Sunday, October 9, 2011


Sumber foto : Koleksi Pribadi "somewhere in srilanka"

Menulis prihal cinta selalu tak mudah bagiku, bolehlah disodorkan topik lainnya asal jangan cinta. J Menulis prihal cinta selalu menguras energi dan emosi bahkan terkadang ilusi. Entah mengapa, bukankah seharusnya menuliskan cinta adalah sesuatu yang mudah karena setiap manusia mengalaminya ?

Sebelum menerawang lebih jauh, saya ingin mencoba membatasi “prihal cinta” yang saya maksud terbatas dalam definisi “Love is an emotion of strong affection and personal attachment” yang saya kutip dari Oxford Illustrated American Dictionary (1998) + Merriam-Webster Collegiate Dictionary (2000), definisi itupun saya persempit lagi dalam konteks hubungan antar lawan jenis. Kurang lebih “prihal cinta” yang saya maksud adalah romansa atau dalam kosakata English bisa dikatakan interpersonal attraction.

Mengapa saya merepotkan diri untuk memulainya dengan definisi ? Cinta, dalam konteks yang lebih paripurna dapat definisikan   “In philosophical context, love is a virtue representing all of humankindnesscompassion, and affection. Love is central to many religions, as in the Christian phrase, "God is love" or Agape in the Canonical gospels.(refer to Deus Caritas Est, Roman Catholic encyclical by Pope Benedict XVI). In Islamic value love does encompass the Islamic view of life as universal brotherhood that applies to all who hold the faith. There are no direct references stating that God is love, but amongst the 99 names of Allah SWT there is the name Al-Wadud, or "the Loving One,"(refer to Quran aand Hadith). Karena luasnya makna cinta itulah maka saya terlebih dahulu menarik batasan konsep tentang  “prihal cinta” yang bagi saya sulit untuk dituliskan tersebut. Cinta dalam makna yang lebih luas bisa jadi tak terlalu sulit untuk dihadirkan dalam tulisan tapi justru cinta dalam makna yang paling primitif/sederhana justru sangat sulit dihadirkan dalam tulisan, at least for my self J

***

Tradisi kepenulisan memiliki adagium, tulislah apa yang kau alami maka tulisan itu akan memiliki ruh. Secara sederhana pula, dapatlah kita katakan menuliskan apa yang kita alami tentu akan lebih muda, karena kita ada di dalamnya, bukan begitu ? Ini menyentak saya, kalau demikian kesulitan saya menulis prihal cinta, apa itu berarti sesungguhnya saya belum mengalami rasa itu ? hah…bisa iya bisa tidak. Anda juga perlu bertanya pada diri anda, sulitkah anda menulis prihal cinta ? kalau jawabannya tidak, anda beruntung, tapi jika iya, anda patut curiga…. Ckckck

Saya punya opsi lain selain opsi di atas. Bisa jadi kesulitan menuliskan prihal cinta ini bukan karena belum mengalami, tetapi energi, emosi dan ilusi yang dibutuhkan untuk menuliskannya menjadi semacam obstacles hadirnya sebuah tulisan. Selanjutnya mari kita memilih opsi mana ? kalau opsi pertama, ya apa boleh buat jika anda memang belum bisa menulis prihal cinta..bisalah kita jawab “akan ada masanya jariku akan menari menuliskan cinta”. Namun, jika opsi kedua yang terjadi, maka bersiaplah berkeringat dingin mengelaborasi emosi dan ilusi dengan bantuan energi dan passion yang memadai. Pertanyaannya kemudian, mengapa harus repot-repot berkeringat dingin menuliskan prihal cinta ??

Benar juga, ini apologi ampuuh…

Tapi dibalik ampuh tidaknya apologi di atas. Entah mengapa jelang kepala tiga usia, ada semacam dorongan yang kuat untuk menuliskan prihal cinta. Akankah puber kedua ? heheh entahlah. Mungkin juga kebutuhan melakukan refleksi yang sifatnya sangat personal. Di fase dimana telah banyak hal dialami dan juga dilihat dalam sebuah perjalanan hidup, terkadang ada kealfaan untuk menilik “ke dalam”, konsentrasi selalu “ke luar”. Manakala ekspektasi mulai beradu punggung dengan realisasi, saat pahitnya perjalanan hidup saling silang dengan kepedihan dan tatkala rasa takut akan kesepian dan kemiskinan mengetuk-etuk rumah kontrakan anda bisa jadi pada saat itulah anda mulai tersadar untuk menuliskan sesuatu yang “genuine” sekaligus sederhana dari kita anda..ya prihal cinta. Bisa jadi juga hal-hal tersebut menyentak kita, betapa jauh kita telah “tersesat” dalam belantara ilusi hidup.

Beranjak dari hal-hal tersebut, saya memilih untuk menuliskan prihal cinta itu bukan mengajukan apologi… J Tentu saja bukan tulisan bertabur kutipan syair-syair syahdu cinta, atau quotes cinta yang beredar. Sesuatu yang genuine dan sederhana…itu saja !

***


Meyakini kehadiran cinta adalah hal tersulit dalam hidupku, aku tak pernah benar-benar tahu “diakah ?”, “inikah saatnya ?”, “inikah yang terbaik ?” atau “benarkah ini yang terbaik ?”. Silang sengkurat keraguan mengaburkan semua keyakinan dan keberanian akan cinta. Pada titik klimaks keyakinan bahwa dialah yang terbaik dan inilah saat yang tepat, tiba-tiba hancur berkeping-keping manakala seratus satu pertanyaan itu hadir. Pernah satu ketika betul-betul kuyakini “yes, she is !” namun rezim waktu mengunciku dalam keraguan tak berujung.

Mungkin karena tak ada standar/kriteria hingga kita tak pernah tahu seperti apa dia yang tepat itu. Kurangkai kriteria, kukutip dari kisah-kisah cinta nan melegenda kusisipi dengan opini-opini rasional tentang hidup yang kelak akan dialami. Hadirlah “dia” dalam kriteria, sayangnya “dia” tak pernah hadir dalam realita. Saling silang kriteria dan realita ini kemudian menghempasku pada pencarian panjang. Hingga terantuk pada ketiba-tibaan saja, sesuatu yang terjadi bahkan saya lupa sadar atau tidak ketika ada di dalamnya. Mengalir halus di balik hidup yang kian resah. Bisalah kukatakan, standard itu ilusi….jangan serahkan hidupmu pada ilusi !!

Sampailah pada suatu fase baru, fase dimana kesadaran akan kriteria yang sangat teratur dan kompleks menjadi sesuatu yang tiba-tiba dan tanpa perencanaan, sesuatu yang liar saja. Ketaksadaran diri ada di dalamnya justru menjadi sesuatu yang hangat dan menyejukkan, sesuatu yang tak terduga, sesuatu yang sulit digambarkan.

Biasanya, hal ini sangat rapuh, akan sangat mudah luluh oleh gerak sang waktu. Bergeser seiring pulihnya kesadaran diri kita. Namun, ini memberikan ekstasi tersendiri, sesuatu yang selalu dan selalu ingin diulangi; ketidaksadaran. Semacam kesadaran untuk tidak sadar. Dalam low context bisalah kita katakan kecenderungan yang biologis. Ini kondisi yang sepenuhnya kita sadari sebagai sesuatu yang irasional, terlarang sekaligus punya daya rusak yang kuat. Namun, justru pada titik inilah kita mendorong diri untuk tidak sadar dalam kesadaran, ekstasi !
Titik ini cenderung menjadi fase yang paling lama dan menghanyutkan, fase yang selalu dan selalu ingin kita hadirkan dalam berbagai bentuk. Disinilah, perselingkuhan, pendustaan dan berbagai kebodohan serta kekejaman berkombinasi. Fase yang akan menelat banyak pihak yang tersakiti, satu hal yang kemudian kusadari bahwa diriku pribadipun mengalami “kesakitan” yang luar biasa namun ekstasi yang ada di dalamnya menjadi penawar bagi rasa sakit itu dan mensubstitusinya menjadi rasa yang melenakan.

Terlalu panjang jika fase ini diuraikan, rumit dan sangat irasional. Let skip it….

Di luar segala carut marut fase di atas, fase ini telah menjadi semacam bridging point bagi sebuah “kesadaran baru” tentang apa cinta itu. Namun, sekedar catatan tidak semua orang bisa lolos dari fase ekstase cinta tersebut. Sayapun tak bisa menyatakan diri saya telah lolos sepenuhnya dari fase ini, karena ia bersifat adiksi, candu. Bisa kambuh kapanpun..

Baiklah, kesadaran baru yang kumaksud adalah kesadaran untuk menjumpai sebentuk cinta yang sederhana saja, bisa berbagi hidup dengan segala saling pengertian satu sama lain, berbagi peran, berbagi kisah dan berbagi mimpi serta yang terpenting berbagi ketidaksempurnaan. Poin terakhir biasanya menjadi yang paling sulit. Entah apa menamanai fase ini, pragmatik atau apa ? entahlah. Tapi bisa jadi kesejatian cinta itu justru terletak pada pragmatismenya. Titik dimana ditemukannya keseimbangan antara imajinasi dan praksis.

Permasalahan terbesar adalah ketika kita menyadari kesadaran baru itu ternyata sesuatu yang pernah kita lalui, something come from behind, believe me, it’s so hard !! Menyadari bahwa “titik keseimbangan” itu ada manakala kita bersama seseorang dari masa lampau. Tersentaklah kita pada pijakan kaki yang satu ada di masa lalu, dan kaki yang satu berpijak di hari ini. Saya memilih untuk memijakkan kedua kaki pada ……………. Ah ini ternyata pernyataan yang tidka mudah untuk diselesaikan. Biarlah mengalir saja. Mungkin anda akan lebih tegas menghadapi kondisi tersebut. That’s good for you.

Pada akhirnya, kata-kata memang tak akan pernah cukup mewakili apa dan bagaimana kita menjalani cinta…kata-kata selalu kehilangan determinasinya tatkala kita mengupayakan sebuah deskripsi tentang rasa dan asa. Apologikah ini ? tidak, sungguh aku merasakan kata-kata tak pernah cukup. Kata-kata hanya mampu mewakili permukaan dari semua ini, kedalamannya akan selalu menjadi misteri karena si pemilik kisahpun kadang tak pernah tahu bagaimana menjelaskannya, hanya bisa merasakan tanpa bisa mendeskripsikan….

Kuasa rasa atas kata
Itulah yang kurasakan prihal cinta
Ia ada terasa hanya saja nir-citra
Segala upaya mengisahkannya
Hanya akan berakhir pada aforisma, apologia bahkan kebohongan semata..


Berkelik dan menikung dalam romansa
Adalah keahlian dasar manusia---*aku rasa
Larut dalam temaram keahlian ini juga tak salah ---*kukira
Namun, mengakhirinya dengan sebuah kejujuran dan kesetiaan
Bisa jadi pilihan yang bermakna meski akan menyeretmu dalam kesunyian..

Sejauh kita memandang cinta selalu saja meninggalkan legenda
Bahkan bagi pemilik kisah…

Hanya larik di atas yang bisa kusajikan untuk menutup tulisan sederhana ini. J


  

  

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts