Sunday, April 14, 2013


Tidak dapat ikan mi hari ini,” tatapan anak yang kutaksir tiga belas atau empat belas tahun itu tampak lesu. Ia seret sampan ke tepi, hanya satu dua ikan-ikan kecil yang ia genggam. Sang adik yang menunggu berusaha tetap tersenyum meski kurasakan getir dari matanya.

Peristiwa itu kualami di Puntondo, Takalar. Entah mengapa peristiwa itu membekas begitu dalam. Dua bersaudara itu hidup bersama tiga saudara lainnya yang masih kecil dan seorang ibu. Sang bapak pergi beberapa tahun sebelumnya, dihantam gelombang saat melaut. “Seharusnya bulan itu tidak ada gelombang besar,” begitu sesal sang ibu jika mengingat peristiwa kelabu di awal Juli 2002 itu. Kini anak tertua mereka menjadi tumpuan penghidupan. Tak ada pilihan, ke laut dan mencoba meraih kemurahan rahmat dari lautan yang membiru.

Sayang mencari tangkapan tak semudah dulu, membaca angin dan musim bukan perkara mudah lagi. Jaring dan pancing seperti kehilangan taji, banyak yang menyerah dan mencoba cara yang tak ramah, bom ikan. Tapi si kecil berwajah teduh itu menolak. “Tidak mau mi, rusak semua nantinya.” Iya menolak menggunakan bom ikan. Banyak hal buruk yang akan terjadi menurutnya, ia banyak membaca hal itu dari buku-buku yang ia bisa pinjam di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Puntondo yang tak jauh dari dusunnya itu.

Anak kecil berwajah teduh itu sudah mengenal banyak hal tentang melaut dari almarhum ayahnya. Laut itu rumah bagi kita, disanalah kita mencari penghidupan. Hancur laut, hancur hidup kita. Begitu hal yang ia dapat dari sang ayah. Usianya memang masih ranum, tapi pahitnya hidup membuatnya berpikir di luar kebiasaan umum.

Kalau sedang tak dapat tangkapan, ia kesal dan marah. Kadang terlintas untuk mencoba menggunakan bom, tapi ia tahu langkah itu salah. Kerusakan akan jauh lebih besar dari kemanfaatan. Ikan-ikan kecil mati, bahkan karang bisa luluh lantak. Masa depan akan semakin suram tentunya.

Perjumpaan dengan anak bermata teduh itu memang sekilas, bahkan aku tak mampu mengingat namanya. Hanya selembar foto saat ia mendayung saja yang kusimpan sebagai kenangan. Menjadi semacam penanda bagiku bahwa kearifan tradisional yang mengedepankan harmoni alam dan manusia menjadi sedemikian rapuh. Karena alam semakin tak terbaca. Bukan karena alam angkuh, tapi manusialah yang terlalu bergemuruh. Berusaha menaklukkan alam bukan memahami dan membangun harmoni.

Tak hanya di Puntonto, Takalar, masyarakat-masyarakat adat yang hidup di pesisir bahkan di laut seperti orang Bajo juga menghadapi kenyataan yang memilukan. Penghidupan mereka terancam.

***

Beribu kilometer jauhnya dari Puntondo, sekian waktu dari perjumpaan dengan anak bermata teduh, aku berjumpa dengan orang akit di pulau-pulau kecil Riau. Aku bersua dengan mereka di Pulau Rupat, Pulau Mendol dan Pulau Kundur. Orang akit juga mengandalkan laut dan hutan sebagai ruang penghidupan mereka.

Adalah Pak Ahmad, sesepuh orang akit yang tinggal di Penyalai menuturkan betapa rapuhnya hidup mereka sejak hasil laut semakin sulit, ombak dan gelombang yang tak lagi bisa ditebak dengan perangkat pengetahuan khas mereka. Ditambah hadirnya nelayan besar yang kadang tak lagi memikirkan hari depan. Menyikat habis apa yang bisa mereka sikat. Pukat mereka tak akan sanggup ditandingi jaring-jaring sederhana atau mata kail milik orang akit.


Pada masa lalu, orang akit rumahnya saja mengambang di permukaan laut, perahu menjadi bagian dari identitas mereka. Tiap perahu memiliki roh dan jiwanya masing-masing. Perahu menjadi sesuatu yang penting dan sangat dihargai. Tanda-tanda alam mereka baca dengan seksama. Dimana arah bintang, arah hembusan angin hingga suara burung menjadi penanda mereka dalam memahami alam. Tapi kini alam seolah menutup diri; tak tertebak dan cenderung tak bersahabat.

Kini orang akit makin terserak dan hidup makin berat, kecuali orang akit yang ada di Pulau Rupat, selebihnya mereka hidup dalam tekanan yang begitu hebat.


Halam nioma la rubuh,” begitu tafsir orang rimba menyikapi perubahan alam. Orang rimba adalah komunitas adat marjinal lainnya yang ada di Sumatera. Setali tiga uang dengan nasib komunitas adat di Riau dan Sulawesi. Orang rimba merasakan betapa sudah berubahnya alam. Musim buah tak lagi bisa dipastikan, musim tak bisa diperkirakan sama sekali. Hujan lebat kadang turun hingga Juni, kemarau kadang menyentuh Januari. Binatang buruan pun menjadi kian susah dicari. Alam sudah hancur, begitu kata mereka. Dewa-dewa sudah tak mau datang ke mereka karena rimba mereka sudah hilang.

Tiap komunitas terutama masyarakat adat, punya caranya yang khas dalam menghadapi perubahan ini; Di Sulawesi nelayan-nelayan tradisional merafalkan doa-doa panjang agar Tuhan menganugerahkan penghidupan dari laut. Orang Akit mulai menjadikan pertanian sebagai alternatif penghidupan dan orang rimba berjibaku mempertahankan hutan mereka yang tinggal sepotong. Iklim boleh berbubah, tapi kehidupan tetap harus ada.

Tiap komunitas adat memiliki kearifannya masing-masing dalam membaca dan memahami tanda-tanda zaman. Mereka mempertahankan apa yang bisa mereka pertahankan, mereka bahkan tak tahu perjuangan mereka memiliki dampak global. Tatkala nelayan di pesisir Sulawesi memilih tak menggunakan bom ikan, agar terumbu karang tak rusak, saat orang akit mulai menanami tanah mereka yang gersang dengan kayu-kayu besar atau ketika orang rimba berjuang mempertahankan tiap jengkal hutan mereka. Sejatinya mereka sedang berkontribusi bagi bumi.

Mereka memang tak mengekspose apa yang mereka lakukan, mereka tidak memberitakannya apalagi mengiklankannya. Mereka melangkah dalam diam, sembari tetap berharap berkah dari alam.

***

Apapun yang dilakukan oleh siapapun dalam rangka memperbaiki kualitas ekologis, patutlah bercermin pada apa-apa yang sudah dilakukan komunitas adat di seluruh nusantara. Pengetahuan tradisional mereka layak dijadikan referensi, cara mereka berkomunikasi dengan alam layak menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan konservasi, kearifan mereka layak pula kita tiru, karena sejatinya masyarakat adat jauh lebih dekat dengan alam. Pada merekalah kita belajar bukan justru kita menjadi pengajar.

Indonesia sudah berkomitmen mengurangi emisi karbon, maka sesungguhnya kita sudah memiliki modal dasar untuk melakukan itu, kearifan dan pengetahuan masyarakat adat yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Mereka punya cara dan pola, kita tinggal mendata dan mengolah. Semoga masyarakat adat selalu dilibatkan dalam setiap upaya membangun tradisi adaptasi perubahan iklim atau upaya pengurangan emisi karbon. Karena mereka ada dan mengada bersama alam, sedang kita kadang hanya memahami permukaan alam. Tabik !



Foto 1 : Anak bermata teduh mengayuh sampan

Foto 2 : Seorang anak orang akit

Foto 3 : Dua anak orang rimba

Semua foto adalah karya penulis/huzer pariansyah

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts