Tuesday, March 21, 2006


Hiperealitas Kemerdekaan

Hiruk pikuk seputar peringatan 60 tahun kemerdekaan RI terjadi dimana-mana. Mulai dari perkampungan becek hingga ke komplek perumahan mewah, mulai dari sekolah dasar inpres yang sudah mulai rapuh bangunannya hingga ke sekolahan megah yang gedungnya berlantai-lantai. Semua gegap gempita, bendera merah putih dalam skala ukuran yang beragam berkibaran di tiap sudut republik ini.
Bermacam acara di gelar. Ada acara yang sangat serius bertajuk seminar atau diskusi ilmiah tapi ada pula acara yang kocak dan ringan, semisal lomba menangkap itik atau lomba sepakbola sarung. Semua kelompok usia telibat, mulai dari anak-anak hingga kakek nenek. Sungguh dinamis bangsa ini bila melihat semua itu. Kebahagiaan terjadi dimana-mana, semua orang berbaur dalam satu semangat –merayakan hari kemerdekaan-, sekat ekonomis dan sosiologis melebur. Mudah-mudahan apa yang kita lihat bukanlah realitas yang artifisial.
Herannya bila berkaca dari peringatan hari kemerdekaan di tahun-tahun sebelumnya ada hal yang ganjil. Seusai “pesta” kemerdekaan, semua kembali ke “dunia” aslinya. Seusai upacara yang penuh khidmat di istana negara, semua pejabat publik biasanya ikut serta dan berjajar di kursi depan tapi esoknya semua kembali normal. Korupsi makin menggurita di jajaran elit. Kebijakan tak kunjung berpihak pada rakyat. Lalu, mana semangat kebangsaan yang meledak-ledak hebat saat tujuhbelasan itu. Seusai tujuhbelasan para pengusaha yang biasanya menjadi donatur kegiatan tujuhbelasan kembali menjadi “musuh” bagi buruh di pabrik-pabrik. Gaji yang tidak proporsional dengan beban kerja berat, fasilitas kerja yang minim, kesejahteraan buruh seolah bukan sesuatu yang berarti buat pengusaha yang notabene dihidupi oleh para buruh.
Seusai pesta, rakyat kecil kembali ke kehidupan nyatanya. Pedagang di pasar-pasar tradisional tetap terpinggirkan karena terus diusik kehadirannya oleh mall-mall. Bukan itu saja, di pasar mereka harus menghadapi beragam pungutan yang tak jelas kemana masuknya. Para buruh kembali harus memeras keringat dengan bayaran yang tak layak. Guru-guru kembali ke sekolah dengan kesejahteraan yang tak kunjung diperhatikan. Lalu, dimana kemerdekaan yang sesungguhnya bagi kelompok marjinal ?
Pejabat-pejabat publik biasanya berpidato dengan semangat yang berapi-api di tiap lapangan, semua tingkatan pejabat berpidato. Presiden berpidato, gubernur, sampai kepala desa juga berpidato meski cuma membacakan sambutan tertulis dari pejabat di atasnya. Tapi setelah pesta usai, usai pula semangat mereka untuk mencapai cita-cita kita sebagai bangsa. Lalu, akankah cita-cita hidup bangsa ini tetap akan menjadi pepesan kosong tanpa pernah ada usaha yang sungguh-sungguh mewujudkannya ?
Cita-Cita Sebagai Bangsa
Pembukaan undang-undang dasar (UUD) 1945 telah menggariskan cita-cita kita sebagai bangsa. Sebuah bangsa dengan rakyat yang cerdas, sejahtera, berkeadilan sosial dan menjunjung nilai-nilai perdamaian serta berdaulat. Itulah cita-cita luhur yang bisa kita perhatikan dari alinea kedua dan keempat pembukaan UUD 1945.
Setelah 60 tahun perjalanan republik ini, tentu banyak yang telah berubah. Taklah bisa kita pungkiri perbaikan dalam beragam dimensi kehidupan telah dicapai. Tetapi benarkah itu semua dirasakan tiap lapisan masyarakat ? Sudahkah kaum marjinal dimerdekakan dari himpitan beban hidup ? Sudahkan mentalitas pejabat publik merdeka dari sifat ketamakannya hingga korupsi dan kolusi menggurita ? Sudahkah rakyat di negeri ini berdaulat secara politik dan ekonomi ? Kalau sebagian besar jawabannya belum, maka sepantasnya kita melakukan permenungan atas keadaan. Tidak hanya sampai di permenungan namun berlanjut pada tahap “membongkar” keburukan kita sebagai bangsa, lalu dengan penuh komitmen memperbaikinya. Memang ini terkesan seperti mimpi di siang bolong. Tetapi sekecil apapun usaha, rasanya kita harus berbuat sesuatu.
Berbicara kembali mengenai cita-cita sebagai bangsa, maka kita tentu akan sadar bahwa kita adalah bangsa yang terseok-seok. Perhatikan sektor pendidikan yang menjadi kunci untuk mencapai cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Sektor ini justru menjadi titik yang sangat lemah. Anggaran pendidikan yang memadai baru sampai retorika politik, kesejahteraan guru baru sampai rencana dan rencana. Pendidikan gratis sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk mencapai cita-cita luhur bangsa tak kunjung dilaksanakan.
Pendidikan gratis hanya indah disampaikan saat musim kampanye tiba, setelah itu ya sudah.
Selanjutnya mari kita berbicara mengenai kedaulatan politik dan ekonomi rakyat Indonesia sebagai cita-cita bangsa. Secara simbolik rakyat kita memang berdaulat secara politik, tetapi kedaulatan yang absurd, mengapa ? Memang sekarang pemilihan pejabat publik serba langsung, tetapi rakyat tak pernah benar-benar bisa mengontrol kebijakan publik. Padahal muara dari proses pemilihan langsung pejabat publik oleh rakyat adalah tercapainya kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat, tetapi bagaimana bisa kalau fungsi kontrol tereduksi oleh wakil rakyat yang tidak peka. Akhirnya rakyat pulalah yang menangguk penderitaan, kebijakan menaikkan BBM, kemudian peraturan presiden nomor 36 tahun 2005 adalah contoh konkrit kebijakan negara tak berpihak pada rakyat tapi justru berpihak pada pemilik modal.
Sekarang mari kita lihat angka penduduk miskin empat tahun terakhir. 1999 ada 47,9 juta penduduk miskin, 2002 ada 38,4 juta dan 2003 ada 37,4 juta (laporan BPS 2004 dalam kompas 9 april 2005). Ini pertanda rakyat belum berdaulat secara ekonomi. Maka bisa jadi hiruk pikuk, dinamika dan spontanitas di seputar pesta kemerdekaan ini tak lebih dari simulasi yang mengaburkan kenyataan yang asli. Inilah keadaan hiperealitas. Benarkah demikian ?
Hiperealitas
Menurut Jean Baudrillard hiperealitas menciptakan satu kondisi, yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran (dalam Yasraf Amir Piliang, 2003;51). Hingga pada titik klimaksnya kondisi hiperealitas bermuara pada terbentuknya hipermoralitas. Kondisi yang terjadi menurut George Bataille adalah hilangnya ukuran-ukuran moralitas, karena situasi yang berkembang telah melampaui batas God and evil. Yasraf (2003 : 51) juga menyebutkan bahwa dalam kondisi hiperealitas hilangnya kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas. Semua sirna, yang terjadi sekedar simulasi. Hiperalitas terbentuk oleh simulasi, simulasi menurut Baudrillard adalah penciptaan model-model yang tanpa asal usul atau tidak memiliki referensi terhadap realitas.
Di usia 60 tahun republik ini, nampaknya kondisi yang terjadi adalah hiperealitas. Taklah lagi kita bisa melihat secara jelas, apakah hiruk pikuk tujuhbelasan adalah perwakilan dari kenyataan yang sehari-hari dirasakan rakyat. Taklah bisa dengan nyata kita melihat apakah hal-hal yang disampaikan oleh pejabat melalui wawancara-wawancara di televisi itu adalah kebenaran atau kepalsuan. Tak pula kita bisa melihat apakah para pengusaha (pemilik modal) itu betul-betul berkomitmen pada nasib orang banyak atau sekedar mengamankan pundi-pundi kekayaannya. Akhirnya kemerdekaan Indonesia hari ini adalah sesuatu yang eksklusif, karena hanya bisa dinikmati sebagian kecil rakyat Indonesia saja.
Kemerdekaan kemudian tampil dalam wajah simulasi saja. Kibaran gagah sanga Dwi Warna adalah sekedar penanda bahwa kita punya identitas simbolik. Tetapi makna sesungguhnya dari kibaran bendera yang berarti “kami adalah manusia merdeka” belumlah terwakili dalam “pesta” kemerdekaan ini. Kemerdekaan kami –kaum marjinal- adalah impian yang menggantang di awan. Bukankah kami tidak bisa merdeka untuk sekolah karena kami tak punya uang, kamipun tak boleh sakit karena tak sanggup berobat, kami tak boleh banyak omong karena kami cuma orang bodoh, kami tak bisa berteduh dengan nyaman karena kami tak mampu memiliki lahan, dan akhirnya kami tak boleh merdeka karena kami orang miskin.
Untuk siapa kemerdekaan bangsa ini diperjuangkan oleh pejuang di masa lalu, saya pikir dan saya yakin kemerdekaan diperuntukkan bagi semua rakyat di nusantara. Lalu, mengapa ada sebagian yang tak boleh merdeka ? Semua punya hak untuk sekolah, tapi mengapa sekolah tak kunjung digratiskan padahal negara ini mampu. Semua punya hak untuk berteduh di pondok yang nyaman, tapi mengapa negara tak menyediakan lahan untuk membangun pondok kecil bagi kaum marjinal. Semua punya hak untuk menyampaikan pendapat, tapi mengapa pendapat kaum pinggiran tak pernah didengarkan. Inilah hiperealitas, semua menjadi serba tidak jelas. Satu hal yang bisa jadi masih sangat jelas bahwa sebagian besar rakyat di republik ini belum benar-benar merdeka. Dirgahayu Republik !!
baliem1

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts