Wednesday, October 12, 2011




Rajab namanya, aku memanggilnya Ayah, bukan karena hubungan biologis tapi simbol kedekatan dan rasa hormat. Beliau pahlawan lingkungan sejati bagiku, saat lembaga-lembaga dan yang mengaku aktivis dunia membincang isu lingkungan di hotel-hotel mewah dan ruang-ruang megah, beliau menekuni langkah menjaga daerahnya tetap hijau, menghadang dengan jiwanya tiap usaha merusak hutannya dan mengorganisir kawan-kawannya untuk bekerja bersama.

Sosok ini dikenal keras kepala, emosional tapi hatinya penuh kasih. Banyak lembaga donor yang pernah merasakan “bisa” dari ucapan-ucapannya. Tak sedikit lembaga-lembaga lingkungan besar yang mengajaknya bekerjasama justru ia usir mentah-mentah. Hari ini saat dunia meributkan isu climate change dan mengkhawatirkan dampak pemansan global yang kian terasa dari hari ke hari. Media mainstream terus menerus menulis dengan ganas penyebab bumi yang makin panas. Aktivis makin keras bersuara agar kita memperbaiki sikap hidup lebih hijau dengan lekas. Tapi tidak dengan Ayah Rajab, ia tak menulis, ia tak berteriak ia hanya bicara dengan caranya sendiri; berdoa, berbuat dan merawatnya.

Menuju Gampong pahlawan kita ini..

Aku mengenalnya tiga tahun yang lalu dan secara rutin bertemu lebih dari dua puluh kali dengan beliau, aku belajar dari “the real hero ini. Ia hidup di Gampong (sebutan khusus untuk desa bagi desa-desa di Aceh sesuai dengan UU Pemrintahan Aceh) Rantau Panyang, Aceh Jaya tak jauh dari kawasan konservasi Ulee Masen. Tak mudah mencapai daerah ini, butuh niatan yang kuat untuk sampai disini. Dari Banda Aceh kita berkendara sekitar empat jam untuk sampai ke Calang, ibukota Aceh Jaya.

Perjalanan empat panjang ini bukan perjalanan biasa, karena bukan jalan tol bebas hambatan yang kita lalui layaknya di kota-kota besar Pulau Jawa. Bukan pula jalan-jalan protokol yang rapih dan lebar-lebar seperti di ibukota negara. Tapi jalan-jalan yang tak terduga kejamnya. Kendaraan anda harus benar-benar dalam kondisi fit untuk melalui 4 jam perjalanan menuju Calang.

Selama perjalanan kita akan menjumpai jalan beraspal lebar yang enak untuk melajukan kendaraan hingga 100km/jam, kita juga akan melalui jalan berbatu dan berlumpur hingga terpaksa anda menurunkan kecepatan hingga 100km/hari. Tak hanya itu kitapun akan dibuat dag-dig-dug tatkala kendaraan kita harus diangkut dengan “kapal” penyebrangan yang amat sangat mendebarkan (lihat foto). Sungguh empat jam di perjalanan ini tak akan sama dengan empat jam perjalanan di ibukota yang membosankan dan kaku. Disini, aku bisa memandangi monyet-monyet liar bersenda gurau sembari menggoda manusia yang lalu lalang, terpampang pula birunya lautan yang tak berujung rasanya. Kalau beruntung anda bisa mendapati harimau Sumatera (Panthera tigris) menyebarangi jalan.



Pernah suatu malam sepulang dari Calang kami mendapati hal istimewa ini, saying seribu sayang tak terabadikan oleh kamera sederhanaku. Kalaulah anda merasa lapar diperjalanan bisalah kita mampir di Bukit Gruete atau dikenal juga dengan nama Bukit Panglima untuk menikmati mie kepiting khas Aceh yang mahsyur kelezatannya itu. Sungguh perjalanan yang mungkin akan kurindukan sepanjang sisa hidupku.
Setibanya di Calang, kota yang luluh lantak oleh Tsunami 2004 ini, kita biasanya beristirahat sejanak sembari menyeruput kopi Aceh yang terkenal keistimewaannya itu. Konon, ngupi juga bisa fly lho…hehe. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan melalui jalanan yang tak ada aspal sama sekali hanya lautan kuning kecoklatan tanah liat yang kita jumpai. Jika musim hujan, bersiaplah berjalan kaki. Dari Calang menuju gampong ayah hanya sekitar satu jam, kalau semua berjalan lancar.

Siapa dan Bagaimana Ayah Rajab ?

Disini, di sebuah gampong yang ada di tepian Sungai Krueng Sabee beliau hidup, tak jauh dari gampong ini sekelompok orang menambang emas secara tradisional di Gunung Ujeeun. Sungai dan hutan yang terancam itulah membuat Ayah Rajab mencoba berdiri tegak dan bersuara atas nama masa depan. Karena beliau sadar betul sungai dan hutan yang ada itulah yang menopang hidup mereka selama ini dan yang dieprtaruhkan adalah masa depan generasi mendatang jika ini rusak.

Dengan berbalut kesederhanaan yang jauh dari logika-logika berat macam REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degredation) yang kerap dibincang atau wacana-wacana pemanasan global beliau mulai bergerak. Ia hanya berpikir bahwa ia berhutang pada anak cucunya nanti. Kata-katanya yang sering saya dengar “kita terlalu banyak menebang baripada menanam, kita telah menanam tapi kita tidak merawat”.

Beranjak dari sana ia dan kawan-kawannya yang sepemikiran, meski tak banyak mencoba menanami kembali sisi kiri kanan Sungai Krueng Sabee yang terancam karena penebangan hutan dan juga aktivitas penambangan. Apa yang ia mulai sejak 2005an ini tentu bukan perkara mudah, ia berhadapan dengan kepentingan pragmatis penambang dan juga penebang yang sebenarnya lebih banyak pihak luar. Sehingga mereka penduduk sekitar hanya kecil saja menerima kemanfaatan dari kerusakan yang mereka saksikan itu. (kelak saya akan menulis pula tentang penambangan emas di Gunung Ujeun).

Tak lebih dari lima orang yang mulanya mau membantu Pak Rajab menanam, darimana ia mendapat bibit pohon ? mulanya ia hanya menggunakan apa yang ada di sekitarnya ia mencoba mengambil bibit bamboo atau tanaman-tanaman lokal setempat yang di tanam kembali. Ia bukan ahli kehutanan, tapi berbekal kearifan lokal yang mengakar dan instingnya ia tahu bahwa memasukkan tanaman baru yang bukan pilihan yang baik. Dalam istilahnya introdusir alien species biasanya akan berdampak hilangnya keseimbangan ekosistem.
Oleh-oleh sepanjang jalan menuju Calang/@huzera

Tak mengenal hari ia bekerja, tak pula mengenal siang dan malam. Bahkan sang istri sering berkata “Ayahmu itu kadang menginggau soal hutan dan sunngai” hati dan pikirannya menyatu dengan laku. Sesuatu yang langka kita temui hari ini. Hati dan laku berbeda, ucapan dan perbuatan tak sama. Pujangga politik dan cerdik cendekia kadang lupa akan sinergi antar laku dan ucap itu. Begitu cinta beliau pada sungai itu, kadang beliau berjam-jam berjalan menelusuri sungai sembari melihat apa yang ia tanam tumbuh atau tidak, kalau nampak akan mati mulailah ia menyulam dengan tanaman baru.

Kini seiring waktu orang-orang mulai percaya atas apa yang ia lakukan, terbentuklah organisasi lokal yang ia ketuai, sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada kelangsunngan krueng sabee dari hulu ke hilir. Bahkan kini dukungan terus mengalir kepada organisasi sederhana ini, hanya saja beliau sangat-sangat selektif menerima dukungan. Tak semua lembaga yang ingin membantu ia terima. Awal tahun 2010 lalu, dinas kehutanan Kabupaten Aceh Jaya mempercayakan bibit-bibit tanaman untuk kelompok ini tanam di sekitaran Krueng Sabee.

Beliau juga diberi kesempatan untuk belajar ke Nusa Tenggara Timur, unutk berbagi asah dengan forum daerah aliran sungai yang telah lama berdisi di NTT. Namun, ajakan inipun bukan mudah, ia merasa tka pantas mendapatkan apresiasi itu, ia memberikan kesempatan itu pada anggotanya, namun in the last minutes akhirnya ia ikut berangkat. Alasannya, ia takut anggotanya kelaparan dan tak ada yang mengurus di NTT. Selama di NTTpun ia lebih banyak diam. Bukan karena ia tak mampu berbicara banyak, tapi karena ia malu. Malu karena sekian lama menurutnya mereka lalai akan anugerah air yang dititipkan Tuhan, sedang di NTT dengan air yang sangat sedikit mereka bekerja mati-matian mempertahankannya. Beliau takut termasuk golongan yang kufur nikmat.

Daya pikat Ayah telah melumpuhkan banyak kekeliruanku, aku merasa terlalu banyak berkutat dengan teori bukan aksi, terlalu banyak bersuara tapi terlalu sedikit berbuat, terlampau gandrung akan “gelanggang” tapi lupa memperjuangkannya. Ayah, bukanlah sosok yang mahir berkata-kata indah, hanya berbicara apa perlu saja, ayah tak mampu berteori mutakhir hanya mengatkan kita pada hal-hal yang menjadi dasar kehidupan. Ia pujangga tanpa puisi, ia ilmuwan tanpa gelar sarjana ia bintang di gelanya malam yang sunyi. Ia berjuang dalam sunyi…

Aku tak tahu apa reaksi beliau anda ia tahu kutulis ini, mungkin ia akan marah. Tapi biarlah kuambil resiko itu, terlalu berharga membiarkan kearifan dan kebersahajaan ii berlalu tanpa catatan sejarah. Terlalu banyak yang bisa kita pelajari, semoga kita bisa mengoreksi kejumawaan kita, merasa telah berjasa pada bumi.

Ayah, tulisan ini tak bermaksud mengusikmu dalam perjuanganmu di jalan sunyi itu// sekedar mewartakan pada dunia bahwa kita perlu bergandeng tangan//menundukkan hati dalam kerendahan diri //dan berkaca sembari berkata pada diri sendiri, “kami belum berbuat apa-apa, sedang bumi makin merana” Hanya itu ayah.

Salam berbagi !!

kibas_ilalang

   

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts