Wednesday, December 29, 2010



Anak muda yang berkarya dengan seni, kekuatan, kepercayaan diri dan semangat tanpa kebohongan, tanpa kemunafikan dan tanpa kesombongan. Itu yang membuat anda semua menjadi bintang, profil tersebut seolah menjadi semacam harmoni di lingkungan yang penuh disharmoni, bunga di tengah gurun sampah, kunang-kunang di senyapnya malam.

Serta merta kami mendapat semacam peta dalam usaha kami memahami makna Indonesia, peta yang kordinatnya betul. Peta yang kami punya selama ini adalah peta yang dibuat oleh para pujangga politik, yang meletakkan ukuran peta berdasar apa dan bagaimana kepentingan mereka, yang mencatatkan kordinat berdasarkan keuntungan semata. Belakangan ini kami terseret dalam arus rasa bangga dan bahagia. Seolah menemukan jawaban dari pertanyaan panjang “Siapakah kami ?”

Sayang beribu sayang, apa yang kami lakukan telah membekukan senimu menggocek bola dalam kelumpuan, telah membenamkan semangatmu dalam ketakutan dan mengubah keceriaanmu menjadi beban tak tertahankan. Maaf…maafkan kami atas ketidaktahuan kami ini. Seharusnya kami bersorak sorak saja, menemani kalian semua dengan nyanyian dalam menang dan kalahmu. Tapi kami terlalu kejam merenggut keindahan dari kakimu…

Semoga saja orang-orang tua disana, yang merasa paling berjasa atas prestasi kalian, bisa tersadar dan berhenti menepuk dada, merasa paling berjasa. BERHENTILAH menunggangi anak-anak muda yang tulus ini dengan kepentingan busuk kalian !!! Sungguh berhentilah, jangan biarkan kami yang menghentikannya.

Semoga saja media menjadi lebih tahu diri bagaimana mengapresiasi kalian dengan proporsional dan tak kekanak-kanakan, semoga saja program acara gossip tak latah ikut memprovokasi sisi pribadi kehidupan anak-anak muda yang tengah mekar ini.

Rasa frustrasi yang bersemayam kokoh di jiwa bangsa ini seolah menguap manakala bola mengalir deras dari kaki ke kaki anak-anak muda yang tengah tumbuh dengan jiwa patriotiknya, lawanpun terpesona. Bukan…bukan…kalian bukan sedang bermain di piala dunia, masih jauh itu ! Tapi ketulusan hati dan kekuatan jiwa yang membuat kami merasa kalian tengah menghadapi Spanyol di final piala dunia. Ketulusan dan kekuatan dua kata sederhana yang telah kehilangan makna di negeri kita ini. Kalian mengajari kami apa makna dari dua kata itu.

Diam-diam apa yang kalian ajarkan kepada kami telah menelisik dalam ruang-ruang hati kami. Kini, kami belajar bagaimana menjadi “pemenang” dimanapun kami berkarya, diam-diam kami tengah mengais semangat yang kau contohkan dalam aktivitas apapun yang kami lakukan. Diam-diam pula kami melupakan praktik bejat politisi dengan kerendahan hati dan semangat kalian.

Maaf, kalau hal-hal di atas justru makin membebani kalian, tapi sungguh saya tak mampu berbohong untuk mengatakan pada kalian, “Bermainlah sebagai anak-anak yang bebas tanpa perlu terbebani apa-apa..” Pula aku tak bisa bicara “Kami tak butuh piala itu..”. Bermainlah dengan cantik sahabat-sahabatku, tunjukkan bahwa kalian bisa.Bisa apa ??? paling tidak bisa menunjukkan kepada kami semua, cara berjuang menghadapi tekanan seberat apapun.

Kalau ada yang bilang “kami tak butuh piala itu” sungguh itu bohong, kami butuh piala itu. Tapi itu semua bukan harga mati, kalaupun hari ini kita gagal merengkuhnya, toh masih ada dua tahun lagi untuk bersiap diri. Kami akan selalu menanti dan terus menemani setiap usaha kalian sekarang atau nanti…

Anak-anak muda berbaju merah dengan atribut garuda itu telah membuncahkan segumpal asa di tengah sebuah negeri yang tengah terbaring lemas karena dirundung beragam duka yang telah ditimpahkan para pujangga politik yang berseliweran dari sabang sampai merauke, dari senayan sampai harmoni… kalau boleh meminta, wahai para pujangga politik, jangan kau kotori pesta rakyat “sejati” ini dengan ocehan gombalmu…maaf, tapi begitulah sepantasnya kami bicara.

Akhirnya, kami hanya bisa berdoa dan bersorak bersama menjadi bagian dari tiap jengkal usaha anak-anak muda berseragam merah dengan atribut garuda…kalau kemenangan dititipkan pada kita, menanglah dengan rendah hati, kalau kemenangan belum menghampiri kita, kalahlah dengan kepala terangkat. Bermainlah dengan leluasa tanpa harus memikirkan berapa gol yang akan tercipta, bermainlah saja, kami akan dengan senang menyaksikannya. MEKAR DI JALAN YANG SUKAR !!!

Wednesday, June 23, 2010

Pic source : hzr collection


Ayah..satu diantara sangat sedikit tempat nyaman untuk kembali.

Kalau saja Hitler di masa kecilnya mendapat kasih sayang yang layak dari Sang Ayah, akankah dia tetap akan dicatat sejarah atas luka panjang kemanusian yang ia goreskan ?

Dua tahun lagi my "super hero" akan menyandang predikat pensiunan...tentu saja pensiun dari tempatnya bekerja...Kalau sebagai super heroku ia tak akan pernah pensiun...

Pahlawan superku bukan tanpa celah, khilaf dan alfa ada yang ia tabur sadar atau tidak..namun sayangnya celah dan alfa itu taklah ada artinya dibanding pengorbanan dan perjuangan yang ia torehkan...

Gundah tentu saja ada dalam dirinya jelang masa-masa pensiun..apapun ceritanya pahlawan superku ini juga tak bisa menghindar dari determinasi eksesistensialisme...

Padanya, aku cuma ingin berbisik pelan saja "Dad, you are still and always my super hero"...










"Abahku bilang, hidup itu seperti apa yang kita mau....." sepenggal kalimat itu meluncur di LCD 23"ku....*Sumringah MODE ON (akhirnya punya PC impian...: Tidak dalam rangka membahas Monitor 23 Inch yang dibelakangnya sudah terbenam mainboard, processor dll..dll, gak perlu lagi kotak bernama CPU di samping monitor yang memang keren itu, tapi soal menyoal hidup di atas tadi.

Ehm, sesederhana itukah hidup ? Bisa jadi iya. Lha kalau begitu kenapa banyak yang merasa tak nyaman dengan mereka punya hidup. Jangan-jangan memang itu yang mereka mau.

Aku jadi bertanya-tanya, apa pula yang kumau dalam hidup ini ? Jangan-jangan, yang ku mau tak pula ku tahu. Sakit-sakiiit....

Weleh, jangan nyengir-nyengir aja di balik monitor *ups gimana bacanya kalo di balik monitor. Emang dirimu udah tau apa maumu ? Kalo belum tau juga, mikir donk mikiiiir jangan nyengir genit kayak demit gitu... (ada ya demit nyengir ??)

Hidup itu optional, opo iyo ? emang ujian sekolah pake pilihan ganda. Bisa jadi hidup sejatinya adalah ujian. Ada nilainya dunk ? ya iya. Sapa yang nilai ? ehmmmm. Siapa ya ? Pertanyaannya bukan sapa yang nilai, tapi emang perlu dinilai ? Bukankah kita selama ini terlalu sibuk saling menilai hidup orang-orang. Ehmmm, benul..mari kita lacak dari dindingnya facebook..pernah baca posting yang bernada berikut...

"..Sebel, koq ada ya orang di dunia kayak dia.."
"Gileeee...baru golongan IIIA hartanya udah berlimpah rua..."
"Kenpa sih dia cuek banget..."
"Tadi pagi...jjs ama temen, liat pengamen, anak kecil...heeem andai aku bisa bantu mereka.."
"Mendingan hidup kayak gue ketimbang kaya tapi sengsara di penjara.."

Whatzuppps man.....haruskah semuanya dinilai ? dikomentari ? emang perlu. Haruskah semuanya mendapat pembenaran atau makian..? Jadilah hidup menjadi tak santai lagi..karena semua akhirnya memlih bertopeng cemerlang di panggung demi mendapat penilaian yang membuai..heeemm..gak capek tuh pake topeng ?

Kalo diperhatikan tulisan ini sedari awal mengandung tak kurang dari 12 tanda tanya di dalamnya. Kerjaan koq nanya sih....bukan apa-apa, sekarang bertanya sudah jadi langka. Karena semua ingin menjawab...bukan bertanya. Kebanyak lebih memilih menjadi penghakim, pembicara dan juru bicara...lha siapa yang bertanya kalo gini semua ?

Nah, biar harmoni terbangun, maka perlulah kita menjadi penanya, agar arus kebanyakan bisa punya kesempatan berbicara, bertutur, dan mengungkapkan gagasannya.

Panggung, pentas, mimbar kini bisa ditemui dimana saja, bahkan di kamar tidurmu..dunia sudah menjadi sangat datar dan kenyal..:) panggung dimana-mana. revolusi informatika hari ini telah membuktikan perkiraan besar Si Nicholas Negroponte "Being Digital"...ehm pelan tapi pasti bit telah mengganti posisi atom.

Mari kita menjadi penanya, pendengar, dan penonton..karena jikalau semua menjadi lakon/pemain..ehhm FLAT...

Tapi sekali lagi hidup itu ya apa yang kamu MAU. Mau menjadi lakon atau menonton, mau menjawab atau bertanya...ya apa yang kamu MAU deh...

Friday, March 19, 2010


                         

Sastra dalam proses penciptaannya kerap merupakan hasil persinggungan penulis dengan realitas. Amartya Sen pernah menggambarkan bahwa perut yang lapar kerap melahirkan karya sastra yang berkualitas.

Ungkapan di atas nampaknya ingin menunjukkan bahwa karya sastra yang berbobot adalah karya yang dilahirkan dari pengayaan yang mendalam atas realitas sosial. Tatkala sastra semata lahir dari imajinasi tanpa pertautan yang erat dengan realitas. Maka sastra seolah pedang yang matanya tumpul.

Romo Mangunwijaya dengan kesederhanaan mencoba menggubah realitas kehidupan sehari-hari ke dalam karya esai dan cerpennya. Sosok orang-orang biasa menjadi sentral dalam karya-karyanya. Lebih dari itu, karya-karya beliau juga mengalir secara alamiah dan nikmat dibaca.

Sebelas tahun pasca kepergian Romo Mangun, semangat yang ia tebarkan seolah telah menjadi semangat zaman. Merasuki mereka yang haus akan nilai-nilai kemanusiaan. Beliau telah menjadi semacam ikon perjuangan bagi para sastrawan pejuang sekaligus intelektual enerjik, yang penuh dedikasi bagi sesama

Menariknya lagi, semangat pemihakan dalam karya-karya sastranya juga dienjawantahkan dalam praktek kehidupan. Pemukiman tepian Kali Code yang mendapat Aga Khan Award for Architecture telah menjadi monumennya.

Spirit pembebasan Romo secara pribadi saya jumpai pertama sekali pada kumpulan esai beliau Tumbal (1994). Kritik terhadap pola pembangunan yang dehumanis dan mengabaikan keberadaan kaum marjinal ditulisnya secara santun dan mendalam. Wajah angkuh orde baru ia telanjangi secara halus, mendetail dan dengan cita rasa sastra yang kental.

Mengungkap kebaikan-kebaikan Romo Mangun tentu bukan harapannya. Beliau tentu lebih ingin kita menangkap semangat yang ia tebar; Pemihakan pada kaum marjinal, pemihakan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan dan penghargaan atas keberagaman. Paling tidak tiga semangat itulah yang diperjuangkannnya secara kental, lewat karya-karyanya.

Hari ini tatkala dunia sastra tanah air mekar bak cendawan di musim hujan adakah semangat Romo Mangun tersebut tumbuh ? Sastrawan muda lahir dari hari kehari. Namun, apakah karya yang hadir telah tampil sebagai pembelaan atas nilai kemanusiaan ? Atau sekedar hadir dan hanyut dalam populisme media ?

Rumah Bambu (2000), kumpulan cerpen berserak beliau yang diterbitkan pasca wafatnya. Menunjukkan pemihakan yang jelas atas rakyat kecil (B. Rahmanto, 2001;102). Puyuk Gonggong, yang ditulis di Kedungombo menjadi semacam karya kritik simbolik atas ganasnya orde baru ketika itu. Lalu, Tak Ada Jalan Lain bercerita tentang peliknya hidup yang memaksa “orang-orang biasa” yang dimarjinalkan memilih jalan tak biasa. Menjadi banci demi menghidupi diri.

Begitupula dengan cerpen Hadiah Abang yang bertutur mengenai si Gondek yang mendadak terinspirasi menjadi kernet demi memberi hadiah uang seribu rupiah pada adiknya. Cerpen Pagi Itu juga bertutur soal orang biasa. Mbok Ranu, penggoreng cucur yang bersukarela membantu hidup seorang tukang becak tua

Lewat cerpen dan esainya Romo Mangun ingin mengangkat kehidupan orang-orang lemah yang dimarjinalkan ke permukaan. Pedih, pelu dan airmata kaum papah digubah menjadi sebuah karya sastra yang menyentuh dan penuh pengayaan bersinergi dengan kelucuan-kelucuan kehidupan sehari-hari. Gaya bertuturnya yang tidak menggebu-gebu membuat cerpen dan esai beliau mengalir begitu alamiah. Bagai dongeng yang dibacakan menjelang tidur.

Tapi Romo tidak ingin semangat pemihakan yang ia benihkan nasibnya menjadi sekedar dongeng. Malam hari di dengar keesokannya telah terkubur. Romo Mangunwijaya mengangkat cerita dengan latar kehidupan sehari-hari yang sederhana itu tentu bukan tanpa maksud. Inilah yang harus kita cari jawabannya.

Sepintas Ia menjadikan karya-karyanya semacam medium permenungan atas kompleksitas masalah kemanusiaan. Ia berusaha menggunakan cermin yang begitu sederhana untuk memotret hal tersebut. Kehidupan kaum marjinal, itulah cerminnya. Selanjutnya, sebagaimana kita ketahui Romo hidup melintasi fase demi fase sejarah. Masa Revolusi ia telah ada (sebelum 1945), lalu masa orde lama (1946-1966) juga orde baru (1966-1998) bahkan Romo sempat mencicipi hidup di era reformasi (1998-1999). Meski demikian hampir seluruh karyanya ditulis di era (1980-1998).

Maka, dapat kita prediksi sesungguhnya Romo lewat karya-karyanya yang kritis dan memihak tersebut sesungguhnya tengah melakukan upaya-upaya mendorongkan perubahan sosial. Bahkan bisa jadi karya-karya sastra yang mengupayakan transformasi sosial macam karya Romo Mangun, Cak Nun, Kuntowijoyo, Umar Khayam telah menjadi salah satu suluh bagi gerakan reformasi 1998.
Pendulum Perubahan

Karya-karya Romo Mangun seolah ingin menggerakkan pembacanya untuk menyadari realitas yang sesungguhnya ada. Ia ingin membuka mata fisik dan mata hati pembacanya akan kondisi ketidakadilan, kepincangan dan kesewenangan-wenangan.

Namun, disisi lain Romo Mangun juga berupaya mengajak kita semua belajar dari orang-orang biasa yang hidup secara sederhana tanpa ini itu yang rumit. Belajar dari ketulusan, kesederhanaan dan harmoni orang-orang biasa itulah kira-kira pesan yang dibawa.

Karya sastra di tangan Romo Mangunwijaya telah berubah dari sekedar ekspresi berkesenian menjadi semacam pendulum bagi proses perubahan sosial. Bagaimana bisa hal ini terjadi ?

Kondisi ini dimungkinkan karena karya Romo Mangunwijaya bercirikan tiga hal. Mengangkat cerita atau latar belakang kisah dari kehidupan sehari-hari dari orang-orang kecil. Lalu, mengandung unsur ironi (idealitas-realitas) serta mengandung unsur kritik atas realitas baik secara implisit ataupun eksplisit

Sebagai penutup, doa bagi kelapangan jalan Romo Mangun patut kita panjatkan pada Tuhan sekaligus memohon agar semangat Romo Mangunwijaya yang memuliakan sifat-sifat Tuhan dan nilai kemanusian menjadi semacam ruh bagi bangsa kita yang hari ini mulai kehilangan spirit itu.

Akhirnya idiom yang pernah dibuat oleh Seno Gumira Ajidarma “ketika pers dibungkam sastra harus bicara” dapat sedikit kita tambah menjadi “ketika hati nurani kelam sastra harus menebarkan cahaya”.

Wednesday, January 6, 2010

                                           Source : www.eduinreview.com/blog/wp-content/uploads/2...

1986, kala itu hari-hari awalku di taman kanak-kanak. Bangga sekali rasanya, kusandang kotak makananku dan botol air minum yang terisi penuh. Tiap hari kuisi penuh botol air minum itu sebelum berangkat, ada kedekatan antara aku dan botol itu. Tak bisa kujelaskan secara pasti, tapi tanpa botol itu rasanya ada yang kurang saja.

2006, kala itu hari-hari awal adik bungsuku masuk sekolah dasar. Setiap kali orang tua kami menyarankan adikku mebawa botol minuman seperti kakak-kakaknya, setiap kali itu juga adikku menjawab “mendingan beli minuman botol di sekolah ma, mudah dan keren” kurang lebih itu yang kuingat dari jawaban adikku dulu.

Dua peristiwa di atas hal biasa, dua peristiwa yang dialami dua individu yang mewakili zamannya, berjarak dua dekade. Tak ada yang istimewa dari dua kejadian itu. Zaman berubah cara hidup anakpun berubah, begitulah kira-kira kalimat yang bisa mewakili dua peristiwa di atas; dari air minum di botol yang setiap hari sekolah diisi dan air minum yang langsung dibeli dengan botolnya habis itu botol langsung bisa dibuang. Pilihan kedua lebih praktis dan modis. Ya, wajar saja zaman menuntut begitu.

Tapi pertanyaan iseng saya, apa betul zaman menuntut begitu ? apa betul air dalam kemasan itu kebutuhan kita ? Kata tuntutan zaman, kadang-kadang telah menjadi semacam azimat manjur untuk menutup laju pikiran kita terhadap hal-hal yang kita anggap kecil itu. Prihal air di dalam botol itu hanya satu contoh saja dari sekian banyak hal-hal yang kita anggap kecil tadi.

Atas nama zaman yang berubah, beli nasi lebih keren dan berwibawa kalau pakai dus dari karton atau dari steryoform ketimbang berbungkus daun pisang atau berbungkus kertas koran. Berbelanjapun lebih efisien dan nyaman di superstore atau supermarket yang kita leluasa memilih segala sesuatu kebutuhan dibanding berbelanja di pasar tradisional yang tak nyaman dan susah prosesnya. Jadilah bila berbelanja di supermarket sesuatu yang sejatinya bukan kebutuhan tiba-tiba saja seolah menjadi kebutuhan karena kebetulan ada potongan harga 10% . Apalagi kalau tulisannya clearance sale… sampai-sampai tengah malampun didatangi tuh supermarket, maklum ada midnight sales yang konon potongan harganya hingga 70%. (kalau istriku baca tulisan ini, jangan-jangan dia akan menuduh ini pikiran sesat yang hanya akan melegitimasi suaminya yang ogah-ogahan kalau di ajak berburu barang diskon..)

Begitulah, zaman menuntut . Balik ke cerita soal air di dalam botol tadi. Apa sih sesungguhnya yang kita beli ? air ? rasanya bukan, botolnya ? kayaknya gak juga. Terus apa dong ? Ada nilai yang lebih mahal dari nilai air atau botolnya, gengsi ! Itulah sesungguhnya yang kita beli dari air di dalam botol itu. “Ah, nggak tuh. Aku beli air mineral kemasan, karena emang aku butuh aja”, “Kalo eke sih beli minuman begono, yee karena emang eke demen”,” I’m not agree, it’s not about prestige but efectiveness”.

Seratus satu alasan kita memilih minuman dalam kemasan. Kalau emang kita suka, demen atau merasa efektif. Terus apa dong bedanya dengan bawa botol dari rumah yang sudah diisi sendiri, airnya di masak sendiri. Sama-sama pakai botolkan ? sama-sama ada airnya kan ? “yeee..beda dunk, air dimasak sendiri belum tentu bersih, udah gitu ribet pake masak air, udah gak zaman’a kalee”.

Kalau lihat alasan-alasan yang bisa kita jejerkan untuk membenarkan kebiasaan kita meminum air mineral dalam kemasan yang kita beli. Rasanya pilihan itu memang benar, gak ada salahnya bahkan nyaris tak terbantahkan urgensinya. “hari gene bawa-bawa botol dari rumah..? idiiiih nora’ lho”. Bener juga tuh orang, jadi merasa gak gaul n’ funky nih penulis,katro’.

Luar biasa !! Kemampuan korporasi produsen air mineral dalam kemasan itu menguliti kesadaran manusia postmodern ini. Lengkap citra yang dibangun. Bahwa air dalam kemasan = sehat, bersih, mudah, keren, dan lain-lain dan lain-lain. Benarkah citraan (baca sangkaan) yang dibangun atas air mineral dalam kemasan itu ? Bisa benar dan sangat bisa salah. Sayangnya propaganda yang dilakukan terus menerus terutama oleh televisi yang disebut Garin Nugroho (2005 : 160-161) sebagai anak emas teknokapitalis telah membutakan pikiran kita dan menganggap citraan yang diprasangkakan itu sebagai sebuah kebenaran tak terbantahkan. Pikiran bawah sadar kitapun dengan reflek mengiyakan citraan-citraan itu. Bergeraklah citraan menjadi kebenaran. Jadilah kita masyarakat hyperealitas, tak lagi bisa memilah batas antara fakta dan citra.

Perbincangan soal air dalam kemasan ini terlalu remeh temeh, gak bonapid (“gak salah tuh ejaannya…. “, “Biarin aja yang penting keren” hehehhe). Di zaman yang udah canggih gini masak capek-capek mikirin air ma botol. Mikir negara ke’, mikir masa depan ke’ atau mikir prospek bisnis. Ya, emang zamannya dan makin maju; mana menarik berbincang hal-hal kecil yang konyol begini kali ya ? Segala air ama botollah dibahas, kayak gak ada kerjaan lain. Heeeemmm. Bener juga..TAPI………………..

ADA TAPINYA NIH. Gelagat kapitalisme yang berkembang bercirikan kemampuan menguasai proses konsumsi. Terjadi perluasan, dari sekedar menguasa proses produksi melebar menguasai proses konsumsi pula. (Ritzer dalam Teori Sosial Postmodern, 2005;374) Visi global kapitalisme hari ini mengeksploitasi konsumen. Tak percaya ? coba pikir;kartu kredit, belanja online, phone shop, mall, diskon. Bisakah orang-orang hari ini hidup tanpa hal-hal di atas ? Rasanya lebih banyak yang memilih jawaban “Tak Bisa”. Sebenarnya banyak yang bisa hidup tanpa hal-hal di atas, bahkan era 90-an hanya segelintir orang saja yang sudah bersentuhan dengan itu. Tapi sekarang, jangan tanya. Anak SD hingga veteran perang vietnam terbiasa dengan aktivitas yang terkait hal-hal di atas itu. KITA DIPAKSA BELANJA.
Inilah kedigdayaan kapitalisme dalam merayu massa. Kita dirayu tanpa sadar. Rayuannyapun luar biasa dahsyat. Tak sekedar diberi janji-janji dan citraan, tapi kita dipermudah bahkan sangat leluasa mengakses instrumen yang “memaksa” kita belanja. Inilah kemenangan yang paling heboh dari kapitalisme dalam dua dasawarsa terakhir. Ledakan konsumsi !!

“Halah, koq nggaya kowe..ngomong-ngomong soal kapitalisme po yo mendingan ngomongke rego saham po bisnis forex luwih jelas hasile ketimbang mbengok sing ora nggenah..” (Halah, kok kamu bergaya,bicara-bicara soal kapitalisme mendingan bicarakan soal harga saham atau bisnis forex lebih jelas hasilnya daripada teriak-teriak gak jelas). Itu reaksi temanku yang orang Jogja waktu kutelpon malam-malam dan kuajak bicara soal air berbotol atau botol berair.. Benar juga temanku itu, ngomongin kapitalisme itu gak jelas. Itu lagi kehebatan kapitalisme, munculnya selalu tidak jelas, multiidentity, samar dan berbaur. Kondisi ketidakjelasan inilah yang memudahkan praktik-praktik kapitalisme mudah dan gampang diterima.

Mari kita bicara tanpamembawa-bawa kapitalisme itu,terlalu berat, mumet (pusing), pening. Serba salah jadinya penulis,tadi bicara botol dan air dibilang terlalu ringan, gak bonapid  sekarang bicara soal kapitalisme dituduh bikin pusing, keberatan. Jangan-jangan kita ini memang sudah malas berpikir ya ? Mau berat, mau ringan ya malas mikirnya. Hehehehhe. Mau menuduh kapitalisme juga sebagai biang keladinya ? Ah enggak ah nanti banyak yang keberatan. Di tambah lagi aku tak paham seluk beluk teori seputar kapitalisme ini.

Satu hal yang kupahami dari kehidupan hari ini. Ikut arus utama itu lebih mudah. Kalau orang kebanyakan minum dengan membeli air dalam kemasan ya ikutan aja, kalau orang-orang naik motor atau mobil berangkat ke sekolah ya ikutan aja, ngapain jalan kaki atau naik sepeda dan ikut-ikutan dalam hal-hal lainnya. Menjadi pengikut arus utama itu memudahkan karena kita tak pelru lagi mikir-mikir. SEMUA ORANG JUGA BEGITU…. 

Balik ke soal air berbotol atau botol berair itu. Maka kalau kebutuhan dasar kita itu adalah air untuk diminum jawaban yang benar adalah air berbotol. Terpenting airnya, bukan botolnya. Frasa air berbotol menunjukkan air sebagai subyek, maka airlah yang utama. Tapi kalau anda meminun botolnya maka Botol berair jawabanya. Terserah mau minum air atau minum botol ?
Kalau anda masih waras, pasti anda milih air berbotol. Jika demikian, pastikan botol kepunyaan anda berisi air yang dibawa dari rumah (Kecuali pada saat botolnya sudah mulai tak bisa dipakai ya tak masalahlah beli botol berair), kalau anda memilih botol berair, teruskanlah perilaku membeli air minum dalam kemasan. … Tabik !

Ups…hampir lupa mau bilang maaf ke produsen air mineral, bukan maksud hati merusak pasar kalian yang sudah menggurita ini. Bukan pula maksud hati saya menyepelehkan kerja keras tak kenal pamrih kaliah dalam prihal kepedulian sosial dengan mendekatkan air ke masyarakat di Kabupaten Soe NTT itu…  Tulisan ini hanya ingin mencolek pikiran saya dan orang yang sudi dicolek lainnya. Lagipula gurita anda-anda tak akan goyah oleh tulisan mungil ini…. PISS

Hzr – Banda Aceh, 04.45 WIB

Popular Posts