Tuesday, April 9, 2013


Kita kadang tak pernah menyadari memiliki cinta, sampai kita kehilangannya. Ada yang menyesali kehilangan cinta, bukan karena kehilangan cinta itu sendiri, melainkan karena tak melakukan apa-apa saat menyadari cinta telah pergi. Aku tak mau menjadi seperti yang terakhir. Sesulit dan sekecil apapun peluang itu, aku akan melakukan yang terbaik untuk mempertahankan cinta itu.

Mengakhiri hidup dalam penyesalan bukan hal terbaik, atau menjalani hidup dengan orang yang tak benar-benar dicintai bukan cara terbaik menikmati waktu yang tak panjang ini.

Suatu hari aku menyaksikan seorang kakek dan nenek tampak bahagia menjaga sawah dan kolam ikan mereka. Aku bertanya mereka benar-benar bahagia ? atau mereka sekedar menjalani sisa hidup mereka ? Menyaksikan senyum-senyum di wajah renta kakek dan nenek itu, membuat aku menjadi merasa bodoh dengan pertanyaan di dalam hatiku tadi. Cinta bukan sesuatu yang harus dipertanyakan, melainkan dijalani. Cinta bukan untuk diucapkan, tapi dirasakan.

Terhenyak mendapati kenyataan betapa kompleknya perjalanan yang harus kulalui untuk satu kata ini “cinta”. Sesuatu yang seharusnya sangat sederhana andai saja cinta kulihat sebagai proses bukan sekedar hasil akhir. Andai saja cinta bukan sekedar pada urusan saling memilki melainkan saling merelakan. Bukan saling membelenggu, melainkan membebaskan, andai cinta kumaknai sebagai keikhlasan bukan dendam.

Tapi benarkah mencintai itu tak selfish, benarkah ada cinta yang bisa mentolerir perselingkuhan ? Benarkah ada cinta yang bisa berlega hati mengetahui pasangan bermesra dengan orang lain ? Ah, mungkin tidak. Tapi aku pernah menyaksikan sebuah keajaiban untuk yang satu ini. Keajaiban itu tidak datang dari orang-orang terkenal, bukanpula dari dongeng-dongeng cinta klasik. Keajaiban cinta itu kusaksikan dari seorang difabel yang sedari kecil sudah tak bisa melihat. Istrinya berselingkuh, bahkan hingga punya anak. Aku tahu ia terluka, bahkan mungkin hancur berkeping-keping. Aku ada di sampingnya saat sahabatku itu menangis. Tapi ia tak mengutuki hidup, ia tak mengutuki pasangannya, ia tak mengutuki orang ketiga yang menghamili istrinya. Ia justru memaafkan mereka.

Bayangkan, saat istrinya ditanya memilih dirinya atau selingkuhan istrinya, dengan tegas dan jelas di hadapan puluhan orang sang istri menjawab memilih selingkuhannya. Aku sebagai sahabatnay menangis, tapi sahabatku itu justru tersenyum. Aku menangis karena aku tahu betapa sahabatku itu mencintai istrinya. Tapi suratan hidup membuatnya terluka dalam.

Ia menjalani hidup bersama anaknya yang  masih belia, sedang sang istri hidup dengan selingkuhannya. Tak lama sang istri mengemis di kaki sahabatku itu untuk kembali diterima. Sungguh sebuah keajaiban hati, sahabatku itu menerima istrinya kembali, bahkan merawat sang anak hasil perselingkuhan istrinya itu. Aku bertanya pada sahabatku itu, koq bisa ? sederhana jawabnya “Tak ada gunanya menghabiskan sisa waktu dengan mendendam, urusan perselingkuhannya adalah urusan dia dan Tuhan,” tertegun aku mendengar ucapan sahabatku. Ia boleh seorang difabel secara fisik, tapi hatinya sejernih telaga dan seluas samudera. Cinta adalah kerelaan saling memaafkan.

Aku pernah menyakiti bahkan menghancurkan hidup seorang perempuan yang kucintai bukan sekali tapi puluhan kali mungkin aku menyakitinya. Ia tak berhenti mencintaiku, ia mengorbankan diri untuk sekedar membuatku tersenyum. Tapi aku tak melihat itu, aku membiarkan hati yang luar biasa itu menjadi tak berdaya, terluka dan hancur. Aku tak tahu cara mencintai, aku sudah terlalu sibuk mengutuki dunia dan mengutuki diriku hingga lupa seseorang berjuang setengah mati menanggung beban yang kulabuhkan di pundaknya.

Kini ia sudah bahagia, ia sudah tersenyum, duka yang kugoreskan telah terhapus oleh orang-orang yang lebih bisa membuatnya bahagia. Aku bahagia mengetahui hal ini. Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaannya. Aku memang bukan apa-apa lagi baginya, tapi aku berjanji akan membuatnya tersenyum selalu, tak peduli untuk itu aku harus menangis.

Pada akhirnya tiap manusia menjalani takdir cintanya masing-masing. Semua memiliki muasal dan pula pada saatnya memiliki muara. Begitupun aku, aku ingin bermuara pada senyum, karena hidup terlalu singkat untuk selalu menangis dan marah.


0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts