Sunday, January 6, 2013




Biafra, nama yang samar saja terdengar olehku dari puisi-puisi yang ditulis-tulis Gie atau dari catatan pinggir Gunawan Muhammad, atau juga dari catatan-catatan sejarah pahit kemanusiaan yang berserak di teks sejarah. Adalah Chimamanda Ngozi Adichie, penulis perempuan Nigeria ini mampu membawa kembali secara sangat detail dan jelas sebuah kenangan pahit tragedi perang saudara yang berujung bencana kelaparan di Nigeria era 1960an tersebut. Sebuah tragedi yang sudah seharusnya selalu kita kenang agar ingat betapa perang adalah tragedi yang selalu lebih banyak unsur kepiluan daripada kesenangan baik bagi pemenang maupun yang dikalahkan.

Satu juta lebih orang tewas dalam perang saudara ini, pembantaian di Utara Nigeria yang menewaskan 30 ribu orang menjadi penanda dimulainya pernag saudara. Dilanjutkan kembali dengan kudeta atas kudeta yang kemudian membawa sensitivitas kesukuan dan keagamaan juga terpantik. Meledaklah sebuah sejarah kelam bagi Nigeria yang kaya. Bangsa-bangsa penjajah bersorak sorai menikmati ini semu.

Angka-angka yang lahir dalam statistik perang penaklukan Biafra oleh tentara Nigeria yang disokong banyak negara adikuasa tentulah hanya akan menjadi statistik yang tercatat rapih dalam lembar sejarah dunia. Kalau saja tak ada orang seperti Adichie yang mencoba melakukan rekonstruksi sejarah secara lembut dan dalam sudut pandang mereka yang benar-benar terlibat dalam menit ke menit tragedi tersebut.
***
Perang selalu membawa perpisahan dan perjumpaan dalam momen yang bersamaan. Bagaimana ibu kehilangan anan, istri kehilangan suami, adik kehilangan kakak, paman kehilangan keponakan, kekasih yang kehilangan pujaan hati dan sebagainya-dan sebagainya. Di saat bersamaan satu sama lain saling berjumpa, perjumpaan yang sama dalam sebuah penderitaan, ketakutan dan juga dalam sebuah perjuangan bersama. Perang bukan sekedar nyawa yang pergi dengan ringan dan tak berharga, tapi tentang manusia-manusia yang kehilangan dirinya, manusia yang tak lagi mengenal dirinya. Itulah perang !

“Half of a Yellow Sun”, sebuah novel yang hadir bagaikan puisi yang kaya emosi. Mampu mewakili tiap perasaan manusia-manusia yang terlibat dalam tragedi itu. Tokoh-tokoh dalam novel benar-benar mampu mewakili jiwa zaman itu. Ollana, Ugwo, Odegnibo, Kainene, Richard, Madu, Mohammaed dan puluhan tokoh lain dalam novel ini sungguh-sungguh hidup dan mewakili masa itu.

Membaca “Half of a Yellow Sun” yang begitu detail, sempurna dan begitu indah benar-benar membawaku berada di Diafra, membuatku kulitku seolah benar-benar berada di barak-barak pengungsian, mencium aroma busuk dari kulit-kulit pengunngsi yang tersentuh air, menyaksikan sendiri anak-anak Biafra berlari-lari mengejar tikus atau cicak untuk dimakan, atau berada di bar menyaksikan para tentara Nigeria atau milisi Biafra ‘memangsa’ para gadis, bahkan aku seolah hadir ikut mengantri tepung maizena yang dibagikan utuk para pengunngsi. Novel yang banar-benang luar biasa, agung !

Di luar pencapaian novel ini sebagai sebuah karya sastra, novel ini adalah sebuah monumen. Monumen yang akan selalu menjadi penanda bagi kehidupan umat manusia hari ini bahkan sejuta tahun lagi bahwa manusia selalu memiliki hasrat mengusai baiks ecara individual maupun kolektif. Maka perebutan apapun dalam kehidupan dunia ini rasanya sebuah kemutlakan. Lalu, bahwa perang adalah sebuah kepiluan yang menyakitkan itu benar, tapi bahwa perang juga telah menuntun manusia pada pengalaman-pengalaman yang menakjubkan juga hal yang tak bisa dinafikkan.

Bagiku novel “Half of a Yellow Sun” adalah sebuah perayaan atas kemanusiaan. Perayaan yang senantiasa menjaga memori kolektif umat manusia akan busuknya persekongkolan elit dunia yangs emata-mata berpikir laba sedang orang-orang biasa berkaparan meregang nyawa dan tak mampu lagi mengenali siapa diri mereka.

Bacalah novel ini sebelum mati !
Bintang lima untuk novel ini.

*Ilustarasi by www.jaguda.com




0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts