Kita kadang tak
pernah menyadari memiliki cinta, sampai kita kehilangannya. Ada yang menyesali kehilangan
cinta, bukan karena kehilangan cinta itu sendiri, melainkan karena tak
melakukan apa-apa saat menyadari cinta telah pergi. Aku tak mau menjadi seperti
yang terakhir. Sesulit dan sekecil apapun peluang itu, aku akan melakukan yang
terbaik untuk mempertahankan cinta itu.
Mengakhiri hidup
dalam penyesalan bukan hal terbaik, atau menjalani hidup dengan orang yang tak
benar-benar dicintai bukan cara terbaik menikmati waktu yang tak panjang ini.
Suatu hari aku
menyaksikan seorang kakek dan nenek tampak bahagia menjaga sawah dan kolam ikan
mereka. Aku bertanya mereka benar-benar bahagia ? atau mereka sekedar menjalani
sisa hidup mereka ? Menyaksikan senyum-senyum di wajah renta kakek dan nenek
itu, membuat aku menjadi merasa bodoh dengan pertanyaan di dalam hatiku tadi.
Cinta bukan sesuatu yang harus dipertanyakan, melainkan dijalani. Cinta bukan
untuk diucapkan, tapi dirasakan.
Terhenyak
mendapati kenyataan betapa kompleknya perjalanan yang harus kulalui untuk satu
kata ini “cinta”. Sesuatu yang seharusnya sangat sederhana andai saja cinta
kulihat sebagai proses bukan sekedar hasil akhir. Andai saja cinta bukan
sekedar pada urusan saling memilki melainkan saling merelakan. Bukan saling
membelenggu, melainkan membebaskan, andai cinta kumaknai sebagai keikhlasan
bukan dendam.
Tapi benarkah
mencintai itu tak selfish, benarkah
ada cinta yang bisa mentolerir perselingkuhan ? Benarkah ada cinta yang bisa
berlega hati mengetahui pasangan bermesra dengan orang lain ? Ah, mungkin
tidak. Tapi aku pernah menyaksikan sebuah keajaiban untuk yang satu ini. Keajaiban
itu tidak datang dari orang-orang terkenal, bukanpula dari dongeng-dongeng
cinta klasik. Keajaiban cinta itu kusaksikan dari seorang difabel yang sedari
kecil sudah tak bisa melihat. Istrinya berselingkuh, bahkan hingga punya anak.
Aku tahu ia terluka, bahkan mungkin hancur berkeping-keping. Aku ada di
sampingnya saat sahabatku itu menangis. Tapi ia tak mengutuki hidup, ia tak
mengutuki pasangannya, ia tak mengutuki orang ketiga yang menghamili istrinya.
Ia justru memaafkan mereka.
Bayangkan, saat
istrinya ditanya memilih dirinya atau selingkuhan istrinya, dengan tegas dan
jelas di hadapan puluhan orang sang istri menjawab memilih selingkuhannya. Aku
sebagai sahabatnay menangis, tapi sahabatku itu justru tersenyum. Aku menangis
karena aku tahu betapa sahabatku itu mencintai istrinya. Tapi suratan hidup membuatnya
terluka dalam.
Ia menjalani
hidup bersama anaknya yang masih belia,
sedang sang istri hidup dengan selingkuhannya. Tak lama sang istri mengemis di
kaki sahabatku itu untuk kembali diterima. Sungguh sebuah keajaiban hati,
sahabatku itu menerima istrinya kembali, bahkan merawat sang anak hasil
perselingkuhan istrinya itu. Aku bertanya pada sahabatku itu, koq bisa ? sederhana jawabnya “Tak ada gunanya menghabiskan sisa waktu
dengan mendendam, urusan perselingkuhannya adalah urusan dia dan Tuhan,” tertegun
aku mendengar ucapan sahabatku. Ia boleh seorang difabel secara fisik, tapi
hatinya sejernih telaga dan seluas samudera. Cinta adalah kerelaan saling
memaafkan.
Aku pernah
menyakiti bahkan menghancurkan hidup seorang perempuan yang kucintai bukan
sekali tapi puluhan kali mungkin aku menyakitinya. Ia tak berhenti mencintaiku,
ia mengorbankan diri untuk sekedar membuatku tersenyum. Tapi aku tak melihat
itu, aku membiarkan hati yang luar biasa itu menjadi tak berdaya, terluka dan
hancur. Aku tak tahu cara mencintai, aku sudah terlalu sibuk mengutuki dunia
dan mengutuki diriku hingga lupa seseorang berjuang setengah mati menanggung
beban yang kulabuhkan di pundaknya.
Kini ia sudah
bahagia, ia sudah tersenyum, duka yang kugoreskan telah terhapus oleh
orang-orang yang lebih bisa membuatnya bahagia. Aku bahagia mengetahui hal ini.
Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaannya. Aku memang bukan apa-apa lagi
baginya, tapi aku berjanji akan membuatnya tersenyum selalu, tak peduli untuk
itu aku harus menangis.
Pada akhirnya
tiap manusia menjalani takdir cintanya masing-masing. Semua memiliki muasal dan
pula pada saatnya memiliki muara. Begitupun aku, aku ingin bermuara pada
senyum, karena hidup terlalu singkat untuk selalu menangis dan marah.
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.