Sunday, March 24, 2013


Pada akhirnya menulis adalah pertarungan. Pram, sang legenda sastra Indonesia pun bertutur “Kalau umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan.” Menulis adalah pertarungan melawan rasa lupa, melawan rasa takut, pertarungan untuk bersuara.

Pengalamanku mengatakan menulis adalah mozaik kehidupan. Kata telah membawaku terbang melintasi waktu bahkan ruang. Tulisan membawaku pada kesadaran akan realitas, tulisan pula yang menuntun untuk selalu bermimpi. Pertanyaannya kemudian untuk apa aku menulis ?

Bagiku pertanyaan ini mutlak dijawab. Mungkin tidak bagi sebagian orang. Melakukan sesuatu tanpa kita tahu untuk apa hal itu dilakukan tentulah akan membuat apa yang dilakukan tak berjiwa, sekedar ada tanpa tahu mengapa. Pertanyaan ini kembali menyeruak, setelah menyadari blog sederhanaku ini mulai terisi oleh beberapa posting tulisan yang berbau puja puji akan sebuah produk idustri, karena memang sedang mencoba peruntungan di kompetisi-kompetisi.

Aku bukanlah seorang penulis yang luar biasa atau penulis idealis, tapi satu yang coba selalu kuyakini, apapun tulisan itu ia harus membawa “pesan”. Tak peduli apakah aku sedang menulis tentang sebuah produk, misal saja sedang menulis karena ikut lomba yang diadakan sebuah perusahaan. Ini tantangan terberat dalam kepenulisanku. Mengikuti kompetisi semacam ini sama halnya kita menjadi “penulis pesanan”. Tapi, bukankah dengan sedikit kreativitas tulisan itu bisa tetap membawa pesan bukan sekedar iklan. Ah, ini hanya terasa apologi semata. Tapi pada kahirnya memang kita harus punya alasan, mengapa melakukan sesuatu. Termasuk ketika memilih ikut mengkampanyekan sebuah produk industri.

Akhirnya aku berkessimpulan meski dengan tetap melekatkan tanda Tanya pada simpulan itu; Silahkan saja mengikuti lomba apa saja yang diadakan oleh siapa saja, tapi jangan terlalu masuk dalam permainan si empunya hajatan. Ini memang pilihan moderat, sebenarnya yang paling gampang, ya sudah tidak usah ikutan saja. Tapi bagaimana tak tergiur, hadiahnya puluhan juta, bahkan ada berhadiah jalan-jalan gratis ke tempat-tempat nan jauh. Tapi haruskah kita kehilangan “ke-aku-an” kita untuk menggenggam itu semua. Tentu dalam lomba-lomba yang memang ditujukan untuk promosi kita tak lah bisa serta merta lepas dari kepentingan penyelenggara. Tapi kita bisa juga tetap menyelipkan makna dalam tiap tulisan kita.

Kompetisi kadang lebih dari sekadar menang atau kalah, juara atau tak juara. Tapi bagian dari proses pendewasaan. Tiga bulan terakhir beberapa kompetisi kuikuti dan beberapa diantaranya berbuah apresiasi;

1. Termasuk dalam 12 puisi terbaik dalam Lomba Puisi Esai yang diadakan Jurnal Sajak dan Denny JA.
2. Juara Harapan 2 Lomba Karya Tulis PTPN X tentang wisata pabrik gula
3. Juara 2 Lomba Blog Oxfam Indonesia tentang Adaptasi Perubahan Iklim
4. Pemenang mingguan di kontes photo dan tulisan “Langkah Kecil Untuk Sesama” yang diadakan Indomaret-Panadol

Empat apresiasi itu tidak terlalu bermasalah dalam konteks spirit kepenulisanku, karena tema-temanya tidak bermuatan iklan sama sekali. Tapi ada resah karena tiga dari empat tulisan. aku menuliskan kisah-kisah tentang para sahabat-sahabatku. Apakah ini bukan bentuk eksploitasi ? Entah kenapa tanda tanya ini muncul. Meski dalam pembelaan yang paling naïf aku bisa saja berkata, kisah-kisah yang kutuliskan tentang sahabat sebenarnya adalah medium saja untuk menyampaikan pesan-pesan kepada dunia.

Tak lama dari apresiasi-apresiasi yang aku peroleh gairah (kalau tak mau disebut nafsu) untuk meraih apresiasi-apresiasi lainnya menjadi makin liar. Mulai aku ikut lomba blog yang bermuatan murni iklan. Salah satunya lomba blog tentang salah satu produk otomotif. Ah, entah mengapa tiba-tiba aku menjadi malu dengan kalimat Pram yang kukutip di awal tulisan ini.

Aku mulai sadar seorang penulis harus bisa menjadi egois dalam tulisannya. Hal itu yang aku lupa, aku mulai terlalu kompromistis dalam tulisan.

#MelawanLupa



0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts