Rajab
namanya, aku memanggilnya Ayah, bukan karena hubungan biologis tapi simbol
kedekatan dan rasa hormat. Beliau pahlawan lingkungan sejati bagiku, saat
lembaga-lembaga dan yang mengaku aktivis dunia membincang isu lingkungan di
hotel-hotel mewah dan ruang-ruang megah, beliau menekuni langkah menjaga
daerahnya tetap hijau, menghadang dengan jiwanya tiap usaha merusak hutannya
dan mengorganisir kawan-kawannya untuk bekerja bersama.
Sosok ini
dikenal keras kepala, emosional tapi hatinya penuh kasih. Banyak lembaga donor
yang pernah merasakan “bisa” dari ucapan-ucapannya. Tak sedikit lembaga-lembaga
lingkungan besar yang mengajaknya bekerjasama justru ia usir mentah-mentah.
Hari ini saat dunia meributkan isu climate
change dan mengkhawatirkan dampak pemansan global yang kian terasa dari
hari ke hari. Media mainstream terus menerus menulis dengan ganas penyebab bumi
yang makin panas. Aktivis makin keras bersuara agar kita memperbaiki sikap
hidup lebih hijau dengan lekas. Tapi tidak dengan Ayah Rajab, ia tak menulis,
ia tak berteriak ia hanya bicara dengan caranya sendiri; berdoa, berbuat dan
merawatnya.
Menuju Gampong
pahlawan kita ini..
Aku
mengenalnya tiga tahun yang lalu dan secara rutin bertemu lebih dari dua puluh
kali dengan beliau, aku belajar dari “the
real hero ini. Ia hidup di Gampong
(sebutan khusus untuk desa bagi desa-desa di Aceh sesuai dengan UU Pemrintahan
Aceh) Rantau Panyang, Aceh Jaya tak jauh dari kawasan konservasi Ulee Masen. Tak mudah mencapai daerah
ini, butuh niatan yang kuat untuk sampai disini. Dari Banda Aceh kita
berkendara sekitar empat jam untuk sampai ke Calang, ibukota Aceh Jaya.
Perjalanan
empat panjang ini bukan perjalanan biasa, karena bukan jalan tol bebas hambatan
yang kita lalui layaknya di kota-kota besar Pulau Jawa. Bukan pula jalan-jalan
protokol yang rapih dan lebar-lebar seperti di ibukota negara. Tapi jalan-jalan
yang tak terduga kejamnya. Kendaraan anda harus benar-benar dalam kondisi fit
untuk melalui 4 jam perjalanan menuju Calang.
Selama
perjalanan kita akan menjumpai jalan beraspal lebar yang enak untuk melajukan
kendaraan hingga 100km/jam, kita juga akan melalui jalan berbatu dan berlumpur
hingga terpaksa anda menurunkan kecepatan hingga 100km/hari. Tak hanya itu
kitapun akan dibuat dag-dig-dug tatkala kendaraan kita harus diangkut dengan
“kapal” penyebrangan yang amat sangat mendebarkan (lihat foto). Sungguh empat
jam di perjalanan ini tak akan sama dengan empat jam perjalanan di ibukota yang
membosankan dan kaku. Disini, aku bisa memandangi monyet-monyet liar bersenda
gurau sembari menggoda manusia yang lalu lalang, terpampang pula birunya lautan
yang tak berujung rasanya. Kalau beruntung anda bisa mendapati harimau Sumatera
(Panthera tigris) menyebarangi jalan.
Pernah
suatu malam sepulang dari Calang kami mendapati hal istimewa ini, saying seribu
sayang tak terabadikan oleh kamera sederhanaku. Kalaulah anda merasa lapar
diperjalanan bisalah kita mampir di Bukit
Gruete atau dikenal juga dengan nama Bukit Panglima untuk menikmati mie
kepiting khas Aceh yang mahsyur kelezatannya itu. Sungguh perjalanan yang
mungkin akan kurindukan sepanjang sisa hidupku.
Setibanya
di Calang, kota yang luluh lantak oleh Tsunami 2004 ini, kita biasanya
beristirahat sejanak sembari menyeruput kopi Aceh yang terkenal keistimewaannya
itu. Konon, ngupi juga bisa fly
lho…hehe. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan melalui jalanan yang tak ada aspal
sama sekali hanya lautan kuning kecoklatan tanah liat yang kita jumpai. Jika
musim hujan, bersiaplah berjalan kaki. Dari Calang menuju gampong ayah hanya sekitar satu jam, kalau semua berjalan lancar.
Siapa dan Bagaimana Ayah Rajab ?
Disini, di
sebuah gampong yang ada di tepian
Sungai Krueng Sabee beliau hidup, tak
jauh dari gampong ini sekelompok
orang menambang emas secara tradisional di Gunung
Ujeeun. Sungai dan hutan yang terancam itulah membuat Ayah Rajab mencoba
berdiri tegak dan bersuara atas nama masa depan. Karena beliau sadar betul
sungai dan hutan yang ada itulah yang menopang hidup mereka selama ini dan yang
dieprtaruhkan adalah masa depan generasi mendatang jika ini rusak.
Dengan
berbalut kesederhanaan yang jauh dari logika-logika berat macam REDD (Reducing Emissions from Deforestation and
Degredation) yang kerap dibincang atau wacana-wacana pemanasan global
beliau mulai bergerak. Ia hanya berpikir bahwa ia berhutang pada anak cucunya
nanti. Kata-katanya yang sering saya dengar “kita
terlalu banyak menebang baripada menanam, kita telah menanam tapi kita tidak
merawat”.
Beranjak
dari sana ia
dan kawan-kawannya yang sepemikiran, meski tak banyak mencoba menanami kembali
sisi kiri kanan Sungai Krueng Sabee
yang terancam karena penebangan hutan dan juga aktivitas penambangan. Apa yang
ia mulai sejak 2005an ini tentu bukan perkara mudah, ia berhadapan dengan
kepentingan pragmatis penambang dan juga penebang yang sebenarnya lebih banyak
pihak luar. Sehingga mereka penduduk sekitar hanya kecil saja menerima
kemanfaatan dari kerusakan yang mereka saksikan itu. (kelak saya akan menulis
pula tentang penambangan emas di Gunung
Ujeun).
Tak lebih
dari lima orang
yang mulanya mau membantu Pak Rajab menanam, darimana ia mendapat bibit pohon ?
mulanya ia hanya menggunakan apa yang ada di sekitarnya ia mencoba mengambil
bibit bamboo atau tanaman-tanaman lokal setempat yang di tanam kembali. Ia
bukan ahli kehutanan, tapi berbekal kearifan lokal yang mengakar dan instingnya
ia tahu bahwa memasukkan tanaman baru yang bukan pilihan yang baik. Dalam
istilahnya introdusir alien species
biasanya akan berdampak hilangnya keseimbangan ekosistem.
Oleh-oleh sepanjang jalan menuju Calang/@huzera |
Tak
mengenal hari ia bekerja, tak pula mengenal siang dan malam. Bahkan sang istri
sering berkata “Ayahmu itu kadang
menginggau soal hutan dan sunngai” hati dan pikirannya menyatu dengan laku.
Sesuatu yang langka kita temui hari ini. Hati dan laku berbeda, ucapan dan
perbuatan tak sama. Pujangga politik dan cerdik cendekia kadang lupa akan
sinergi antar laku dan ucap itu. Begitu cinta beliau pada sungai itu, kadang
beliau berjam-jam berjalan menelusuri sungai sembari melihat apa yang ia tanam
tumbuh atau tidak, kalau nampak akan mati mulailah ia menyulam dengan tanaman
baru.
Kini
seiring waktu orang-orang mulai percaya atas apa yang ia lakukan, terbentuklah
organisasi lokal yang ia ketuai, sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada
kelangsunngan krueng sabee dari hulu
ke hilir. Bahkan kini dukungan terus mengalir kepada organisasi sederhana ini,
hanya saja beliau sangat-sangat selektif menerima dukungan. Tak semua lembaga
yang ingin membantu ia terima. Awal tahun 2010 lalu, dinas kehutanan Kabupaten
Aceh Jaya mempercayakan bibit-bibit tanaman untuk kelompok ini tanam di
sekitaran Krueng Sabee.
Beliau juga
diberi kesempatan untuk belajar ke Nusa Tenggara Timur, unutk berbagi asah
dengan forum daerah aliran sungai yang telah lama berdisi di NTT. Namun, ajakan
inipun bukan mudah, ia merasa tka pantas mendapatkan apresiasi itu, ia
memberikan kesempatan itu pada anggotanya, namun in the last minutes akhirnya ia ikut berangkat. Alasannya, ia takut
anggotanya kelaparan dan tak ada yang mengurus di NTT. Selama di NTTpun ia
lebih banyak diam. Bukan karena ia tak mampu berbicara banyak, tapi karena ia
malu. Malu karena sekian lama menurutnya mereka lalai akan anugerah air yang
dititipkan Tuhan, sedang di NTT dengan air yang sangat sedikit mereka bekerja
mati-matian mempertahankannya. Beliau takut termasuk golongan yang kufur
nikmat.
Daya pikat Ayah telah melumpuhkan banyak
kekeliruanku, aku merasa terlalu banyak berkutat dengan teori bukan aksi,
terlalu banyak bersuara tapi terlalu sedikit berbuat, terlampau gandrung akan “gelanggang”
tapi lupa memperjuangkannya. Ayah,
bukanlah sosok yang mahir berkata-kata indah, hanya berbicara apa perlu saja,
ayah tak mampu berteori mutakhir hanya mengatkan kita pada hal-hal yang menjadi
dasar kehidupan. Ia pujangga tanpa puisi, ia ilmuwan tanpa gelar sarjana ia
bintang di gelanya malam yang sunyi. Ia berjuang dalam sunyi…
Aku tak
tahu apa reaksi beliau anda ia tahu kutulis ini, mungkin ia akan marah. Tapi
biarlah kuambil resiko itu, terlalu berharga membiarkan kearifan dan
kebersahajaan ii berlalu tanpa catatan sejarah. Terlalu banyak yang bisa kita
pelajari, semoga kita bisa mengoreksi kejumawaan kita, merasa telah berjasa
pada bumi.
Ayah, tulisan ini tak bermaksud mengusikmu
dalam perjuanganmu di jalan sunyi itu// sekedar mewartakan pada dunia bahwa
kita perlu bergandeng tangan//menundukkan hati dalam kerendahan diri //dan
berkaca sembari berkata pada diri sendiri, “kami belum berbuat apa-apa, sedang
bumi makin merana” Hanya itu ayah.
Salam berbagi
!!
kibas_ilalang
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.