Friday, January 25, 2013


1359096708236383521
Suasana dari Dermaga Titi Akar (doc@huzera)
Pulau Rupat, entah dimana berada. Nama yang sayup saja terdengar. Sampai suatu ketika di tahun lalu, berkesempatan ke pulau ini. Betapa takjubnya, segenggam tanah surga luput dari perhatian kita. Tulisan ini sekedar catatan ringan tentang perjalanan itu.

Memang cocok dijadikan Las Vegas, Rupat ini,” komentar seorang penumpang di atap boat yang membawa kami ke Rupat dari Dumai. Sekitar enam penumpang termasuk saya, duduk di atap boat, karena di bawah sesak. Beresiko, tapi tak ada pilihan lain, ini boat terakhir.
13590971361800823147
Vihara tak jauh dari dermaga (doc@huzera)

Penumpang yang berujar tentang Las Vegas tadi berseragam rapih, sepatu bersemir mengkilap, rambut klimis dan berseragam dengan emblem “Kabupaten Bengkalis” di pundaknya. Hah, kesal aku dengan komentar itu. Cukup bagiku menggambarkan kedalaman pikirannya.

Senja mulai syahdu, saat boat yang membawa kami merapat di Titi Akar. Wajah-wajah ramah menyambut di dermaga. Anak-anak berlarian mencari sanak keluarga yang baru tiba. Dermaga kayu yang tak lebih dari sepuluh meter bersegi itu tiba-tiba sesak. Logat Melayu kental membuat atmosfer menjadi sangat berbeda. Suasana membawaku kembali ke masa kecil. Ah, Tanah Melayu memang sangat bermakna dalam hidupku. Halah, terlalu melankolis.

Cahaya mentari kian berpendar, saat aku duduk di kursi dermaga. Anak-anak duduk berderet di jembatan dermaga. Kaki mereka terjeluntai ke air, sesekali memercik. Wajah mereka sangat khas, bermata sipit, berambut hitam lebat dan kulit yang kecoklatan. Di sisi Selatan dermaga, sebuah kelenteng berdiri gagah, cahaya merah mendominasi. Suara mesin kapal tempel, jeeeg…jeeeeg….jeeeeg membawa lamunanku kembali ke Sungai Musi di kotaku.

Orang Akit, inilah yang membawaku sampai ke Pulau ini. Mereka yang dilupakan zaman tapi tetap melawan. Mereka yang dianggap terbuang tapi tak tetap berdiri tegak dengan tenang.
Pernah mendengar Orang Akit ?, rasanya tak banyak diantara kita yang kenal apalagi paham. Wajar saja, suku ini memang bukan suku dominan seperti Jawa, Bugis atau Melayu yang budayanya dominan pula di nusantara.
1359096936564643986
Salah satu sudut Pulau Rupat (doc @huzera)
Pulau Rupat lebih dari 70% penduduknya adalah suku akit. Mitologi yang berkembang, Orang Akit adalah orang-orang yang setia dengan titah Sultan Sri Indragiri, yang menugaskan mereka mencari kayu-kayu terbaik untuk keperluan pesta anak sang Sultan.

Bergeraklah mereka melintasi lautan, mereka membagi kelompok menjadi tiga. Kelompok yang bertugas menebang kayu, ada kelompok yang mmebuat saluran agar rakit bisa melintas dan ada kelompok yang merakitkan kayu tersebut sampai ke kediaman Sultan.

Kelompok pertama itulah yang kemudian dikenal dengan Suku Utan, yang kedua Suku Hatas (yang meretas) dan yang ketiga dikenal dengan Orang Akit. Meski secara umum mereka tetap dikenal dengan Orang Akit.

Puluhan tahun mereka hidup dalam keterpinggiran, karena dianggap tertinggal, primitif dan menakutkan. Tapi di Titi Akar, Orang Akit membuktikan mereka tak seperti yang dituduhkan. Mereka manantang zaman, membuka mata dunia, mereka layak disejajarkan dengan suku manapun di nusantara. Anak-anak Orang Akit di Titi Akar mulai disekolahkan oleh orang tua mereka sejak 1980an, ada yang dikirim ke Malaysia, Riau bahkan ada yang bersekolah sampai Jakarta.

1359097034665177732
Pak Anyang, Sesepuh Ornag Akit (doc@huzera)
Bertemulah saya dengan Batin Anyang, sesepuh adatmereka yang akhirnya terpilih menjadi kepala desa Titi Akar. 
Pemikirannya luar biasa, sosok yang begitu ramah itu berprinsip. Kalau kami tak mengubah nasib kami, maka tak akan berubah. Pemerintah sering lupa dengan kami yang di pulau kecil ini.

Kini Titi Akar telah menjadi permukiman yang tertata rapih, jalan-jalan yang sebagian mereka bangun dengan swadaya nampak elok dengan bunga-bunga di kiri kanannya. Sebuah kelenteng yang berdiri megah dibangun dengan biaya dari sanak saudara yang merantau ke penjuru dunia. Bahkan penduduk Titi Akar mampu membangun sebuah penginapan yang tak bisa dibilang sederhana, untuk menampung orang-orang yang berminat mendatangi Titi Akar.
***
Titi Akar di Pulau Rupat telah membukakan mataku bahwa perjuangan tak mengenal lelah pada saatnya akan menuai hasil. Orang Akit membuktikannya, kini negara barulah peduli pada mereka, setelah sekian lama dilupakan.

Suasana pesisir dan pantai berpasir di Selatan pulau membuat pulau ini begitu lengkap. Alam yang mengesankan dan orang-orang yang berjuang panjang.

Menariknya lagi, meski sejarah masa lalu membuat Orang Akit terluka dengan segalastereotype yang dilekatkan orang luar. Tapi kini mereka bisa dengan santai menerima pendatang. Ada yang dari Jawa, Melayu, Minang, Batak bahkan Bugis. Mereka mengadu nasib di Rupat. Tak ada dendam.

Sayang seribu sayang, sejumput tanah surga ini, kini menghadapi ancaman. Beberapa perusahaan perkebunan mulai menancapkan akar keserakahannya. Negara melepas izin HGU (Hak Guna Usaha) dan HTI (Hutan Tanaman Industri) di pulau yang luasnya tak lebih dari 1500 KM persegi.

Satu perusahaan pemegang HGU dan dua pemegang HTI sudah melakukan usahanya, Orang Akit mengeluh, karena tanah leluhur mereka kini mulai berganti sawit atau akasia. Berburu yang menjadi pencaharian mereka sekian lami kini tak bisa lagi dilakukan.

Tak cukupkah negara dan korporasi mengoyak nusantara ini, hingga pulau-pulau sekecil Rupatpun harus disayat-sayat. Ah, tak habis pikir saya.
13590972311004299712
Salah satu tongkang milik perusahaan membawa kayu akasia (doc@huzera)
***
Langit makin gelap, dermaga mulai sepi, suara adzan terdengar sayup dari mushollah. Anak-anak mulai beranjak tapi aku masih terpaku di kursi dermaga. Sisa-sisa cahaya yang berpendar di ufuk Barat masih nampak. Belum ingin beranjak rasanya. Teringat kata-kata Gunawan Moehamad Mencintai sebuah tanah air adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa lain, selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja dan terutama untuk mati….”

Disini, di Titi Akar Pulau Rupat aku merapatkan hati dan menemukan arti dari kalimat tersebut.

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts