Tuesday, March 10, 2009



Pernahkah terbayang, apa yang terjadi jika panjang jalan di Indonesia tak bertambah sedangkan jumlah kendaraan bermotor terus meningkat ? banyak kemungkinan jawaban. Jika itu terjadi, mungkin kemacetan tidak hanya jadi monopoli ibukota tapi, kota-kota kecil seperti Kota Sabang di Aceh atau Merauke di Papua akan ikut merasakan. Namun, bisa jadi orang-orang berhenti menggunakan kendaraan bermotor, mencari alternatif lain, berjalan kaki misalnya atau naik sepeda yang lebih anti macet.


Data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2005 saja terdapat 38.156.178 kendaraan bermotor (total semua jenis). Pada tahun 2000 hanya tercatat 18.975.344, artinya dari tahun 2000 ke 2005 meningkat 19.180.934, lebih dari seratus persen dalam 6 tahun. Tentu saja peningkatan jumlah kendaraan bermotor ini menuntut peningkatan infrastruktur transportasi berupa jalan. Tahun 2005 BPS mencatat panjang jalan di Indonesia 391.009 KM, baik yang diaspal maupun tidak.


Inilah salah satu rasionalisasi pemerintah terus membangun jalan. Tujuan pembangunan jalan juga memiliki fungsi ekonomi dan sosial. Jalanlah yang kemudian menjadi sarana pergerakan barang-barang konsumsi, mobilitas penduduk, pembuka keterisoliran, memperkuat kesatuan bangsa dan beragam tujuan lainnya. Namun, di sisi lain pembangunan jalan memiliki dampak lingkungan.


Pembangunan jalan baik di perkotaan maupun kawasan non-perkotaan (termasuk hutan) memiliki dampak lingkungan. Berkurangnya daerah resapan air, degradasi kualitas lingkungan, ancaman bagi keanekaragaman hayati, produksi emisi gas buang yang tinggi selama pembuatan jalan. Tidak berhenti disana saja dampak paska selesainya jalan ; peningkatan emisi gas buang yang dihasilkan kendaraan bermotor, potensi bencana yang diakibatkan degradasi kualitas lingkungan dan juga jika jalan dibuka di kawasan hutan akan membuka potensi pemanfaatan potensi hutan secara tidak bertanggung jawab.


Pada titik inilah terjadi tarik menarik antara kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial. Ini tentu saja bukan hal baru. Debat panjang telah berlangsung lama di negeri ini. Mulai dari pembuatan jalan trans Jawa oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Deandels dari Anyer sampai Panarukan (1000 KM) yang disebut De Grote Postweg (Jalan Pos), pembangunan jalan di Pantai Utara Jawa hingga rencana pembangunan jalan Ladia Galaska yang melintasi Kawasan Ekosistem Lauser yang memiliki fungsi ekologis sangat penting.


Tidak mudah memang menemukan win-win solutions antar berbagai kepentingan di seputar pembangunan jalan. Namun, tidah mudah bukan berarti tidak ada sama sekali. Permasalahannya, maukah kita berdiskusi lintas sektor dengan niatan mencari jalan keluar bukan saling meneguhkan pembenaran masing-masing.


Pembangunan Jalan dan Aspek Ekologi : Dari face to face menuju peace to peace

World Commision for Environmental and Development (WECD) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang”. Esensi pembangunan berkelanjutan adalah perbaikan mutu kehidupan manusia dengan tetap berusaha tidak melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya. Sedangkan ekonomi berkelanjutan merupakan buah dari pembangunan berkelanjutan, yaitu sistem ekonomi yang tetap memelihara basis sumberdaya alam yang digunakan dengan terus mengadakan penyesuaian-penyesuaian dan penyempurnaan-penyempurnaan pengetahuan, organisasi, efisiensi teknis dan kebijaksanaan (IUCN, UNEP, WWF, 1993)


Maka, rasanya perspektif yang melihat jalan sebagai musuh ekologi semata harus diubah justru menjadi jalan sebagai potensi bagi upaya proteksi ekosistem. Pertanyaannya, mungkinkah? Jawabannya mungkin, sangat mungkin. Tiap fase pembangunan jalan harus memenuhi hal-hal berikut jika ingin mencapai peace to peace itu.


Tahap Perencanaan


Pertama, tiap rencana pembangunan jalan harus dimulai dengan sebuah pertanyan “Haruskah membangun jalan?”. Harus dijawab secara multi perspektif, tidak semata aspek ekonomi dan sosial tapi juga ekologi. Jangan coba-coba merencanakan pembangunan jalan yang dampak lingkungannya sangat besar, sebesar apapun manfaat ekonomi dan sosialnya.


Kedua, pembangunan jalan darat sering kali dijadikan satu-satunya opsi. Padahal transportasi air dan udara bisa dijadikan alternatif. Maka dalam perencanaan jalan, alternatif moda transportasi non-darat harus dipertimbangkan. Namun bukan berarti infrastruktur transportasi non-darat bebas dampak lingkungan.


Semua alternatif moda transportasi perlu dipertimbangkan dan dilihat mana yang secara ekonomi paling efektif, secara sosial paling ramah dan secara ekologis paling kecil dampak lingkungannya. Studi dampak lingkungan harus jadi kekuatan utama dalam fase perencanaan jalan disamping tentunya studi dampak ekonomi dan dampak sosial kehadiran jalan.


Ketiga, perspektif membangun jalan baru harus diimbangi dengan perspektif ekstensifikasi jalan yang telah ada (jalan lama). Untuk menjawab kebutuhan ruas jalan biasanya solusi bangun jalan baru jadi pilihan padahal jalan lama bisa dioptimalkan.


Tahap Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan pembangunan jalan adalah penyumbang dampak lingkungan yang cukup besar. Emisi yang dikeluarkan alat berat, penggunaan aspal, dan lainnya. Maka pada tahap pelaksanaan ini proses pelaksanaan pembangunan jalan harus mengedepankan adaptasi perubahan iklim.


Banyak hal yang bisa diupayakan; penanaman vetifer sebagai penyangga konstruksi jalan, pelaksanaan geometrik jalan yang hemat energi dan ramah lingkungan, penggunaan aspal daur ulang atau bahan alternatif lainnya, pembangunan drainase dengan teknik tinggi dan sebagainya.


Pernahkah kita berpikir secara sederhana, andai saja setiap pekerja yang terlibat dalam pembangunan jalan wajib menanam minimal lima pohon, ada berapa pohon baru yang akan lahir. Hal ini tentu saja di luar kewajiban kontraktor untuk menyediakan ruang hijau.


Hal terpenting adalah jika pelaksanaan pembangunan jalan ini menemui permasalahan yang menyangkut stabilitas ekosistem dan ada kecenderungan merusak keanekaragaman hayati maka proses pelaksanaan harus dihentikan, harus ! Tentu tidak selamanya. Dilanjutkan kembali setelah dampak terhadap ekosistem dan kecenderungan kerusakan keanekaragaman hayati ditemukan jalan keluar yang komprehensif, jika belum ada solusi maka pembangunan tak bisa dilanjutkan. Itu mutlak!


Proses menuju peace to peace pembangunan jalan dan aspek ekologi ini memang terasa sangat berat, apalagi kalau dilihat dari kepentingan kontraktor dan pemilik proyek. Hanya saja, pihak yang berkonsentrasi dalam bidang konservasi juga tidak bisa semata menimbang aspek ekologi. Kesediaan berdikusi multi pihak dengan pikiran yang terbuka dan hati yang lapang menerima pandangan lain akan menjadi kunci menuju perspektif peace to peace. Ekonomi tumbuh, jalinan sosial utuh dan kondisi lingkungan tetap bermutu. Bukankah itu itu yang kita mau ??.


Penulis saat ini bekerja di salah satu lembaga konservasi nasional dan mantan Duta Muda Lingkungan mewakili Indonesia dalam Event Bayer Young Environmental Envoy 2004 di Leverkusen, Jerman. (Tulisan merupakan pendapat pribadi)

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts