehehhe) juga karena semangat kebersamaan sebagai muslim.
Akhirnya meski tangan tak mampu menjangkau handai taulan di tanah air, tapi bathinku ingin menyapa semua yang ada disana, di tanah kemerdekaan.
Kesalahan hadir sebagai pelajaran
Kebahagiaan datang sebagai ujian
tak ada perjumpaan tanpa gesekan
tak ada perbincangan tanpa prasangka
mengapa demikian ?
karena kita adalah manusia.
Mahluk yang sangat subyektif...
obyektifitas sesungguhnya adalah cermin
inter-subyektifitas...
kita ada karena kita pernah berbuat salah
kita cerdas karena kita mau berprasangka.
Bukankah berpikir adalah cara lain berprasangka
bukankah puisi hadir karena prasangka
Tetapi...!!
izinkan kuulurkan tangan atas khilaf dan alfa
di masa laluku pada semua....

B'ham 22 okt 2006
Huzer Apriansyah


....Kita semua ingat saat ketika Zidane menanduk dada Materazzi di final piala dunia...


Rasisme tidak hanya terjadi di lapangan sepakbola, liga Inggris konon khabarnya sarang rasisme. Pemain kulit berwarna sering kali mendapat perlakuan tidak baik. Awalnya saya menganggap isu rasisme sebagai sesuatu yang dibesar-besarkan tetapi setelah melihat dengan mata kepala sendiri di tanah kebebasan dimana gagasan tentang persamaan hak lahir (UK) justru sebagai sarang rasisme.
Sebuah petang, dalam sebuah bus dari arah Selly Oak menuju Harbourne beberapa perempuan senior (tua) sebertinya berkebangsaan India atau Pakistan masuk ke bus nomor 11E berbarengan dengan saya dan seorang teman saya yang keturunan Afsel-UK. Dua bus stop kemuka masuklah seorang perempuan kuli putih bersama anaknya di dalam buggy (kereta dorong). Tak lama kemudian perempuan kulit putih itu "mengamuk" dan menampar nenek-nenek yang tadi masuk bersama saya itu.

Hal sepele, hanya karena si nenek berbicara dalam bahasa India dan si perempuan kulit putih merasa ia sedang menggunjing anaknya.....tapi semua orang di bus itu tahu si perempuan itu tak suka pada kulit berwarna....tak ada orang kulit putih yang beraksi atas kejadian itu hanya beberapa orang kulit hitam dan tentu saja yang berdarah asia yang berespons..
Lalu, banyak pula driver bus-bus umum (kulit putih) terutama yang berlogo West Midlands Travel yang kadang-kadnag enggan berhenti di bus stop jika penumpangnya seorang Black.....Banyak kejadian yang menunjukkan bahwa semangat persamaan hanya indah di bibir para pemimpin Anglo Saxon tapi banyak masayrakatnya bahkan pemerintahnya yang mengabaikan ini.


Hal ini tentu tidak bisa kita jadikan alasan untuk mengeneralisir keadaan, tetapi harus diakui bahwa sedari kecil anak-anak Anglo Saxon selalu ditanamkan bahwa merekalah yang terkuat, terbaik dan terhebat. Fakta sejarah selalu dijadikan referensi bahwa GB (Great Britania) adalah bukti kejayaan mereka ribuan daerah mereka kuasai dan mereka eksploitasi. Hingga sampai detik ini mereka tetap merasa sebagai penguasa bumi.


Tapi harus diakui pula tidak semua anglo saxon demikian, Prof. Michael Toolan (dosen di birmingham University) yang rumahnya saya diami, mengakui bahwa semangat equalitas belum tumbuh dari bathin semua individu di UK. Namun, secara pribadi Michael sangat respect atas keberagaman termasuk perbedaan warna kulit.


Dari realitas tersebut kadang kala kita masih harus bertanya, benarkah dunia ketiga (seperti bangsa kita) betul-betul diakui eksistensinya oleh bangsa di dunia pertama, atau jangan2 kita hanya dilihat sebagai "ruang" yang bisa di eksploitasi ? Mengapa saya bertanya demikian, mengingat sebagai bangsa kita betul-betul tidak dihargai. Lihat saja pemerintah di dunia pertama selalu memproteksi segala kepentingan investasi milik mereka (swasta maupun pemerintah) di negara dunia ketiga. Bahkan tak segan mereka memproteksi dengan senjata, kemudian mereka juga mempersiapkan jebakan hutang luar negeri agar bisa mengontrol dunia ketiga.


Selanjutnya penting bagi kita untuk memahami pernyataan Evo Morales bahwa sesungguhnya telah tiba saatnya untuk melawan kekuatan dunia pertama yang seolah baik hati tetapi sesungguhnya menindas, yang nampaknya berperangi baik tapi sebenarnya membunuh, yang bermanis muka padahal mereka membenci...!!! Tampangs eperti malaikat padahal sesungguhnya iblis, mereka membantu tetapi untuk membunuh kita....
Dimana posisi bangsa kita saat ini ? Freeport, Caltex, Newmont dan beribu TNC/MNC telah menjadi "dewa" di negeri kita, mereka bisa melakukan apa saja yang mereka mau karena mereka punya sumber daya berupa uang. Hal ini makin parah karena pemeirntah kitapun tak pernah berani melawan....!!
Aku, semakin menyadari betapa "perih" menjadi warga bangsa dunia ketiga ketika berada disini -di salah satu jantung kapitalisme dunia- akhirnya aku ingin segera pulang dan menegaskan perlawanan atas ketidak adilan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi.


B'ham 22 Okt 2006
Huzer Apriansyah

Friday, May 26, 2006



Keresahan yang paling dahsyat muncul saat aku menyadari bahwa aku mulai menganggap pekerjaan-pekerjaan "kecil" tak lagi berguna; memungut sampah, membersihkan kamar kos, bahkan menjawab pertanyaan seorang sahabat. Betapa tak terberkahinya hidup jika berada dalam tempurung ketakutan (Seno G.A.) mungkin aku mulai tersesat dalam tempurung ketakutan-ketakutan seiring waktu yang mengalir..

Untunglah keinginan untuk kembali tiba-tiba muncul...bukankah dunia ini menjadi indah bukan hanya karena hal - hal besar yang mencengangkan dan mengagumkan, bukankah kepakkan sayap kupu-kupu, guratan cat di tembok dan jatuhnya daun dari ranting adalah hal-hal yang mengajarkan banyak hal padaku dan membuat dunia kian indah.

Sunday, March 26, 2006

Ruby Fox Nelson, satu anak muda langka. Mungkin kita tak pernah membayangkan bagaimana ia berpikir untuk mengumpulkan dana demi sesuatu yang bagi kebanyakan anak muda "sangat aneh". Banyak anak muda yang membanting tulang mengumpulkan keping demi keping uang, untuk apa ? beli HP, nonton di bioskop, beli baju baru dan sebagainya.
Tapi, Ruby berbeda...ia kumpulan uang cari cucuran keringatnya tersebut untuk didonasikan bagi konsevasi orang hutan.
Sungguh aduhai anak muda satu ini, kalaulah kita (orang dewasa) mau bercermin tentu wajiblah kita malu. Orang-orang dewasa bukankah berpartisipasi ikut menyelamatkan bumi tapi justru ikut andil membuat bumi makin tak nyaman. Beramai-ramai manusia serakah mengeksplotasi isi bumi tanpa peduli nasib bumi itu sendiri. Berharap untung dari bumi tapi tak mau menjaganya...aneh betul manusia. Lihat betapa luas hutan kita dihabisi demi perut, lihat pula betapa tak bijaknya kita dalam menangani sampah. Tak bisakah kita berhemat mengeluarkan sampah *-reduce-recycle-reuse-*.
Semoga kita bersegera diri ikut merawat bumi yang diamanahkan Allah kepada kita...akankah kita ingkar atas apa-apa yang diamanahkan pada kita :
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supayaAllah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (jalan Allah)"
(Q.S. Ar Ruum ; 41)
Akhirnya, begitu jelas peringatan di atas....lalu ???? mari rawat bumi ini. Kalau tidak benarlah ucapan Mahatma Ghandi
"Isi bumi ini sesungguhnya cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, tetapi
tak akan pernah cukup memenuhi kerakusan segelintir orang"
____________________________________
Huzer Apriansyah, S.IP
Peneliti pada Centre for Education, Community
Organizing and Social Studies (C-ECOSS)
____________________________________


Saturday, March 25, 2006

chelseaDua tahun terakhir rasanya tak ada penggila sepakbola yang tak mengenal sepak terjang Chelsea FC, club yang bermarkas di London ini tampil memukau...MU, Arsenal yang sebelumnya begitu dominan di Liga Inggris akhirnya dibuat terperangah melihat aksi anak asuh Maurinho ini. Chelsea telah menjelma jadi kekuatan yang menakutkan bagi semua tim yang akan menghadapinya.

Maurinho berhasil merengkuh kampium Liga Inggris di tahun pertama keberadaannya di Chelsea. Ini sesutau yang luar biasa. Bukan hanya itu gelar Europe Best Player of The Year juga di raih Frank Lampard di tahun 2005. Belum lagi keberhasilan Chelsea menembus persaingan ketat Liga Champions, meski akhirnya tahun ini ditaklukkan Il Barca di Perdelapan Final...

Reputasi tim berkostum biru-biru ini (mengingatkan kita pada PSIS atau Persib) tak mampu menarik empathy para penggila bola dan pelaku sepakbola..betapa banyak saat ini orang membenci Chelsea, tentu kita tak perlu menghitung Alex Fergusson atau Arsene Wanger yang memang seteru Maurinho di liga. Para penonton awampun seolah menunjukkan ketidaksenangan atas keberadaan tim ini. Ini tentu agak unik, biasanya tiap kehadiran "bintang" baru selalu direspons dengan tepuk tangan panjang dan berujung dengan simpati. Tapi mengapada tidak dengan Chelsea ??

Orang sering mengaitkan gaya Maurinho memimpin tim ini serta keberadaan Abrahamovich yang orang Rusia sebagai penyebab kekurangsimpatikan publik sepakbola dunia atas apa-apa yang dicapai Chelsea.

Maurinho, selalu tampil provokatif dan mampu membius tiap orang. Begitulah ia, tatkala timnya menang ia akan berkomentar dengan sedikit "mengejek" lawannya jika kalah maka ia akan mencoba mengkritik pihak2 yang menyebabkan kekalahannya. Wasit jadi sasaran palings ering, tak terkesuali pemain lawan, Lionel Messi (pemain Barca) pernah merasakan pedasnya lidah Maurinho, tatkala Barca mengalahkan Chelsea. Tapi, lihat bagaimana Maurinho juga mencaci Joe Cole, pemain Chelsea sendiri tatkala ia mencetak gol dengan sedikit aksi "kotor".

Dari perspektif lain, maurinho sesungguhnya sosok yang begitu jujur dan begitu lembut. Lihat saja pernyataannya bahwa ia akan meninggalkan sepakbola jika keluarganya meminta.karena "saya ingin menikmati hidup bersama keluarga, untuk itu saya melakukan apa saja yang mereka mau"..Gejala masyarakat modern seringkali mementingkan harmonitas meski kadang harmonitas itu dibangun di atas kemunafikan. Banyak orang mendua..ketika di depan publik semua tampak begitu rapih, bersih dan indah, tapi di balik layar...waw mengerikan. Tapi tidak dengan Maurinho, ia begitu apa-adanya, karena itu banyak yang terkaget-kaget dan lantas menghujatnya..ia begitu sederhana hingga ornag merasa ia kampungan, lantas membencinya. Ia begitu lugas menyampaikan fakta bahkan meski fakta itu menohok timnya sendiri (kasus Joe Cole), karena itu ia tidak disukai...beginilah masyarakat modern yang hidup dalam keterasingan akibat ke-semu-an yang mereka lakukan.

Abrahamovich, saudagar Rusia ini, sosok yang baru terdengar di belantika sepakbola dunia, ia bagian dari sebuah bangsa besar yang hari ini terpuruk. Maka kekuatan "pembenci" kebangkitan Rusia merasa risi dengan keberadaan sang Saudagar yang mampu mengehentak liga Inggris dengan keberaniannya membangun kembali Chelsea....dan tentu dengan uang.

...jadilah Chelsea tim yang syarat Sensasi !!! ternyata sepakbola bukan hanya perkara di lapangan hijau, jauh dari sekedar itu...


Dari pagi mancing di Nusa Kambangan, berlima dengan kawan2 : Mas Abas, Azis, Ucup,....hasilnya lumayan..dapet cuma kecil-kecil...karena kelaparan langsung aja kita bakar disana..lumayanlah..

Nusa Kambangan, Pulau yang sangat mahsyur apalagi di kalangan para residivis, membayangkan Nusa Kambangan tentu yang terbesit adalah tahanan/penjara...tapi jangan salah, pantai pasir putih disana menawarkan keindahan. Belum lagi kalau kita mau menelusuri benteng-benteng peninggalan Belanda yang masih berdiri meski mengalami kerusakan disana-sini.

....uh Capeeeeeeekk

Thursday, March 23, 2006

buku
Petang dengan langit tampak mendung..
Seorang kawan di Semarang (Nia) memberi informasi biaya post graduate di UNNES sekitar 5 Jeti (awal) lalu per semester 3,5 jeti. Sekolah memang makin mahal..ni baru UNNES yang masih dianggap "sebelah mata" oleh banyak orang, apalagi di kampus yang dipandang dengan tiga mata :) dua mata (fisik) dan satu lagi dipandang dengan mata pencaharian...

Lalu, apa yang diperoleh di bangku kuliah ??
masing-masing kita punya jawaban masing-masing. Ada yang memperoleh jodoh, ada yang memperoleh prestice dan bisa juga ada yang memperoleh masalah..hehehe. Sekian lama lulusan perguruan tinggi makin banyak tapi adakah nasib Republik ini menjadi lebih baik ?? seorang senior dari Solo (Fajar Rizaulhaq) pernah kirim sms "Gelar sarjana itu harusnya jadi pemicu bukan gincu.."tapi bagaimana faktanya ?? masing-masing kita tentu juga punya sudut pandang tersendiri.

Kembali soal biaya kuliah..saat ini semua orang mahfum bahwa untuk sekolah memang mahal adanya. Itu sudah sepantasnya, lalu kalau ada yang berharap kuliah/sekolah itu murah berarti tidak sepantasnya ?? Ingatlah aku seorang sahabat di Cilacap (Dede Rahman) namanya, sekarang ia sekolah dan hampir lulus. Hampir tiap hari ia bertanya, "mas. ada gak kuliah yang murah ?" kalau pertanyaan ini ditujukan ke Damarjati Supadjar mungkin beliau akan menjawab "Sekolahlah di universitas kehidupan jurusan jalan lurus", kalau ditujukan ke Alm. Romo Mangun bisa jadi ia akan menjawab "pikirkan sekali lagi niatmu untuk kuliah itu, karena segera setelah mereka pandai dan sebagian rakyat masih bodoh, jadilah yang pandai "memakan" yang bodoh".
Berhubung saya yang ditanya (dalam hati kuberpikir, tidakkah kau tahu kawan dengan kuliah kau menjadi terlambat dewasa...) tapi tak tega kuberkata begitu pada seorang remaja yang sangat ingin skeolah tapi apa daya dana terbatas...kujawab saja : kuliah tak harus hari ini, mungkin esok lusa bisa. Lagi pula berlatih ketrampilan tak kalah baiknya. Tapi tetaplah berusaha.


Sepakbola tak lagi sekedar permainan, ia telah menjelma menjadi industri, ia telah menyeruak dalam emosi manusia. Lihat saja ekspresi pemain yang baru saja menang atau kalah, mari kita simak tragedi, peristiwa atau hal-hal kecil yang terjadi di skeitar sepakbola ;

Tragedi yang menelan nyawa manusiapun kerap terjadi, terakhir sepakbola nasional juga mencatat peristiwa duka...kisruh antar penontot Persijap dan PSIS berakhir dengan korban jiwa. Padahal sama-sama tim Jateng, padahal jarak Semarang ke Jepara hanya sekitar 2 jam...so ???

Kini banyak peminat bola tengah berkonsentrasi di piala Champions Eropa, menabak-nebak siapa yang akan tampil sebagai kampium. Tahun lalu AC Milan menuai bencana di Turki tatkala keunggulan di babak pertama atas Liverpool berbalik dan mereka menyerah lewat adu penalti..sungguh menyakitkan untuk Carlo Ancelotti dan timnya.
Tahun ini Milan masih melaju, beberapa tim besarpun tetap bertahan ; Juventus, Inter Milan, Barcelona, Arsenal, Benfica, dll. Kejutan terjadi tatkala Real Madrid harus menyerah, Chelsea harus takluk dan MU harus angkat koper di babak awal. Chelsea vs Barca bisa jadi sebuah pertandingan yang mendekati the real final..dua tim enerjik, bertabur bintang, tahan banting dan berkarakter bertemu lebih awal.

Kejutan...bisa jadi itulah yang membuat sepakbola menjadi menarik, shock effect adalah salah satu instrumen penting yang dibutuhkan masyarakat modern. Apalagi modernitas sering membuat manusia di dalamnya terjebak rutinitas; kita lihat saja betapa menjemuhkannya Liga Inggris tatkala MU sama sekali tak terbendung di era 90-an atau saat Milan jadi kekuatan super di tangan Ronald Koeman CS...Sepakbola tanpa kejutan memang menjemuhkan...

Kekerasan dalam sepakbola adalah bentuk lain dari efek kejut tersebut...orang menonton bola tentulah mengharapkan sebuah pertandingan antara dua kesebelasan dengan teknik sepakbola, tetapi betapa terkejutnya tatakala pertandingan sepakbola memberi kejutan dengan teknik beladiri yang keluar dari para pemain, penonton bahkan official....

Wednesday, March 22, 2006


Kasongan tepatnya..dari Jogja arah ke Bantul disana rumahnya. Bisa juga lewat jalan yang ke arah Gunung Sempu...Sahabat lama, tarbesua sekian masa, mungkin kau telah menjadi yang kau mau. Teringat dulu saat kita bersepeda berdua ke sekolah, apa khabar sepeda kita itu ??, aku juga ingat tas putihmu itu, yang karena waktu berubah warna jadi kecoklatan.

Kawan mungkin kini kau telah jadi pengusaha gerabah di Kasongan. Aku selalu belajar darimu...caramu merawat ibumu, caramu menjaga keluargamu

Aku tahu betapa penat kau disitu, tapi kau memilih menunggu dan menghadapi semua..
tak seperti kebanyakan orang yang memilih untuk berlari.
Tentu kau masih ingat saat kita ikut lomba dulu...penelitiannya kalau ndak salah tentang IPAL di jalan Bantul itu ya ??? kita memang luar biasa -bersemangat-pantang menyerah-selalu berdoa- hasilnya memang sepadanlah !!!
Apakah kau masih simpan piagamnya ???

Aku takkan pernah bisa melupakanmu, hari ini atau esok sekalipun. Kadang aku maluuu kepadamu !!!

Teruntuk Sahabat
-Marwanto-

Kelelawar : Tuhan, kala matahari bersinar aku menyelinap di rerimbunan. Bukan berarti aku tidur.
Aku mengendap dan memperhatikan tingkah manusia. Mengapa mereka lebih sempurna dariku
Tuhan ??? Bukankah mereka saling membunuh ? mereka saling menghina ? merekapun sakit
menyakiti ?, menyebut namamu hanya karena kelaziman, berbuat kebaikan karena haus
sanjungan, bahkan mereka sering diam-diam menyekutukanmu Tuhan; harta, kuasa dan tahta
sesembahan mereka. Coba Tuhan lihat aku, aku hanya keluar malam itupun untuk mencari makan
tak pernah kumenggunjing, menikam atau mengeluh dengan apa yang kupunya. Aku bertasbih
padamu Tuhan dengan caraku, sama seperti pohon ini; ia mengabdi padamu dengan kerindangan-
nya, sama seperti laut dengan keindahannya, sama seperti bulan dengan cahayanya, sama seperti
air dengan alirannya. Kami takkan merusah kecuali kau perintahkan...tapi manusia Tuhan ????
Tuhan : Kau rupanya tak banyak tahu tentang manusia..
Kelelawar : Aku tahu mereka sempurna, aku tahu mereka berakal...tapi lihat sempurna pula kejahatan mereka
alam di reguk tanpa ampun, sesama merekapun saling tikam, Kaupun ia tikam TUHAN...lihat akal
mereka ; untuk kejahatan yang sempurna pula.
Tuhan : Begitulah cara manusia yang bodoh itu. Kuberi akal disia-siakan, Kuberi waktu dilenyapkan,
Kuberi hidup dihancurkan....
Kelelawar : Lalu, tunggu apa lagi Tuhan, musnahkan saja....!!!
Tuhan : Tak perlu Kumusnahkan karena diam-diam mereka tengah memusnakan kehidupan mereka
Kelelawar : Bagaimana bisa ???
Tuhan : Lihat saja hutan yang mereka bakar, pandangi kerakusan mereka, tatap pula tabi'at syetan
mereka..hampir sempurna kebinasaan mereka. Tunggu saja.....!!!
Kelelawar : Baiklah Tuhan akukan mengintai dan menunggu kapan saat itu tiba
Tuhan : Lihat saja, tak lama lagi..


116034484_65239b26cc_m

logo_01


Kelam rebam dan himpitan
Terbelalak atas kekejeman demi kekejaman
yang menerkam dan menghujan

Dari semua arah
Bangun tidur
saat makan siang
kala petang datang
bahkan ketika mata hendak terlelap
Kekejaman, kekerasan dan penindasan
tampil silih berganti
Lalu,.....!!!
Siapakah manusia ?????
Yang mana manusia ?????
akhirnya,
Apakah kita manusia ?????

Tuesday, March 21, 2006


Hiperealitas Kemerdekaan

Hiruk pikuk seputar peringatan 60 tahun kemerdekaan RI terjadi dimana-mana. Mulai dari perkampungan becek hingga ke komplek perumahan mewah, mulai dari sekolah dasar inpres yang sudah mulai rapuh bangunannya hingga ke sekolahan megah yang gedungnya berlantai-lantai. Semua gegap gempita, bendera merah putih dalam skala ukuran yang beragam berkibaran di tiap sudut republik ini.
Bermacam acara di gelar. Ada acara yang sangat serius bertajuk seminar atau diskusi ilmiah tapi ada pula acara yang kocak dan ringan, semisal lomba menangkap itik atau lomba sepakbola sarung. Semua kelompok usia telibat, mulai dari anak-anak hingga kakek nenek. Sungguh dinamis bangsa ini bila melihat semua itu. Kebahagiaan terjadi dimana-mana, semua orang berbaur dalam satu semangat –merayakan hari kemerdekaan-, sekat ekonomis dan sosiologis melebur. Mudah-mudahan apa yang kita lihat bukanlah realitas yang artifisial.
Herannya bila berkaca dari peringatan hari kemerdekaan di tahun-tahun sebelumnya ada hal yang ganjil. Seusai “pesta” kemerdekaan, semua kembali ke “dunia” aslinya. Seusai upacara yang penuh khidmat di istana negara, semua pejabat publik biasanya ikut serta dan berjajar di kursi depan tapi esoknya semua kembali normal. Korupsi makin menggurita di jajaran elit. Kebijakan tak kunjung berpihak pada rakyat. Lalu, mana semangat kebangsaan yang meledak-ledak hebat saat tujuhbelasan itu. Seusai tujuhbelasan para pengusaha yang biasanya menjadi donatur kegiatan tujuhbelasan kembali menjadi “musuh” bagi buruh di pabrik-pabrik. Gaji yang tidak proporsional dengan beban kerja berat, fasilitas kerja yang minim, kesejahteraan buruh seolah bukan sesuatu yang berarti buat pengusaha yang notabene dihidupi oleh para buruh.
Seusai pesta, rakyat kecil kembali ke kehidupan nyatanya. Pedagang di pasar-pasar tradisional tetap terpinggirkan karena terus diusik kehadirannya oleh mall-mall. Bukan itu saja, di pasar mereka harus menghadapi beragam pungutan yang tak jelas kemana masuknya. Para buruh kembali harus memeras keringat dengan bayaran yang tak layak. Guru-guru kembali ke sekolah dengan kesejahteraan yang tak kunjung diperhatikan. Lalu, dimana kemerdekaan yang sesungguhnya bagi kelompok marjinal ?
Pejabat-pejabat publik biasanya berpidato dengan semangat yang berapi-api di tiap lapangan, semua tingkatan pejabat berpidato. Presiden berpidato, gubernur, sampai kepala desa juga berpidato meski cuma membacakan sambutan tertulis dari pejabat di atasnya. Tapi setelah pesta usai, usai pula semangat mereka untuk mencapai cita-cita kita sebagai bangsa. Lalu, akankah cita-cita hidup bangsa ini tetap akan menjadi pepesan kosong tanpa pernah ada usaha yang sungguh-sungguh mewujudkannya ?
Cita-Cita Sebagai Bangsa
Pembukaan undang-undang dasar (UUD) 1945 telah menggariskan cita-cita kita sebagai bangsa. Sebuah bangsa dengan rakyat yang cerdas, sejahtera, berkeadilan sosial dan menjunjung nilai-nilai perdamaian serta berdaulat. Itulah cita-cita luhur yang bisa kita perhatikan dari alinea kedua dan keempat pembukaan UUD 1945.
Setelah 60 tahun perjalanan republik ini, tentu banyak yang telah berubah. Taklah bisa kita pungkiri perbaikan dalam beragam dimensi kehidupan telah dicapai. Tetapi benarkah itu semua dirasakan tiap lapisan masyarakat ? Sudahkah kaum marjinal dimerdekakan dari himpitan beban hidup ? Sudahkan mentalitas pejabat publik merdeka dari sifat ketamakannya hingga korupsi dan kolusi menggurita ? Sudahkah rakyat di negeri ini berdaulat secara politik dan ekonomi ? Kalau sebagian besar jawabannya belum, maka sepantasnya kita melakukan permenungan atas keadaan. Tidak hanya sampai di permenungan namun berlanjut pada tahap “membongkar” keburukan kita sebagai bangsa, lalu dengan penuh komitmen memperbaikinya. Memang ini terkesan seperti mimpi di siang bolong. Tetapi sekecil apapun usaha, rasanya kita harus berbuat sesuatu.
Berbicara kembali mengenai cita-cita sebagai bangsa, maka kita tentu akan sadar bahwa kita adalah bangsa yang terseok-seok. Perhatikan sektor pendidikan yang menjadi kunci untuk mencapai cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Sektor ini justru menjadi titik yang sangat lemah. Anggaran pendidikan yang memadai baru sampai retorika politik, kesejahteraan guru baru sampai rencana dan rencana. Pendidikan gratis sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk mencapai cita-cita luhur bangsa tak kunjung dilaksanakan.
Pendidikan gratis hanya indah disampaikan saat musim kampanye tiba, setelah itu ya sudah.
Selanjutnya mari kita berbicara mengenai kedaulatan politik dan ekonomi rakyat Indonesia sebagai cita-cita bangsa. Secara simbolik rakyat kita memang berdaulat secara politik, tetapi kedaulatan yang absurd, mengapa ? Memang sekarang pemilihan pejabat publik serba langsung, tetapi rakyat tak pernah benar-benar bisa mengontrol kebijakan publik. Padahal muara dari proses pemilihan langsung pejabat publik oleh rakyat adalah tercapainya kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat, tetapi bagaimana bisa kalau fungsi kontrol tereduksi oleh wakil rakyat yang tidak peka. Akhirnya rakyat pulalah yang menangguk penderitaan, kebijakan menaikkan BBM, kemudian peraturan presiden nomor 36 tahun 2005 adalah contoh konkrit kebijakan negara tak berpihak pada rakyat tapi justru berpihak pada pemilik modal.
Sekarang mari kita lihat angka penduduk miskin empat tahun terakhir. 1999 ada 47,9 juta penduduk miskin, 2002 ada 38,4 juta dan 2003 ada 37,4 juta (laporan BPS 2004 dalam kompas 9 april 2005). Ini pertanda rakyat belum berdaulat secara ekonomi. Maka bisa jadi hiruk pikuk, dinamika dan spontanitas di seputar pesta kemerdekaan ini tak lebih dari simulasi yang mengaburkan kenyataan yang asli. Inilah keadaan hiperealitas. Benarkah demikian ?
Hiperealitas
Menurut Jean Baudrillard hiperealitas menciptakan satu kondisi, yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran (dalam Yasraf Amir Piliang, 2003;51). Hingga pada titik klimaksnya kondisi hiperealitas bermuara pada terbentuknya hipermoralitas. Kondisi yang terjadi menurut George Bataille adalah hilangnya ukuran-ukuran moralitas, karena situasi yang berkembang telah melampaui batas God and evil. Yasraf (2003 : 51) juga menyebutkan bahwa dalam kondisi hiperealitas hilangnya kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas. Semua sirna, yang terjadi sekedar simulasi. Hiperalitas terbentuk oleh simulasi, simulasi menurut Baudrillard adalah penciptaan model-model yang tanpa asal usul atau tidak memiliki referensi terhadap realitas.
Di usia 60 tahun republik ini, nampaknya kondisi yang terjadi adalah hiperealitas. Taklah lagi kita bisa melihat secara jelas, apakah hiruk pikuk tujuhbelasan adalah perwakilan dari kenyataan yang sehari-hari dirasakan rakyat. Taklah bisa dengan nyata kita melihat apakah hal-hal yang disampaikan oleh pejabat melalui wawancara-wawancara di televisi itu adalah kebenaran atau kepalsuan. Tak pula kita bisa melihat apakah para pengusaha (pemilik modal) itu betul-betul berkomitmen pada nasib orang banyak atau sekedar mengamankan pundi-pundi kekayaannya. Akhirnya kemerdekaan Indonesia hari ini adalah sesuatu yang eksklusif, karena hanya bisa dinikmati sebagian kecil rakyat Indonesia saja.
Kemerdekaan kemudian tampil dalam wajah simulasi saja. Kibaran gagah sanga Dwi Warna adalah sekedar penanda bahwa kita punya identitas simbolik. Tetapi makna sesungguhnya dari kibaran bendera yang berarti “kami adalah manusia merdeka” belumlah terwakili dalam “pesta” kemerdekaan ini. Kemerdekaan kami –kaum marjinal- adalah impian yang menggantang di awan. Bukankah kami tidak bisa merdeka untuk sekolah karena kami tak punya uang, kamipun tak boleh sakit karena tak sanggup berobat, kami tak boleh banyak omong karena kami cuma orang bodoh, kami tak bisa berteduh dengan nyaman karena kami tak mampu memiliki lahan, dan akhirnya kami tak boleh merdeka karena kami orang miskin.
Untuk siapa kemerdekaan bangsa ini diperjuangkan oleh pejuang di masa lalu, saya pikir dan saya yakin kemerdekaan diperuntukkan bagi semua rakyat di nusantara. Lalu, mengapa ada sebagian yang tak boleh merdeka ? Semua punya hak untuk sekolah, tapi mengapa sekolah tak kunjung digratiskan padahal negara ini mampu. Semua punya hak untuk berteduh di pondok yang nyaman, tapi mengapa negara tak menyediakan lahan untuk membangun pondok kecil bagi kaum marjinal. Semua punya hak untuk menyampaikan pendapat, tapi mengapa pendapat kaum pinggiran tak pernah didengarkan. Inilah hiperealitas, semua menjadi serba tidak jelas. Satu hal yang bisa jadi masih sangat jelas bahwa sebagian besar rakyat di republik ini belum benar-benar merdeka. Dirgahayu Republik !!
baliem1

Pernahkah kita mendengar Ruby Fox Creek Nelson, sungguh maluuu aku bila membaca kisah si Ruby...seorang penulis di Majalah Tempo (Agus Hidayat) pernah membuat tulisan tentang dia...cerita lengkap Ruby bisa pula dilihat di http://www.orangutan.org/ioaw/ruby.php Berikut tulisan Mas Agus yang kerap mengingatkanku untuk tidak pernah berhenti berbuat meski "kecil"..

Sekedar Catatan Kaki
Agus Hidayat Wartawan Majalah Berita Mingguan TEMPO

Teringat Ruby Fox Creek Nelson, 12 tahun. Gadis kecil dari Maine, Amerika Serikat ini membongkar celengan di ulang tahunnya ke-8. Isinya dipakai buat membeli 100 pot dan bibit bunga petunia, ditanam dan dirawatnya sendiri. Awal musim panas, bunga-bunga ini dipanen dan dijualnya dari pintu ke pintu.
Seraya berteriak, "tiap sen uang anda amat berharga bagi orangutan".Yap, Ruby mengumpulkan tiap sen, peny dan dolar dari keringatnya untuk makhluk yang tak pernah dijumpainya langsung, di negara yang namanya sayup-sayup saja sampai ke telinganya, orangutan (Pongo pygmaeus) di Indonesia.

Empat tahun Ruby bekerja. Dari mulai menjual petunia dalam pot, labu, tomat, blueberry, kerja di rumah kaca selama musim semi hingga mengemudi traktor di farm milik tetangganya.

Hasilnya, uang sebanyak US$7 ribu (Sekitar RP. 59,5 juta) ditangguknya. Jumlah yang amat wah, buat jerih payah anak seusianya.Berbekal uang itu, ia menyambangi Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Timur. Tempat dimana Dr. Birute Mary Galdikas mendedikasikan 32 tahun umurnya untuk konservasi orangutan. Tentu Galdikas menerima kedatangan Ruby dengan suka cita dan penghargaan. Uang yang dibawa Ruby diberikan sebagai donasi. Upah buat Ruby? Bercengkrama dan memandikan anak orangutan.

Teringat Ruby, teringat anak-anak Indonesia seusianya. Memenuhi mal dan pusat belanja, mendendangkan lagu terbaru sambil mengirim SMS. Memelototi dan ikut menangisi tipa episode sinetron dan juga eliminasi AFI. Tanyalah soal orangutan, jawab yang didapat hanya kerutan kening dan gelengan kepala. Lupakan pertanyaan soal illegal logging atau hutan hujan tropis. Ah, Ruby memang spesial, tapi di hanya satu dan satu-satunya.............

Eh, tunggu dulu, disini ada Indah yang merasa punya utang atas tiap pokok kayu yang tumbang oleh gergaji sawmill milik keluarganya. Iapun mati-matian membayar utangnya itu.........Juga ada Huzer yang blusukan di Cibun Grumbul, entah dimana ini..........Ada Amar yang tak jemu berkeliling di perkampungan Suku Bajau..........Ada Ito yang memilih memilah sampah perkotaan dan............ada belasan anak-anak muda lain dengan kadar kecintaannya pada lingkungan..........Mereka tak semata mencintai, tapi membuktikan kasih sayangnya dengan perbuatan dan pengorbanan.

Bukankah cinta hanya omong kosong tanpa pembuktian dengan pengorbanan?Kitapun terpengarah: Oh, anak-anak muda kita nyatanya tak selalu memberi gambaran buram, ada cahaya disana, biarpun kecil, membersit kesana-sini.

Soalnya, apakah rasa cinta itu, cahaya itu terus memancar atau memudar? Ruby telah dan akan terus memancarkan sinarnya, jauh melampaui batas-batas regional, etnis, budaya. Disini......? entahlah, belum terbukti.........Ada limabelas anak muda. Beberapa tahun lagi, ada yang namanya mencelat ke permukaan, atau tenggelam seiring berakhirnya sayembara. Tentu ada banyak alasan kalau sampai yang terakhir ini terjadi. Jangan salahkan kalau muncul penafsiran bahwa cinta dan pengorbanan itu cuma dipersembahkan untuk kontes, kompetisi, perlombaan belaka........argh, semoga bukan karena itu!

Teringat Ruby. Diakhir kunjungannya, Pulau Sangalaki dijajaki. Sesampai di Jakarta, selembar kertas dibuatnya bersama Clara Summers kawan seperjalan bertajuk "Clara and Ruby's Campaign to save the baby Sea Turtles". Lembar kampanye ini dikirimnya kemana-mana, termasuk Menteri Kehutanan..........Teringat ke-15 anak-anak muda ini........tunas-tunas yang mulai meretas jalan, ada harapan, ada masa depan.........juga rencana dan cita-cita, tarik-menarik kepentingan dan prioritas, semoga tak gugur sebelum mekar, tak rontok sebelum berbuah. Tak berhenti usai lomba.

"Hidup untuk Mempersembahkan Yang Terbaik, yaitu Bermakna bagi Dunia dan Berarti bagi Akhirat (Abdullah Gymanastiar)"

Bersama kawan-kawan di C-ECOSS gelar lomba esai nih :
Abstraksi
Dehumanisasi adalah realitas yang melekat pada kehidupan masyarakat modern. Logika transaksional yang mengukur manusia dari hal-hal yang bersifat material, telah membuat manusia kehilangan spiritualitas. Pemiskinan, pembodohan dan penindasan atas kemanusiaan terjadi di berbagai sudut kehidupan. Mari kita lihat dengan seksama bagaimana buruh di kota-kota besar diperlakukan sangat tidak manusiawi, mari kita lihat berapa upah minimum kabupaten/kota yang ditentukan pemerintah jauh dari kebutuhan standar minimal hal inipun tak seimbang dengan beban kerja mereka.
Mari kita perhatikan pula bagaimana petani khususnya buruh tani yang merupakan entitas genuine bangsa ini yang memiliki kultur agraris, juga mengalami proses penindasan yang tak berkesudahan. Harga gabah yang dipermainkan juragan, harga pupuk yang dimainkan oleh pedagang besar, belum lagi kebijakan-kebijakan negara yang tak berpihak (impor beras) adalah bukti penindasan atas mereka.
Lihat pula nelayan dan berbagai profil masyarakat kita di akar rumput yang juga mengalami penindasan. Namun, kadangkala sebagai bagian dari gerakan mahasiswa kita tersibukkan melihat realitas dehumanisasi ini dari kacamata makro dan luput untuk melihat realitas dalam perspektif mikro.
Mari kita coba menelusuri jalan dari kampus ke kos atau ke rumah kita, sudahkah kita menoleh ke kiri dan ke kanan sembari melemparkan salam kepada mereka saudara-saudara kita yang sampai hari ini mengalami penindasan, dimarjinalkan dan dinistakan.
Sudahkah kita menarik nafas dalam-dalam sembari beristighfar di sela-sela pasar tradisonal yang becek dan terancam "bangkrut" karena terdesak pembangunan mal-mal atau hypermarket yang tumbuh bak cendawan di musim hujan. Atau merasakan dengan tajam, kesedihan-kesedihan guru bantu yang ada di sekitar kita..atau keadaan-keadaan lainnya.
Inilah ironi modernitas, Marshall Berman menulis; "menjadi modern adalah menemukan diri kita dakan lingkungan yang menjanjikan kita sebuah petualanan, sukacita, kekuasaan, pertumbuhan, tapi pada saat yang sama, mengancam untuk menghancurkan segala sesuatu yang kita punya, segala sesuatu yang kita ketahui, segala sesuatu dari diri kita."(dalam Ross Poole, 1993:42)
Tema khusus lomba :
Potret individu atau komunitas marjinal di sekitar kita (lingkungan rumah, kampus atau dimana saja yang pernah kita jumpai)
Potret sosok individu/komunitas di sekitar kita yang melakukan proses perjuangan (resistensi) atas penindasan yang mereka lakukan.
Mimpiku tentang dunia baru (beranjak dari potret realitas yang ditemui)
Ketentuan Umum Lomba :
Lomba hanya boleh diikuti kader IMM atau simpatisan IMM yang berada di pulau Jawa (tercatat sebagai anggota IMM di salah satu cabang di kabupaten/kota di Jawa)
Peserta harus tercatat sebagai mahasiswa S1/D3 pada salah satu universitas/akademi di Pulau Jawa.
Lomba ini tertutup bagi pegiat yang aktif di C-ECOSS Purwokerto
Karya paling lambat diterima panitia pada tanggal 2 Mei 2006 pukul 23.00 WIB melalui email ke: c_ecoss@yahoo.com/huzer_apri@yahoo.com
Pengumuman pemenang akan dilaksanakan pada 20 mei 2006 melalui email atau dapat dilihat di caterpillar.blogdrive.com
Ketentuan Khusus Lomba
Karya berbentuk esai (naratif) atau bergaya feature panjang halaman tidak ditentukan (diserahkan pada peserta)
Karya harus menggunakan pendekatan empiris, dimana semua tulisan merupakan bentuk refleksi atas realitas yang pernah ditemui oleh penulis di lapangan.
Tiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu (1) karya
Karya merupakan karya asli penulis
Penulisan dapat dilakukan secara individual atau beregu (maksimal 3 orang)
Apresiasi begi karya terbaik
Karya terbaik 1 hingga 3 akan mendapatkan uang pembinaan dan paket buku dari panitia serta berlangganan gratis buletin yang diterbitkan C-ECOSS.
10 karya terbaik (urutan 1 - 10) akan mendapatkan kesempatan kesempatan untuk ikut dalam tour advokasi ke beberapa daerah di wilayah Cilacap dan Banyumas, semua akomodasi dan transportasi akan ditanggung penyelenggara.
Karya-karya yang kelak dinilai layak untuk diterbitkan akan mendapatkan buku kumpulan tulisan tersebut sebanyak 10 eksemplar.
Juri Lomba :
Imam cahyono, S.Sos (aktivis JIMM, alumni jurusan Sosiologi FISIP Unsoed saat ini mengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktif menulis di media cetak nasional)
Baridul Islam, S.Sos (aktivis di LSM LPPSLH, alumni jurusan sosilogi FISIP Unsoed, penulis buku advokasi petani)
Huzer Apriansyah S.IP (pegiat di C-ECOSS dan mantan ketua PC.IMM Banyumas)
Bila ada pertanyaan menyangkut lomba pertanyaan dapat disampaikan melalui email yang tersebut di atas.
Terima kasih, semoga informasi ini dapat pula disebarluaskan kepada kader ikatan yang ada di seantero Pulau Jawa. Abadilah Perjuangan !


Sebelum ini pernahlah kumencoba nge-blog di Blogdrive, alamatnya : caterpillar.blogdrive.com tapi tidak terkelolah dengan baik. Akhirnya kucoba untuk membuat blog baru ini. Selamat menikmati !!
Petang tadi seorang sahabat di Jogja kirim kripik hebat...ups kritik maksudnya. Ia mengkritik draft naskah novelku...begini katanya "novel kakak aawlnya begitu menggoda tapi selanjutnya...ehm..maaf ya ; kakak tak mampu mengeksplorasi karakter tokoh utama.
Kurespon balik sms itu :
"makasih kripiknya, naskah itu memang kubuat dua tahun yang lalu, belakangan aku baru berpikir untuk membaca-baca naskah itu"
Ah...file draft novel itu kujuduli -tak kunjung usai-...mudah-mudahan nasibnya tak seperti tittlenya.
Ku utak-atik lagi novel "tak kunjung usai itu"....aku mulai melihat muaranya..
ah jadi ingat film "Wonder Boy".
Lagi-lagi sunyi menyergap

Popular Posts