Sunday, April 14, 2013

Waktu terasa gegas hanya di dermaga, selebihnya waktu hanya nisbi, begitulah di Penyalai. Pernah mendengar nama tempat itu ? Iya Penyalai. Ah, kurasa satu dalam seribu saja diantara kita yang mengenal nama itu. Tak ada yang istimewa disitu, hanya waktu yang tak pernah benar-benar eksis. Dari sepotong tanah di timur laut Sungai Kampar inilah kutemukan sisi lain Indonesia.


Mereka ber Indonesia dengan sederhana, begitu kata teman seperjalananku sepulang dari Penyalai. Penyalai berada di Pulau Mendol, Kabupaten Pelelawan, Riau. Tak ada atribut-atribut mentereng yang menandakan sepotong tanah ini adalah Indonesia. 

Tak ada bendera-bendera lebar yang berkibar di dermaga, tak pula ada slogan-slogan besar pengusung “nasionalisme baliho”. Tak ada percakapan-percakapan serius tentang masa depan Indonesia. Hanya canda-canda kecil khas Melayu saja yang mewarnai warung-warung kopi di sepanjang jalan kecil pasar- pelabuhan.

Tujuh suku dan etnis bersaling silang kepentingan di pulau ini. Terbesar adalah suku akit (mereka lebih suka menyebut diri sebagai suku asli) dan suku Melayu, di luar itu ada suku Jawa, Bugis, Minang Batak dan etnis Tionghoa. Tak pernah ada kisah keributan dan kisruh besar yang bermuara pada keragaman di Penyalai.

Pernah dulu suku akit ditakuti karena kebiasaan mereka menggunakan senjata tradisional menyerupai sumpit dan banyak juga kebiasaan mereka yang diluar kelaziman orang Melayu sebagai suku terbesar kedua disana. Lantas muncullah anggapan bahwa suku akit adalah kelompok yang jorok, buruk laku dan juga menakutkan. Stigma inilah yang mewarnai perjalanan Penyalai yang merupakan rumah bagi sekitar 700 orang suku akit. 

Namun itu dulu, kini seiring makin dewasanya penduduk Penyalai, tergerus pulalah sejarah panjang “permusuhan” suku akit yang merupakan penduduk asli dengan para pendatang, terutama Melayu dari Sumatera daratan. 

Persahabatan antar penghuni Penyalai akhirnya menemukan bentuknya sendiri. Tak ada kegiatan-kegiatan seremonial yang melambangkan persahabatan mereka. Hanya ketika anda ada di Penyalai akan terasa masing-masing suku ini saling memaklumi perbedaan dan menikmatinya sebagai sebuah keunikan. 

Kalau petang orang-orang suku asli tengah mencari rameh-rameh (sejenis kepiting kecil yang banyak ditemukan di gambut) di pinggir jalan mungil di Penyalai, maka kadang anak-anak suku Melayu membantu mereka mencari. Manakala orang-orang Tionghoa sibuk dengan warung mereka, terkadang orang-orang suku asli ikut membantu mencarikan makanan untuk ternak mereka. Saat orang-orang Melayu panen kelapa, orang-orang Jawa terkadang hadir membantu mereka memanjat kelapa. Begitupun kala pelaut-pelaut Bugis mendapat penghasilan yang besar dari laut, mereka berkumpul merayakan “kemenangan” dengan penduduk lain. Begitulah Penyalai, semua berlangsung secara sederhana. Mereka ber Indonesia dengan sederhana saja !

Penyalai, namanya samar saja kudengar. Tapi entah mengapa menginjakkan kaki di pulau kecil ini, membuatku yakin bahwa Indonesia itu memanglah ada. Penyalai tak sibuk dengan hiruk pikuk pembangunan infrastruktur seperti di kota-kota besar di nusantara. Hanya jalan semen sederhana, sebuah pasar tua dan sebuah dermaga yang yang tak bisa dikata muda. Hanya itu infrastruktur penting di Penyalai. Namun bukan berarti kebahagiaan jauh dari orang-orang Penyalai. Kala Adzan maghrib datang, semua aktivitas terhenti tak peduli muslim atau bukan. Tapi begitulah penghuni Penyalai menghargai waktu yang penting bagi umat muslim itu. Listrik memang ada tapi sangat terbatas, tak lebih dari jam 10 malam. Gelap gulitalah Penyalai. Itu juga yang di seputar pasar, selebihnya memang belum teraliri listrik. Malam selalu syahdu di Penyalai, begitu kata pedagang nasi di dekat kami menginap.

Penyalai memang bukan tempat wisata yang molek dengan pantai pasir putih atau sajian tradisi. Tapi, justru dalam keitadaan itulah aku melihat wajah Indonesia lebih jelas dan indah. Indonesia yang kusaksikan dalam keindahan dan beragam “jualan” wisata lainnya kadang hanya ada kamuflase. Semua serba panggung, tapi tidak di Penyalai, semua mengalir begitu saja. Tak ada tradisi yang “dibangkitkan dari kubur” hanya untuk menangguk wisatawan. Tak ada pula orang suku asli yang dirias agar bisa menarik perhatian wisatawan. Semua berjalan biasa saja.

Sebuah jalan semen yang lebarnya tak lebih dari satu meter adalah satu-satunya jalan di Penyalai, panjangnya sekitar 3 tiga kilometer, menghubungkan satu dusun dengan dusun lainnya, melewati kawasan gambut yang tak berujung. Tapi di jalan mungil itulah satu sama lain saling bersapa, saling tersenyum dan saling bersenda gurau. Jalan semen itu semacam nadi kehidupan di Penyalai, dimana kabar dan kisah berlompat-lompatan dari tiap percakapan.

Tentu saja bukan kabar atau kisah-kisah besar seperti di teve nasional. Hanya kabar dan berita sederhana saja. Semisal kabar harga kopra yang turun atau prihal kalung emas warga dusun yang hilang di ladang atau juga kisah anak kecil yang melihat pocong di ujung dermaga. Begitulah, kisah-kisah biasa saja. Tapi kisah-kisah biasa itulah menggerakkan kehidupan di Penyalai. 

Kala malam kian meninggi, hanya suara burung layang-layang (walet) yang berisik, selebinya adalah sunyi. Apa penghuni Penyalai menggerutu atas sunyinya hidup mereka. Ternyata tak terlalu. Mereka bersyukur karena tak terlalu banyak hiburan di Penyalai, anak-anak hingga remaja masih menjadikan masjid sebagai tempat berkumpul, sekedar mendengar kisah dari ustadz atau mengaji beberapa ayat. Karena hidup tak terlalu rumit di Penyalai, anak-anak muda Jawa atau Bugis masih setia dengan pertanian dan juga mencari ikan. Orang-orang suku akit juga masih mangandalkan berburu babi sebagai penghasilan.

Menyaksikan Penyalai dengan romantikanya, membuatku sedih sekaligus bahagia. Sedih, karena mereka seperti sekumpulan orang-orang republik yang dilupakan. Tapi bahagia karena mereka ber Indonesia dengan kaya raya. 

Perbedaan adalah ruang yang mereka apresiasi dengan sederhana, kekurangan mereka anggap sebagai kesempatan untuk terus menjadi sederhana dan tak tamak. Ah, ini semua mungkin karena aku muak ber Indonesia a la kita yang penuh basa basi. Ke-Indonesiaan kita adalah riasan, sedangkan di Penyalai Indonesia itu adalah substansi. 
Bukankah Indonesia kita ini diciptakan agar penghuninya menjadi riang dan senang, tanpa mengkhawatirkan perbedaan. Kutemukan itu di Penyalai.

Foto by : huzer apriansyah

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts