Sumber foto : Koleksi Pribadi "somewhere in srilanka" |
Menulis
prihal cinta selalu tak mudah bagiku, bolehlah disodorkan topik lainnya asal
jangan cinta. J Menulis prihal cinta selalu
menguras energi dan emosi bahkan terkadang ilusi. Entah mengapa, bukankah
seharusnya menuliskan cinta adalah sesuatu yang mudah karena setiap manusia
mengalaminya ?
Sebelum
menerawang lebih jauh, saya ingin mencoba membatasi “prihal cinta” yang saya
maksud terbatas dalam definisi “Love is an emotion of
strong affection and
personal attachment” yang saya kutip dari Oxford Illustrated American
Dictionary (1998) + Merriam-Webster Collegiate Dictionary (2000), definisi itupun
saya persempit lagi dalam konteks hubungan antar lawan jenis. Kurang lebih “prihal
cinta” yang saya maksud adalah romansa atau dalam kosakata English bisa dikatakan
interpersonal attraction.
Mengapa
saya merepotkan diri untuk memulainya dengan definisi ? Cinta, dalam konteks
yang lebih paripurna dapat definisikan “In philosophical context, love is a virtue representing
all of humankindness, compassion,
and affection. Love is central to many religions,
as in the Christian phrase, "God is love"
or Agape in
the Canonical gospels.(refer to Deus Caritas Est,
Roman Catholic encyclical by Pope Benedict XVI). In Islamic value love does
encompass the Islamic view of life as universal brotherhood that applies to all
who hold the faith. There are no direct references stating that God is love,
but amongst the 99 names of Allah SWT there is the name Al-Wadud, or
"the Loving One,"” (refer to Quran
aand Hadith). Karena luasnya makna cinta itulah maka saya terlebih dahulu
menarik batasan konsep tentang “prihal
cinta” yang bagi saya sulit untuk dituliskan tersebut. Cinta dalam makna yang
lebih luas bisa jadi tak terlalu sulit untuk dihadirkan dalam tulisan tapi
justru cinta dalam makna yang paling primitif/sederhana justru sangat sulit
dihadirkan dalam tulisan, at least for my self J
***
Tradisi kepenulisan
memiliki adagium, tulislah apa yang kau alami maka tulisan itu akan
memiliki ruh. Secara sederhana pula, dapatlah kita katakan menuliskan apa yang
kita alami tentu akan lebih muda, karena kita ada di dalamnya, bukan begitu ? Ini
menyentak saya, kalau demikian kesulitan saya menulis prihal cinta, apa itu
berarti sesungguhnya saya belum mengalami rasa itu ? hah…bisa iya bisa tidak. Anda
juga perlu bertanya pada diri anda, sulitkah anda menulis prihal cinta ? kalau
jawabannya tidak, anda beruntung, tapi jika iya, anda patut curiga…. Ckckck
Saya punya opsi
lain selain opsi di atas. Bisa jadi kesulitan menuliskan prihal cinta ini bukan
karena belum mengalami, tetapi energi, emosi dan ilusi yang dibutuhkan untuk menuliskannya
menjadi semacam obstacles hadirnya sebuah tulisan. Selanjutnya mari kita
memilih opsi mana ? kalau opsi pertama, ya apa boleh buat jika anda memang
belum bisa menulis prihal cinta..bisalah kita jawab “akan ada masanya jariku
akan menari menuliskan cinta”. Namun, jika opsi kedua yang terjadi, maka
bersiaplah berkeringat dingin mengelaborasi emosi dan ilusi dengan bantuan
energi dan passion yang memadai. Pertanyaannya kemudian, mengapa harus
repot-repot berkeringat dingin menuliskan prihal cinta ??
Benar juga, ini apologi
ampuuh…
Tapi dibalik ampuh
tidaknya apologi di atas. Entah mengapa jelang kepala tiga usia, ada semacam
dorongan yang kuat untuk menuliskan prihal cinta. Akankah puber kedua ? heheh
entahlah. Mungkin juga kebutuhan melakukan refleksi yang sifatnya sangat
personal. Di fase dimana telah banyak hal dialami dan juga dilihat dalam sebuah
perjalanan hidup, terkadang ada kealfaan untuk menilik “ke dalam”, konsentrasi
selalu “ke luar”. Manakala ekspektasi mulai beradu punggung dengan realisasi,
saat pahitnya perjalanan hidup saling silang dengan kepedihan dan tatkala rasa
takut akan kesepian dan kemiskinan mengetuk-etuk rumah kontrakan anda bisa jadi
pada saat itulah anda mulai tersadar untuk menuliskan sesuatu yang “genuine”
sekaligus sederhana dari kita anda..ya prihal cinta. Bisa jadi juga hal-hal
tersebut menyentak kita, betapa jauh kita telah “tersesat” dalam belantara
ilusi hidup.
Beranjak dari
hal-hal tersebut, saya memilih untuk menuliskan prihal cinta itu bukan
mengajukan apologi… J Tentu saja bukan tulisan bertabur kutipan
syair-syair syahdu cinta, atau quotes cinta yang beredar. Sesuatu yang genuine
dan sederhana…itu saja !
***
Meyakini kehadiran cinta adalah hal tersulit
dalam hidupku, aku tak pernah benar-benar tahu “diakah ?”, “inikah saatnya ?”, “inikah
yang terbaik ?” atau “benarkah ini yang terbaik ?”. Silang sengkurat keraguan
mengaburkan semua keyakinan dan keberanian akan cinta. Pada titik klimaks
keyakinan bahwa dialah yang terbaik dan inilah saat yang tepat, tiba-tiba hancur
berkeping-keping manakala seratus satu pertanyaan itu hadir. Pernah satu ketika
betul-betul kuyakini “yes, she is !” namun rezim waktu mengunciku dalam
keraguan tak berujung.
Mungkin karena tak ada standar/kriteria hingga
kita tak pernah tahu seperti apa dia yang tepat itu. Kurangkai kriteria,
kukutip dari kisah-kisah cinta nan melegenda kusisipi dengan opini-opini
rasional tentang hidup yang kelak akan dialami. Hadirlah “dia” dalam kriteria, sayangnya
“dia” tak pernah hadir dalam realita. Saling silang kriteria dan realita ini
kemudian menghempasku pada pencarian panjang. Hingga terantuk pada
ketiba-tibaan saja, sesuatu yang terjadi bahkan saya lupa sadar atau tidak
ketika ada di dalamnya. Mengalir halus di balik hidup yang kian resah. Bisalah
kukatakan, standard itu ilusi….jangan serahkan hidupmu pada ilusi !!
Sampailah pada suatu fase baru, fase dimana
kesadaran akan kriteria yang sangat teratur dan kompleks menjadi sesuatu yang
tiba-tiba dan tanpa perencanaan, sesuatu yang liar saja. Ketaksadaran diri ada
di dalamnya justru menjadi sesuatu yang hangat dan menyejukkan, sesuatu yang
tak terduga, sesuatu yang sulit digambarkan.
Biasanya, hal ini sangat rapuh, akan sangat
mudah luluh oleh gerak sang waktu. Bergeser seiring pulihnya kesadaran diri
kita. Namun, ini memberikan ekstasi tersendiri, sesuatu yang selalu dan selalu
ingin diulangi; ketidaksadaran. Semacam kesadaran untuk tidak sadar. Dalam low
context bisalah kita katakan kecenderungan yang biologis. Ini kondisi yang
sepenuhnya kita sadari sebagai sesuatu yang irasional, terlarang sekaligus punya
daya rusak yang kuat. Namun, justru pada titik inilah kita mendorong diri untuk
tidak sadar dalam kesadaran, ekstasi !
Titik ini cenderung menjadi fase yang paling
lama dan menghanyutkan, fase yang selalu dan selalu ingin kita hadirkan dalam
berbagai bentuk. Disinilah, perselingkuhan, pendustaan dan berbagai kebodohan
serta kekejaman berkombinasi. Fase yang akan menelat banyak pihak yang
tersakiti, satu hal yang kemudian kusadari bahwa diriku pribadipun mengalami “kesakitan”
yang luar biasa namun ekstasi yang ada di dalamnya menjadi penawar bagi rasa
sakit itu dan mensubstitusinya menjadi rasa yang melenakan.
Terlalu panjang jika fase ini diuraikan,
rumit dan sangat irasional. Let skip it….
Di luar segala carut marut fase di atas,
fase ini telah menjadi semacam bridging point bagi sebuah “kesadaran
baru” tentang apa cinta itu. Namun, sekedar catatan tidak semua orang bisa
lolos dari fase ekstase cinta tersebut. Sayapun tak bisa menyatakan diri saya
telah lolos sepenuhnya dari fase ini, karena ia bersifat adiksi, candu. Bisa
kambuh kapanpun..
Baiklah, kesadaran baru yang kumaksud adalah
kesadaran untuk menjumpai sebentuk cinta yang sederhana saja, bisa berbagi
hidup dengan segala saling pengertian satu sama lain, berbagi peran, berbagi
kisah dan berbagi mimpi serta yang terpenting berbagi ketidaksempurnaan. Poin
terakhir biasanya menjadi yang paling sulit. Entah apa menamanai fase ini, pragmatik
atau apa ? entahlah. Tapi bisa jadi kesejatian cinta itu justru terletak pada
pragmatismenya. Titik dimana ditemukannya keseimbangan antara imajinasi dan
praksis.
Permasalahan terbesar adalah ketika kita
menyadari kesadaran baru itu ternyata sesuatu yang pernah kita lalui, something
come from behind, believe me, it’s so hard !! Menyadari bahwa “titik
keseimbangan” itu ada manakala kita bersama seseorang dari masa lampau. Tersentaklah
kita pada pijakan kaki yang satu ada di masa lalu, dan kaki yang satu berpijak
di hari ini. Saya memilih untuk memijakkan kedua kaki pada ……………. Ah ini
ternyata pernyataan yang tidka mudah untuk diselesaikan. Biarlah mengalir saja.
Mungkin anda akan lebih tegas menghadapi kondisi tersebut. That’s good for you.
Pada akhirnya, kata-kata memang tak akan
pernah cukup mewakili apa dan bagaimana kita menjalani cinta…kata-kata selalu
kehilangan determinasinya tatkala kita mengupayakan sebuah deskripsi tentang
rasa dan asa. Apologikah ini ? tidak, sungguh aku merasakan kata-kata tak
pernah cukup. Kata-kata hanya mampu mewakili permukaan dari semua ini,
kedalamannya akan selalu menjadi misteri karena si pemilik kisahpun kadang tak
pernah tahu bagaimana menjelaskannya, hanya bisa merasakan tanpa bisa
mendeskripsikan….
Kuasa
rasa atas kata
Itulah
yang kurasakan prihal cinta
Ia
ada terasa hanya saja nir-citra
Segala
upaya mengisahkannya
Hanya
akan berakhir pada aforisma, apologia bahkan kebohongan semata..
Berkelik
dan menikung dalam romansa
Adalah
keahlian dasar manusia---*aku rasa
Larut
dalam temaram keahlian ini juga tak salah ---*kukira
Namun,
mengakhirinya dengan sebuah kejujuran dan kesetiaan
Bisa
jadi pilihan yang bermakna meski akan menyeretmu dalam kesunyian..
Sejauh
kita memandang cinta selalu saja meninggalkan legenda
Bahkan
bagi pemilik kisah…
Hanya larik di atas yang bisa kusajikan
untuk menutup tulisan sederhana ini. J
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.