Sumber foto : Trijayanews.com
Membincang
Jabodetabek (Jakarta , Bogor , Depok, Tangerang, Bekasi) sebagai
entitas megapolitan tak luput dari cerita kelam carut marutnya tata
trasportasi. Keluh kesah dan kegalauan penghuninya silih berganti kita dengar
atau saksikan. Mulai dari opini-opini
cerdas dan bernas di halaman surat
kabar offline atau online sampai maki dan amarah di jalanan ibukota, saban hari
menjadi sarapan.
Cobalah
untuk googling “masalah transportasi
Jakarta” atau “masalah jalanan Jakarta” atau yang bernada sejenis, tak sulit
menemukan ratusan bahkan ribuan keluh kesah pengguna jalan mulai dari masalah
jalan berlubang, tarif tol sampai keluh atas buruknya perilaku pengguna jalan. Perilaku
pengemudi Angkot (Angkutan Kota), bajaj, buskota dan ketidaksiapan
infrastruktur jalan serta lemahnya penegakan hukum di jalan yang dibarengi ketidakdisiplinan
pengguna telah menjadi hal-hal yang paling banyak dikritik.
Tak mudah
memang mengurai kusutnya tata transportasi di ibukota, begitu kompleks dan
saling bersilang kepentingan di dalamnya. Data yang dilansir BPS pada tahun
2009 terdapat paling tidak 9.993.867
kendaraan dan saat ini di penghujung 2011 paling tidak 11 juta kendaraan bermotor
ada di ibukota dan sekitarnya. Mari bandingkan dengan jumlah penduduk ibukota
pada tahun 2009 (Maret) berjumlah 8.513.000 jiwa. Perkeluarga paling tidak
memiliki 3 kendaraan bermotor. Sungguh angka yang memprihatinkan.
Mari kita
bandingkan angka kendaraan bermotor di Beijing sebagai salah satu kota terpadat
di Asia yang pada tahun 2010 ada sekitar 4,8 juta (laporan China daily) artinya
Jakarta dan sekitarnya memiliki kendaraan bermotor lebih dari dua kali lipat
dari Beijing. Tanya mengapa ???
Kultur Bertransportasi Massal
Sarana
Transportasi masal di Jabodetabek sekian lama tak merangsang kebanyakan orang. Sebut
saja Angkot, Metromini, Kopaja, dan Bus kota
sama sekali tak merangsang gairah menggunakannya, kebanyakan orang sebisa
mungkin menghindarinya. Angkutan missal tersebut hadir dengan wajah gelisahnya; copet,
ugal-ugalan, kelaikan kendaraan, sarana keamanan minim membuat citra angkutan massal
tersebut benar-benar memprihatinkan. Akhirnya yang muncul “Apa boleh buat..daripada jalan kaki”.
Pinjam Fotonya Vivanews.com :) PISS
Citra
angkutan massal yang jauh dari
menyenangkan dan menentramkan itulah yang membuat penduduk Jakarta berada pada posisi mau tidak mau
menerima atau opsi lainnya adalah dengan berkendaraan pribadi. Jadilah
penjualan kendaraan bermotor melonjak dari waktu ke waktu. Makin bergejolaklah jalanan ibukota, bahkan tikuspun tak kebagian lintasan, saksikan saja berapa banyak tikus got berkaparan di jalanan ibukota dilumat kendaraan bermotor. :)
Beruntung
di tengah kepenatan warga ibukota berkendaraan massal, tepat 15 Januari 2004
bus transjakarta yang kemudian populer dengan istilah busway hadir. It’s totally different; comfort, fun and
relax. Begitu citra yang ingin dihadirkan dan begitu pula suasana yang
diharapkan. Seiring waktu transjakarta telah memberi warna baru transportasi
massal ibukota, hadirlah busway sebagai landmark
ibukota..
Realita tak
selalu segaris idealita, ketersedian armada, rute yang terbatas dan kendala
lainnya beragam muncul di lapangan, tak ketinggalan berbagai kasus pelecehan. Transjakarta
(TJ) telah sedikit banyak mengubah warna ibukota menjadi lebih bisa dinikmati,
namun TJ tak serta merta mampu mengurai ruwetnya jalanan ibukota. Bahkan ada
yang berasumsi kehadiran TJ justru makin memperkeruh jalanan ibukota. Beralasan
memang asumsi ini. Tanya Mengapa ? pengurangan ruas jalan untuk jalur khusus
TJ. Itulah faktanya.
Di sisi
lain harapan kehadiran TJ untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan
asumsi bahwa pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke moda TJ ternyata tak
bisa dipastikan presisinya. Belum ada penelitian spesifik yang mencoba
menemukan berapa persenkah TJ mampu mensubstitusi kendaraan pribadi. Namun
kecenderungannya tidak akan besar.
Maka, moda
transportasi lain tetap dibutuhkan ibukota. Apakah ? Kereta yuup kereta, moda
inilah yang kemudian menjadi tumpuan. Kini era Commuter, sebutan untuk KRL.
Contoh tiket commuter. Source : krl.co.id
Commuter, apa sih ?
Istilah
yang dipopulerkan untuk KRL (Kereta Listrik) Jabodetabek. Bagi yang berada di Jogja-Solo
mungkin mengenal Pramek (Prambanan Ekspress). Maka Jabodetabek ada commuter.
Menurut
laporan PT.KAI Wacana elektrifikasi jalur Kereta ada Api (KA) di Indonesia telah dimulai saat Staats Spoorwegen (SS-Jawatan kereta api) sejak tahun 1917 yang menunjukkan
bahwa elektrifikasi jalur KA secara
ekonomi akan menguntungkan. Elektrifikasi jalur KA pertama dilakukan pada jalur
KA rute Tanjung Priuk – Meester Cornelis (Jatinegara) dimulai pada tahun 1923
dan selesai pada tanggal 24 Desember 1924. Untuk melayani jalur kereta listrik
ini, pemerintah Hindia Belanda membeli beberapa jenis lokomotif listrik untuk
menarik rangkaian kereta api diantaranya adalah Lokomotif Listrik seri 3000
buatan pabrik SLM (Swiss Locomotive & Machine works) –BBC (Brown Baverie
Cie), Lokomotif Listrik seri 3100 buatan pabrik AEG
(Allgemaine Electricitat Geselischaft) Jerman. Lokomotif Listrik
seri 3200 buatan pabrik Werkspoor Belanda serta KRL (Kereta Rel Listrik) buatan
pabrik Westinghouse dan KRL buatan pabrik General Electric. Bagian dari
perusahaan Staats Spoorwegen yang menangani sarana, pasarana
dan operasional kereta listrik ini adalah Electrische Staats Spoorwegen (ESS).
Peresmian elektrifikasi jalur KA bersamaan dengan hari ulang tahun
ke 50 Staats Spoorwegen,
sekaligus juga peresmian stasiun Tanjung Priuk yang baru yaitu pada 6 April
1925. Elektrifikasi jalur KA yang mengelilingi kota
Batavia (Jakarta )
selesai pada 1 Mei 1927. Elektrifikasi tahap
selanjutnya dilakukan pada jalur KA rute Batavia
(Jakarta Kota) – Buitenzorg (Bogor )
dan mulai dioperasionalkan pada tahun 1930.
Jalur kereta listrik di Batavia ini
menandai dibukanya sistem angkutan umum massal yang ramah lingkungan, yang
merupakan salah satu sistem transportasi paling maju di Asia
pada zamannya. Di masa itu, kereta listrik telah menjadi andalan para penglaju
(komuter) untuk bepergian, terutama bagi para penglaju yang bertempat tinggal
di Bogor dan bekerja di Jakarta .
Setelah Indonesia
merdeka, lokomotif-lokomotif listrik ini masih setia melayani para pengguna
angkutan kereta api di daerah Jakarta – Bogor . Pemerintah Indonesia sejak
kemerdekaan tidak pernah membeli lokomotif listrik untuk
mengganti atau menambah jumlah lokomotif listrik yang beroperasi. Namun pada
akhirnya, dengan usia yang telah mencapai setengah abad, lokomotif-lokomotif
ini dipandang tidak lagi memadai dan
mulai digantikan dengan rangkaian Kereta Rel Listrik baru buatan Jepang sejak
tahun 1976. (Sumber : laporan PT.KAI)
Hari ini, Commuter (KRL Jabotabek) yang beroperasi sudah memiliki berbagai fasilitas dan kelas, mulai dari tempat
duduk yang ”empuk”hingga Air Conditioner (AC) yang menyejukkan. Saat ini ada tiga kategori atau kelas pelayanan Commuter, antara lain Commuter ekonomi non-AC, Commuter Ekonomi AC
dan Commuter Ekspres AC.
Adapun rute yang tersedia ;
"Di tengah kelusuhan dan kepenatan kita mendiami ibukota, energi harapan untuk masa depan ibukota yang ramah dan bersahabat harus digulirkan..harapan tak boleh mati sesakit apapun realitas hari ini..Berkereta yuuk !!!"
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.