Biafra, nama yang samar saja terdengar olehku dari
puisi-puisi yang ditulis-tulis Gie atau dari catatan pinggir Gunawan Muhammad,
atau juga dari catatan-catatan sejarah pahit kemanusiaan yang berserak di teks
sejarah. Adalah Chimamanda Ngozi Adichie, penulis perempuan Nigeria ini mampu
membawa kembali secara sangat detail dan jelas sebuah kenangan pahit tragedi perang
saudara yang berujung bencana kelaparan di Nigeria era 1960an tersebut. Sebuah tragedi
yang sudah seharusnya selalu kita kenang agar ingat betapa perang adalah tragedi
yang selalu lebih banyak unsur kepiluan daripada kesenangan baik bagi pemenang
maupun yang dikalahkan.
Satu juta lebih orang tewas dalam perang saudara ini,
pembantaian di Utara Nigeria yang menewaskan 30 ribu orang menjadi penanda
dimulainya pernag saudara. Dilanjutkan kembali dengan kudeta atas kudeta yang
kemudian membawa sensitivitas kesukuan dan keagamaan juga terpantik. Meledaklah
sebuah sejarah kelam bagi Nigeria yang kaya. Bangsa-bangsa penjajah bersorak
sorai menikmati ini semu.
Angka-angka yang lahir dalam statistik perang
penaklukan Biafra oleh tentara Nigeria yang disokong banyak negara adikuasa
tentulah hanya akan menjadi statistik yang tercatat rapih dalam lembar sejarah
dunia. Kalau saja tak ada orang seperti Adichie yang mencoba melakukan
rekonstruksi sejarah secara lembut dan dalam sudut pandang mereka yang
benar-benar terlibat dalam menit ke menit tragedi tersebut.
***
Perang selalu membawa perpisahan dan perjumpaan dalam
momen yang bersamaan. Bagaimana ibu kehilangan anan, istri kehilangan suami,
adik kehilangan kakak, paman kehilangan keponakan, kekasih yang kehilangan
pujaan hati dan sebagainya-dan sebagainya. Di saat bersamaan satu sama lain
saling berjumpa, perjumpaan yang sama dalam sebuah penderitaan, ketakutan dan
juga dalam sebuah perjuangan bersama. Perang bukan sekedar nyawa yang pergi
dengan ringan dan tak berharga, tapi tentang manusia-manusia yang kehilangan
dirinya, manusia yang tak lagi mengenal dirinya. Itulah perang !
“Half of a Yellow Sun”, sebuah novel yang hadir bagaikan puisi yang kaya emosi.
Mampu mewakili tiap perasaan manusia-manusia yang terlibat dalam tragedi itu. Tokoh-tokoh
dalam novel benar-benar mampu mewakili jiwa zaman itu. Ollana, Ugwo, Odegnibo,
Kainene, Richard, Madu, Mohammaed dan puluhan tokoh lain dalam novel ini
sungguh-sungguh hidup dan mewakili masa itu.
Membaca “Half
of a Yellow Sun” yang begitu detail, sempurna dan begitu indah benar-benar
membawaku berada di Diafra, membuatku kulitku seolah benar-benar berada di
barak-barak pengungsian, mencium aroma busuk dari kulit-kulit pengunngsi yang
tersentuh air, menyaksikan sendiri anak-anak Biafra berlari-lari mengejar tikus
atau cicak untuk dimakan, atau berada di bar menyaksikan para tentara Nigeria
atau milisi Biafra ‘memangsa’ para gadis, bahkan aku seolah hadir ikut
mengantri tepung maizena yang dibagikan utuk para pengunngsi. Novel yang
banar-benang luar biasa, agung !
Di luar pencapaian novel ini sebagai sebuah karya
sastra, novel ini adalah sebuah monumen. Monumen yang akan selalu menjadi
penanda bagi kehidupan umat manusia hari ini bahkan sejuta tahun lagi bahwa
manusia selalu memiliki hasrat mengusai baiks ecara individual maupun kolektif.
Maka perebutan apapun dalam kehidupan dunia ini rasanya sebuah kemutlakan.
Lalu, bahwa perang adalah sebuah kepiluan yang menyakitkan itu benar, tapi
bahwa perang juga telah menuntun manusia pada pengalaman-pengalaman yang
menakjubkan juga hal yang tak bisa dinafikkan.
Bagiku novel “Half
of a Yellow Sun” adalah sebuah perayaan atas kemanusiaan. Perayaan yang
senantiasa menjaga memori kolektif umat manusia akan busuknya persekongkolan
elit dunia yangs emata-mata berpikir laba sedang orang-orang biasa berkaparan
meregang nyawa dan tak mampu lagi mengenali siapa diri mereka.
Bacalah novel ini sebelum mati !
Bintang lima untuk novel ini.
*Ilustarasi by www.jaguda.com
*Ilustarasi by www.jaguda.com
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.